Rabu, 29 Juni 2011

Sejarah Indonesia Perspektif Baru [2]

Buku sejarah untuk SMA tersebut juga membahas tentang perkembangan sejarah Islam. Tetapi, ada saja data keliru yang disajikan sehingga menimbulkan persepsi negative terhadap sebagian sahabat Nabi Muhammad saw. Misalnya, saat membahas Khalifah Usman bin Affan, yang hanya diuraikan dalam 10 baris, dan enam baris di antaranya ditulis dengan paparan berikut:

“Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Usman sangat dipengaruhi oleh keluarganya, yaitu Ummayah. Bahkan Khalifah Usman lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya, sehingga lambatlaun timbul oposisi terhadap Usman. Pada tahun 655 M, Khalifah Usman mati terbunuh oleh pihak oposisi yang berasal dari orang Islam sendiri.” (hal. 73).

Paparan seperti itu tentu sangat tendensius. Tapi, itulah yang diajarkan kepada siswa dan santri-santri kita yang belajar sejarah melalui buku-buku seperti ini. Tentu saja akan sangat mudah terekam opini buruk terhadap Sayyidina Usman bin Affan pada benak anak-anak kita! Tapi, apakah guru, kepala sekolah, pimpinan pesantren, selama ini begitu banyak yang peduli dengan pengajaran sejarah di SMA semacam ini?

Padahal, Sayyidina Usman r.a. adalah salah satu KhulafaurRasyidin, menantu Rasulullah saw, dan salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga. Beliau adalah orang yang sangat kaya raya dan sangat dermawan. Beliau adalah pemimpin pertama dalam rombongan Hijrah ke Habsyah. Beliau berulangkali berjihad di medan perang. Hidupnya, hartanya, dirinya sudah diserahkan untuk Islam. Adalah sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta sejarah, bahwa Sayyidina Usman digambarkan sebagai pemimpin yang gila kuasa. Kita bertanya, apakah beradab jika menuduh sosok yang begitu mulia dengan tudingan: “lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”

Bayangkan, jika ada buku sejarah menulis: “Soekarno lebih mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan negaranya?” atau “SBY lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”

Apakah keluarga Soekarno atau SBY bisa menerima uraian seperti itu?

Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan yang keliru semacam ini? Tentu saja, orangtua-lah yang paling bertanggung jawab. Bukan hanya guru atau sekolah atau pesantren. Kita berharap, para guru dan orangtua mau peduli dengan isi buku pelajaran yang keliru semacam ini.


*****

“Islamisasi ilmu adalah sebuah keharusan,” tegas Prof. Didin Hafidhuddin, direktur pasca sarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor dalam pembukaan seminar internasional tentang Pendidikan Tinggi di UIKA , 18 Mei 2011 lalu.

Sebagian akademisi masih ada yang meragukan dan salah paham tentang makna “Islamisasi ilmu” dan “Islamisasi pendidikan”. Padahal, tindakan Islamisasi adalah proses yang wajar dari aktivitas seorang Muslim. Sangat wajar jika seorang Muslim melakukan Islamisasi, sebagaimana kaum liberal melakukan liberalisasi, kaum komunis melakukan komunisasi, kaum sekular melakukan sekularisasi.

Islamisasi bukanlah gagasan utopis. Untuk membuktikannya, Program Pasca Sarjana Pendidikan Islam -- UIKA pada 29 Juni 2011, tepat 27 Rajab 1432 H, kembali menggelar seminar bertema Islamisasi Pendidikan. Tapi, kali ini seminar mengambil tema yang lebih membumi, dengan peluncuran buku Sejarah Nasional untuk SMA. Seminar bekerjasama dengan Andalusia Islamic Education & Management Service (AIEMS) dengan mengambil tema “Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Urgensi dan Aplikasinya Pada Kurikulum SMA, bertempat di Aula Gedung Pascasarjana, Universitas Ibn Khaldun Jl. KH Sholeh Iskandar KM 2 Bogor.

Pembicara dalam seminar tersebut ialah Prof. Dr. Didin Hafiduddin (Direktur Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun), Dr. Adian Husaini (Kaprodi Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun), Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum (Penulis buku Sejarah SMA, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia), Mohamad Ishaq, M.Si (Penulis buku Fisika SMA, Kandidat Doktor Ilmu Fisika, Institut Teknologi Bandung), Ir. Budi Handrianto, M.PdI (Peneliti INSISTS), dan Erma Pawitasari, M.Ed (Direktur AIEMS)

Sejarah merupakan hal prinsip dalam kehidupan manusia. Al-Quran begitu banyak bercerita tentang sejarah umat terdahulu, baik dalam ayat-ayat Makkiyah atau Madaniyah. Karena itu, kita sangat bersyukur dan menyambut gembira terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA: Perspektif Baru, yang diterbitkan atas kerjasama antara Pasca Sarjana UIKA, DDII, dan AIEMS.

Semoga buku ini menjadi langkah awal untuk menarik gerbong Islamisasi Ilmu dan Pendidikan di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah Islam dan pondok-pondok pesantren. Islamisasi ilmu-ilmu pengetahuan, apalagi yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan hal yang sangat mendesak, dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Islamisasi dilakukan untuk mengembalikan ilmu pada tempat dan fungsinya yang utama, yakni untuk menjadikan anak didik menjadi manusia-manusia yang beradab, bukan manusia biadab. Yakni, manusia yang baik (good man), yang mengenal Allah, ikhlas menjadikan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam sebagai uswah hasanah, meletakkan ulama sebagai pewaris Nabi, memahami kedudukan ilmu, mampu meletakkan para pahlawan sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah, serta mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya agar dia menjadi Abdullah dan khalifatullah yang baik.(Diambil dari CAP Adian Huasaini/www.hidayatullah.com).

Minggu, 26 Juni 2011

Sejarah Indonesia Perspektif Baru [1]

Di dalam Tafsir al-Azhar, saat menguraikan makna QS al-Maidah ayat 57-63, Prof. Hamka, membuat uraian khusus tentang rangkuman strategi misionaris Kristen dan orientalis dalam menyerang Islam. Hamka, antara lain mencatat: “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah. Orang Mesir lebih memuja Fir’aun daripada mengagungkan sejarah Islam…”. (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar -- Juzu’ VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 300.)

Uraian Hamka ini sangat menarik. Di dalam buku Tafsir yang ditulis di dalam penjara Orde Lama di era 1960-an tersebut, Hamka sudah menorehkan keprihatinan yang mendasar tentang pendidikan sejarah di Indonesia. Camkan kata-kata Buya Hamka ini: "Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah.”

Pengajaran sejarah yang lebih membesar-besarkan warisan Hindu – ketimbang Islam – semacam itu memang dilakukan dengan perencanaan yang matang.

Pakar sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebutkan bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh ratusan juta jiwa. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal. 169-179)

Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas lalu mengkritik secara tajam teori para orientalis Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indnesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis:

“Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), hal. 41.)

Uraian Prof. Naquib al-Attas itu membuka mata kita, bahwa selama ini ada yang salah – secara mendasar – dalam pendidikan sejarah di sekolah-sekolah kita. Hindu-Budha diletakkan sebagai jati-diri bangsa, sedangkan Islam hanya diletakkan sebagai pelapis kayu, yang tidak meresap ke dalam jati diri bangsa. Tidak mengherankan, jika kemudian, simbol-simbol Islam dijauhkan dari berbagai aspek kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Secara ekstrim, rezim Orde Baru pernah berusaha menggusur berbagai identitas Islam dari kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan menggusur istilah-istilah Islam dan menggantikannya dengan istilah-istilah Jawa atau Hindu.

Jika anda masuk ke Kedutaan Indonesia di luar negeri, tengoklah, apakah di sana dipajang patung-patung dan candi, atau foto-foto masjid dan pesantren? Setidaknya saya pernah dua kali mengisi acara pengajian di Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri. Satu di sebuah negara Barat, dan satu di negeri Muslim. Saat memasuki ruang depan kantor KBRI, saya menjumpai sejumlah patung ini dan itu, replika candi ini dan itu. Saya tanyakan kepada seorang pejabat kedutaan, bukankah Indonesia adalah negeri Muslim, satu negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia? Mengapa tidak dipasang – misalnya -- foto Masjid Demak, Masjid Menara Kudus, foto sejumlah pesantren, dan sebagainya -- yang juga merupakan peninggalan sejarah penting di Indonesia?

Memang, peradaban Islam adalah peradaban ilmu, sehingga ulama-ulama Islam lebih mementingkan budaya ilmu ketimbang budaya batu. Tetapi, tradisi seni arsitektur Islam juga dikenal sangat tinggi dan mengilhami beberapa arsitektur modern di Barat. Saya pernah mengunjungi satu museum Yahudi dan penjaganya mengakui beberapa jenis ukiran di situ terpengaruh oleh arsitektur Islam.

Salah satu warisan peradaban Islam yang penting adalah institusi-institusi pendidikan Islam yang khas Indonesia, seperti pondok pesantren. Sebut salah satu pesantren tertua di Jawa Timur, misalnya, Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, yang sudah berumur ratusan tahun. Data sejarah menunjukkan, pesantren ini berdiri tahun 1718. Hingga kini, pesantren Sidogiri masih eksis dengan ribuan santri, serta sistem pendidikan yang unik, mandiri, bahkan sama sekali tidak bergantung dengan bantuan pemerintah.

Mungkin, dalam perspektif pendidikan Sejarah Nasional Indonesia, keberadaan sebuah pondok pesantren besar dan bersejarah seperti Sidogiri tidak dianggap lebih penting ketimbang sebuah candi. Tradisi keilmuan Islam yang bertahan ratusan tahun, tidak dianggap penting bagi pembangunan bangsa. Wallahu a’lam bil-shawab.

Tentu, kita tidak bisa menyalahkan begitu saja para pejabat kita. Sebab, pemikiran mereka tentang sejarah dan peradaban bangsa, adalah produk pendidikan sejarah saat mereka duduk di bangku sekolah. Ribuan kuisener yang pernah saya sebarkan ke lembaga-lembaga pendidikan Islam, menunjukkan, bahwa hampir semua santri, siswa, bahkan guru berpendapat, bahwa puncak peradaban Indonesia sebelum kemerdekaan dicapai saat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada di Kerajaan Majapahit, yang berhasil menyatukan Nusantara.

Jika kita tanya kepada mereka, kapan sebenarnya Majapahit menyatukan Nusantara dan dengan cara apa mereka menyatukan Nusantara, mereka hanya terbengong. Sebuah buku Sejarah untuk SMA Kelas XI, karya I Wayan Badrika (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), misalnya, menulis, bahwa saat pelantikannya sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil disatukan di bawah Panji Kerajaan Majapahit.

“Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya. Selama hidupnya, Patih Gajah Mada menjalankan politik persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M.” (hal. 48).

Tentang keruntuhan Kerajaan Majapahit, ditulis: “Suatu tradisi lisan yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah (Demak).” (hal. 49).

Opini apa yang ingin disampaikan dengan paparan semacam ini kepada siswa atau santri yang belajar sejarah melalui buku seperti ini?

Mudah ditebak! Bahwa, di masa lalu, Indonesia pernah mencaai kejayaan, pernah bersatu, pernah hebat, yakni di bawah Kerajaraan Majapahit. Lalu, datanglah Islam, dengan tokohnya Raden Patah, menyerbu Majapahit dan runtuhlah Majapahit! Jadi, Islam bukanlah faktor pemersatu bangsa, tetapi Islam datang untuk menghancurkan persatuan yang diperjauangkan oleh Gajah Mada. Karena itu, Raden Patah digambarkan sebagai penghancur prestasi Gajah Mada yang berhasil menyatukan Nusantara! Wallahu a’lam bil-shawab.

Cobalah tanyakan kepada siswa atau anak-anak kita, apakah mereka lebih kenal dan kagum pada Gajah Mada atau Raden Patah? Sekitar 50 tahun lalu, Buya Hamka sudah menulis dalam Tafsirnya tentang fenomena pendidikan sejarah di Indonesia tersebut!

Yang disebut tradisi lisan terkenal di Jawa yang memberitakan tentang keruntuhan Majapahit akibat diserang Raden Patah kemungkinan besar adalah Serat Darmogandul. Dalam Darmogandul disebutkan, bahwa dalam menyerang Mojopahit Raden Patah melakukan konspirasi dengan para wali. Selama ini, Darmogandul juga sudah dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia. Misalnya, buku karya Marwati D. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia II, (Balai Pustaka, Jakarta, 1992) menulis seputar keruntuhan Majapahit:

“.... Bagaimana proses penaklukan Majapahit oleh Demak dan bagaimana nasib para penguasa Majapahit sesudah penaklukan itu tidak diketahui secara pasti. Sumber-sumber tradisi seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, dan Serat Darmagandul hanya dengan samar-samar memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana berlangsungnya penaklukan Majapahit oleh Demak.”

