Selasa, 21 Desember 2010

Ucapan Selamat Natal dan Tafsir Q.S. Maryam: 33

Setiap menjelang Natal tentu akan selalu muncul perdebatan soal hukum mengucapkan selamat natal kepada saudara kita sebangsa yang beragama kristiani. Bahkan ada seorang pakar tafsir yang terpandang di Indonesia membolehkan mengucapkan selamat natal dengan dalih, bahwa ucapan selamat natal juga dapat ditemui dalam Alquran surah Maryam:33, pendapat seperti ini perlu dkritisi lebih lanjut:

Pertama; redaksi wassalamu yang dinisbahkan kepada nabi Isa ini diucapkan beliau sendiri ketika ibunda Maryam bint Imran dipojokkan dan dituduh orang-orang yahudi bahwa Isa yang baru saja dilahirkan adalah hasil perzinahan, Maryam kemudian menunjuk Isa yang merupakan mukjizat dari Allah swt untuk menepis tuduhan murahan itu (ayat 28-33) perlu dicatat juga bahwa sebelumnya redaksi seperti ini ditujukan pula kepada nabi Yahya as. dengan redaksi wasalamun (ayat 13).

Para ulama menyatakan bahwa jenis redaksi seperti ini sering diungkapkan pada saat dan situasi seorang hamba Allah dalam kondisi sangat lemah, tidak kuasa atas makar dan sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan-Nya (Tafsir al-Muharrar al-Wajiz; Ibnu 'Athiyyah dikutip oleh al-Alusi dalam Ruh al-Ma'ani vol 9 juz 16 hal.107) karena keduanya, baik Yahya maupun Isa sama-sama dikejar dan ditindas Bani Israil, Yahya berhasil mereka bunuh sementara Isa diselamatkan Allah dan diangkat ke langit belum lagi peristiwa kelahirannya mengundang curiga luar biasa. sehingga wajar keduanya menggunakan redaksi Salaam.

Dengan perbandingan dua situasi ini pula Imam Hasan al-Bisri meriwayatkan dialog antara Isa dengan Yahya yang suatu saat keduanya bertemu, sebagaimana layaknya ikhwah fillah Yahya bilang kepada Isa: akhi doakan saya ya sebab engkau lebih mulia dari aku, Isa balas menjawab: akhi justru anda yang harus mendoakan saya, andalah yang lebih mulia dari saya sebab Allah yang menjamin keselamatan untuk anda (seakan menunjuk redaksi wasalamun alayhi, ayat 13) sedangkan sayalah yang menyatakan keselamatan atas diri saya sendiri bukan Allah yang menjaminnya (seakan menunjuk redaksi wassalamu alayya, ayat 33)

Kedua; secara literal dan sepintas redaksi wassalamu diartikan dengan ucapan selamat, bahwa ucapan selamat natal sudah dicontohkan sendiri oleh nabi Isa as (dengan asumsi ketika mengucapkannya kita berkeyakinan bahwa beliau adalah seorang nabi dan hamba Allah). jika kita telusuri beberapa kitab tafsir yang memiliki otoritas ternyata bukan seperti itu yang dimaksudkan rangkaian ayat ini. justru dengan pengakuan tersebut Isa alahi salam telah menetapkan bahwa dirinya hanya sebagai hamba yang menyembah Allah swt semata, dia juga sebagaimana makhluk Allah lainnya dilahirkan (hidup), mengalami kematian dan dibangkitkan kembali pada hari pembalasan, hanya saja beliau akan memperoleh keselamatan sebagaimana para nabi dan rasul lainnya pada hari pembalasan yang keseluruhan manusia sangat sulit untuk memperoleh keselamatan hisab pada hari itu. (Ibnu Katsir; juz 3 hal.117-118)

Ketiga; sesuai konteks rangkaian ayat di atas dan korelasinya dengan rangkaian ayat selanjutnya (ayat 34-37) yang terjemahannya sbb: 34. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. 35. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia 36. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.37. Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar.

Rangkaian ayat ini justru menepis kebolehan mengucapkan selamat natal, seperti diyakini orang-orang nasrani, karena rangkaian ayat yang sebelum ini menjelaskan secara gamblang peristiwa kelahiran Isa dari rahim Maryam ibunya yang dirasa sangat tidak mungkin ia kemudian dinobatkan menjadi anak Tuhan; Isa sesungguhnya adalah anak manusia biasa yang dilahirkan melalui "proses yang diluar kebiasaan". isyarat itu terungkap dari ayat 35. (Fi Zhilal al-Qur'an; juz 4 hal.2308)

Keempat; Sesuai analisa bahasa dan sastra Arab, fungsi definitif dari al pada kata assalamu adalah untuk semua jenis keselamatan (al lil jinsi) jika digabungkan dengan konteks rangkaian ayat ini untuk pengingkaran dan penolakan akidah nasrani, maka ia lebih merupakan sindiran (ta'ridl) untuk melaknat kaum Yahudi atas tuduhan zina kepada Maryam dan kaum Nasrani yang menjadikannya juru selamat. seakan ayat ini memberi pesan bahwa Isa menyatakan semua keselamatan hanya untuk dirinya dan azab lah yang akan ditimpakan kepada para penentangnya.

Fungsi kebahasaan seperti ini sudah berlaku umum dan menjadi urf pemakaian alquran, surah Thaha ayat 48 misalnya menyatakan wassalamu ala man ittaba'alhuda, selain makna aslinya ia juga mengandung pesan yang tidak diungkapkan bahwa azab lah yang akan didapat bagi orang yang mendustakan dan berpaling dari petunjuk itu. (al-Alusi dalam Ruh al-Ma'ani; Opcit hal 131)

Saya hanya ingin mengatakan bahwa berat sekali tugas menganalisa dan mencermati kandungan Alquran, ia tidak bisa difahami dengan baik hanya secara literal atau mengikuti petunjuk terjemahan lahirnya saja. sehingga wajar jumhur/ulama berpendapat mustahil seorang bisa menterjemahkan alquran secara harfiyah, karena kualitas bahasa arab yang sangat tinggi untuk alquran. nah tugas ini akan lebih berat lagi kalau sudah menyangkut ayat-ayat akidah.

Paparan saya itu bukan berarti saya sudah menafsiri Alquran tapi yang saya lakukan adalah mengetengahkan tafsir para ulama yang diakui otoritasnya di bidang tafsir, sebagai amanah ilmiah yang harus disampaikan. kita tidak perlu berapologi untuk sekedar menampakkan toleransi semu dan munafik, apalagi dengan menggadaikan akidah kita. biarkan seperti alquran bilang Biar Allah yang akan memutuskan perkara mana yang benar dan salah di antara mereka pada hari kiamat (Al-Hajj:17)

sumber:http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/fahmi-salim-m-a-kontributor-islamic-studies-center-online-ucapan-selamat-natal-dan-tafsir-q-s-maryam-33.htm

Senin, 20 Desember 2010

NATALAN BERSAMA Kerukunan Atau Kemunafikkan Ummat Beragama?

Mungkin anda pernah menyaksikan dan masih ingat acara Perayaan Natal Bersama melalui salah satu stasiun TV pada tanggal 27 Desember 2009 setahun lalu. Acara itu seperti sudah dianggap sebagai ritual tahunan kenegaraan. Biasanya pejabat tinggi banyak yang diundang. Malam itu, ada beberapa pejabat Muslim yang datang.. Menyimak rangkaian acaranya, Perayaan Natal Bersama itu jelas sebagai suatu bentuk Proklamasi agama Kristen dan realisasi konsep Misi Kristen di Indonesia.
Pesan utama yang ingin disampaikan melalui acara tersebut sangat jelas bahwa Jesus, Putra Tuhan, sang Juru Selamat sudah tiba untuk menebus dosa manusia. Berbagai lagu dan sendratari yang ditampilkan membawa pesan tersebut. Disamping lagu dan tari, ada pesan Natal dan juga Doa Syafaat dibawakan oleh pejabat KWI (Katolik) dan PGI (Protestan).
Menarik jika kita amati wajah para pejabat muslim yang hadir acara itu. Kita juga mencoba menebak-nebak, apa kira-kira perasaan para pejabat Muslim itu, ketika mendengar lagu-lagu dan seruan tentang kedatangan Jesus sebagai anak Allah dan Juru Selamat. Kita berprasangka baik, dan menduga-duga, hati para pejabat yang Muslim itu pasti berkata: “Ini tidakbenar! Sebab, saya Muslim. Saya yakin benar, bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib. Saya yakin, Nabi Isa adalah utusan Allah, rasul Allah; bukan Tuhan atau anak Tuhan.”
Para pejabat Muslim yang sebagian dari mereka memiliki Majelis Zikir tentu sudah pernah mendengar ayat Al-Quran: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (Terjemah QS as-Shaff: 6).
Ada juga ayat Al-Quran yang menyatakan: “Dan mereka mengatakan, (Allah) Yang Maha Pemurah itu punya anak. Sungguh (kalian yang menyatakan bahwa Allah punya anak), telah melakukan tindakan yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah gara-gara ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah punya anak.” (Terjemah QS Maryam: 88-91).
Sebagai Muslim, mereka tentu paham benar ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dalam Perayaan Natal Bersama itu, orang-orang Muslim “dipaksa” mendengar cerita-cerita tentang Jesus yang bertentangan dengan keimanan mereka. Kata beberapa orang, praktik-praktik pencampuran Perayaan Hari Raya Agama seperti itu perlu dilakukan demi tujuan mulia, yaitu untuk membina Kerukunan Umat Beragama. Malah, ada yang berpendapat, agar MUI mencabut fatwa tentang Haram-nya seorang Muslim merayakan Natal Bersama. Sebagai Muslim, dan juga sebagai Pejabat Negara ketika itu “harus” duduk mendengarkan semua cerita tentang Jesus, yang sudah pasti tidak mereka yakini. Pada kondisi seperti itulah, mereka juga terpaksa tidak menyatakan secara terbuka, bahwa mereka mempunyai kepercayaan dan keimanan yang berbeda dengan kaum Nasrani.
Sebenarnya, jika kita berpikir jernih, praktik-praktik semacam ini seharusnya dihentikan. Membangun kerukunan umat beragama tidak perlu dilakukan dengan cara-cara yang dapat menyuburkan kemunafikan seperti itu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, dan para ulama Islam – yang sejati – tidak pernah mengajarkan tindakan seperti itu. Untuk membangun kerukunan umat beragama, banyak cara lain yang bisa dilakukan. Sebenarnya, jika kaum Nasrani merayakan hari raya mereka, di kalangan mereka sendiri, itu juga tidak ada masalah dan tidak perlu mengundang kontroversi.
Berita tentang ke-Tuhanan Jesus tentu tidak mudah ditelan begitu saja oleh kaum Muslim. Sebab, Islam memiliki kitab suci Al-Quran yang dengan sangat gamblang menjelaskan kesalahan kepercayaan kaum Kristen tersebut. Al-Quran menyatakan, bahwa berita tentang penyaliban Jesus (Nabi Isa) adalah bohong belaka. Penyaliban Jesus, dalam pandangan Islam, tidak memiliki dasar yang kuat. “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Terjemah QS al-Kahfi: 4-5).
Ayat-ayat dalam kitab suci yang secara tegas membantah klaim-klaim kaum Kristen tentang ketuhanan Jesus seperti ini hanya dijumpai dalam Al-Quran. Ayat semacam itu tidak kita dijumpai pada Kitab Veda (Hindu), Tripitaka (Budha), atau Su Si (Konghucu). Karena itu, wajar, selama seorang mengaku dan meyakini keimanan Islam-nya, hatinya akan dengan tegas menolak semua pernyataan yang tidak benar tentang Nabi Isa. Kaum Ahlul Kitab yang hatinya ikhlas dalam menerima kebenaran pasti akan mengakui kenabian Muhammad saw dan kebenaran Al-Quran (QS 3:199).
Keyakinan kaum Muslim tentang Nabi Isa seperti itu seharusnya dihormati oleh kaum Kristen. Sehingga, tidaklah etis jika “memaksa” seorang Muslim yang berpegang kepada iman Islam-nya untuk duduk mendengar cerita tentang Yesus dalam versi Kristen yang sama sekali berbeda versinya dengan cerita tentang Nabi Isa dalam versi Islam. Inilah sebenarnya hakekat saling hormat-menghormati antar pemeluk agama. Mereka bisa bekerjasama satu sama lain, dalam berbagai hal. Tetapi, bukan membiasakan diri bersikap “pura-pura” dalam soal keimanan. Sikap saling menghormati bisa ditumbuhkan dengan tetap berpegang kepada keimanan masing-masing.
Islam juga menghormati sikap pemimpin Katolik Paus Yohanes Paulus II, ketika menyatakan, bahwa Islam, bahwa Islam bukanlah agama penyelamatan: “Islam is not a religion of redemption.” Paus juga menyatakan, dalam Islam tidak ada ruang bagi Salib dan Kebangkitah Yesus. Yesus memang disebutkan, tetapi, kata Paus, dia hanya sekedar seorang Nabi, yang menyiapkan kedatangan Nabi terakhir, yaitu Muhammad. Karena itulah, Paus berkesimpulan: “For this reason, not only the theology but also the anthropology of Islam is very distant from Christianity.” Jadi,menurut Paus, secara teologis dan antropologis, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dan Kristen. (Lihat, John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy, (London: Penguin Books Ltd., 2005).
Ada lagi yang sering tidak dipahami oleh pemeluk agama selain Islam atau bahkan kalangan Muslim sendiri. Yaitu, bahwasanya Islam adalah agama wahyu yang memiliki uswah hasanah (contoh teladan). Sebagai agama wahyu (agama langit), Islam mendasarkan keyakinan dan semua praktik ritualnya berdasarkan wahyu dan contoh dari Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, hanya orang Muslim yang kini memiliki bentuk ibadah yang satu. Orang Muslim membaca al-Fatihah yang sama dalam shalat; ruku’ dengan cara yang sana; sujud dengan cara yang sama, dan salam dengan cara yang sama pula. Semua itu ada contoh dari Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Bahkan, kaum Muslim berdebat tentang hal-hal yang “kecil” dalam ibadah shalat, seperti apakah dalam tahiyat, jari telunjuk digerakkan atau tidak. Sebab, memang ada riwayat yang berbeda dari Rasulullah saw tentang hal itu. Yang jelas, semua Muslim ingin mencontoh Sang Nabi sampai hal-hal yang “kecil” seperti itu diperdebatkan. Tapi, semua orang Muslim, saat melaksanakan tahiyat dalam shalat, pasti mengeluarkan jari telunjuk, bukan jari jempol atau jari kelingking.
Karena kuatnya berpegang pada keteladanan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam ibadah itulah, maka –misalnya -- orang Islam tidak mudah untuk diajak mengganti salam Islam dengan salam lainnya. Karena salam resmi orang Islam, sesuai ajaran Nabi saw adalah: Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.” Ucapan salam seperti ini berdasarkan contoh dari Nabi Muhammad, bukan berasal dari budaya atau hasil Kongres umat Islam pada saat tertentu. Di mana pun, kapan pun, umat Islam akan mengucapkan salam seperti itu. Apa pun suku dan bangsanya. Upaya untuk “pribumisasi” salam Islam dan menggantinya dengan “Selamat pagi” dan sejenisnya, telah gagal dilakukan. Dulu, akhir 70 an- 80 an pernah seorang menteri yang menolak mengucapkan salam Islam, dengan alasan, ia bukan hanya menterinya orang Islam.
Sekarang, cara berpikir Pak Menteri itu sudah out of date, sudah ketinggalan zaman. Kini, Sebagian pejabat sangat fasih dalam mengucapkan salam. Bahkan, biasanya mereka dahului dengan ucapan basmalah. Sekarang sudah banyak tokoh non-Muslim yang dengan lancar mengucapkan salam Islam. Ust DR Adian Husaini MA pernah bertanya kepada seorang tokoh non-Muslim, apakah dia boleh mengucapkan salam Islam, seperti yang baru saja dia ucapkan. Dia menjawab: Boleh!
Kondisi seperti itu berbeda dengan umat Islam. Untuk urusan salam saja, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan contoh dan panduan yang sangat rinci. Bagaimana seharusnya seorang Muslim memberikan salam kepada sesama Muslim, bagaimana menjawab salam dari non-Muslim, dan sebagainya. Umat Islam secara ikhlas berusaha mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw tersebut. Sifat dan posisi ajaran Islam seperti ini seyogyanya dipahami. Termasuk dalam soal perayaan Hari Besar Agama. Panduan dalam soal ini juga sangat jelas. Karena itu, jika umat Islam menolak untuk mengikuti Perayaan Hari Besar agama lain, itu pun harusnya dipahami dan tidak dicap sebagai bentuk rasa permusuhan terhadap agama lain. Pemahaman akan sifat dan karakter masing-masing agama itu perlu dipahami oleh masing-masing tokoh agama, agar tidak memaksakan pemahamannya kepada orang lain.
Dalih toleransi dan kerukunan Ummat beragama tetap tidak layak dijadikan alasan ‘Perayaan Natal Bersama’.Sebab ,Hari Raya merupakan masalah agama dan aqidah ,bukan masalah keduniaan.Toleransi dan kerukunan dapat dibangun dengan tetap hidup bersama ,bekerja sama dalam urusan-urusan dunia tanpa mencampuradukkan ritual agama melalui perayaan hari besar secara bersama. Wallaahulhaadiy Ilaa aqwamirRasyaad.(Sym)

Dicuplik dari CAP Adian Husaini ke-275 (www.hidayatullah.com ) dengan sedikit modifikasi,

Minggu, 19 Desember 2010

Hukum Menyalatkan Jenazah Orang yang Bunuh Diri

(Soal Jawab Seputar Hukum Islam )


Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum,bagaimana hukumnya menyolatkan orang yang mati bunuh diri?

Jawaban:

Wa ‘alaikmussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Bismillah, alhamdulillah, wa sh shalaatu was salaamu ‘alaa Rasulillah Wa ‘Alaa Aalihi Wa Ash Haabihi Wa Man tabi’ahum bi ihsaanin Ilaa YaumidDiyn. Amma Ba’d.

Bunuh diri termasuk perbuatan dosa besar. Para Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir tetapi fasik. Mereka juga sepakat bahwa jenazah orang kafir dan munafiq tidak dishalati. Hal ini berdasarkan firman Allah :

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“…dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka,. (QS At Taubah: 84)

Adapun jenazah orang fasik (pelaku dosa besar ) maka para Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyalati jenazahnya.Ada tiga versi pendapat Ulama mengenai hukum menyalati jenazah orang fasik :

1. Jenazah orang fasik tidak dishalati. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Umar bin Abdul Aziz, Abu Yusuf, dan al-Auza’i rahimahumullah.[1]
2. Yang tidak shalat hanya Imam atau Khalifah atau pemimpin kaum saja. Ini adalah pendapat Madzhab Hanbali, dan dipilih oleh Syaikh Nashiruddin al Abaaniy rahimahullah.[2]
3. Jenazah Orang fasik tetap wajib dishalati.Ini adalah madzhab Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, dan jumhur (mayoritas ) ulama . [3].

Sebab Perbedaan Pendapat Dan dalil Masing-masing Pendapat :
Adapun sebab yang menjadi faktor terjadinya pendapat dikalangan Ulama tentang masalah ini adalah adanya beberapa hadits yang seakan-akan bertentangan satu sama lain.Ada hadits yang menunjukkan bolehnya menyalatkan siapa saja yang mengucapkan Laa Ilaaha Illa llaah, namun adapula hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam enggan menyalati jenazah orang yang mati bunuh diri.

Hadits 1.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صلّوا خلف من قال لا إله إلاّ الله وصلّوا على من قال لا إله إلاّ الله

“Shalatlah kamu di belakang siapa saja yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan shalatilah siapa saja yang mengucapkan laa ilaaha illallah” (HR Ad-Daruquthni dan Ath-Thabrani).[4]

Imam Syaukani rahimahullah berkata, “Shalat jenazah atas orang fasik telah ditunjukkan oleh hadits shallu ‘ala man qaala laa ilaaha illallah sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bab Maa Ja`a fi Imamah al-Fasiq sebagai salah satu bab mengenai shalat jamaah.” [5].

Ulama Madzhab Syafi’i berpendapat : “Shalat jenazah wajib atas setiap orang Muslim, seberapapun besarnya kedurhakaan dan kefasikannya”.[6].

Hadits ke-2.

Hadits Jabir bin Samurah Radhiyallaahu ‘anhu yang menyatakan,

أُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلّم برجلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمشَا قِصٍ فلم يصلِّ عليهِ

“Bahwa ada jenazah seorang laki-laki mati bunuh diri dengan pedang dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam maka Beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menyalatinya.” (HR Muslim) [7].

Dalam riwayat Imam Ahmad dinyatakan :

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم لمْ يُصلِّ على رجلٍ قتَل نفسه

“Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menyolati seorang laki-laki yang (mati) membunuh dirinya”. (HR Ahmad).

Dalam riwayat lain :

أََنَّ رَسُوْل الله صلى الله عليه وسلّم أبى أن يصلى على رجل قتل تفسه

“Bahwa Rasulullahi shallallaahu ‘alaihi wasallam enggan menyalati orang yang mati membunuh dirinya”. (HR Muslim (978), Tirmidziy (1068), Nasaai (4/66), Al Baihaqiy:4/19) [8]

Hadits Jabir Samurah ini dijadikan dalil oleh Ulama yang berpendapat tidak bolehnya menyalati jenazah orang yang mati bunuh diri.

Berkata Ibnul Qayyim al Jauziyah rahimahullah : “Ajaran Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah bahwa beliau tidak menshalati orang yang bunuh diri dan penghhianat/penipu (dalam hal harta rampasan perang).[9].

Hadits Jabir di atas juga dijadikan dalil oleh Ulama Hanbali yang berpendapat bahwa pemimpin tidak perlu menyalati jenazah orang yang mati bunuh diri.Berkata Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al Bassam rahimahullah: "Ulama Madzhab Hanbali berpendapat ‘’Boleh menyalati mayit pelaku maksiat ,kecuali penghianat (berkaitan harta rampasan perang) dan orang yang bunuh diri.Pemimpin Negara dan wakilnya tidak perlu menyalati orang itu,sebagai hukuman untuk mereka dan peringatan untuk yang lain.Selain pemimpin Negara tetap menyalatinya”….Imam Ahmad berkata:”Kami tidak menjumpai (dalil) yang menjelaskan bahwa nabi tidak menyalati seorang kecuali penghianat/penipu dan orang yang bunuh diri”[10]

Imam Tirmidzi rahimahullah mengomentari hadits Jabir bin Samurah di atas (atau yang semakna dengannya) dengan mengatakan,”…Para ulama (ahlul ‘ilmi) telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka berkata,”Dishalati setiap siapa saja yang shalat menghadap kiblat, juga setiap orang yang bunuh diri. Inilah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan Ishaq. Ahmad berkata,’Imam [khalifah] tidak menyalati orang yang bunuh diri, sedangkan selain imam menyalatinya.” [11].