Paparan tentang keruntuhan Majapahit seperti itu bertentangan dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat Perang Paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Kitab Darmogandul bisa dijadikan salah satu contoh adanya upaya sistematis untuk memberikan citra negatif terhadap Islam dan menanamkan kebencian kepada para wali serta agama Islam. Para wali disebut “walikan” (kebalikan), artinya orang yang tidak tahu balas budi. Diberi kebaikan oleh Raja Majapahit, tetapi malah menikam dari belakang. Digambarkan dalam kitab ini, bagaimana bentuk provokasi Sunan Bonang terhadap Raden Patah, agar menyerang Majapahit.

Ditulis dalam Darmagandul (terjemahan Indonesianya: “Rusaklah Keraton Majapahit, dengan secara halus tersamar, jangan sampai didengar orang banyak, menghadaplah pada hari bakda Mulud (hari peringatan Maulid Nabi), persiapkan kelengkapan para prajurit, semua prajurit yang kamu miliki, juga bawahanmu yang telah masuk Islam kumpulkanlah di Demak. Pura-pura saja (mengundang mereka) untuk mendirikan masjid, setelah semuanya berkumpul aku (Sunan Bonang) yang akan membuat akal, kepada semua Sunan, para Tumenggung, semua prajurit yang telah menganut agama Islam niscaya akan menurut kepadaku ...”).

Jadi, itulah salah satu cara mengecilkan makna kehadiran Islam di Indonesia, melalui buku Sejarah Nasional, yang sudah diajarkan kepada jutaan anak-anak kita di berbagai lembaga pendidikan Islam. Entah berapa banyak guru dan orangtua yang mau peduli dengan masalah-masalah seperti ini.
(Diambil dari Catatan pekan Adiah Husaini/www.hidayatullah.com)

Jumat, 24 Juni 2011

Islamisasi Ilmu

Sekitar tahun 1992 Prof. Dr. Mukti Ali di sela-sela sebuah seminar di Gontor, tiba-tiba bergumam, “Bagi saya Islamisasi ilmu pengetahuan itu omong kosong, apanya yang diislamkan, ilmu kan netral”. Prof. Dr. Baiquni yang waktu itu bersama beliau langsung menimpali, “Pak Mukti tidak belajar sains, jadi tidak tahu di mana tidak Islamnya ilmu (sains) itu.”

Pak Mukti dengan antusias, menyahut, “Masa iya, bagaimana itu?” “Sains di Barat itu pada tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan,” jawab Baiquni. “Jadi ia menjadi sekuler dan anti-Tuhan.” Pak Mukti dengan kepolosan dan sikap akademiknya spontan menjawab lagi, “Oh begitu”. Diskusi terus berlangsung dan soal ilmu serta Islamisasinya menjadi topik menarik.

Benarkah ilmu pengetahuan masa kini itu tidak mengakui adanya Tuhan? Pernyataan Prof. Baiquni sejalan dengan apa kata R.Hooykaas dalam Religion and The Rise of Modern Science. Di Barat, dunia dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak datangnya Copernicus hingga Newton, bergeser menjadi mekanisme. Pergeseran cara pandang ini pada abad ke-17 telah diprotes pengikut Aristotle. Menurut mereka, pandangan terhadap dunia yang mekanistis itu telah menggiring manusia kepada atheisme (kekafiran).

Tapi pendukung mekanisme seperti Beeckman, Basso, Gasendi, dan Boyle tidak terima. Dengan dalih konsep mukjizat, Boyle misalnya, beralasan, gambaran mekanistis bisa juga religius. Karena jika materi dan gerak yang menjadi esensi organisme tidak cukup untuk menerangkan fenomena alam, maka ini berarti memungkinkan adanya intervensi Tuhan melalui mukjizat. Artinya masih ada peran Tuhan di situ. Tuhan bisa sewaktu-waktu turun tangan mempengaruhi kausalitas alam semesta. Inilah occassionalisme yang menjadi doktrin Kristen hingga kini. Artinya Tuhan itu sangat transenden, berada jauh di sana dan tidak terjangkau. Sementara alam berada di sini dan tidak selalu di bawah pengawasan Tuhan.

Menggambarkan dunia sebagai mekanisme, berarti melihatnya sebagai mesin. Bagi yang atheis, mesin itu ada dengan sendirinya. Bagi yang theis, mesin itu diciptakan. Tapi di Barat kekuasaan Pencipta itu direduksi dan akhirnya dihilangkan. Dunia dulu diciptakan, namun kini bebas dari Penciptanya. Masih belum lama ketika Henri de Monantheuil, seorang penulis Perancis, pada tahun 1599 menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta mesin dan ciptaan-Nya, yaitu dunia ini, berjalan bagaikan sebuah mesin. Tentu, ini membuat jamaah gereja berang. Tuhan gereja dianggap tidak ikut campur urusan dunia.

Faham mekanisme tentang dunia inilah yang menguasai alam pikiran Barat modern. Paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat menjadi subur. Otoritas memahami dunia, kini berpindah dari gereja ke tangan saintis. Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley , Boyle, Huygens, dan Newton yang konon membela Tuhan, akhirnya merebut otoritas Tuhan. Kesombongan pemikir Yunani ditiru, dan jargonnya “Man is the standard of everything” dinyanyikan ulang. Benar-salah, baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan akal atau diganti dengan akal.

Jika dulu gereja bisa marah pada Copernicus dan Galelio dan menghukum Bruno, kini hanya dapat menangisi ulah para saintis. Sementara para saintis seperti tidak mau repot dan mengambil posisi, “yang tidak bisa dibuktikan secara empiris, bukan sains”. Teologi tidak bisa masuk dalam sains. Bicara fisika tidak perlu melibatkan metafisika. Argumentasi Francis Bacon sangat empiristis, “Ilmu berkembang karena kesamaan-kesamaan, sedangkan Tuhan tidak ada kesamaannya.” Maka dari itu dalam teori idola-nya Bacon mewanti-wanti agar tidak melakukan induksi berdasarkan keyakinan.

Selain itu Bacon juga mengakui, kita ini bodoh tentang kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tersurat dalam wahyu dan tersirat dalam ciptaan-Nya. Descartes berpikiran sama, kehendak Tuhan tak dapat dipahami sehingga menghalangi jalan rasionalisme. Terus? “Kita tidak perlu takut melawan wahyu Tuhan dan melarang meneliti alam ini,” katanya. Sebab tidak ada larangan dalam wahyu. Tuhan memberi manusia hak menguasai alam. Oleh sebab itu kita bisa seperti Tuhan dan mengikuti petunjuk akal kita. Jadi, sebenarnya para saintis bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka kesulitan mengkaitkan teologi dengan epistemologi. Tragedinya, standar kebenaran dan metode penelitian pun akhirnya dimonopoli oleh empirisisme rasional.

Sebenarnya argumentasi Descartes dan Bacon masih belum beranjak dari pertanyaan Ibn Rusyd kepada al-Ghazali. Namun karena Ibn Rusyd terlanjur lebih populer di kalangan gereja dengan Averoismenya, pikiran al-Ghazali tidak dianggap. E. Gillson dalam karyanya Revelation and Reason jelas sekali menyalahkan Ibn Rusyd. Sebab dengan teori kebenaran gandanya, ia dianggap telah menabur benih sekularisme pada Descartes, Malebanche, David Hume, dan pemikir Barat lainnya. Tuhan tetap disembah dan diyakini wujud-Nya, tapi tidak ditemukan hubungannya dengan pikiran, ilmu atau sains.

Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai Barat. Andalannya akal semata dengan cara pandang yang dualistis. Realitas hanya dibatasi pada Being yang temporal dan human being menjadi sentral. Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr mengamini. Al-Faruqi menyoal dualisme ilmu dan sistem pendidikan muslim. Nasr mengkritisi, mengapa jejak Tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam. Ketiganya seakan menyesali, seandainya yang menguasai dunia bukan Barat eksploitasi alam yang merusak itu tak pernah terjadi.

Ilmu yang seperti itu harus diislamkan, kata al-Attas. Namun mengislamkan ilmu itu tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Diislamkan artinya dibebaskan, diserahdirikan kepada Tuhan. Dibebaskan dari faham sekular yang ada dalam pikiran muslim. Khususnya dalam penafsiran-penafsiran fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din, manusia (insan), ilmu (ilm dan ma’rifah), keadilan (‘adl), konsep amal yang benar (amal sebagai adab), dan sebagainya. Jika Thomas Kuhn tegas bahwa ilmu itu sarat nilai, dan paradigma keilmuan harus diubah berdasarkan worldview masing-masing saintis. Bagi santri yang cerdas, tentu akan bergumam, la siyyama Muslim.

Lalu apakah setelah itu akan lahir mobil Islam, mesin Islam, pesawat terbang Islam, dan sebagainya? This is silly question, kata al-Attas suatu ketika. Yang diislamkan adalah ilmu dalam diri al-alim, dan bukan al-ma’lum (obyek ilmu), bukan pula teknologi. Yang diislamkan adalah paradigma saintifiknya dan sekaligus worldview-nya. Jika paradigma dan worldview-nya telah berserah diri pada Tuhan, maka sains dapat memproduk teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid syariah dan bukan dengan nafsu manusia.

Dengan worldview Islam akan lahir ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta, dan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah), yakni Al-Qur’an, meminjam istilah Ibn Taymiyyah. Dengan paradigma keilmuan Islam akan muncul ilmu yang memadukan ayat-ayat Qur’aniyah, kauniyyah, dan nafsiyyah. Hasilnya adalah ilmun-nafi’ yang menjadi nutrisi iman dan pemicu amal. Itulah cahaya yang menyinari kegelapan akal dan kerancuan pemikiran.[sumber:Disalin dari www.hidayatullah.com]

Kerancuan Ajaran Syi’ah (Bagian II)

Kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma
Kerancuan kedua, masih seputar kema’suman Ali radhiallahu ’anhu serta vonis kafir terhadap kedua Khalifah; Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma yang menjadi fundamental keimanan para penganut sekte Syiah.

Fakta sejarah mengatakan bahwa ketika kaum muslimin berkonsesnsus untuk menobatkan Abu Bakar radhiallahu ’anhu sebagai pemimpin kaum, Ali radhiallahu ’anhu termasuk salah orang yang membai’at dan berjanji setia kepada beliau. Dengan kata lain, Ali radhiallahu ’anhu merestui, meridhai dan mengakui secara de facto kepemimpinan beliau. Pun begitu setelah Abu Bakar radhiallahu ’anhu mangkat, Ali radhiallahu’anhu ikut ambil bagian dalam bai’at Umar radhiallahu ’anhu.

Pertanyaannya adalah; bagaimana mungkin orang yang ma’sum, terbebas dari kesalahan, bisa merestui kepemimpinan seorang kafir? Sementara Allah Ta’ala berfirman,

Artinya, “Dan Allah tidak akan membiarkan orang-orang kafir menjadi penguasa bagi kaum mu’min.”(QS. An-Nisaa' ayat 141)

Jika memang benar mereka berdua kafir, masuk akalkah seorang Ali radhiallahu ’anhu tetap setia kepada mereka berdua, padahal Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam melarang umatnya untuk mematuhi pemimpin yang jelas-jelas kafir? Sebagaimana penuturan Ubadah bin Shamit,

    Artinya, “Kami membaiat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam untuk senantiasa patuh dan taat –kepada pemimpin-, baik dikala senang maupun susah, suka maupun duka. Meskipun dia berbuat tidak adil, kami tetap dilarang untuk memberontak.” Beliaupun melanjutkan, “Kecuali jika kalian menyaksikan dengan jelas kekufuran dalam dirinya berdasarkan petunjuk yang datang dari Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari)

Ada dua hipotesa untuk teka-teki di atas:

Pertama, klaim bahwa Ali radhiallahu ’anhu ma’sum (berada pada posisi aman dari dosa-red) hanyalah omong kosong belaka, karena merestui kepemimpinan orang kafir merupakan kesalahan besar.

Kedua, kalau benar Ali radhiallahu ’anhu ma’sum, maka baiat yang beliau lakukan kepada mereka berdua merupakan bukti nyata bahwa tuduhan yang mereka lontarkan terhadap kedua Khalifah tidaklah terbukt, hanya omong kosong.

Konsekuensi dari kedua statemen ini sama dengan konsekuensi pada bab kerancuan pertama. (bersambung, insya Allah)

Selasa, 21 Juni 2011

Kerancuan Ajaran Syi’ah (Bagian I)

Pernikahan Ummu Kultsum

Dalam ajaran sekte Syi’ah, sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu merupakan sosok pemimpin tertinggi yang anti salah alias ma’sum, sama halnya dengan para nabi dan rasul. Dalam ajaran sekte Syiah, dikenal pula dua orang “setan” yang merupakan musuh utama bagi mereka, yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma.