Kesimpulan :
Dari seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa jenazah orang yang bunuh diri tetap wajib dishalati oleh kaum muslimin. Hanya saja bagi para pemimpin dan pemuka masyarakat, sebaiknya tidak menyalatinya, sebagai celaan(zajr), hukuman (uqubah) kepada jenazah yang bersangkutan dan peringatan agar orang banyak tidak melakukan dosa yang serupa.[12].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Bahwa orang yang mati bunuh diri statusnya sama dengan orang yang sering meninggalkan shalat dari sisi hukum menyalati (jenazah) nya.Jika tidak menyalatinya dapt memberi efek jera, pelajaran kepada masyarakat,dan sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak meremehkan shalat dan tidak bunuh diri ,maka lebih baik rtidak menyalatkan .Tetapi jika menyalatkannya pun tidak apa-apa.[13].

Wallahu a’lam bish-shawab

[1].Ash Shan’aniy, Subulussalam 2/99.
[2].Al Bassam, Taudhihul Ahkam 3/202,Syaikh Nashiruddin al Al Baniy rahimahullah, Ahkamul Janaiz
[3].Ash Shan’ani, Subulus Salam, II/99). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 746; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/253
[4].Hadits dhaif, diriwayatkan oleh Ad Daruquhtniy (2/52) dengan sanad yang semuanya lemah. Lih Ibnu Rusyd Bidayatul Mujtahid 1/253.
[5]. ].Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 746
[6]. Syaikh al Bassam, Taudhihul Ahkam hal:201.
[7]. Imam Sha’ani, Subulus Salam, 2/99, Syaikh Al Bassam, Taudhihul ahkam 3/199
[8].Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid 1/253.
[9].Al Bassam, Taudhihul ahkam 3/201.
[10].Ibid
[11]. Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Ahkamul Jana`iz, hal. 110.
[12].Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/99; Nashiruddin Al-Albani, Ahkamul Jana`iz, , hal. 108-109
[13].Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Majmu’ Fatawa :24/288).
disalin dari :http://wimakassar.org/wp/hukum-menyalatkan-jenazah-orang-yang-bunuh-diri/

Sabtu, 18 Desember 2010

Hadits Sumur Budhaa 'ah

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنّ الماء طهور لا ينجّسه شيء

“Sesungguhnya air itu suci,tidak ada sesuatu pun yang menaji-sinya”. Diriwayatkan oleh tiga dan dishahihkan oleh Ahmad.

Biografi Singkat Sahabat Perawi Hadits:

Abu Sa’id al-Khudri adalah Sa’ad bin Malik bin sinan al-Khazraji al-Anshariy al-Khudriy. Al-Khudri merupakan nisbah kepada Khudrah salah satu kelompok dari kalangan Anshar. Beliau termasuk salah seorang ‘ulama dari kalangan shahabat, salahseorang almuktsiriyn (paling banyak) meriwayatkan hadits (1170 hadits 804 hadits diantaranay dalam shahiyhain). Beliau ikut berperang bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebanyak duabelas kali, turut serta dalam Bai’atur Ridhwan. Wafat pada tahun 74 H dalam usia 86 tahun.

Kosa Kata Hadits:
Suci dan mensucikan:طهور
Tidak menajisinya, maksudnya tidak merubahnya menjadi najis:لاينجّسه

Penjelasan Umum.

Hadits ini dikenal nama hadits sumur budha’ah, berawal dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; “Bolehkah kami berwudhu denagan (air) sumur budhaa’ah? Sementara kain pembalut haidh, daging anjing, dan benda-benda berbau busuk dibuang ke dalamnya? Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: ”Sesungguhnya air tersebut suci dan mensucikan (thahur). . .” Al-Hadits.

Dalam hadits ini Rasulllah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa air itu suci dan mensucikan meskipun tercampur oleh sesuatu yang najis, najis tersebut tidak menajisinya, ia tetap suci dan mensucikan. Akan tetapi hadits ini hanya berlaku untuk air yang mencapai dua qullah (sekitar 500 L/ 1/2 m3), karena air yang kurang dari dua qullah memungkinkan untuk terkontaminasi oleh najis (sebagaimana akan dijelaskan pada hadits selanjutnya). Dan tidak diragukan lagi bahwa air sumur budhaa’ah mencapai dua qullah. Sumur tersebut lebarnya enam hasta, tinggi airnya maksimal sampai kelamin (ketika sedang pasang) dan minimal di bawah aurat (ketika sedang susut) sebagaimana yang dihikayatkan oleh Abu Daud. Beliau berkata; Saya bertanya kepada penjaga sumur budhaa’ah tentang kedalamannya. Seberapa tinggi airnya ketika sedang pasang? Beliau menjawab, ‘sampai al-’aanah (rambut kemaluan)’. Saya bertanya lagi, jika susut? dia menjawab ‘dibawah aurat’. Abu Daud berkata, Saya telah mengukur sumur budhaa’ah dengan bajuku. Aku bentangkan baju di atasnya lalu aku mengukurnya dengan hasta, ternyata luasnya mencapai enam hasta. Dan saya bertanya lagi kepada yang membukakan pintu untukku. Lalu ia mengajakku masuk ke dalamnya, saya bertanya; apakah bangunannya ada yang berubah dari sebelumnya? Beliau menjawab ‘tidak’.

Pelajaran Penting Dari hadits:

1. Pentingnya merujuk dan bertanya kepada ‘Ulama ketika berhadapan dengan permasalahan yang tidak diketahui hukumnya. Sebagaimana perintah Allah dalam Al-Quran: Fas aluu ahladz-Dzikri in kuntum Laa Ta ‘ lamuun (Bertanyalah kepada Ahlidz-dzikr (ulama) jika kalian tidak mengetahui.

Hal ini telah dicontohkan oleh sahabat yang bertanya dalam hadits ini. Beliau tidak mengetahui hukumnya berwudhu dengan air yang tercampuri oleh najis, sehingga menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

2. Hukum asalnya air itu suci.
3. Air yang banyak tidak terpengaruh oleh najis, kecuali jika berubah warna, rasa, dan baunya sebagaimana dalam hadits: “Sesungguhnya air itu tidak dinajisi oleh sesuatupun kecuali jika berubah bau, rasa, dan warnanya”. (HR Ibnu Majah dan didhaifkan (lemah) oleh Abu hatim rahimahullah.

Bersambung…
sumber :http://wimakassar.org/wp/hadits-kedua-bab-air-kitab-thaharah-dari-bulughul-maram/
Wallaahu a’ lam.

Jumat, 17 Desember 2010

Apa Arti Hakikat Keislaman Saya?

Oleh : Anwar Junaede
Banyak orang yang saat ini mengaku sebagai pemeluk agama Islam, namun mereka tidak tahu hakikat hal itu. Mereka juga tidak mengerti kemuliaan yang mereka peroleh karena nikmat dan anugerah Allah ta’ala yang agung dengan memeluk agama ini, padahal itulah nikmat yang paling besar yang tiada bandingannya.

Di antara hal yang membuatkan bertambah mulia dan bangga

Dan aku hampir menginjakkan kedua kakiku di atas bintang kejora

Adalah masuknya aku ke dalam firman-Mu, “Wahai hamba-hamba-Ku.”

Dan Engkau utus Ahmad sebagai utusan-Mu

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap bayi adalah terlahir dalam fitrahnya, lalu kedua orang tuanya yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Muttafaq ‘alaihi).

Seandainya ada di antara kita yang sejak tercipta hingga mati bersujud di atas tanah karena bersyukur atas nikmat Islam yang sangat agung ini, tentunya dia tetap tidak akan mampu menebusnya. Namun sayang sekali, saat ini kita temukan banyak orang muslim yang menganggap bahwa keislamannya cukup dengan nama atau keterangan di kartu identitasnya saja. Dia mengira bahwa dia menjadi muslim karena namanya Muhammad, Ahmad, Abdullah, atau Abdurrahman. Tetapi apa yang dia ketahui tentang Islam? Apa yang kita berikan kepada agama ini? Bahkan, saat ini kepemelukan banyak orang terhadap agama ini menjadi kepemelukan yang sifatnya teoritis, polos, dan dingin. Sehingga banyak di antara kita yang tidak memasukkan agama ini dalam objek perhatian, tujuan, dan program hidup kita.

Mungkin saya merencanakan masa depan saya, masa depan istri saya, masa depan anak-anak saya, dan masa depan pekerjaan saya. Tetapi siapa di antara kita yang membuat rencana untuk kejayaan Islam? Siapa di antara kita yang membuka hatinya untuk melihat realitas pahit dan memilukan yang dihadapi umat Islam saat ini? Siapa di antara kita yang tidak bisa tidur karena memikirkan kondisi agama ini? Siapa di antara kita yang tidur, namun hatinya selalu disergap perasaan sedih, matanya mengalirkan air mata karena melihat kondisi yang memilukan ini?

Hidup dengan Islam dan untuk Islam, itulah hakikat dari keberpihakan kepada Islam.
Islam Agama Allah

Anda harus tahu bahwa Islam adalah agama Allah. Maka ketika Alah telah melapangkan hati Anda untuk menerima Islam, lalu Anda menyerahkan diri kepada-Nya, bersaksi tidak ada sembahan yang hak selain Dia dan Muhammad adalah rasul Allah ta’ala, tanpa paksaan dari seorang pun, maka setelah itu Anda harus mengetahui bahwa Islam adalah manhaj hidup yang mengontrol seluruh hidup Anda dan Anda dalam kondisi yang sangat bahagia serta penuh keridhaan.

Konsekuensi dari Islam adalah Allah ta’ala berfirman kepada hamba, “Aku memerintahkan dan melarang,” dan hamba berkata kepada-Nya, “Saya mendengar dan menaati.” Dan sang hamba pun menyerahkan akal dan hatinya kepada Allah dan rasul-Nya, serta mengikuti jejak rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk sampai kepada kehidupan yang damai dan bahagia di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, seandainya Anda selalu mengikuti jalan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Anda akan melihat beliau sedang menunggu Anda di haudh (telaga) beliau. Sehingga Anda pun akan bahagia dan tidak pernah merasa sengsara untuk selamanya.

Hiduplah dengan Islam dan Untuk Islam

Hakikat memeluk Islam adalah hidup dengan Islam dan untuk Islam, hidup dengan perintah-perintahnya, larangan-larangannya, dan batasan-batasannya. Para sahabat radhiallahu ‘anhu benar-benar memahami hal ini. Sehingga ketika salah seorang mereka meninggalkan kekafiran dan masuk ke dalam keimanan, dia pun mengetahui dengan penuh keyakinan akan hakikat dari keberpihakannya terhadap agama ini. Oleh karena itu, semua kekuatan dan kemampuannya pun tercurahkan untuk Islam.(Bersambung Insya Allah)
sumber :http://www.facebook.com/?sk=messages&tid=1486988500524

Kamis, 16 Desember 2010

BULAN SURO BULAN SIAL ???

Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan keramat dan sangat sakral.
Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.
Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”

Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.

Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman,
”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24).
Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek. Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ’Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ’Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ’Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.

Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarkan pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ’ala Kitabit Tauhid berikut.
Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:
Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, ”Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ’alaihis salam, ”Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud [11] : 77)
Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.
Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ’dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. –Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-
Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)

Merasa Sial dengan Waktu Tertentu
Inilah tinjauan kedua kita yaitu merasa sial dengan waktu tertentu.
Merasa sial biasa muncul ketika seseorang mendapatkan bencana atau musibah. Ketika terjadi seperti ini barulah dia mengatakan, ”Waduh! Bencana ini karena kesialan dari Si A atau kesialan pada bulan ini.” Itulah yang dicontohkan oleh Fir’aun. Ketika dia mendapatkan bencana barulah dia mengatakan bahwa ini semua disebabkan oleh Musa. Artinya Musa-lah yang mendatangkan kesialan. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini.
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]: 131)
Perhatikanlah ayat di atas. Ketika Fir’aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah lalu mensyukuri-Nya.
Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.
Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala mereka ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).
Lihatlah pada penutup Al A’rof ayat 131 di atas. Terakhir, Allah Ta’ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka sebenarnya adalah ketetapan dari Allah.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, ahli tafsir Qur’an, mengatakan: maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari ketetapan Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A’raaf ayat 131)
Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab yang kami ceritakan di atas. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.
Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912.)
Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yan g terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan. Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza waJalla
”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)


Sumber : www.ruysho.com

Selasa, 07 Desember 2010

Beberapa Keutamaan dan Peristiwa di Bulan Muharram

a. Bulan Haram
Muharram, yang merupakan bulan pertama dalam Kalender Hijriyah, termasuk diantara bulan- bulan yang dimuliakan (al Asy- hurul Hurum). Sebagaimana firman Allah Ta’ala : "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram." (Q.S. at Taubah :36).
Dalam hadis yang dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam bersabda :
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada keempat bulan ini Allah melarang kaum muslimin untuk berperang. Dalam penafsiran lain adalah larangan untuk berbuat maksiat dan dosa. Namun bukan berarti berbuat maksiat dan dosa boleh dilakukan pada bulan-bulan yang lain.

Sebagaimana ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita menjaga Shalat Wustha, yang banyak ahli Tafsir memahami shalat wustha adalah Shalat Ashar. Dalam hal ini, shalat Ashar mendapat perhatian khusus untuk kita jaga. Firman Allah : "Peliharalah segala shalat mu, dan peliharalah shalat wustha" (Q.S. al Baqarah :238) Nama Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Maka kembali pada permasalahan yang telah dibahas sebelumnya, hal tersebut bermakna pengharaman perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah memiliki tekanan khusus untuk dihindari pada bulan ini.
b. Bulan Allah
Bulan Muharram merupakan suatu bulan yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah) sebagaimana yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam bersabda : , dalam sebuah hadis. Hal ini bermakna bulan ini memiliki keutamaan khusus karena disandingkan dengan lafdzul Jalalah (lafadz Allah). Para Ulama menyatakan bahwa penyandingan sesuatu pada yang lafdzul Jalalah memiliki makna tasyrif (pemuliaan), sebagaimana istilah baitullah, Rasulullah, Syaifullah dan sebagainya.
Rasulullah bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bula Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (H.R. Muslim)

c. Sunnah Berpuasa
Di bulan Muharram ini terdapat sebuah hari yang dikenal dengan istilah Yaumul 'Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan ini. Asyuro berasal dari kata Asyarah yang berarti sepuluh.
Pada hari Asyuro ini, terdapat sebuah sunah yang diajarkan Rasulullah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam bersabda kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro. Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut, diantaranya :
1.Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam, bersabda :
“ Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Ibnu Abbas ra berkata :
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam bersabda : , berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
3. Ibnu Abbas ra berkata :
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari‚ Asyura, maka Beliau bertanya : "Hari apa ini?. Mereka menjawab :“ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda :
"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“ Maka beliau nerpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. (H.R. Bukhari dan Muslim).
4.Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas ra berkata :
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam. berpuasa pada hari asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) berkata : "Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“ (H.R. Bukhari dan Muslim). Imam Ahmad dalam musnadnya dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, Rasulullah saw. bersabda : "Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ Selain hadis-hadis yang menyebutkan tentang puasa di bulan ini, tidak ada ibadah khusus yang dianjurkan Rasulullah untuk dikerjakan di bulan Muharram ini.

Bagaimana Berpuasa di bulan Asyura?

Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad –berdasarkan riwayat-riwayat yang ada menjelaskan:
- Urutan pertama, dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11)
- Urutan kedua, puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits
- Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
Puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11) dikuatkan para para ulama dengan dua alasan sebagai berikut :
1. Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10)
2. Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal 9 dan 10, dinyatakan jelas dalam hadis pada akhir hidup beliau sudah merencanakanryang shahih, dimana Rasulullah untuk puasa pada tanggal 9. hanya saja beliau meninggal sebelum melaksanakannya. Beliau juga memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja, sebagian ulama memakruhkannya, meskipun pendapat ini tidak dikuatkan sebagian ulama yang lain.
Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah saw untuk melakukan puasa,sekalipun itu hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah, dan tetunya kita berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin.
d. Diantara Peristiwa di Bulan Muharram
Pada tanggal 10 Muharram 61H, terjadilah peristiwa yang memilukan dalam di sebuah tempatr cucu Rasulullah tsejarah Islam, yaitu terbunuhnya Husein yang bernama Karbala. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan “Peristiwa Karbala”. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh pendukung Khalifah yang sedang berkuasa pada saat itu yaitu Yazid bin Mu’awiyah, meskipun sebenarnya Khalifah sendiri saat itu tidak menghendaki pembunuhan tersebut.
Peristiwa tersebut memang sangat tragis dan memilukan bagi siapa saja yang mengenang atau membaca kisahnya, , dan kita tentu mencintai dan apalagi terhadap orang yang dicintai Rasulullah memuliakannya. Namun musibah apapun yang terjadi dan betapapun kita sangat , hal itu jangan sampai membawa kita larut dalamrmencintai keluarga Rasulullah kesedihan dan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai bentuk duka dengan yangrmemukul-mukul diri, menangis apalagi sampai mencela shahabat Rasulullah tidak termasuk Ahli Bait (keluarga dan keturunan beliau). Yang mana hal ini biasa dilakukan suatu kelompok syi'ah yang mengaku memiliki kecintaan yang sangat tinggi terhadap Ahli Bait (Keluarga Rasulullah), padahal kenyataanya tidak demikian.
e. Adat Istiadat di Tanah Air
Pada awal Muharram, yang sering dikenal dengan istilah 1 Suro, di tanah air sering diadakan acara ritual dan adat yang beraneka macam bahkan tidak jarang mengarah pada kesyirikan, seperti meminta berkah pada benda-benda yang dianggap keramat dan sakti, membuang sesajian ke laut agar Sang Dewi penjaga laut tidak marah dan lain sebagainya. Hal-hal semacam ini harus dihindari oleh setiap muslim dimanapun mereka berada.
telah mengajarkan pada kita agarrRasulullah memiliki jati diri sebagai seorang Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah. Ajaran yang dibawa Rasulullah telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya.
Karena sebaik-baik pedoman adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, yang tidak ada keselamatan kecuali dengan berpegang kepada keduanya dengan mengikuti pemahaman para sahabat, tabi'in dan penerus mereka yang setia berpegang kepada sunnahnya dan meniti jalannya, adapun hal-hal baru dalam masalah agama adalah sesat sedangkan kesesatan itu akan menghantarkan ke neraka, wal'iyyadzubillah
sumber:http://ypwi.or.id

Senin, 06 Desember 2010

CERDAS BERIBADAH


Cerdas. Sebuah kata yang begitu lazim di telinga kita. Ketika mendengarnya,membacanya, maka mungkin kesan yang akan muncul di benak kita adalah dunia pendidikan. Demikanlah. Karena memang, kecerdasan -terkadang- identik dengan prestasi.

Tetapi, yang akan kami bahas di sini, bukanlah makna ”cerdas” dalam aspek di atas. Melainkan, makna ”cerdas” dalam perspektif yang lebih besar. Ya, bahkan dalam perkara yang teramat penting. Perkara yang dengannya kita diciptakan olehNya. Kecerdasan dalam beribadah.

Marilah kita simak. Semoga kami, Anda dan siapa pun yang membacanya memperoleh faidah.

Bahwa kita diciptakan untuk beribadah, itu tentu sudah pasti. Namun apakah setiap orang yang rajin beribadah akan serta merta dikatakan telah cerdas beribadah?. Rasanya tidak ada jawaban yang tepat untuk menjawabnya kecuali : Tidak! Kerajinan beribadah tentu saja tidak identik dengan kecerdasan beribadah. Seab banyak orang meletihkan dan melelahkan dirinya untuk “sekedar” –seperti sangkaan mereka– menumpuk berbagai ibadah. Seperti pengembara yang menempuh perjalanan dengan memanggul sebuah kantong yang isinya tak lebih dari bermilyar-milyar pasir. Tak berguna.

Betapa seringnya kita dibuat kagum ketika membaca betapa tidak letih - letihnya orang – orang shaleh (salaf) terdahulu menunjukkan penghambaan mereka. Kisah mereka bagai dongeng saja. Lalu kita pun secara serta merta selalu ingin meniru mereka. Persis. Tanpa melakukan perhitungan yang cerdas. Bila mendengarkan bahwa Imam Ahmad –misalnya- mengerjakan shalat sunnat 200 raka’at dalam satu hari, maka kita pikir kita pun seharusnya melakukan hal yang sama. Bila membaca bahwa seorang ’Atha Bin Abi Rabah radhiallahu ’anhu -misalnya- tidur di masjid selama 20 tahun lamanya, kita pun menganggap bahwa untuk menjadi shaleh kita harus pula demikian.

Begitulah seterusnya. Kita berputar dalam lingkaran kekaguman yang membuat kita tidak melihat dan menyimpulkan secara tepat. Kita tidak coba untuk merenungkan bagaimana mereka mengalami proses perjuangan meundukkan nafsu hingga dapat melakukan itu semua. Kita idak pikirkan tentang keistiqamahan dan konsistensi mereka menjalankan itu semua. Kita tidak pikirkan bahwa untuk ke puncak itu, mereka harus melewati sebuah niat yang lurus, tulus dan kuat. Bahwa kita butuh melihat konsistensi kita. Kita lupa bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam mengatakan : ”Sebaik-baik amalan adalah yang sedikit namun berkelanjutan”.

Maka di penghujung jalan, kita pun mengalami kemunduran, kejemuan dan keletihan. Setelah mengerjakan 200 raka’at di hari pertama, mungkin di hari-hari esoknya tak satu raka’at pun yang tertegakkan. Sebab jiwa kita trauma, ia letih. Syukur-syukur jika ia tidak membenci shalat sunnat itu.

Namun demikianlah, kita harus cerdas dan pandai mengukur diri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak pernah membebani jiwa manapun bila tidak sesuai kemampuannya.
Ada banyak cahaya kecerdasan beribadah yang terwariskan kepada kita. Salah satunya adalah kisah yang dialami oleh sahabat nabi yang mulia, namanya Tamim Ad-Dary radhiallahu ’anhu.
Seorang pria pada suatu ketika mengunjunginya. Tujuannya hanya satu. Ingin mengetahui bagaimana Tamim Ad-Dary menyelesaikan ayat demi ayat dalam al-Qur’an.
”Barapa banyakkah wirid dan ayat Anda baca setiap harinya?” tanya pria itu membuka percakapan mereka.

”Hmmm, barangkali engkau ini termasuk orang yang membaca al-Qur’an di malam hari, lalu di pagi harinya ia kemudian mengatakan kepada orang lain : ’Malam ini aku telah membaca al-Qur’an”. Sungguh demi Allah, wahai saudaraku, bila aku mengerjakan shalat tiga raka’at saja di malam itu jauh lebih aku senangi daripada menyelesaikan al-Qur’an dalam satu malam namun di pagi harinya aku kemudian menceritakanya kepada orang lain”, jawab Tamim Ad-Dary.

Nampaknya pria itu kemudian sedikit agak emosi mendengar jawaban Tamim Ad-Dary. Ia hanya terkejut saja menyimak jawaban itu. Maka ia berujar, ”Ah, kalian para sahabat nabi, seharusnya yang masih hidup dari kalian ini diam saja dan tidak usah berbicara. Kalian justru tidak mau mengerjakan ilmu kalian, malah kalian justru menyalahkan orang yang bertanya pada kalian!”.

”Jangan salah paham, saudaraku. Sekarang apakah engkau mau kujelaskan suatu hal yang mungkin tidak engkau pahami?”, tanya Tamim Ad-Dary dengan sedikit lembut.
”Cobalah engkau renugnkan”, lanjut Tamim. ”Jika saja aku ini seorang mu’min yang kuat dan engkau adalah seorang mu’min yang lemah, lalu engkau berusaha membawa bebanku dengan segala kelemahanmu, hingga akhirnya engkau kemudian tidak sanggup memikulnya. Menurutmu, apakah yang akan terjadi? Engkau hanya akan mengalami sebuah kejemuan dalam beribadah. Demikan pula sebaliknya. Engkau seorang mu’min yang kuat dan aku yang lemah ini mencoba memikul bebanmu. Tentu aku akan mengalami sebuah kejemuan pada akhirnya.

Maka, saudaraku, berikanlah sesuatu yang sesuai batas dirimu untuk dien ini, dan ambillah dari dien ini apa yang engkau mampu untuk melaksanakannya secara perlahan. Hingga akhirnya kelak engkau dapat istiqamah dan konsisten mengerjakan ibadah yang mampu engkau tegakkan”.

Sebuah nasehat yang bijak. Sederhananya adalah kita bercita-cita menggapai surga tertinggi, Firdaus, dan dalam meniti jalan ke sana kita melaluinya dengan kesederhanaan yang berkualitas. Kesederhanaan yang dapat membuat kita istiqamah dan langgeng dalam penghambaan kepadaNya. Mengerjakan yang kecil. Dan mulai sejak sekarang. Bukankah rasul kita yang mulia, -sekali lagi- Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam berkata : ”Sebaik-baik amalan adalah yang berkelanjutan meskipun sedikit?. Inilah inti ibadah yang cerdas. Maka pahamilah, saudaraku !!.


Sumber :Perindu-Perindu Malam, karya Abul Miqdad Al Madany. Mujahid Press.

Minggu, 05 Desember 2010

PESTA TASYAKURAN (PERAYAAN) SYIAH ATAS “Kebinasaan Ibunda Kaum Mukminin Aisyah rodiallohu ‘anha dalam Api Neraka


Dilaporkan Oleh: Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi hafidzahullah


Pada tanggal 17 Ramadhan 1431 H yang lalu, di saat kaum muslimin di seluruh penjuru dunia menyibukkan diri untuk beribadah di bulan Ramadhan yang mulia, guna mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ibadah dan ketaatan yang paling dicintai seperti shalat dan puasa, umat Islam dikejutkan dengan adanya perayaan besar yang dilakukan oleh masyarakat Syi’ah Dua Belas Imam di London, Inggris. Acara keji itu dipimpin oleh sejumlah ulama Syi’ah dari berbagai negeri Arab dan non-Arab yang dikepalai oleh Yasir al-Habib. Perayaan itu dilakukan untuk memperingati “kebinasaan” ‘Aisyah di dalam api neraka –wal’iyadzu billah-. Untuk pertama kalinya Syi’ah berani secara terang-terangan melakukan perbuatan nista tersebut. Dahulu mereka melakukan taqiyah yang itu merupakah aqidah suci dalam agama mereka.
Perayaan tersebut berupa penyampaian pidato dan pembacaan sya’ir-sya’ir dalam mengkafirkan, serta melaknat ibunda kaum mukminin ‘Aisyah rodiallohu ‘anha. Adalah Yasir al-Habib menyampaikan sambutannya di tengah kehadiran banyak orang yang mayoritas mereka mengenakan pita merah, dan sebagian mereka dengan baju merah sebagai kiasan bahwa Ibunda ‘Aisyah rodiallohu ‘anha berada dalam neraka Jahannam. Kemudian Yasir al-Habib mulai menyampaikan sambutannya dengan menegaskan bahwa ‘Aisyah adalah musuh Allah dan Rasul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dia menyatakan bahwa sulit baginya untuk menghitung kejahatan-kejahatan ibunda ‘Aisyah rodiallohu ‘anha terhadap hak Islam dan kaum muslimin. Yang paling keji dari kejahatan-kejahatan tersebut adalah bahwa dia telah membunuh Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan racun, turut serta dalam melawan ‘Ali bin Abi Thalib rodiallohu ‘anhu, memberontak dan memeranginya, menyakiti penghulu wanita dunia, Fathimah rodiallohu ‘anha hingga membuatnya menangis, serta kegembiraannya dengan syahidnya Fathimah, dan Amirul Mukminin ‘Ali rodiallohu ‘anhu; melempari jenazah al-Hasan rodiallohu ‘anhu dengan busur-busur panah, penyebab terbunuhnya tiga puluh ribu kaum muslimin, mengotori sirah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan hadits-hadits palsunya, tuduhan kejinya terhadap Mariah al-Qibthiyyah. Selain itu mereka (orang-orang yang beragama syiah itu) menuduh ‘Aisyah rodiallohu ‘anha sebagai orang yang kurang adab, dan berlisan kotor, dan termasuk orang-orang nista lagi fasiq.

Kemudian setelah berbagai tuduhan kotor tersebut, orang hina (Yasir yang zindiq) ini menegaskan dan menetapkan bahwa ‘Aisyah sekarang berada dalam api neraka, bahkan tidak hanya sekedar dalam neraka, bahkan dia bersumpah atas nama Allah, bahwa ‘Aisyah sekarang berada dalam dasar neraka Jahannam, dalam keadaan tergantung kedua kakinya, memakan bangkai, dan tubuhnya sendiri. Semua itu menurutrnya berdasarkan kandungan al-Qur`an dan sunnah. Mudah-mudahan laknat Allah dan seluruh manusia atasnya.

Pada penutupan sambutannya, dia mengajak kepada kaum muslimin untuk shalat dua rakaat sebagai bentuk syukur kepada Allah atas “binasanya” ummul mukminin –yang dia sebut ummul mujrimin/ ibunda para penjahat- , serta pindahnya dia kepada adzab pedih lagi kekal di dalam neraka jahannam. Dia juga mengajak kaum mukminin, setelah shalat tersebut, untuk meminta segala kebutuhan mereka kepada Allah, dan segala kebutuhan tersebut akan dipenuhi dengan kelembutan Allah subhanahu wa ta’ala, dan syafa’at Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, serta ahlul bait beliau yang suci ‘alaihimusshalatu wassalam.

Selain itu pembaca yang beriman, pada acara itu telah digantungkan sebuah spanduk besar bertuliskan “Binasanya ‘Aisyah di Dalam Neraka”, dan pada sisi yang berhadapan dengannya digantungkan spanduk bertuliskan “Kebahagiaan al-Husain ‘alaihi salam”, dimana kedua sepanduk tersebut, dengan segala kekejian, dinaikkan untuk menyampaikan ucapan kotornya terhadap Ibunda kita ‘Aisyah –mudah-mudahan Allah meridhainya dan membuatnya ridha.

Perayaan tersebut telah disiarkan secara live oleh sebagian siaran Syi’ah dengan penuh suka cita dan bahagia dengan adanya perayaan besar tersebut. Di sela-sela perayaan jahat itu, disamping melaknat Ummul Mukminin, ditambahkan pula melaknat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan para sahabat besar lainnya –mudahan-mudahan Allah meridhai mereka semua.

Sungguh, sebelumnya kami mengira bahwa pada tanggal 17 Ramadhan tersebut mereka merayakan kemenangan kaum muslimin atas orang-orang musyrik dalam peperangan Badar, akan tetapi kami dikejutkan bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang kafir telah selamat dari lisan-lisan mereka, karena dialihkan untuk melaknat wanita suci, lagi disucikan dari langit ketujuh. Dimana Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan tentangnya sepuluh ayat dalam surat an-Nur (24) yang menjelaskan sucinya ‘Aisyah dari tuduhan orang-orang munafik. Kemudian datanglaah orang-orang zindiq itu dengan mengatasnamakan cinta kepada ahlul bait, menuduh kehormatan ummul mukminin ‘Aisyah rodiallohu ‘anha yang suci, dan menyakiti Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam melalui pelecehan mereka terhadap istri yang paling beliau cintai. Mereka dengan lantangnya mengatakan bahwa Istri Nabi yang tercinta itu telah kafir, dan murtad, serta berada dalam dasar neraka Jahannam!!

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا (٥٧)

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. Al-Ahzab (33): 57)

Wahai bangsa Indonesia, wahai bangsa Malaysia, wahai umat Islam, istri kekasih kalian, al-Mushthafa Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam telah dihinakan sementara kalian semua diam??!!!

Sesungguhnya, saya mengatakannya dengan jujur kepada seluruh ulama dan awamnya kaum muslimin, jika kita tidak melakukan sesuatu maka sesungguhnya kita telah ikut serta dalam kejahatan tersebut. Maka wajib bagi kita memiliki peran dalam membela Ibunda kita, kekasih Nabi kita shollallohu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing sesuai dengan kemampuan, kedudukan dan jabatannya. Hendaknya semua tahu bahwa kita akan berdiri di hadapan Allah subhanahu wa ta’lala,
Sumber: http://qiblati.com/pesta-tasyakuran-syiah.html

Kurang Kerjaan, Syaikh Qardhawi Puji Qatar Jadi Tuan Rumah Piala Dunia

Seorang ulama Islam terkemuka mengatakan bahwa dirinya sangat gembira bahwa Qatar berhasil mengalahkan Amerika Serikat untuk memperebutkan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama terkemuka tersebut mengatakan hal itu kepada para jamaah di Doha bahwa ia "penuh dengan rasa sukacita" setelah badan sepak bola FIFA resmi memilih Qatar pada Kamis lalu menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 mengalahkan AS dan tiga kandidat negara lainnya.

Khutbah Jumat Syaikh Al-Qardhawi tersebut langsung dikutip oleh koran-koran Qatar Sabtu lalu.

Ulama terkemuka ini mengatakan Qatar berhasil merendahkan Amerika Serikat, yang ia klaim berusaha untuk mendominasi setiap aspek dari urusan dunia. Syaikh Al-Qardhawi dianggap sebagai ulama "moderat" oleh sebagian kalangan.

Presiden Barack Obama sendiri mengatakan pemilihan Qatar sebagai Tuan Rumah Piala Dunia 2022 adalah "keputusan yang salah."

Namun para pemimpin Arab menyebut terpilihnya Qatar merupakan sebuah langkah terobosan yang akan mengubah persepsi orang terhadap Timur Tengah.