Namun, kalau kita membuka kembali lembaran sejarah, kita akan menemukan sebuah peristiwa ganjil yang yang sangat kontradiktif dan bertentangan dengan keyakinan mereka tadi. Peristiwa yang dimaksud adalah pernikahan Umar -radhiallahu’anhu dengan putri tercinta Ali radhiyallahu’anhu yang bernama Ummu Kultsum. Ummu Kultsum sendiri merupakan saudara kandung Hasan dan Husain radhiallahu’anhuma.

Peristiwa pernikahan ini sendiri merupakan fakta yang diakui secara resmi oleh para pemuka sekte syi’ah Al-Kailani dalam bukunya Al-Kafi fl Furu’, Al-Mazindrani dalam bukunya Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjul Balaghah dan masih banyak lagi.

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah; apa faktor yang mendorong Ali radhiyallah‘anhu rela menikahkan putri tercinta beliau dengan musuh terbesar sepanjang zaman? Mengapa seorang sosok pemimpin yang ma’sum tega mencampakan buah hatinya dalam cengkraman seorang yang kafir?

Ada dua kemungkinan yang bisa menjawab pertanyan di atas.

Pertama, keyakinan bahwasanya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu bebas dari kesalahan alias ma’sum tidaklah benar, karena menikahkan seorang putri tercinta dengan orang kafir merupakan kesalahan besar yang tidak dapat di tolerir. Konsekuensinya adalah; pemimpin-pemimpin yang menggantikan beliau juga tidak memiliki sifat ma’sum, karena beliau yang merupakan pemimpin tertinggi tidaklah ma’sum.

Kedua, keyakinan bahwasanya Umar radhiyallahu‘anhu adalah kafir tidaklah benar. Jangankan orang yang ma’sum, orang biasa yang tidak ma’sum saja tidak mungkin rela menikahkan putri kesayangannya dengan orang kafir. Jadi, pernikahan Ummu Kultsum merupakan bukti nyata bahwa Umar radhiyallahu’anhu adalah seorang muslim. Bahkan bukan muslim biasa, melainkan seorang muslim pilihan nan sejati.

Benar-benar membingungkan bukan? Kalau memang keyakinan yang mereka adalah sebuah kebenaran yang datang dari Allah ta’ala, tidak mungkin ada kontradiksi semacam ini. Ini membuktikan bahwa ajaran mereka merupakan produk manusia, bukan bersumber dari wahyu. (Bersambung /www.tanaasuh.com)

Kelalaian dan Kesalahan Orang Tua dalam Mendidik Anak (7)

Pada edisi lalu (tulisan 1 -7 ) telah kami sebutkan 27 bentuk kelalaian dalam mendidik anak. Berikut ini kembali kami sebutkan beberapa kelalaian yang lain, dan masih merupakan kelanjutan dari kelalaian sebelumnya. Diantara bentuk-bentuk kelalaian itu adalah:

28. Kurangnya Perhatian Pada Pendidikan Tanggung Jawab


Sebagian orang tua tidak mendidik anak-anaknya untuk memiliki sikap tanggung jawab; baik karena alasan tidak ingin membebani mereka atau karena tidak percaya kepada mereka, atau karena tidak mempu¬nyai perhatian sama sekali kepada pendidikan mereka. Maka, engkau lihat sebagian orang tua –misalnya– yang mempunyai tempat-tempat bisnis yang banyak, mereka merekrut para karyawannya dari luar negeri. Bisa jadi para karyawan itu berasal dari golongan orang-orang kafir. Atau para orang tua itu merekerut para karyawannya dari dalam negeri, sementara anak-anaknya berada di rumah tanpa aktivitas dan pekerjaan, atau bahkan mereka bekerja di tempat lainnya.
Barangkali anak-anak cenderung tidak maksimal dalam bekerja atau menjadi kendala kesuksesan, na¬mun apa sebenarnya peran bapak terhadap mereka?
Adapun jika anak-anak sibuk dalam dunia pedidikan, dakwah, dan aktivitas-aktivitas lainnya, dan orang tua hendak memberikan peluang waktu (membebaskan mereka dari bekerja) demi pekerjaan-pekerjaan mulia ini, maka sikap dan langkah ini tidak menjadi masalah, bahkan sebagai orang tua menjadi terpuji dengan sikap dan langkah seperti ini.
Namun, catatan buruk bagi orang tua adalah mereka yang membiarkan anak-anak mereka bergantung kepada orang lain, padahal orang tua mampu memperbaiki keadaan mereka dan mengarahkan mereka menjadi lebih bermanfaat dan berdaya guna.

29. Tidak Memberikan Kesempatan Kepada Anak Untuk Memperbaiki Kesalahan

Sekedar kesalahan kecil atau kekeliruan yang dilakukan anak, adakalnya orang tua memarahi anaknya, dan hampir tidak melupakan kesalahannya. Ketika seorang anak mengambil barang tanpa izin maka dia memanggilnya “pencuri”, ketika pernah berdusta maka dia memanggilnya “pendusta”, seakan-akan keslahan itu merupakan pukulan telakdan tidak akan hilang, atau kesalahan dan cacat yang tak terhapuskan.
Dari sini anak berkembang dengan membawa stigma dalam dirinya bahwadia sudah menjadi “pencuri” atau “pembohong”, sehingga dia tidak berusaha untukmembebaskan dirinya dari aibnya, dan tidak mendapatkan pembelaan bagi dirinya.

30. Orangtua Kurang Memahami Psikologis dan Watak Anak

Banyak orang tua yang kurang memahami psikologis anak-anaknya, tidak mengenal karakter dan wataknya. Setiap anak itu mempunyai watak dan karakter yang berbeda. Ada dari mereka yang mudah marah, ada yang sangat dingin, ada yang pertengahan. Maka memperlakukan mereka dengan satu model pendekatan –padahal mereka memiliki karakter yang berlainan– terkadang menyebabkan penyimpangan dan kecenderungan buruk dari diri mereka.

31. Kurangnya Perhatian dengan Perkembangan Usia Anak

Ada juga orang tua yang memperlakukan anaknya seperti anak kecil, meskipun sebenarnya sudah besar. Perlakuan ini memberi pengaruh dalam diri anak dan menjadikannya merasakan kekurangan dalam dirinya. Maka, setiap fase usia ada perlakuan khusus yang dite-rapkan dengan tepat kepada anak.

32. Umpatan kepada Orang-Orang yang Mendapatkan Cobaan

Sebagian orang tua ketika melihat ada orang yang mendapatkan cobaan, maka dia mengumpat dan menuduh orangtuanya tidak maksimal dalam mendidik anaknya. Padahal, sebaiknya dalam menyikapi hal ini, dia memohon perlindungan kepada Allah Ta'ala untuk dirinya agar terbebas dari cobaan yang telah menimpa orang lain.
Betapa banyak orang yang mempunyai anak ber¬perilaku buruk, menyimpang, dan sesat tidak lain dise¬babkan umpatannya, kemarahan, serta keculasannya kepada manusia.

33. Kurangnya Perhatian Orangtua dalam Memilih Sekolah Anaknya

Betapa banyak orang tua yang kurang memper¬hatikan masalah ini. Mereka tidak peduli untuk men¬cari sekolah terbaik yang akan menjadi pelabuhan bagi anak-anaknya. Begitu juga tentang perilaku dan akhlak para teman-teman di sekolah tempat anak mereka be¬lajar, tentang kurikulum pengajarannya, serta input siswa yang belajar di sekolah bersama anak-anaknya nanti.

34. Menyekolahkan Anak Ke Sekolah-Sekolah Asing

Hal ini dapat merusak akidah dan akhlak mereka, terlebih lagi jika mereka adalah anak-anak kecil yang kurang mempunyai imunitas (pertahanan) dalam bi¬dang ilmu dan ketakwaan.
Terkadang efek kerusakan itu tidak hanya terbatas pada diri si anak semata, akan tetapi nantinya si anak akan menjadi agen penghancur umat.

35. Kurangnya Komunikasi dengan Pihak Sekolah

Banyak orang tua tidak mau bekerja sama (berkon¬sultasi seputar perkembangan dan pendidikan anaknya) dengan pihak sekolah tempat belajar anak-anaknya, bahkan ada sebagian orang tua yang tidak mengetahui di manakah sebenarnya anak-anaknya belajar ?

(Bersambung Insya Allah)

Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.

Sabtu, 18 Juni 2011

Budaya Ilmu

Oleh Dr.Syamsuddin Arif

Istilah ‘budaya ilmu’ dipopulerkan oleh Professor Dr Wan Mohd Nor Wan Daud lewat buku-buku maupun ceramah-ceramahnya selama hampir dua dasawarsa terakhir ini.

Menurutnya, ‘budaya ilmu’ ialah (i) kondisi dimana setiap anggota dan lapisan masyarakat melibatkan diri secara langsung maupun tidak langsung dalam pelbagai kegiatan ilmiah pada setiap kesempatan: gemar membaca, mempelajari, meneliti, mendiskusikan aneka persoalan keilmuan. ‘Budaya ilmu’ terwujud (ii) apabila setiap orang sebagai individu maupun sebagai entitas kolektif (masyarakat, bangsa, umat) membuat segala pilihan, keputusan dan tindakan yang diambilnya atas dasar ilmu, melalui proses investigasi, riset, dan konsultasi. Ciri lain dari ‘budaya ilmu’ adalah (iii) sikap menjunjung tinggi ilmu, situasi dimana ilmu menempati kedudukan tertinggi dalam tata nilai setiap pribadi dan masyarakat pada semua lapisan, yang diejawantahkan dengan penghargaan tinggi kepada setiap individu maupun lembaga yang aktif mencari, meneliti, mengembangkan dan menyebarkan ilmu.1 Inilah yang yang disebut sebagai ‘the learning society’ yang memancarkan ‘the culture of knowledge and learning’.

Asas-asas budaya ilmu dalam pengertian di atas sesungguhnya terperi dalam ajaran Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam. “Wahai Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu” (QS 20:114) adalah doa yang difirmankan Allah Ta'ala kepada beliau. “Apakah sama, mereka yang berilmu dan tak berilmu?” (QS 39:9) dan “Hanya mereka yang berilmu dari kalangan hamba Allah yang gentar kepadaNya” (QS 35:28) merupakan petikan beberapa ayat kitab suci al-Qur’an yang menekankan betapa pentingnya ilmu. Demikian pula banyaknya pesan-pesan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkenaan ilmu dan keilmuan. “Ilmu tidak akan dicabut dari manusia, tetapi orang-orang berilmu akan diambil Allah, maka dengan kepergian mereka hilanglah ilmu. Akibatnya muncul orang-orang jahil tak berilmu yang tampil sebagai tokoh panutan, mereka sesat dan menyesatkan manusia lain pula,” adalah satu dari sejumlah sabda baginda mengenai ilmu.

Maka tak menghairankan jika ilmu menjadi tema sentral peradaban Islam. Hal ini bukannya impian atau khayalan, akan tetapi fakta sejarah yang sangat gamblang. Dalam studinya yang cukup mendalam, seorang pakar filologi dari Yale University menyimpulkan bahwa rahasia kegemilangan peradaban Islam itu terletak pada ilmu. Ilmu merupakan konsep yang sangat menonjol dan paling hebat perannya dalam melahirkan dan membentuk corak dan watak peradaban Islam: ‘one of those concepts that have dominated Islam and given Muslim civilization its distinctive shape and complexion’, tulis Franz Rosenthal. Satu ciri yang tak ditemukan pada peradaban bangsa-bangsa lain di dunia adalah posisi ilmu di dalam Islam sebagai ‘dominant concept’, ‘a unique cultural term’, ‘a powerful and, perhaps, the most effective rallying force’, tegasnya.

Menariknya, beliau menyebutnya sebagai ‘peradaban Islam’ dan bukan peradaban Arab, Persia, Turki, Berber, atau Timur, sebab menurutnya, peradaban tersebut melibatkan dan menaungi pelbagai suku bangsa, etnik maupun agama. Kontributornya tidak hanya Arab dan Muslim, tetapi juga Persia (seperti Ibn Sina dan Imam al-Ghazali), Turki (seperti Imam al-Bukhari dan al Farabi), Nasrani (seperti ..... ), juga Yahudi (semisal Ibn Kammunah dan Musa ibn Maymun).



Pembudayaan Ilmu

Dalam sejarah Islam, pembudayaan ilmu telah dirintis oleh Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam. Beliau memberantas buta-huruf dengan menganjurkan para Sahabat belajar baca-tulis, menyuruh Zayd bin Tsabit belajar bahasa Ibrani (Hebrew) dan Suryani (Syriac) kepada ulama Bani Isra’il (Ahlul Kitab). Beliau juga melantik sejumlah Sahabatnya menjadi juru tulis pencatat wahyu al-Qur’an dan Ĥadis, penulis surat-surat diplomatik dan sebagainya. Beliau sendiri aktif mengajarkan al-Qur’an, memberikan ceramah, nasihat, fatwa dan pengadilan (qadha’).

Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa tiap seminggu sekali Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menyediakan waktu satu hari khusus bagi kaum ibu termasuk istri dan putri-putrinya untuk belajar dan bertanya tentang pelbagai persoalan agama. Bimbingan khas diberikan kepada beberapa orang dewasa (semisal Abu Hurayrah rahdiyallaahu 'anhu) maupun kanak-kanak (sepertil ‘Abdullah bin ‘Abbas ra) dan ahli keluarganya (‘A’isyah binti Abi Bakr radhiyallaahu 'anhu ). Pendek kata, pendidikan, pengajaran, pembahasan dan penyebaran ilmu telah dimulai sejak abad pertama Hijriah. Di satu sisi, ini disebabkan sentuhan ayat-ayat suci al-Qur’an yang menggugah jiwa dan mengobarkan semangat. Di sisi lain, situasi itu memacu perkembangan budaya ilmu di dunia Islam secara pesat luar biasa. Proyek pengumpulan dan pembukuan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakr dan Khalifah ‘Utsman mustahil terlaksana sekiranya tradisi ilmu di kalangan Sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

belum terwujud. Khalifah Umar ibn al-Khattab yang dikenal sebagai ahli strategi perang dan negarawan ulung sangat menghargai ahli ilmu, sedang Khalifah Ali dikagumi ketajaman nalar dan kedalaman ilmunya, disamping kepahlawanannya. Ada banyak riwayat yang bisa kita simak tentang kegiatan ilmiah para tokoh generasi awal umat Islam. Abu’l-Aswad ad-Du’ali, misalnya, merumuskan ilmu linguistik (tata bahasa, morfologi dan orthografi) atas petunjuk Khalifah ‘Ali ra. Ilmu tafsir diletakkan dasar-dasarnya oleh ‘Abdullah ibn ‘Abbas.

Kegiatan mencatat dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dalam bentuk skroll dilakukan oleh ‘Abdullah ibn ‘Amr (dinamakan as-Shahifah as-Shadiqah). Upaya mendokumentasi dan mengoleksi hadits dilanjutkan oleh generasi sesudah mereka semisal, ‘Urwah ibn az-Zubayr (w. 94 H), Muhammad ibn Syihab az-Zuhri (w. 124 H), Hammam ibn Munabbih (w. 132 H) dan banyak lagi. Kurun kedua hijriah pun menyaksikan lahirnya tokoh-tokoh ilmuwan dengan kepakaran masing-masing. Imam Abu Hanifah (w. 150 H) di Kufah menulis kitab al-Fiqh al-Akbar (mengenai teologi), Imam al-Awza‘i (w. 157 H) di Damaskus mengarang kitab as-Siyar (prinsip-prinsip hubungan internasional), Imam Malik (w. 179 H) di Madinah menyusun kitab al-Muwatta’ (kompilasi hukum Islam), dan Imam as-Syafi‘i (w. 204 H) di Baghdad merumuskan ilmu ushul fiqh (jurisprudensi Islam) dalam kitabnya yang masyhur: al-Risalah. Jika pakar linguistik al-Khalil ibn Ahmad (w. 175 H) menerbitkan kitab al-‘Ayn, kamus pertama di dunia, maka muridnya Sibawayh (w. 177 H) menyusun ilmu tata bahasa dalam al-Kitab.

Di abad berikutnya kita saksikan gerakan penerjemahan buku-buku ilmiah mengenai pelbagai cabang ilmu dari bahasa Yunani (Greek), Suryani (Syriac), Parsi dan Sansekerta ke dalam bahasa Arab.

Tak lama kemudian sampailah umat Islam ke puncak tertinggi peradaban manusia: mereka menjadi penunjuk dan penerang jalan bagi umat lain dalam pendakian ilmiah. Segala pelosok ilmu pengetahuan mereka telusuri, segala persoalan keilmuan mereka tangani, ‘dari persoalan gajah hingga persoalan semut’, dengan pendekatan rasional, empiris, detil, kritis lagi kreatif. Ada yang mempelajari seluk-beluk bahasa seperti, .... , mengupas .... seperti ...
Saintis al-Biruni tidak hanya berhasil mengukur lingkaran bola bumi dan memberikan koordinat wilayah-wilayah penting saat . Studi empirisnya mengenai tradisi agama dan budaya bangsa India yang direkamnya dalam kitab ‘Aja’ib al-Hind (Ust DR Syamsuddin Arif /http://www.inpasonline.com)

Rabu, 15 Juni 2011

Kelalaian dan Kesalahan Orang Tua dalam Mendidik Anak (6)

Pada edisi lalu (tulisan 1 -5 ) telah kami sebutkan 20 bentuk kelalaian dalam mendidik anak. Berikut ini kembali kami sebutkan beberapa kelalaian yang lain, dan masih merupakan kelanjutan dari kelalaian sebelumnya. Diantara bentuk-bentuk kelalaian itu adalah:
21. Seringnya terjadi Perselisihan antara Kedua Orang Tua


Seringnya terjadi perselisihan antara kedua orang tua mempunyai efek negative bagi psikologis anak; Apa sikap anak ketika melihat ayahnya memukul ibunya ? Sang ayahberkata kasar kepadanya ? Apa sikap anak ketika ibunya berlaku buruk terhadap ayahnya ?

Yang pasti, kecenderungan negative telah merasuk ke dalam jiwanya, kedengkian dan dan dendam telah bergolak dalam dirinya, hingga akhirnya hilang rasa kasih sayang dalam hatinya, dan berganti dengan kejahatan dan permusuhan.

22. Sikap Orang Tua yang Kontradiktif

Seperti memerintahkan anak untuk berlaku jujur sementara dia berdusta, memerintahkan anak untuk berjanji dan dia sendiri mengingkari, memerintahkan anak untuk berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung persaudaraa, sementara dia sendiri seorang durhaka dan pemutus persaudaraan, melarang mereka untuk tidak merokok, padahal dia sendiri yang merokok, dan seterusnya.

Hal ini tidak berarti seorang ayah berhenti memberikan nasehat kepada anak-anaknya ketika dia sendiri belum mampu melaksanakan atau adanya keterbatasan pada beberapa hal.akan tetapi sebaiknya dia menasehati mereka, sekalipun belum melaksanakanapa yang diucapkannya. Yang perlu dipahami disini, bahwa adanya sikap kontradiksi (bertolak-belakang) antara perkataan dan perbuatan (menyuruh tapi tidak melakukan, melarang tetapi melakukan) dapat menghilangkan pengaruh nasehat itu.

23. Sikap Orang Tua yang Kontradiktif

Seperti memerintahkan anak untuk berlaku jujur sementara dia berdusta, memerintahkan anak untuk berjanji dan dia sendiri mengingkari, memerintahkan anak untuk berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung persaudaraa, sementara dia sendiri seorang durhaka dan pemutus persaudaraan, melarang mereka untuk tidak merokok, padahal dia sendiri yang merokok, dan seterusnya.
Hal ini tidak berarti seorang ayah berhenti memberikan nasehat kepada anak-anaknya ketika dia sendiri belum mampu melaksanakan atau adanya keterbatasan pada beberapa hal.akan tetapi sebaiknya dia menasehati mereka, sekalipun belum melaksanakanapa yang diucapkannya. Yang perlu dipahami disini, bahwa adanya sikap kontradiksi (bertolak-belakang) antara perkataan dan perbuatan (menyuruh tapi tidak melakukan, melarang tetapi melakukan) dapat menghilangkan pengaruh nasehat itu.

24. Pelimpahan Urusan Pendidikan Anak Kepada Pembantu Rumah Tangga atau Pengasuh

Ini adalah masalah yang sangat serius dan berbahay, khususnya jika pembantu atau pengasuh adalah wanita kafir. Maka, akan mengarahkan si anak kepada penyimpangan perilaku rusaknya keyakinan dan akhlak.

25. Membiarkan Anak Perempuan Ke Pasar Tanpa Disertai Mahram

Membiarkan anak-anak perampuan ke pasar tanpa disertai mahram adalah bentuk kecerobohan besar dan pengabaian amanah.
Ada sebagian orang yang mengajak puterinya berbelanja di pasar yang penjualnya adalah laki-laki, sehingga pada kesempatan lain, anak-anak perempuan menghabiskan waktu yang lama berkelilling diantara penjual tanpa disertai mahram, sehingga mengundang fitnah, dan menjadikan mereka sumber fitnah bagi wanita-wanita lainnya.
Jika dilontarkan pertanyaan kepada mereka, “Mengapa engkau tidak pergi ke pasar bersama mereka ?” Maka dia akan menjawab, “Saya malu jika ada seseorang yang melihatku bersama mereka (para wanita)” .
Subhanallah, apakah engkau malu kepada manusia dan tidak malu kepada Allah ?
Apakah engkau tidak takut hukuman Allah ?
Adakah engkau datangnya fitnah ?!
Sekiranya engkau punya kambing, maka engkau tidak akan membiarkannya tanpa penggembala, apakah kehormatanmu lebih murah daripada kambingmu ?
Apakah engkau tidak khawatir dengan serigalayangmenerkam ?

Siapa yang menggembala kambing di tanah kawasan binatang buas
Lalu ia tertidur
Maka kambing gembalaannya akan dikuasai oleh harimau
Pada masalah ini; dikatakan kepadanya, “jika engkau malu pergi bersama mahrammu, maka pergilah bersama puteri-puterimu ke pasar yang khusus untuk wanita, atau bawalah mereka ke wilayah terdekat dari negerimu, dan singgahlah bersama mereka; sekiranya engkau tidak dikenali siapa pun.”

26. Mengabaikan Dering Telepon dan Tidak Mengawasi Penggunaannya

Sebagian orang tua –semoga Allah memberikan petunjuk-Nya kepada mereka- mengabaikan masalah telepon, dan tidak mengawasinya sama sekali. Bahkan membrikan telepon untuk setiap anak-anaknya di kamar mereka masing-masing, atau memberikan hand phone kepada mereka sekalipun tak mengetahui bahayanya dan tidak menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
Mereka tidak menyadari bahwaketika telepon tidak dipergunakan dengan baik, maka akan menjadi alat perusak dan penghancur bagi anak. Betapa banyak bencana dan permasalahan akibat dari ini, dan betapa banyak ia telah mengantarkan kepada keburukan dan musibah, betapa banyak kehormatan terampas karenanya, dan betapa banyak rumah tangga hancur dibuatnya.

27. Tidak Mengawasi Bacaan Anak

Sesungguhnya dengan membaca mampu membentuk pola pikir, serta memberi pengaruh positif maupun negative kepada si pembaca.
Sebagian orang tua tidak peduli dan menanyakan apa yang telah dibaca oleh anak-anaknya, tidak mengarahkan mereka kepada bacaan yang bermanfaat, dan tidak memberikan peringatan pada bacaan yang berbahaya.

(Bersambung Insya Allah)

Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.

Senin, 06 Juni 2011

Rahasia dan Manfaat Minyak zaitun

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ada enam belas pakar kedokteran paling tersohor di dunia berkumpul di Roma pada tanggal 21 April 1997 M, untuk menerbitkan beberapa pengarahan dan keputusan bersama tentang tema “Minyak Zaitun dan Nutrisi Laut Putih Tengah”.Dalam pernyataan tersebut, mereka menegaskan bahwa mengkonsumsi minyak zaitun bisa memberikan andil melindungi tubuh dari serangan penyakit jantung koroner, kenaikan kolesterol darah, kenaikan tekanan darah, serta sakit diabetes dan obesitas, di samping minyak zaitun juga berkhasiat mencegah terjadinya beberapa jenis kanker.

Minyak Zaitun Mengurangi Kolesterol Berbahaya

Berbagai riset membuktikan adanya fakta yang tidak menyisakan keraguan lagi, bahwa minyak zaitun menurunkan total kadar kolesterol dan kolesterol berbahaya, tanpa mengurangi kandungan kolesterol yang bermanfaat.

Minyak Zaitun Mengurangi Resiko Terjadinya Penyumbatan (Trombosis) dan Penebalan (Arteriosklerosis) Pembuluh Darah
Dalam sebuah kajian yang dipublikasikan pada bulan Desember tahun 1999 M di Majalah AMJ CLIN NUTRL para peneliti menyatakan bahwa nutrisi yang kaya kandungan minyak zaitun bisa mengurangi pengaruh negatif lemak dalam makanan terhadap terjadinya pembekuan darah, dan selanjutnya mengu-rangi terjadinya penebalan pembuluh nadi jantung.

Minyak Zaitun Mengurangi Peradangan Sendi
Majalah AMJ CLIN NUTR edisi November 1999 M, mempublikasikan sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 145 pasien pengidap sakit persendian semacam arthritis di Yunani Utara. Mereka dikorelasikan dengan 108 orang yang sehat. Dalam penelitian ini terlihat bahwa pengkonsumsian minyak zaitun bisa memberikan andil dalam melindungi tubuh dari terjadinya penyakit ini.

Minyak Zaitun Menurunkan Angka Kematian
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam majalah Lanst yang terkenal pada 20 Desember 1999 M, menunjukkan bahwa negara paling miskin di Eropa, yaitu Albania, yang berpenduduk muslim, memiliki keistimewaan sedikitnya angka kematian di sana. Angka kematian di Albania di kalangan pria adalah 41 orang dari setiap 100.000 orang, separoh dari keadaan di Britania. Hal itu dipengaruhi oleh konsumsi minyak zaitun dalam makanan para penduduk Albania.

Minyak Zaitun Mengurangi Pemakaian Obat-obatan Penurun Tekanan Darah Tinggi
Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Aldovaroro di Universitas Napoli Italia dan dipublikasikan dalam Majalah Archives of Internal Medicine, tanggal 27 Maret 2000 M, telah diadakan studi terhadap 32 pasien yang terkena penyakit tekanan darah tinggi dan mereka itu mengkonsumsi obat-obatan untuk darah tinggi.
Hasil studi menunjukkan penurunan tekanan darah dalam kadar 7 poin di kalangan mereka yang mengkonsumsi minyak zaitun.

Minyak Zaitun Mengurangi Serangan Kanker
Para peneliti menyatakan bahwa sebab menurunnya rasio kematian akibat serangan kanker di Laut Putih Tengah adalah karena makanan penduduk negeri tersebut mengandung minyak zaitun sebagai sumber utama lemak, di samping mengandung sayur-sayuran, buah-buahan, dan kol.

Minyak Zaitun Mencegah Timbulnya Kanker

Profesor Asman, Ketua Akademi Studi Arteriosclerosis di Universitas Monstar, Jerman, dia merupakan peneliti paling menonjol di dunia di bidang kedokteran dan arteriosclerosis, ia berkata, “Pengkonsumsian minyak zaitun bisa melindungi tubuh dari serangan sejumlah kanker lainnya, di antaranya kanker colon, kanker rahim, kanker ovarium, sekalipun jumlah studi ini masih terlalu minim.”

Minyak Zaitun dan Kanker Payudara
Sebuah studi yang dipublikasikan di bulan November 1995 dan dilakukan terhadap 2.564 wanita yang terkena kanker payudara, menegaskan bahwa ada korelasi terbalik antara kemungkinan terjadinya kanker payudara dengan pengkon-sumsian minyak zaitun, dan bahwa banyak mengkonsumsi minyak zaitun memberikan andil dalam melindungi seseorang dari serangan kanker payudara.

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Majalah Archives of Internal Medicine edisi Agustus 1998 M menegaskan bahwa pengkonsumsian sesendok makan minyak zaitun setiap hari bisa mengurangi bahaya terjadinya kanker payudara sampai pada kadar 45%.

Minyak Zaitun Mengurangi Timbulnya Tukak Lambung
Dr. Samût, dari Universitas Harvard Amerika, menyampaikan sebuah studi di Kongres Terakhir Organisasi Penyakit Sistem Pencernaan Amerika yang diadakan pada bulan Oktober 2000 M.

Dr. Samût menegaskan bahwa gizi yang terkandung dalam minyak zaitun bisa memiliki pengaruh positif dalam melindungi tubuh dari kanker lambung dan mengurangi timbulnya penyakit tukak lambung.

Minyak Zaitun dan Kanker Rahim
Majalah Kanker Britania mempublikasikan di bulan Mei 1996 M sebuah studi yang dilakukan terhadap 145 wanita Yunani yang terkena kanker rahim. Para peneliti mengkorelasikan antara wanita-wanita yang terkena kanker rahim tersebut dengan wanita-wanita yang banyak mengkonsumsi minyak zaitun. Ternyata, para wanita yang mengkonsumsi minyak zaitun lebih sedikit yang terkena kanker rahim. Di mana kemungkinan terjadinya kanker pada mereka turun sampai 26%.

Minyak Zaitun dan Kanker Lambung
Sejumlah studi ilmiah modern menunjukkan bahwa mengkonsumsi minyak zaitun secara teratur bisa mengurangi terjadinya kanker lambung. Tapi masih diperlukan berbagai studi ilmiah lanjutan mengenai hal ini.

Minyak Zaitun dan Kanker Colon
Ada juga beberapa studi yang menunjukkan bahwa peng-konsumsian buah-buahan, sayur-sayuran, dan minyak zaitun, memainkan peran penting dalam melindungi tubuh dari serangan kanker colon.

Minyak Zaitun dan Kanker Kulit (Melanoma)
Majalah Dertmatdogg Times edisi bulan Agustus 2000 M menyebutkan sebuah studi yang menunjukkan bahwa meng-gunakan minyak zaitun setelah renang sebagai krim kulit dan berjemur, akan melindungi terjadinya kanker kulit (melanoma).

Minyak Zaitun Berkhasiat Seperti ASI
Dalam sebuah studi modern yang dipublikasikan di bulan Februari 1996 M di Universitas Barcelona, Spanyol, yang dilakukan terhadap empat puluh wanita yang menyusui, diambil sampel ASI dari mereka. Para peneliti menemukan bahwa kebanyakan lemak yang terkandung di dalam ASI termasuk jenis lemak yang berantai tunggal. Jenis lemak ini dikategorikan sebagai lemak terbaik yang seharusnya dikonsumsi oleh manusia, dan itulah jenis lemak yang terkenal terdapat dalam minyak zaitun.

Minyak Zaitun Membunuh Kutu Kepala
Beberapa studi yang dilakukan di beberapa Universitas dan Akademi di Amerika, tentang kutu kepala, menunjukkan bahwa penggunaan minyak zaitun sebagai minyak rambut yang terkena kutu, dalam beberapa jam saja bisa membunuh kutu yang ada di kepala.
***
Sumber : http://www.thibbun-nabawi.com/www.wimakassar.org

AKHLAK ORANG YANG BERJIWA BESAR (BAG. I)

Oleh: Fadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt –hafidzahullah-

Alih Bahasa: Team al-Inshof


Pembaca budiman, disebabkan akhlak dan perangai terpuji begitu tinggi kedudukannya di mata Allah Ta'ala dan umat secara umum, terlebih bagi mereka yang mengusung misi dakwah Ahlu Sunnah wal Jama'ah, maka kami tergerak mengalih-bahasakan sebuah muhadharah (ceramah) ilmiyah yang sangat bermanfaat, diketengahkan oleh salah seorang ulama tafsir terpandang di kota Dammam Fadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt –hafidzahullah-, yang berjudul "Akhlaq al-Kibar".
Dan dikarenakan terjemahan ini berpijak pada audio, maka kami mohon maaf sebelumnya jika gaya bahasa yang digunakan tidak keluar seratus persen dari gaya bahasa ceramah. Semoga kita sekalian dapat memetik hikmah dan pelajaran dari ceramah berharga ini.

Segala puji hanya bagi Allah Rabb Seru Sekalian Alam, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah bagi penghulu para Nabi dan Rasul, Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa salam, amma ba'du.

Ayyuhal Ikhwah, tema kajian ini berkaitan dengan akhlaaqul kibar. Yang kami maksudkan kibar di sini bukan orang yang berumur kibar (tua), namun maksudnya adalah, ashaab an-nufuus al-kabiirah, atau "orang yang memiliki jiwa besar". Mereka itulah sang pemilik akhlak yang tinggi dan mencampakkan akhlak-akhlak rendah serta perkara-perkara hina. Termasuk pula dalam hal ini, kalangan para ulama, du'at dan kaum muslimin secara umum.

Maksud akhlaqul kibar di sini adalah orang yang berjiwa besar, bukan yang berjiwa kerdil dimana senang jika dipuji dan marah bila dicela. Memutuskan hubungan dengan orang hanya karena tidak senang, tersinggung, atau kerena jengkel dan marah. Atau, menjalin silaturahmi atas landasan senang dengan orang-orang tertentu dan memutuskan hubungan silatuhrahmi atas dasar karena tidak senang atau karena sebab-sebab lainnya. Orang yang berakhlak kibar adalah orang yang tidak memusuhi hanya karena orang lain itu melontarkan kritik atau mengejek dirinya.

Sang pemilik akhlak kibar, bukan pula berarti orang yang memiliki jabatan-jabatan tinggi. Dalam bahasa Arab, "kibar", bisa berarti tua dan bisa berarti tinggi jabatannya. Jadi orang yang berjiwa besar adalah orang yang menyikapi sesuatu untuk satu kepentingan besar, kemaslahatan Islam dan kaum muslimin, serta bukan atas dasar kepentingan pribadi. Orang-orang seperti inilah yang lebih pantas kita sebut dan sebarkan kisah heroik mereka, agar menjadi pelajaran bagi kita.

Kita sangat butuh materi penyegar seperti ini, lantaran cakupan persoalan yang begitu penting. Sebab kita saksikan berapa banyak khitbah (proses melamar seorang wanita) dibatalkan, berapa banyak jalinan cinta berubah menjadi permusuhan, dan berapa banyak hubungan kerjasama dalam urusan duniawi maupun ukhrawi (dakwah) bubar, hanya karena sikap orang-orang yang berjiwa kerdil. Tidak rela bila ada atau muncul kekurangan orang lain terhadap dirinya. Dan apabila hal itu terjadi, maka hubungan itu otomatis putus, tidak lagi mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah diperoleh, tidak mengingat lagi kebersamaan yang pernah dijalin apik pada waktu silam. Semua itu menjelma menjadi permusuhan dan kebencian, lantaran kesalahan dan kekurangan dari orang lain terhadap dirinya. Lalu dia menjadi sosok yang mudah membenci, mencela, dan berbuat hal-hal kurang (terpuji) pada dirinya. Seluruh perbuatan diukur melalui timbangan hawa nafsu. Bila menyenangkan dirinya ia senangi namun bila menjengkelkan, dia benci. Sikap seperti ini lahir karena ada orang-orang yang lebih memilih asal penciptaannya, yaitu tanah. Sebab manusia itu diciptakan dari dua unsur yaitu tanah dan ruh. Dan kita tahu, bahwa tanah berada di bawah. Orang-orang yang berjiwa kerdil mengukur segala sesuatu melalui hal-hal hina, dan itu kembali ke asal penciptaanya tadi yaitu tanah. Maka nampaklah dari dirinya akhlak yang rendah dan hina pula. Beda halnya dengan orang-orang mulia. Dimana mereka mengukur sesuatu melalui hal-hal yang tinggi dan mulia. Dan itulah sifat kedua dari penciptaan manusia, yaitu ruh.

Orang yang berjiwa besar adalah mereka yang berusaha mengurai simpul-simpul yang melingkupi jiwanya. Tidak memandang seluruh (perkaranya) dengan takaran hawa nafsunya. Dan tatkala dia sanggup melerai simpul-simpul tersebut, maka dia masuk dalam tingkatan lebih tinggi, yaitu orang yang bisa melepaskan diri dari semua keinginan hawa nafsunya. Dia bisa berhubungan dengan orang, siap menerima kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang muncul dari diri orang lain. Orang yang ingin merengkuh derajat tinggi, tidak mungkin sanggup merengkuhnya tanpa modal jiwa yang tinggi dan akhlak seperti telah disinggung.

Ayyuhal Ihkwan, kala berbicara tentang tema ini, kita tidak mengarahkan pada orang lain. Sebab sasaran utama adalah diri kita pribadi dan kemudian para hadirin sekalian. Jangan sampai kita berpikir bahwa "tema ini untuk si fulan yang akhlaknya masih kurang, atau si fulan yang akhlaknya tidak seperti ini". Jangan kita bayangkan seperti itu, yakni tema ini ditujukan pada sekelompok orang tertentu. Yang perlu dilakukan adalah menghadirkan diri dan hati kita untuk mencerna dan menerima materi ini. Jadilah orang yang berfikir. Hadir dengan hati dan kemudian mendulang manfaat dan hikmah darinya. Perbaharui hidup anda, tingkatkan akhlak anda, kemudian berubahlah. Lalu kembali dengan wajah berubah, suasana dan akhlak yang berbeda pula.

Materi ini diarahkan pada seluruh kalangan baik ulama, du'at, thulabul ilmi dan mereka yang memangku jabatan, baik jabatan tinggi atau-pun rendah. Juga ditujukan kepada para bapak, ibu, para pendidik dan pengajar serta orang awam pada umumnya. Demikian pula ditujukan kepada semua yang ingin mencari kesempurnaan. Mungkin diantara kita tidak rela disifati dengan sifat kerdil, hidup dalam cara berfikir sempit, hati sempit, dan jiwa yang sempit pula. Semua orang sepakat, bahwa materi kajian ini adalah sesuatu yang baik, terpuji dan mulia dimana semua jiwa pasti merindukannya.

Seandainya dakwah Rasul -shallallahu alaihi wasallam-, hanya bertujuan pada (perbaikan) akhlak saja, tentu orang-orang akan menyambut dakwahnya. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, "Kalaulah dakwah ini hanya tertuju pada (perbaikan) akhlak, sebagaimana jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdakwah hanya pada masalah (perbaikan) akhlak tanpa membahas kemusyrikan dan tauhid, tentu orang-orang pasti akan mengikuti dakwahnya".