Namun ada yang harus menjadi catatan, perlehatan piala dunia di Qatar tidak akan merubah apapun persepsi barat terhadap negara-negara Islam dan Islam itu sendiri. Dan komentar Syaikh Al-Qardhawi terkait piala dunia, merupakan komentar yang tidak perlu dari seorang ulama terkenal seperti dirinya, karena masih banyak hal-hal urgensi yang lebih layak untuk dikomentari oleh seorang ulama seperti Syaikh Qardhawi daripada memuji Qatar menjadi tuan rumah piala dunia. Wallahu a'lam.(fq/abc).http://www.eramuslim.com/berita/dunia/kurang-kerjaan-syaikh-qardhawi-puji-qatar-jadi-tuan-rumah-piala-dunia.htm

Sabtu, 04 Desember 2010

AGAR TIDAK SEKEDAR TOPENG


Namanya suku badui. Sebuah komunitas yang mendiami gurun pasir dan pedalaman di semenanjung Arabiyah. Sejak dulu hingga hari ini. Kebanyakan mereka, utamanya yang hidup di gurun, hidup tidak menetap. Berpindah mencari tempat kondusif bagi ternak gembalaannya. Demikianlah, hingga alam berandil membentuk tabiat mereka. Keras dan tak kenal basa-basi. Atau, kalau istilah sederhananya, kurang beradab.

Walau demikian, mereka juga memiliki sifat-sifat mulia yang jauh mengungguli komunitas manapun. Memuliakan tamu, kejujuran, keberanian, serta prinsip hidup apa adanya dan tidak mengenal topeng kepalsuan. Itu sebabnya, dulu, biasanya bangsa Arab kota yang tinggal di Mekkah mengirim anak-anak mereka ke kampung-kampung badui, dan tinggal dalam asuhan seorang ibu angkat. Di sana mereka mendalami bahasa Arab fushha (yang benar) serta hal-hal yang berkaitan dengan hakikat hidup.

Prinsip apa adanya dan jauh dari topeng kepura-puraan… Yah, ini salah satu sifat luhur mereka yang lahir dari kepolosan jiwa. Kendati dalam pandangan orang mereka kurang beradab. Namun di sisi lain, ia adalah manifestasi kejujuran hati. Makanya, Nabi SAW tidak pernah marah terhadap perlakuan mereka. Disebutkan dalam sebuah riwayat, seorang Arab badui datang dan menarik selempang Nabi hingga menggoret bekas di leher beliau. Tanpa basa-basi, ia meminta harta zakat. Nabi tersenyum, lalu memerintahkan seorang sahabat menunaikan kebutuhannya. Ini karena beliau paham benar tabiat mereka. Polos dan tanpa topeng kepura-puraan.

Intinya, bahwa mereka kaum badui itu, tidak pernah memaksa diri tampil berbeda. Apa yang mereka zahirkan, begitulah yang mereka yakini. Kendati tidak semua dibenarkan oleh syari’at dan ‘urf (kebiasaan). Dan kami tidak hendak mengajak anda berprilaku serupa badui-badui itu. Sama sekali tidak. Prilaku beradab dan santun yang ditopang oleh jiwa yang tulus, merupakan perkara yang wajib diupayakan. Karena ia adalah seruan seluruh ajaran samawi.

Lantas bagaimana dengan kita…?! Justru dalam hidup ini kita banyak menggunakan topeng untuk menutupi identitas jiwa kita. Ibaratnya, seperti pagelaran topeng di atas pentas. Saking banyaknya topeng itu, kadang kita tidak lagi mengenal diri kita sendiri. Kita memakai topeng kebijaksanaan, padahal hati kita kerdil. Kita mengenakan topeng keshalihan sementara jiwa kita beku. Lalu kita sibuk menyitari diri di balik topeng-topeng itu, sementara terhadap tatapan sang Khalik kita lengah. Duhai, adakah kita yang tersindir oleh firman Allah Ta'ala: “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah mengetahui mereka…”. (Qs. An-Nisaa:108).

Begitulah... Namanya juga topeng. Dan hakikat sebuah topeng itu adalah menutupi keadaan sebenarnya. Hmm, sesuatu yang menggelitik tanya, entahlah, apa ada ya, orang yang memakai topeng keburukan untuk menutupi hatinya yang bersih?! Kalau pengakuan sih banyak. “Biar tampil kayak begini (seksi), yang penting kan hatinya…”, begitu kira-kira yang sering kita dengar. Wallahu a’lam. Sepengetahuan kami, kebanyakan, topeng itu selalu dikonotasikan untuk menutupi keburukan. Karena tabiat manusia itu suka tampil menawan. Jadi kalau ada yang tetap nekat memakai topeng keburukan, yah, seperti itulah kita menilai. Adapun urusan hatinya, kita serahkan saja pada Yang di Atas.

Ah, aku juga tidak mengerti, apakah terjadi secara kebetulan atau tidak. Katanya, "kepribadian" dalam bahasa Inggris itu disebut personality. Akar kata dari bahasa latin, yakni persona yang bermakna topeng. Apa memang, bahwa kepribadian itu identik dengan topeng?! Semoga saja tidak. Sebab masih banyak orang-orang yang memiliki kepribadian mulia. Lahir dan hati mereka tetap seiring sejalan.

Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang pada tubuh-tubuh kalian, dan tidak pula wajah-wajah kalian. Akan tetapi, Dia melihat pada hati dan amal kalian”. (HR. Muslim). Iya, sebab wajah dan tubuh manusia itu kadang hanya sebuah topeng. Jauh dari hakikat sebenarnya dan berseberangan dengan apa yang tersimpan dalam dasar hati. Sedang inti dari sabda nabi ini, adalah ajakan berlaku ikhlas serta menyelaraskan antara apa yang lahir dengan sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa.

Jangan sampai zahir diri menyelisihi hakikat jiwa. Atau, amal kita mendustai niat hati. Duhai, celakanya amal shalih itu jika ternyata hanya sebuah topeng. Makanya seorang sahabat, Mu’awiyah bin Abi Sofyan ra sampai jatuh pingsan kala mendengar hadits tentang tiga orang yang pertama dihisab pada hari kiamat kelak, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim... Mereka adalah seorang yang dinilai mati syahid, seorang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya, serta seorang dermawan. Ketiganya dihadapkan kepada Allah, lalu masing-masing diingatkan akan nikmat-nikmat Allah atas mereka. Allah pun bertanya: “Apa yang kalian lakukan untuk menyukuri nikmat-nikmat tersebut?”

Orang yang dinilai mati syahid berkata: “Aku berperang membela agamaMu hingga mati syahid”. Yang kedua menjawab: “Aku mempelajari al-Quran, mengajarkan pada manusia, dan membacanya karena-Mu”. Sang dermawan tak mau ketinggalan: “Tiap aku mendapat jalan kebaikan yang Engkau senangi agar aku nafkahkan hartaku, aku segera infakkannya karena-Mu”.

Allah Ta’ala pun menimpali: “Kalian dusta. Engkau berperang agar dikatakan sebagai pemberani. Sedang engkau mempelajari al-Qur’an agar dikatakan sebagai alim lalu membacanya supaya dibilang qori’. Adapun engkau, engkau berinfak agar supaya dikatakan sebagai dermawan. Dan masing-masing kalian telah mendapatkan pujian itu di dunia”. Lantas ketiganya diseret atas wajah mereka lalu diceburkan ke dalam neraka.

Wal’iyadzubillah… sangat disayangkan, amal-amal mereka itu ternyata hanya sebuah topeng untuk menutupi niat sesungguhnya. Padahal yang mereka lakukan bukan amal biasa. Tapi amal luar biasa yang zahirnya dapat melejitkan derajat pelakunya dalam surga. Olehnya, Ibnul ‘Arabi mewasiatkan: "Orang yang paling rugi, ialah yang menzahirkan amal-amal shalihnya kepada manusia dan menunjukkan keburukannya kepada Allah yang lebih dekat dari urat lehernya". (Syu’ab al-Iman, al-Baihaqi, no. 6987).

Aku sempat menyimak sebuah ungkapan sederhana namun menyentak dari seorang Didik Nini Towok dalam acara Talkshow Kick Andi beberapa waktu lalu: “Hidup ini adalah topeng. Semua kita memakai topeng. Hanya satu tempat dimana kita tidak lagi bertopeng…, di sana, di hadapan Sang Maha Kuasa”. Aku teringat firman Allah dalam al-Thariq ayat 8-9 : “Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (sesudah mati). Pada hari seluruh rahasia akan dinampakkan”. Yah, semua akan tersibak. Tak ada lagi topeng-topeng kepalsuan

http://www.facebook.com/note.php?note_id=479814278500

Rappung Samuddin

Makassar, 4 Desember 2010

Awalnya penasaran,Akhirnya Ketagihan

Banyak pintu menuju maksiat, bertebaran pula para penjaja dosa yang mengumbar janji-janji kenikmatan. Tak hanya membuat betah para durjana untuk mengulangi dosa, tapi juga mengundang hasrat orang yang baru ngedrop iman tergiur untuk mencicipinya.

Awalnya Penasaran Lalu Coba-coba Pada dasarnya, manusia lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah untuk menjadi hamba bagi Penciptanya dan tunduk dengan aturan-aturan-Nya, naluri untuk menghindar dari maksiat dan dosa. Lantas kapan manusia mulai ‘menikmati’ dosa? Masing-masing tentu memiliki pengalaman yang berbeda, baik dari sisi waktu, faktor pemicu, maupun jenis dosa yang pada gilirannya menjadi kebiasaan dalam hidupnya.

Tak hanya oleh orang yang belum tahu, dosa tak jarang dilakukan oleh orang yang sudah mengerti hukum, juga paham tentang perkara yang dilarang oleh agama. Rasa penasaran lantaran belum pernah melakukan, sering menjadi awal dari dosa. Rasa penasaran itu bisa lahir dari bisikan nafsu yang terus ‘dikompori’ oleh setan, dan atau berpadu dengan banyaknya iming-iming dari luar. Penasaran seperti apa rasanya ‘ngefly’ oleh minuman khamr, lezatnya makan daging babi dan nikmatnya kemaksiatan lain seperti zina dan berjudi.

Sementara di luar, setan terus memberikan rangsangan. Menggambarkan kenikmatan dosa melalui gambar yang terpampang, film-film yang tertayang dan cerita-cerita yang tersebar. Hal ini semakin menguatkan nafsu orang untuk menjajalnya. Setanpun mulai memanfaatkan peluang. Dia berusaha menepis berbagai keraguan, menyingkirkan sensor-sensor keimanan yang masih tersisa di hati dan pikiran calon korbannya. Mungkin dengan memberi pengharapan masih adanya kesempatan untuk bertaubat, atau memberikan alibi yang terkesan masuk akal. Seperti ketika Adam penasaran terhadap pohon yang dilarang untuk didekati, maka Setan datang dengan membawa jawaban yang menyesatkan, meski sekilas tampak logis dan seakan ia berada pada pihak yang membela Adam,

“Dan Setan berkata, “Tuhan kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam Jannah)”. (QS. al-A’raaf 19)

Begitulah, setan akan mencarikan seribu alasan ‘logis’ agar manusia tak ragu untuk mencicipi dosa. “Mumpung masih muda, toh hanya sekali, masih ada waktu untuk taubat, tak ada orang yang tahu, yang penting niatnya baik, cukup diambil manfaatnya, jangan hanya melihat sisi buruknya…” dan seabrek polesan yang membuat akal tersihir dan hati menjadi terlena, hingga akhirnya manusia termakan oleh propaganda setan, nas’alullahal ‘aafiyah.