Dalam tataran teori semua sepakat, namun pada prakteknya akan nampak sendiri hakikat sebenarnya. Semua orang dapat dengan fasih berbicara tentang akhlak yang baik, tapi dalam kenyataannya akan terlihat aslinya. Yang penting bukan orang menganggap baik, kemudian senang mendengarkan akhlak yang baik, tapi yang paling utama adalah perubahan, dan ada akhlak yang berubah. Orang yang halus lembut bukan orang yang lembut saat senang saja, tapi juga pada saat marah. Yang namanya akhlak, bukan hanya dapat tersenyum kepada saudara kita saat bersama teman-teman, bersama orang-orang yang duduk di majlis, tetapi akhlak adalah yang dapat kita bawa dalam setiap keadaan dan pada setiap tempat.

Ayyuhal Ikhwan, Allah Ta'ala menyifati Dzat-Nya dengan sifat al 'afuu (Yang Maha Mengampuni). Sifat ini adalah salah satu sifat yang sangat agung dan mulia. Maksud sifat Allah al 'afuu adalah Allah membiarkan hamba-Nya, mengampuni mereka yang berbuat kesalahan dan tidak menimpakan adzab atasnya secara spontan kala mereka durhaka pada-Nya. Kita memohon pada Allah agar menaungi kita dengan segala ampunan dan kemurahan-Nya.

Ayyuhal Ikhwan, ketika mendengar beberapa sifat ini, mungkin yang manjadi pertanyaan dalam diri adalah apakah kita memiliki sifat-sifat tersebut? Atau kita termasuk orang yang ketika melihat hal ini ternyata akhlak tersebut tidak banyak melekat dalam diri hingga ketika berurusan dengan orang lain, kita sampai bertikai dan membuat hitung-hitungan dengan mereka.

Banyak diantara kita yang rancu membedakan antara membela diri sendiri (al-intishar 'ala an-nafs) dan membela agama. Kadang balas dendam kepada orang lain dikamuflasekan atas nama agama, aqidah dan keimanan. Namun pada hakikatnya dia hanya membela diri sendiri, dan untuk memuaskan hawa nafsunya, lalu merasa membela Allah Ta'ala. Ada juga yang kemudian mengatasnamakan 'izzah (kemuliaan jiwa). Mungkin dia mau menunjukkan bahwa orang mukmin adalah orang yang memiliki 'izzah, karena 'izzah itu milik Allah Ta'ala, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Namun, dalam prakteknya, kadang dia membalas dendam dan tidak terima dengan semua ejekan atau hal-hal yang menjatuhkan harga dirinya, yang sebenarnya bukan atas nama kemuliaan sebagai seorang mukmin tapi karena dia tidak rela namanya disinggung kemudian diejek oleh orang lain.

Banyak orang rancu atau mencampuradukkan antara sikap mempertahankan diri sendiri serta hawa nafsunya dan mempertahankan agama, juga kemuliaan sebagai seorang mukmin atau kemuliaan pribadinya. Hingga apabila marah dan membalas, dia menyangka hal ini dalam rangka mempertahankan jati diri-nya sebagai seorang mukmin. Padahal sebenarnya dia mempertahankan hawa nafsunya, lalu mengais-ngais pembenaran melalui firman Allah Azza Wa Jalla,

وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

"Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri." (Qs: As-Syura : 39).

Padahal sudah ma'lum, bahwa ayat ini dan ayat-ayat lain yang semisal, menjelaskan tentang keutamaan sikap 'afuu, sikap pemaaf kepada orang yang menyakiti dan merendahkan diri kita. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka orang-orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia".(Qs: Fushilat : 34).

Dan tiada yang sangup atau diberikan sifat tersebut kecuali orang-orang yang sabar. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar". (Qs: Fushilat : 35).

Akan tetapi, datang-lah setan mendorongnya untuk membela dirinya dan beranggapan jika tidak dilakukan pembelaan ini, ia akan dianggap lemah, manusia akan mencelanya dengan mengatakan dirinya "lemah" atau "kurang". Padahal Allah Jalla Wa 'Ala berfirman,

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".( Qs: Fushilat : 36).

Berapa banyak orang-orang lupa, bahwa Allah Ta'ala menyifati diri-Nya dengan sifat ini serta memberi pujian bagi orang-orang yang mau melakukannya.

Ayyuhal Ikhwan, banyak sekali contoh dari sikap salufus shalih yang patut kita teladani berkaitan dengan sifat 'afuu. Di sini kami tidak banyak gunakan sebagai contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, lantaran beberapa sebab. Pertama, karena akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah akhlak Al-Quran, sebagai mana disampaikan Ummul Mu'minin A’isyah radhiallahu anha, "Sungguh akhlak beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) adalah al-Quran." Karena akhlak beliau adalah Al-Quran, maka jelas kita meyakini bahwa dari sisi akhlak beliau-lah yang paling mulia, paling lapang dada dan berjiwa besar. Kedua, agar orang tidak beralasan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dapat bersifat lapang dada, berjiwa besar dan mudah memaafkan karena beliau adalah rasul, maksum dan telah disucikan oleh Allah Ta'ala. Beliau telah disucikan dari bagian setan, dibersihkan dadanya dari bagian-bagian setan pada masa kecil dan saat isra’ dan mi’raj. Dimana hal ini kemudian dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan salahnya. Olehnya, kami mengangkat contoh dari kehidupan para salafus shalih agar orang tidak beralasan dengan alasan-alasan tersebut di atas. Dan agar kita dapat menakar seberapa jauh akhlak kita dibanding akhlak mereka. Yang paling penting adalah, kita mau merubah akhlak dan tidak perlu melihat contohnya dari siapapun. Artinya, kendati contohnya bukan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang utama di sini adalah upaya untuk memperbaiki akhlak kita.

Ayyuhal ikhwan, cobalah uji bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda dengan kita, yakni berbeda dalam aqidah dan manhaj. Apakah sikap setiap kita seperti dicontohkan para salafus shalih atau tidak? Sekarang kita lihat orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, maka sebagimana keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah kita tidak boleh memberikan wala' sedikitpun kepada orang tersebut.

لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al Mujaadilah:22).

Berbeda dengan orang yang pada dirinya masih terdapat amal shalih dan amal sayyi’ (amal yang tidak baik), terkumpul padanya syubhat, bid’ah, kesesatan atau syahwat, serta kebaikan dan maksiat, maka wala’ dan baro’ kita terbagi, tidak diberi al-wala’ seratus persen, dan tidak pula diarahkan padanya al-baro’ seratus persen. Sebab aqidah Ahlu Sunnah wal Jama'ah dalam masalah ini jelas, bahwa kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya pada sunnah, dan kita benci pada orang yang sama sesuai kadar penyimpangannya dari syariat ini.

Inilah yang kadang menjadi rancu pada sebagian orang ketika bermuamalah dengan orang lain yang berbeda. Seharusnya diberikan sikap yang menjadi ciri aqidah Ahlu Sunnah wal Jama'ah terhadap orang yang dalam dirinya ada keimanan dan maksiat, keimanan dan bid’ah, keimanan dan syubhat, maka wala' kita tidak diberikan seratus persen dan tidak juga ditinggalkan keseluruhannya. Yang diarahkan padanya wala' secara sempurna hanyanya kepada orang yang beriman dengan sempurna. Adapun terhadap orang yang beriman namun masih tercampur amal shaleh dan amal buruk, masih ada dalam dirinya bid'ah maka wala' kita tidak diberikan seratus persen. Kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya terhadap sunnah, dan membenci sesuai kadar penyimpangannya dari sunnah. Sayangnya, inilah yang digunakan sebagai alasan oleh orang untuk membela dirinya dengan mengatasnamakan dien, agama, dan sunnah.

Bercerminlah pada diri Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, Imam Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Beliau dirantai dan disiksa dari satu penjara ke penjara lain. Didera pada siang hari di bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Dijebloskan dalam penjara sementara darah segar masih menetes dari tubuhnya. Semua ini terjadi saat fitnah khalqil Quran (para ahlu bid'ah dan penguasa memaksa Imam Ahmad mengatakan "al-Quran itu makhluk", padahal al-Quran bukan makhluk akan tetapi Firman Allah). Kita perhatikan, ketika beliau marah, marahnya bukan untuk membalas. Beliau marah bukan untuk hawa nafsunya, akan tetapi marahnya karena Allah Ta'ala. Makanya tidak berat beliau mengatakan ”Semua yang pernah membicarakan-ku maka mereka semua halal dan aku maafkan. Dan aku-pun memaafkan Abu Ishaq (Raja Mu’tashim yang telah memenjarakan dan menyiksanya dengan siksaan berat)." Dan kemudian beliau mengatakan “Aku maafkan Abu Ishaq, sebab aku melihat firman Allah Ta'ala:

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?" (QS. An Nuur: 22).

Tidakkah kita melihat, Allah Ta'ala maha pengampun lagi maha pemurah. Jadi, ini menunjukkan bagaimana Allah Ta'ala memerintahkan hamba-hamba-Nya memberi maaf kepada orang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar radhiallahu anhu untuk memberi maaf sebagaimana dalam kisah tuduhan palsu pada diri ‘Aisyah radhiallahu anha, yang oleh kaum munafiqin difitnah telah melakukan perbuatan zina dengan salah seorang shahabat.

Apa manfaatnya bagi diri kita jika seandainya Allah Ta'ala mengadzab seseorang hanya untuk kepentingan kita? Atau untuk memuaskan hawa nafsu dan membalas dendam kita?

Imam Ahmad rahimahullah telah disiksa dan diperlakukan secara zalim. Namun beliau tidak pernah membuka lagi catatan-catatan masa lalu saat ketika disiksa, tidak ingin mengingat orang-orang yang dahulu pernah terlibat dalam penyiksaan beliau, serta tidak pernah mengungkit-ungkit lagi bahwa "si fulan yang dulu mengejek saya, si fulan yang dulu begini dan begitu”. Beliau tidak membuat perhitungan dengan orang-orang tersebut, bahkan menghamparkan pintu maaf yang seluas-luasnya bagi semua orang-orang tersebut.

Contoh lain yang sangat mulia adalah perkara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang divonis kafir dan difatwakan bahwa darahnya halal oleh para ulama di zamannya. Beliau dicampakkan dari satu penjara ke penjara lain kemudian disiksa dari waktu ke waktu. Namun setelah beliau bebas, beberapa ahlu bid'ah dan orang-orang yang ingin membela beliau datang memohon maaf pada beliau.

Salah satu musuh utama beliau adalah seorang ulama Madzhab Maliki yang bernama Ibnu Makhluf. Ia wafat pada masa Ibnu Taimiyah. Salah satu murid Ibnu Taimiyah, yakni Ibnul Qayyim al-Jauziyyah mengetahui prihal kematian Ibnu Makhluf, lalu bersegera menemui Ibnu Taimiyah dan menyampaikan kabar gembira ini. Akan tetapi, lihatlah reaksi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kala menyaksikan muridnya memberitahukan kematian musuh besarnya, kita lihat apakah beliau sujud syukur? Apakah beliau mengatakan 'Alhamdulillah' maha suci Allah yang telah menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya'? Tidak, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang. Syaikhul Islam terhadap musuh besarnya, Ibnu Makhluf saat meninggal beliau tidak sujud syukur, tidak pula mengucapkan kalimat-kalimat yang menggambarkan kebenciannya. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang. Begitu bencinya kepada seseorang sehingga ketika mendengar kabar kematian orang yang dibencinya, ia mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak layak diucapkan oleh seorang muslim.

Bahkan Syaikhul Islam menghardik Ibnul Qoyyim kemudian mengingkari perbuatannya karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh besar beliau, lantas beliau mengucapkan kalimat istirja', "inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'un", dan bersegera mengunjungi rumah Ibnu Makhluf, berta'ziah dan kemudian mengatakan kepada keluarga, anak dan istri Ibnu Makhluf, "Sungguh saat ini status saya seperti bapak bagi kalian. Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan aku akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian." Akhirnya mereka, keluarga Ibnu Makhluf, senang dan menghadiahkan doa bagi Syaikhul Islam.

Perhatikan keadaan musuh besar beliau. Dan kita tahu, kalau seorang itu musuh besar Ibnu Taimiyah, pasti orang ini aqidah-nya bermasalah. Namun ketika meningggal dunia, Syaikhul Islam mendatangi rumahnya dan menyampaikan bahwa mulai hari ini semua kebutuhan keluarganya menjadi tanggungan Syaikhul Islam. Pertanyaannya, siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti ini?! Siapa diantara kita yang ketika musuhnya meninggal lalu mendatangi keluarganya, mendatangi anak-anaknya kemudian berta'ziah kepada mereka? Siapa diantara kita yang bisa sampai mengatakan, bahwa tidak ada keperluan yang kalian butuhkan melainkan aku akan penuhi kebutuhan tersebut? Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti itu?! Hanya orang-orang yang berjiwa besar. Bahkan kalau kita mau jujur, tidak hanya itu, bahkan kepada teman dekat pun kita belum bisa berbuat seperti itu apalagi terhadap musuh.