Terkadang setan memanfaatkan peluang kebosanan seseorang dalam menjalani aktivitas kehidupan. Sasarannya adalah mereka yang belum merasakan kenikmatan ibadah meski telah menjalankannya, atau orang yang tidak membenci dosa meskipun belum mencicipinya. Lalu setan datang untuk ‘menasihatinya’, “Kamu tidak merasakan nikmatnya ibadah karena jalan hidupmu datar-datar saja. Coba kalau kamu menjadi ahli maksiat terlebih dahulu, seperti si fulan atau fulanah, pasti setelah taubat kamu akan merasakan manisnya keimanan..!” Tampak logis, berpihak dan berlagak sebagai penasihat yang bijak. Padahal, itu tak lebih dari perangkap, yang seandainya seseorang masuk ke dalamnya, sulit baginya untuk keluar.

Tatkala dorongan nafsu semakin kuat, pengaruh akal melemah, sementara dalih juga telah disiapkan, mulailah seseorang untuk mencoba mencicipi dosa. Satu langkah setan telah diikuti, sulit bagi si korban untuk kembali kecuali yang dirahmati Allah,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nuur 21)

Akhirnya Ketagihan Dosa

Sekali mencoba, pasti dia akan merasakan satu di antara dua rasa yang berbeda, meski follow up dari coba-coba ini akhirnya sama juga. Mungkin ia tidak merasakan nikmat sebagaimana yang dia bayangkan sebelumnya. Ini membuatnya makin penasaran, maka dia terdorong untuk mencoba kali kedua untuk meyakinkannya. Atau sekali coba dia langsung mendapatkan rasa yang diharapkannya, maka diapun tergila-gila dan ketagihan untuk mengulanginya.

Seperti awal mula orang yang hobi berjudi. Awalnya coba-coba, siapa tahu mendapat ‘keberuntungan’. Jika ternyata menang, maka akan dijadikan sumber penghasilan, jika kalah, maka semakin penasaran untuk mencoba berulang-ulang. Harta ludes pun belum tentu menjadi alasan untuk berhenti berjudi, dia akan terus mengejar angannya meski harus dengan berhutang atau bahkan mencuri.

Dusta juga begitu. Bohong yang pertama seakan menjadi bibit unggul bagi tumbuhnya kedustaan berikutnya. Karena untuk menutupi kedustaan pertama seseorang akan melakukan dusta yang kedua, ketiga, keempat dan begitu seterusnya.

Apalagi dosa zina. Tidak mudah orang berhenti dari perbuatan keji ini jika terlanjur mencobanya. Karena ketagihannya itulah, maka hukuman bagi pezina di akhirat sangat sesuai dengan karakter mereka di dunia. Ibnul Qayyim al-Jauziyah menuturkan,

“Ketahuilah bahwa balasan itu berbanding lurus dengan perbuatan. Hati yang telah terpaut dengan sesuatu yang haram, setiap kali dia berhasrat untuk meninggalkan dan keluar darinya, pada akhirnya kembali ke dosa semula.

Begitu pula dengan balasan baginya di barzakh maupun di akhirat. Pada sebagian riwayat hadits Samurah bin Jundub yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda,

‘Suatu malam aku bermimpi ada dua orang yang mendatangiku, lalu keduanya mengajakku keluar, maka akupun beranjak bersama keduanya. Ternyata aku melihat ada sebuah rumah yang dibangun seperti tungku, bagian atas sempit dan bagian bawahnya luas, sedangkan di bawahnya ada nyala api. Di dalam bangunan tersebut ada kaum laki-laki dan perempuan yang telanjang. Ketika api dinyalakan merekapun berusaha naik ke atas hingga hampir-hampir mereka keluar. Jika api redup merekapun kembali ke tempat semula. Sayapun bertanya: “Siapakah mereka?” Dia menjawab: “Mereka adalah para pezina.”

Maka perhatikanlah kesesuaian hadits ini dengan kondisi hati para pezina di dunia. Setiap kali mereka berkeinginan untuk bertaubat dan berhenti darinya, serta keluar dari tungku syahwat menuju kesejukan taubat, ternyata kandas dan mereka kembali lagi padahal hampir saja mereka keluar darinya.”

Tak terkecuali dosa-dosa yang lain, pada dasarnya dosa adalah bibit bagi dosa berikutnya, baik dengan jenis yang sama atau bahkan melahirkan dosa-dosa baru yang berbeda jenisnya. Hingga ada kaidah yang populer di kalangan ulama,

إِنَّ مِنْ عَقُوْبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهاَ
Sesungguhnya, di antara hukuman bagi keburukan adalah lahirnya keburukan berikutnya.”

Menjadi Pengikut Setan yang Setia

Seperti minum air laut, makin banyak minum akan terasa semakin haus. Begitulah gambaran orang yang kecanduan dosa setelah mencoba. tatkala kecenderungan terhadap dosa makin kuat mencengkeram, ketika itu ikatan ketaatan mulai longgar dan akhirnya pudar. Tak merasa bersalah saat menelantarkan kewajiban, merasa enjoy saat menjamah kemaksiatan. Intinya, dia telah menjadi pecinta dan pendukung kemaksiatan. Satu langkah setan lagi diikuti, makin sulit pula harapan dia untuk kembali ke jalan yang lurus.

Tinggal langkah terakhir, hampir-hampir dia sudah sejenis dengan setan, atau berbuat seperti yang diperbuat oleh setan. Ketika dia menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, lalu menghasung manusia kepada kemaksiatan dan menghalangi manusia dari ketaatan, maka dia telah memiliki karakter yang sama dengan setan, kafir dan menyeru kepada kekafiran, na’udzu billah.

Itulah siklus dosa yang boleh jadi tidak disadari, dari sekedar kecenderungan dan penasaran yang diikuti dengan coba-coba, akhirnya menumbuhkan kesenangan dan cinta dosa. Akhirnya, iapun berbuat seperti yang diperbuat oleh setan,

“Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.” (QS al-An’am 113)

Maka, bersabar untuk tidak mencoba dosa, meskipun berat, itu lebih ringan daripada dia harus bersabar menghadapi beratnya dorongan nafsu setelah dosa pertama dijamahnya. Semoga Allah melindungi kita dari dosa. Amien.disalin dari www.arrisaah.net

Petaka di Balik Karuni

Melihat bencana merapi maupun tsunami, banyak yang menyimpulkan bahwa semua itu akibat dosa manusia. Ada pula yang mengatakan, itu karena dosa pemerintah yang dipenuhi pejabat korup. Kesimpulan semacam itu tidak salah karena umat terdahulu terkena bencana juga karena dosa. Tapi pertanyaannya, kalau memang bencana itu karena dosa oknum pejabat, lantas mengapa bukan mereka yang diadzab? Mengapa bencananya justru di Merapi dan mentawai yang sekian ratus kilo dari mereka?

Pertanyaan serupa juga akan muncul kalau kita melihat kehidupan orang-orang kafir. Kalau memang dosa mengundang bencana, mengapa orang-orang kafir justru tampak makin sukses dan sejahtera? Bukankah dengan segala kekufuran dan kemaksiatan yang mereka lakukan, mereka jauh lebih layak tertimpa bencana dibanding warga lereng merapi yang sebagian besar muslim?

Atau saat melihat para pengusaha yang makin cemerlang karir dan usahanya, padahal shalat, shaum dan membaca al Quran tak pernah ada dalam agenda harian mereka? atau para pelopor liberlisme yang merusak Islam luar dalam, mengapa mereka justru semakin terkenal dan dikagumi dimana-mana?

Kalau kita masih bingung dengan jawabannya, barangkali kita lupa atau lalai bahwa plot kehidupan manusia tidak selalunya persis seperti alur dalam kisah umat terdahulu; ‘Ad, Tsamud, Sodom, atau Ashabul Aikah. Berdosa, diperingatkan, membangkang lalu diadzab dan habis semuanya.

Dosa pasti ada balasannya, kecuali rahmat dan ampunan Allah menghapusnya. Tapi tidak semua dosa dibayar kontan seketika. Ada sebuah skenario dan makar dari Allah yang justru membiarkan para pendosa makin tenggelam dalam dosanya. Seperti balon yang terus ditiup agar semakin menggelembung lalu pecah dengan dahsyatnya. Itulah istidraj. Sebuah makar yang Allah timpakan atas hamba yang berpaling dari peringatan dengan cara membiarkannya berbuat dosa semaunya, memberi tenggat umur, membukakan pintu-pintu kenikmatan dunia berupa kesuksesan, limpahan rezeki bahkan diberikan tabir penutup atas kedurhakaanya. Sebuah makar yang secara perlahan tapi pasti, menyeret si pendosa menuju siksa yang melebihi segala rasa sakit yang ada di dunia.

Sebuah makar yang benar-benar mengerikan. Allah memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki, dan membiarkan sesat siapapun yang dikehendaki. Sedang orang-orang yang dibuai dengan istidraj, seakan-akanAllah memang tidak menghendaki mereka mendapat petunjuk.Bukankah rasa sayang anda akan membuat tangan menjewer telinga jika si kecil nekat melakukan tindakan berbahaya? bukan membiarkannya hingga si kecil pun celaka?

Adakah kita termasuk di dalamnya?

Untuk mengetahuinya, mudah saja. Kita simak riwayat shahih berikut ini:

DariUqbah bin amir, Rasulullah bersabda,

“إِذَارَأَيْتَاللَّهَتَعَالىيُعْطِيالْعَبْدَمِنَالدُّنْيَامَايُحِبُّوَهُوَمُقِيمٌعَلَىمَعَاصِيهِفَإِنَّمَاذَلِكَمِنْهُاسْتِدْرَاجٌ”،ثُمَّتَلاَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ: فَلَمَّانَسُوامَاذُكِّرُوابِهِفَتَحْنَاعَلَيْهِمْأَبْوَابَكُلِّشَيْءٍحَتَّىإِذَافَرِحُوابِمَاأُوتُواأَخَذْنَاهُمْبَغْتَةًفَإِذَاهُمْمُبْلِسُونَ

“Jika kamu melihat Allah terus saja memberi seorang hamba berbagai kenikmatan dunia yang disukainya, sedang hamba itu senantiasa bermaksiat kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya semua itu adalah istidraj dari Allah. Lalu Rasulullah membaca ayat:Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al An’am:44)

Ciri-ciri mustadrijin atau orang yang terjebak dalam istidraj adalah ketika nikmat terus saja menghujani, padahal maksiat tak pernah absen saban hari. “Kami kucuri mereka dengan nikmat dan kami buat mereka lupa bersyukur.” Kata Sufyan ats Tsauri. “Setiap kali melakukan kedurhakaan, kami tambah nikmat atas mereka dan kami lupakan mereka dari istighfar.” Kata Abu Rawaq.

Nikmat yang melimpah di atas dosa yang menggunung, akan menjadikan vonis di akhirat semakin berat. Sedang tenggang umur yang diberikan hanya akan memperpanjang daftar tuntutan dan mempersempit celah pembelaan.Wal iyadzub billah, semoga kita tidak termasuk di dalamnya.

Banyak yang terjebak

Meskipun al Quran dan sabda Rasul telah memberitahukan makar inidengan sangat jelas, tapi tetap saja banyak manusia yang terjebak. Sebab, kebanyakan manusia menganggap bahwa karunia dan nikmat duniawi adalah kemuliaan dari Allah, sedang ketiadaannya adalah petaka dan murka dari-Nya. Persis seperti yang digambarkan dalam ayat berikut:

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata:”Rabbku telah memuliakanku”. (QS. 89:15)

Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata:”Rabbku menghinakanku”. (QS. 89:16)

Karenanya, meskipun bermaksiat, banyak yang menyangka Allah sangat menyayanginya dengan pertanda nikmat dan karunia yang tiada putusnya. Memang, berbaik sangka pada Allah itu harus. Tapi jika kita merasa masih jauh dari sebutan hamba bertakwa, maka terhadap limpahan nikmat, selain bersyukur kita juga harus waspada. Jangan sampai terlena karena makar istidraj datang dari arah yang tidak disangka-sangka.Ulama berkata, “Setiap nikmat yang tidak membuat kita semakin dekat dengan Allah, sejatinya adalah siksa, dan segala anugerah yang memalingkan kita dari Allah hakikatnya adalah bencana.”