Sekarang kalau kita mau jujur pula, jangankan musuh kepada teman kita saja tidak seperti itu. Ini bukti bahwa ukhuwah kita buruk sekali. Kalau teman kita ada yang terkena musibah seperti itu, diantara kita siapa yang dapat berlaku dan berbuat seperti itu? Ada teman yang keluarganya meninggal, maka saksikanlah, adakah diantara kita yang datang kepada keluarganya dan mengatakan "saya akan memenuhi kebutuhan kalian".

Yah, Syaikhul Islam rahimahullah mendatangi orang yang telah menfatwakan dirinya telah kafir. Ini bukti bahwa orang itu sangat amat mememusuhi Syaikhul Islam. Jika kita katakan dia ahli bid'ah, tentu sifat-sifat ini ada pada diri Ibnu Makhluf. Akan tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bersikap lebih besar dari itu, dan ini sekali lagi menunjukkan bahwa beliau bukan seorang yang berjiwa kerdil.

Ayyuhal Ikhwan, seandainya perangai kita seperti akhlak ini, tentu kita dapat lebih banyak meraih hati orang. Tetapi kadang kita memperlakukan mereka (orang yang berbeda dengan kita atau orang yang menyakiti kita) seperti dalam ayat-ayat yang Allah tegaskan, bahwa ia ditujukan kepada kaum munafiqin. Yakni, tidak boleh istigfar (memohonkan ampunan) untuk mereka, tidak boleh menyolatkan mereka, tidak boleh (ikut) menguburkan mereka dan selainnya. Celakanya, hukum-hukum ini kita aplikasikan kepada orang yang kami sebutkan (dan masih berstatus sebagai seorang mukmin).

Yah, kadang kita bermuamalah pada sebagian kaum muslimin dengan model muamalah seperti disebutkan dalam al-Qur'an, yakni muamalah dengan orang munafiqin. Kita menjadi orang-orang yang asyida' alal Mu'minin, [orang yang sangat keras kepada orang mukmin]. Kita menjadi orang-orang yang keras kepada ahlu iman padahal Allah Ta'ala menyifati orang-orang mukmin dan para shahabat yang bersana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai orang-orang yang Asyida' 'alal kuffar ruhamaa'u bainahum [keras terhadap kaum kuffar dan saling berkasih sayang di antara mereka (kaum mukminin)]. Sayangnya, kita kemudian menjadi orang yang terbalik. Kepada orang-orang yang beriman kasarnya luar biasa, namun kepada orang-orang kafir tidak ada sikap keras (sebagai bentuk 'izzah).

Perhatikahn, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah mencapai kesempurnaan dan kemuliaan akhlak masih saja diperintahkan oleh Allah Ta'ala bersikap lemah lembut, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظً الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ

"Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu"

Ayat ini diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai pelajaran bagi beliau dan selainnya. Jika saja Rasul berbuat kasar tentu orang akan lari darinya, maka bagaimana dengan yang bukan rasul. Padahal Rasul mendapat banyak dukungan untuk kemudian diterima dakwahnya, beliau mendapat wahyu, ma'sum, memiliki akhlak yang mulia, dan sebagiainya. Dan disamping itu semua, tetap saja masih diperintahkan bersikap lemah lembut, hingga Allah Ta'ala tegaskan:

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظً الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَ اسْتَغْفِرْ الَهُمْ وَ شَاوِرُهُمْ فِي الْآَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى الله

"Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal duniawiah yang lain). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakallah kepada Allah ( Qs: Al Imran : 159).

Sekarang mari kita tengok contoh ketiga, yakni dari diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, saat bermuamalah dengan Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay terkenal sebagai tokoh kaum munafiqin di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Semua orang tahu, bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah ra'sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, sebagaimana ditunjukkan oleh sikapnya terhadap Islam. Saat perang Muraysi' pecah, dia mengatakan, "Perumpamaan kita dengan Muhammad dan para shahabatnya adalah seperti kata pepatah, "beri makan terus anjingmu, nanti kalau sudah besar ia akan memangsamu." Artinya, ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shabatnya kita beri kesempatan, mereka akan menindas kita. Ini kata Abdullah bin Ubay dan orang-orang munafiq yang bersamanya. Ia juga mengatakan "jangan kalian infakkan apa yang ada ditangan kalian kepada orang-orang yang bersama Muhammad supaya mereka menjauh dari Muhammmad." Demikianlah ucapan Abdullah bin Ubay, dan ini hanya sebagian dari sikap mereka (yang menyakitkan) terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya, agar jangan diberikan apapun dan agar mereka tidak betah dan memutuskan keluar dari Madinah.

Coba kita perhatikan tatkala Abdullah bin Ubay meninggal, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Beliau mendatangi kuburnya. Memberikan pakaian beliau kepada putranya, dan kemudian memberi kain untuk dijadikan kafan untuk Abdullah bin Ubay. Padahal orang ini ra'sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, jelas-jelas orang munafiq, bahkan ditegaskan oleh nash, namun Rasulullah tetap datang ke kuburnya. Kemudian kita lihat ia bukanlah hanya sekedar orang munafiq, bahkan merupakan ra'sul munafiqin, tetapi masih diberikan kain kafan, didatangi kuburnya dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memintakan ampun kepada Allah Ta'ala. Coba bayangkan, beliau mendatangi kuburnya dan memintakan ampun kepada Allah untuk imamnya orang-orang munafiq, hingga turun firman Allah yang melarang Rasul demikian.(memintakan ampunan). Disini dapat kita saksikan ketinggian jiwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk memintakan ampun kepada orang yang selama ini menyakiti beliau. Kalau sendainya itu terjadi pada kita, mungkin kita akan mengatakan "mampus, biar sekalian mati!!", akan tetapi, beliau memohonkan ampunan, baru setelah itu turun larangan memintakan ampun untuk orang-orang munafiq dan orang kafir,

إِنْ تَسْتَغْفِرُ لَهُمْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ

"Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan merberi ampun kepada mereka (Qs: al-Taubah : 80).

Berkenaan dengan ayat ini, beliau bersabda: "Seandainya saya tahu, jika beristighfar lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, saya akan melakukan lebih dari tujuh puluh kali" atau sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam. Ini kepada imamnya orang-orang munafiq, seandainya beliau memintakan ampun lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, niscaya beliau akan melakukannya. Lihat akhlak Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam terhadap imamnya orang-orang munafiq. Kepada orang yang sudah lama sekali mengganggu dan menyusahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta orang-orang yang bersama beliau. Orang inilah yang telah membuat tuduhan palsu kepada 'Aisyah radhiallahu anha, dia juga yang mencemarkan kehormatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sekali lagi, bercerminlah pada sosok mulia seperti ini, beliau masih mau mendatangi kuburnya, lalu memberikan kain kafan seraya memintakan ampun kepada Allah Ta'ala. Siapa diantara kita yang bisa berjiwa besar seperti ini?

Jangan difahami bahwa kita ingin mengaburkan aqidah wala' wal bara' seperti yang telah kita sebutkan di atas. Harus dipahami aqidah wala' wal bara' mana yang dinamakan aqidah wala' wal bara' itu, bagaimana sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Salafus Shalih berkaitan dengan orang-orang yang berbeda atau menyimpang. Harus dibedakan antara wala' dan bara' dengan hawa nafsu. Al wala' wal bara' jalas ada dalam hati kita. Sikap terhadap orang lain, kemudian hawa nafsu kita juga sesuatu yang lain, adalah dua hal yang harus dibedakan.

Seorang da'i tidak pantas memiliki sifat-sifat seperti ini (intishar ala an-nafsi dan keras terhadap sesama muslim). Kalau da'i seperti ini, kerusakan akan lebih besar daripada manfaat. Dimana ia mendoakan kejelekan bagi si fulan pada sepertiga malam terakhir, kemudian melaknat fulan, mencaci maki fulan dan menyatakan bahwa Allah Ta'ala tidak mungkin memberikan ampun kepadanya. Orang semacam ini lebih pantas memperbaiki dirinya sendiri dahulu, baru kemudian memperbaiki orang lain. Karena bisa jadi, mafsadatnya jauh lebih besar daripada maslahatnya bagi orang lain (baca: ummat). Sebab dia sendiri belum berhasil memperbaiki diri dan jiwanya, hingga ketika dia memperbaiki orang lain tentu akan lebih berat. Karena kenyataannya, yang terjadi hanya bermasalah dengan si fulan, kemudian bermusuhan dan bertikai dengan orang lain dan seterusnya.

Saat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sakit menjelang wafatnya, di dalam penjara dan bukan di rumah, beliau dicegat melakukan seluruh aktivitas hingga tidak diberikan pena untuk menulis. Walau demikian, beliau tetap menulis, memberi fatwa kepada kaum muslimin, hanya dengan mengunakan arang hingga akhirnya beliau dilarang menulis sama sekali. Segala aktivitasnya diawasi oleh Ahlu Bid'ah lalu disampaikan kepada penguasa.

Hingga suatu ketika sebagian ahlu bid'ah ini mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara, lalu memohon maaf kepada Syaikhul Islam, lantaran menjadi sebab Syaikul Islam dijebloskan dalam penjara. Maka lihatlah, ikhwah fillah, bagaimana jiwa besar beliau. Dengan Tenang beliau mengatakan: "Aku telah maafkan Anda, Aku juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan saya". Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke penjara, serta semua orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara. Semoga bermanfaat. Bersambung….(disalin dari :http://www.alinshof.com).

Kelalaian dan Kesalahan Orangtua Dalam Mendidik Anak (5)

Pada edisi lalu (tulisan 1 -4) telah kami sebutkan 15 bentuk kelalaian dalam mendidik anak. Berikut ini kembali kami sebutkan beberapa kelalaian yang lain, dan masih merupakan kelanjutan dari kelalaian sebelumnya. Diantara bentuk-bentuk kelalaian itu adalah:

16. Kesibukan Orang Tua di Luar Rumah
Sebagian orang tua mengabaikan rumahnya, berada di luar rumah dalam waktu yang lama, sehingga membahayakan anal-anak dengan berbagaimacam fitnah dan musibah, keterasingan dan penyimpangan perilaku. Di antara potret masalah ini adalah:

a. Kesibukan orang tua pada bisnis dan perdagangan yang mengabaikan anak-anak. Sekiranya orang tua –seperti ini- diperingatkan, maka mereka akan menjawab, “Sesungguhnya saya bekerja ini demi kebutuhan mereka.”
b. Perjalanan panjang di luar negeri untuk urusan bisnis atau pelancongan.
c. Kumpul-kumpul bersama teman-teman dalam waktu yang lama pada waktu istirahat (luang) dan tempat-tempat rekreasi.
d. Melupakan rumah pertama (istri pertama) ketika seseorang menikah lagi dengan istri yang baru, dan tinggal bersama istri yang baru dalam satu rumah. Betapa banyak orang yang berpoligami kemudian melupakan rumah (istri)nya yang pertama. Maka, akhirnya ia melalaikan anak-anaknya, sehingga mereka tidak terkontrol karena kesibukan dan jauhnya (keterpautan hati) orang tua mereka.
e. Inilah sebagian potret kesibukan (dalam waktu yang lama) di luar rumah. Betapa banyak perilaku menelantarkan anak-anak. Betapa banyak cara yang mengantarkan mereka kepada bencana dan fitnah, betapa banyak dari mereka yang tidak merasakan kasih sayang, perhatian dan pemeliharaan maksimal dari orang tua mereka. Alangkah indahnya bait yang dilantunkan oleh seorang penyair:

Bukanlah yatim paitu itu
Seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya
Dan keduanya meninggalkannya dalam keadaan terhina
Sesungguhnya yatim itu
Seorang yang mempunyai kedua orang tua
Tetapi, ibunya meninggalkan rumah dan ayahnya sibuk

17. Berdoa Buruk untuk Anak

Betapa banyak orang tua khususnya ibu-ibu yang mendoakan keburukan bagi anak-anaknya, maka engkau dapati –karena sebab yang kecil saja- mendoakan buruk kepada anaknya agar mati karena penyakit demam, atau terbunuh dengan peluru, atau tertabrak mobil atau mengalami kebutaan dan bisu. Engkau juga dapati bapak yang mendoakan buruk kepada anak-anak hanya karena mendapatkan sedikit perilaku durhaka dari anak-anaknya, sementara dia tidak menyadari bahwa kedurhakaan anak-anaknya itu karena mereka sendirilah penyebab utamanya.

Orang tua tidak pernah menyadari bahwa doa itu terkadang bertepatan dengan waktu dikabulkannya, sehingga apa yang didoakannya itu benar-benar terjadi, dan akhirnya hanya penyesalan yang tiada arti lagi.

Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada,

“Janganlah kamu berdoa keburukan atas diri kamu, janganlah kamu berdoa keburukan atas anak-anak kamu, Janganlah kamu berdoa keburukan harta-harta kamu, janganlah kalian (mendoakan mereka) agar (doa yang kalian panjatkan ) tidak bertepatan dengan waktu Allah yang mustajab (memberi segala permintaan hamba-Nya) sehingga Allah mengabulkan untuk kalian doa yang buruk tersebut.”