Al Hasan al Bashri berkata, “Orang mukmin melakukan kebaikan sembari berharap-harap cemas, sedang pendosa melakukan kedurhakaan dan merasa dirinya aman.”

Allah Ta'ala berfirman,

“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS. 68:44-45)
disalin dari :http://www.arrisalah.net/

Wallahua’lam.

Untaian Sunnah Wudhu yang Terabaikan

Oleh : Abu Shafwan Al-Munawi

Telah menjadi cita seorang muslim, untuk memperindah dan menyempurnakan ibadahnya dihadapan Allah Azza wa Jalla, yang dengan kesempurnaan itu ia akan merasa lebih khusyu' dan tenang dalam bermunajat kepada Rabbnya.
Diantara ibadah yang butuh adanya kesempurnaan dan perhatian lebih, dalam menjalankannya adalah wudhu', sebab diwaktu yang sama ia juga berperan sebagai syarat sahnya shalat seorang hamba, karena barangsiapa yang shalat tanpa wudhu', maka sudah tentu shalatnya tidak sah.
Karena pentingnya wudhu ini dalam terkabulnya ibadah seorang hamba, maka seorang muslim seyogyanya memperhatikan dan mempratekannya sesuai petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mulai dari syarat-syaratnya, ini semua tidaklah asing bagi kebanyakan muslim, sebab itu pada bahasan sederhana ini, penulis hanya mengingatkan pembaca akan sebagian sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

2. Mencuci anggota wudhu' sebanyak tiga kali
Diantar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam wudhu', adalah mencuci anggota wudhu' tiga kali selain mengusap kepala sekaligus kedua telinga yang sunnahnya Cuma satu kali. Dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ini banyak sekali, diantaraya:

Dari Humran, Maula 'Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu bahwasanya Utsman meminta air wudhu', lalu berwudhu', mencuci kedua tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur sekaligus beristinsyaq (menghidup air kedalam hidung), dan mengeluarkannya sebanyak tiga kali, lalu mencuci mukanya tiga kali, lalu mencuci tangan kanan hingga sikunya tiga kali, lalu tangan kirinya seperti itu juga, lalu mengusap kepalanya, lalu mencuci kaki kanan hingga kedua mata kakinya tiga kali, lalu kaki kirinya seperti itu juga, kemudian dia berkata : "saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu' seperti wudhu' saya ini, lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Barangisapa yang berwudhu seperti wudhu saya ini kemudian shalat dua rakaat (dengan khusyu') tanpa terbesit dalam hatiya perkara dunia, maka dosa-dosanya yang berlalu, terampuni. (HR. AlBukhori (159), dan Muslim (226))
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam pernah mencuci angota wudhu'nya sekali atau dua kali saja, sebagaiman yang disebutkan dalam Shohih Al Bukhori (no. 157 dan 158) itu beliau lakukan untuk menjelaskan bolehnya mencuci anggota wudhu' kurang dari tiga kali, namkun hal ini kadang-kadang saja, karena pada umumnya Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam mencucinya tiga kali. Dan seseorang tidaklah dilarang mencuci anggota wudhu'nya Cuma sekali, asal semua anggota wudhu'nya tersebut telah tersentuh air, namun seringnya melakukan ini merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun keutamaan shalat sunat wudhu' dalam hadits ini, penjelasannya akan ditulis diakhir bahasan ini. Insya Allah

3. Menyela-nyela jari tangan/kaki tatkala berwudhu'
Ini juga merupakan sunnah yang banyak dilalaikan oleh kebanyakan muslim dalam berwudhu', padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melakukan ini, bahkan menyuruh sahabat-sahabat beliau, dalam sabdanya :
Artinya : "Sempurnakanlah wudhu', dan hendakya engkau menyela-nyela jari (kaki/tangan) dan berlebih-lebihlah dalam Istinsyaq (menghirup air kedalam hidung)" (HR. Ahmad (3/211), Abu Daud (142), At-Tirmidzi (788), An-Nasa'i (87) dan Ibnu Majah (406) dari sahabat Laqith bin Shobarah radhiyallahu 'anhu)

Sela-sela jari tangan atau kaki termasuk bagian kulit yang sulit disentuh air wudhu' maka dengan menyela-nyela jari tersebut dengan jari tangan, ia akan tersentuh air hingga wudhu'pun menjadi sempurna, sedangkan membiarkannya tanpa tersentuh air dengan sengaja, merupakan penyebab tidak sahnya wudhu' dan harus mengulanginya. Namun, jika seorang yang berwudhu' merasa yakin bahwa sela-sela jemarinya telah tersentuh air, ia juga tetap disunnahkan menyela-nyelanya, sebagi bentuk aplikasi sunah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan jika ia tahu bahwa ada sela-sela jemarinya yang belum terkena air, ia wajib untuk menyela-nyela jari tersebut –wallahu a'lam.

4. Belebih-lebihan dalam Istinsyaq (menghirup air kedalam hidung)
Diantara manfaat istinsyaq ini, membersihkan hidung dari debu dan kotoran yang terhirup kedalamnya, yang bisa saja menyebakan berbagai penyakit, sebab itu, ia sangat bermanfaat bagi kebrsihan dan kesehatan hidung.
Inilah salah satu hikmah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang beliau nasehatkan kepada para sahabatnya :

Artinya :"Dan berlebih-lebihlah dalam berinstinsyaq kecuali jika engkau sedang berpuasa" (takhrijnya telah disebutkan sebelumnya).
Adapun sebab pengecualian beliau terhadap orang yang berpuasa, ini sebagai bentuk kehati-hatian agar air yang ia hirup kedalam hidungya tidak serta merta memasuki kerongkongan, lalu turun kelambungnya, dan akhirnya membatalkan puasanya. Wallahu A'lam.

5. Bersiwak saat berwudhu'
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

Artinya : "Seandainya saya tidak memberatkan umatku saya sungguh akan memerintahkan mereka untuk bersiwak dalm setiap berwudhu" (HR. Al Bukhari (887), Muslim (252), Malik (1481))

Inilah sunnah yang banyak terabaikan bahkan terlupakan, padahal salah satu waktu yang paling afdhol untuk bersiwak adalah saat berwudhu, sebagaimana dalam hadits diatas. Sunguh, andai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak merasa memberatkan umatnya, ia pasti akan mewajibkan hal ini, namun karena rasa kasihan beliau terhadap mereka beliaupun menjadikannya sebagai sunnah yang mustahab.
Para ulama rahimahullah telah sepakat bahwa bersiwak tatkala berwudhu dapat dilakukan sebelum, tatkala berkumur-kumur, ataupun sesudah berwudhu', namun yang menjadi khilaf diantara mereka hanyalah pada saat apakah yang lebih afdhol?

6. Mengusap bagian luar dan dalam telinga
Sebagian orang yang berwudhu', hanyalah memperhatikan salah satu dari keduanya, diantara mereka ada yang mengusap bagian dalam saja tanpa bagian luar, dan yang lainnya Cuma mengusap bagian luar, dan membiarkan bagian dalam telinga. Ini tentunya tidaklah sesuai dengan petunjuk dan tata cara wudhu' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :

Artinya : "Dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam memasukkan kedua telunjuknya kedalam dua telingaya dan mengusap kulit luar telinganya dengan kedua ibu jaringan sedangkan bagian dalam telinga dengan kedua telunjuknya" (HR. Ahmad (2.180), Abu Daud (135), dan Ibnu Majah (422).

7. Berdoa seusai berwudhu
Ini diantara sunnah yang masyhur setiap muslim mengetahui keutamaan dan pahlanya, namun betapa banyak diantara mereka yang lalai dari hal ini. Allahu Al Musta'an !! (mengenai keutamaannya yang sangat agung itu, disebutkan dalam hadits Umar radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Tidaklah salah seorang diantara kamu berwudhu' lalu dia menyempurnakanya, lalu berdoa : "Asyhadu AnLaailaahaillallahu wahdahu laa syarika lahu, wa asyhadu ana muhammadan 'abduhu warasuluh" melainkan dibukakan baginya delapan pintu syurga, ia masuk kedalamnya dari pintu mana saja yang ia kehendaki (HR. Muslim (234)).
Subhanalah, keutamaan apalagi yang lebih agung dari ini…memasuki surga Allah lewat pintu yang dikehendaki…saudaraku!!! Bergegaslah untuk meraihnya, semoga Allah menjadikan kita semua termasuk kedalam golongan ini…amin..
Adapun tambahan do'a diatas dalam Jami' At-Tirmidzi (no.55), yaitu : (Allahumma ij'alny minattawwabiina waminal mutathohirin), adalah riwayat yang lemah dan cukuplah bagi kita hadits shohih riwayat Imam Muslim diatas. Wallahu A'lam

Memperbaharui Wudhu' dan Shalat Sunnat Wudhu' setelahnya

Imam Al Bukhari rahimahullah meletakkan dalam shohihnya, salah satu bab dalam "kitab tahajjud" dengan tema "Bab Keutamaan bersuci (berwudhu) pada malam dan siang hari dan keutamaan shalat sesudah wudhu pada malam dan siang hari" lalu dibawah ini, beliau menyebutkan satu hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu

Bahwasaya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Bilal tatkala shalat fajar :
"Wahai Bilal, beritahukan padaku amal apakah yang paling engkau harapkan dalam amalan-amalan Islam? Karena sungguh saya dalam surga, bilal menjawab : saya tidaklah melakukan amalan yang paling saya harapkan (ingin lakukan), melainkan bahwa saya tidaklah bersuci (berwudhu) dengan satu wudhupun pada waktu malam atau siang hari kecuali saya melakukan shalat dengan wudhu tersebut sebanyak apa yang diberikan kemampuan kepadaku (untuk shalat) (HR. Al-Bukhari (1499))
Sudah semestinya seorang muslim untuk menjaga dan memperbaharui wudhu, dan jika ia mampu, hendaknya ia menyempurnakannya denga shalat sunat wudhu' sesuai kehendaknya. Dan dalam riayat At-Tirmidzi, Bilal menyebutkan shalatnya cuma dua rakaat, lalu Rasulullah bersabda : "Dengan (pahala) kedua (rakaat), itulah (hingga aku mendengar suara terompahmu didepanku dalam surga). (no.3689)
Ini menunjukkan bahwa jumlah rakaat shalat sunat wudhu', tidaklah terbatas namun sesuai kehendak seseorang, namun shalat ini tentunya tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang untuk sholat. Dan jika seseorang berwudhu', lalu shalat sunat lain selain sunat wudhu', misalnya tahajjud, witir, sunat rawatib dan lainnya. Maka ia tetap mendapatkan keutamaan ini –Insya Allah) Dan keutamaan lain adalah pengampunan dosa-dosanya yang telah berlalu, sebagaimana dalam hadits utsman yang telah disebutkan sebelumya. Adapun yang selalu memperbaharui wudhu dan tidak melakukan shalat setelahnya, maka semoga saja dia bisa amendapatkan keutamaan dalam hadits ini sebagaiman yang diistinbatkan oleh Al Bukhari dalam nama bab yang tersebut diatas. Wallahu a'lam