18. Memotivasi Anak Melakukan Hal-Hal yang Buruk dan Akhlak yang Tercela

Seperti menyemangati anak-anak untuk pergi ke tempat pesta (night club), mengikuti trendorang-orang kafir, membiasakan anak-anak perempuan berpakain pendekdan tipis, juga memebiasakan mereka dengan kata-kata jorok, kalimat yang jauh dari kesantunan. Ini terjadi karena seringnya anak-anak mendapati julukan-julukan aneh dalam panggilan mereka, sehingga anak-anak terbiasa dengan ungkapan tersebut, tidak lagi memperdulikan adab-adab pembicaraan.

19. Berbuat Kemungkaran di Hadapan Anak

Seperti merokok, mencukur jenggot, mendengarkan alunan lagu, menonton film-film berbau porno, atau menyimak sinetron televisi, terbukanya aurat ibu-ibu dihadapan puteri-puterinya, sering keluarnya ibu-ibu dari rumah tanpa keperluan yang jelas. Ini semua menjadikan kedua orang tua sebagai teladan buruk bagi anak-anak mereka.

Dalam hal ini, terkadang orang tua melihat kemungkaran pada anaknya, namun ia tadak memberikan reaksi apapun sehingga menjadikan mereka terus menerus dalam kemungkaran.

20. Membawa Kemungkaran Masuk ke dalam Rumah

Kemungkaran dapat masuk ke dalam rumah melalui media majalah porno, atau media lain bisa menjadi perusak dan pembinasa karakter anak, atau buku-buku yang membahas sex secara vulgar, atau kemungkaran lainnya.

Jauhkanlah dari anak-anak segala prasarana yang hancur, factor-faktor perusak, media dan alat yang meneyebabkan kerusakan dan penyimpangan, sekolah-sekolah untuk menghancurkan bangunan akidah dan penistaan akhlak, serta praktek nyata dalam melakukan kriminalitas.

Itulah cara dan metode yang memiliki kekuatan besar untukmenyampaikan pesan buruk, ia mempunyai pengaruh kuat untukmenjauhkan peran keluarga dalam pendidikan.



(Bersambung Insya Allah)
Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.

Minggu, 05 Juni 2011

Islam Melindungi Kehidupan Wanita

Dari Nafi’ diceritakan bahwasanya Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu. memberitahunya, “Bahwa ada seorang wanita yang ditemukan tewas di dalam suatu peperangan yang diikuti oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah memprotes pembunuhan wanita dan anak-anak.”
(HR. Bukhari).

Penjelasan Hadits:

Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sangat menghormati kehidupan wanita, sekalipun ia kafir atau musuh, selama tidak memerangi kaum muslimin.

Hadis ini juga bisa menjadi indikasi lain yang menunjukkan kasih sayang dan belas kasih Islam terhadap kaum wanita, termasuk wanita non muslimah. Sementara di pihak lain, kita menemukan banyak sekali kasus pembunuhan wanita muslimah oleh musuh-musuh Allah dari kalangan kafir dan musyrik sepanjang sejarah hingga kini. Di antaranya adalah pembantaian dan pemerkosaan terhadap wanita-wanita muslimah di Bosnia-Herzegovina. Juga serangan udara yang dilancarkan oleh militer Yahudi (Israel) terhadap wilayah Palestina yang membunuh para wanita dan anak-anak.

Kaum wanita akan merasa aman ketika menerima konsep Islam yang memerintahkan untuk melindungi wanita ini. Konsep itu bahkan berlaku ketika para lelaki menjadikan kaum wanita mereka sebagai perlindungan dari serangan pasukan Islam. Karena Imam Malik dan Auza’i mengatakan, “Tidak boleh membunuh wanita dan anak-anak dalam kondisi apa pun. Termasuk ketika pasukan musuh menjadikan wanita dan anak-anak sebagai perisai hidup, atau mereka bertahan di sebuah benteng atau kapal dengan menyertakan wanita dan anak-anak bersama mereka, maka mereka tidak boleh ditembak ataupun dibakar.”

Tidakkah setelah ini seorang wanita non muslimah akan berbangga kepada golongannya, bahwa mereka telah menjadi faktor yang berhasil melindungi dan menjaga mereka? Dan tidakkah -pada saat yang sama- ia juga merasa bahwa apabila Islam memelihara dan melindungi hidupnya, padahal ia non muslimah, maka Islam tentu akan lebih besar perhatiannya dalam memelihara dan melindungi hidupnya, bilamana ia menjadi seorang muslimah?!

Adakah pembebasan wanita yang lebih hebat dari ini? Sebuah perlindungan bagi hidup wanita bahkan ketika kaumnya sedang berperang dengan orang Islam?!

Akan tetapi ada sebuah pertanyaan yang terlintas? Apakah perlindungan bagi hidup wanita ini masih berlaku ketika yang bersangkutan memanggul senjata dan memerangi kaum muslimin?

Abu Daud meriwayatkan dari Ikrimah, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang wanita terbunuh di Thaif, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Bukankah aku sudah melarang membunuh wanita? Siapa pelakunya?” Lantas ada seorang lelaki yang mengatakan, `Aku, Ya Rasulullah. Aku membonceng wanita itu, lalu ia hendak menyerang dan membunuhku, sehingga aku pun membunuhnya.’ Kemudian beliau memerintahkan agar wanita itu dikubur.”

Sementara Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Hadis Riyah bin Rabi’ At-Taimiy, dia berkata, “Adalah kami bersama Rasulullah dalam sebuah peperangan. Lalu beliau melihat orang-orang berkumpul dan beliau juga melihat seorang wanita terbunuh. Kemudian beliau bersabda, “Tidak semestinya wanita ini ikut berperang.”

Mafhum (yang dapat difahami) dari Hadis ini ialah apabila wanita itu ikut berperang, maka ia boleh dibunuh.

Kendati wanita yang ikut berperang boleh dibunuh, Namun Ibnu Habib -salah seorang tokoh madzhab Maliki- mengatakan, “Apabila wanita itu ikut berperang, maka kita tidak boleh secara sengaja membunuhnya, kecuali jika ia secara langsung membidik kita.”

Inilah Islam yang oleh banyak kalangan diupayakan untuk ditampilkan dengan wajah keras, teroris, dan berlumuran darah. Padahal, Islam sangat memperhatikan kepentingan wanita dan melindungi hidupnya, apa pun keyakinannya. Bahkan ketika ia berada di tengah-tengah kaum yang memerangi kaum muslimin, selama ia tidak secara sengaja mencoba membunuh kaum muslimin.[]

Disalin dari buku “Aku Tersanjung” (Kumpulan Hadits-hadits Pemberdayaan Wanita dari Kitab Shahih Bukhari & Muslim Berikut Penjelasannya), Karya Muhammad Rasyid al-Uwayyid.

Menjawab Tuduhan Terhadap Da'wah Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab (1)

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya, “Apa itu Wahabi?” . Pada tulisan kali ini kita akan memaparkan beberapa tuduhan kepada dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan jawabannya.

Beberapa Tuduhan dan Jawaban

Beragam penilaian manusia dalam menilai dakwah ini. Sebagian mereka berkeyakinan bahwa dakwah ini adalah mazhab kelima setelah empat mazhab yang lain. Sebagian lagi menganggap bahwa dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat ekstrim sehingga mudah mengkafirkan kaum muslimin. Sebahagian lagi menganggap bahwa dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak mencintai Rasulullah dan para wali. Serta anggapan-anggapan lainnya yang sama sekali tidak ada buktinya.

Sebelum membantah tuduhan-tuduhan mereka renungilah perkataan al-‘Allamah Muhammad Rasyid Ridha berikut ini:

Pada masa kecilku, aku sering mendengar cerita tentang “Wahabiyah” dari buku-buku Dahlan [1] dan selainnya. Sayapun membenarkannya karena taqlid kepada guru-guru kami dan bapak-bapak kami. [2] Saya baru tahu tentang hakikat jama’ah ini setelah hijrah ke Mesir. Ternyata aku mengetahui dengan yakin bahwa mereka (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya) yang berada di atas hidayah. Kemudian saya mengkaji buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab anak-anaknya, dan cucu-cucunya serta ulama-ulama lainnya dari Najd (sebuah daerah di Arab Saudi), maka saya mengetahui bahwa tidak terdapat sebuah tuduhan serta celaan yang dilontarkan kepada mereka kecuali mereka menjawabnya. Jika tuduhan itu dusta mereka berkata, “Maha Suci Engkau (Ya, Allah), ini adalah kedustaan yang besar.” Akan tetapi jika tuduhan itu ada asalnya, mereka menjelaskan hakikatnya dan membantahnya. Sesungguhnya ulama’ Sunnah dari India dan Yaman telah meneliti, membahas dan menyelidiki tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan bahwa para penuduh itu sebenarnya tidak amanah dan tidak jujur.

Baiklah, sekarang kita kaji tuduhan-tuduhan mereka dan jawabannya.

“agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.” (Terjemah Qur’an surah al-Anfaal ayat :8)

Tuduhan Pertama:

Mereka, ahli bid’ah, menganggap bahwa dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (atau mereka sebut dengan dakwah wahabiyah) merupakan mazhab kelima setelah empat mazhab lainnya (Hambali, Maliki, Syafi’i dan Hanafi).

Jawaban kepada tuduhan pertama:

Ini merupakan kejahilan mereka, sebab telah merupakan perkara yang masyhur dan memang nyata bahwa dakwah ini bukanlah dakwah baru. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam hal aqidah mengikuti manhaj Salaf. Adapun dalam masalah furu’ mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal (Hambali). Maka bagaimanakah mereka menyatakan bahwa Wahabiyah merupakan dakwah baru serta dianggapnya sebagai jama’ah sesat dan rusak? Semoga Allah menghancurkan kejahilan, hawa nafsu dan taqlid.

Syaikh Muhammad Jamil Zainu pernah bercerita:

Aku pernah bertemu seorang di Syria yang mengatakan tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa beliau adalah pendiri mazhab kelima dari empat mazhab. Maka akupun berkata kepadanya bahwa bagaimana anda mengatakan demikian padahal bukankah sudah masyhur bahawa mazhab beliau adalah Hambali? Sungguh ini adalah kedustaan dan tuduhan tanpa bukti.

Tuduhan Kedua:

Mereka menganggap bahwa dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mudah mengkafirkan kaum muslimin.

Jawaban kepada tuduhan kedua:

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri telah menjawab tuduhan ini ketika menuliskan dalam suratnya kepada Suwaidiy, seorang alim dari Iraq (pada zamannya):

Adapun apa yang kalian sebutkan bahwa saya mengkafirkan kaum manusia, kecuali yang mengikutiku dan bahwasanya aku menganggap pernikahan-pernikahan mereka tidak sah, maka saya katakah bahwa sungguh mengherankan, bagaimana hal ini dapat masuk akal, apakah ada seorang muslim yang mengatakan demikian. Ketahuilah aku berlepas diri kepada Allah dari tuduhan ini, yang tidak muncul melainkan dari orang yang terbalik akalnya. Adapun yang saya kafirkan adalah orang yang telah mengetahui agama Rasulullah, kemudian setelah mengetahuinya ia mencelanya, melarangnya dan memusuhi orang yang menegakkannya. Inilah yang saya kafirkan.

Tuduhan Ketiga:

Mereka menuduh bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jawaban kepada tuduhan ketiga:

Ketahuilah wahai orang-orang yang berakal, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mempunyai kitab yang berjudul Mukhtashar Sirah al-Rasul yang berisi tentang perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan kecintaan beliau terhadap baginda.

Maka tuduhan ini merupakan kedustaan dan kebohongan yang akan diminta pertanggungjawabannya di sisi Allah. Kemudian kita katakan kepada mereka, yakni para penuduh, apakah cinta kepada Rasulullah itu (dibuktikan) dengan mengadakan (perayaan) Maulid Nabi, Shalawatan bid’ah [3] atau selainnya yang tidak pernah diajarkan Rasulullah sendiri? Atau cinta kepada Rasulullah itu (dibuktikan) dengan mengagungkan sunnahnya, menghidupkannya, membelanya serta memberantas lawannya (yaitu bid’ah) sampai keakar-akarnya. Jawablah wahai orang-orang yang dikurniakan akal.

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Terjemahan al-Qur’an surah Ali ‘Imran ayat: 31)

Al-Hafiz Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, juz 2 hal 37:

Ayat ini merupakan hakim bagi setiap orang yang mengakui mencintai Allah padahal tidak mengikuti manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah. Dia dianggap dusta dalam pengakuannya hingga dia mengikuti syari’at Rasulullah dalam segala hal, baik dalam perkataan, perbuatan maupun keadaan.

Insya Allah artikel ini akan bersambung masih dengan pembahasan menjawab tuduhan dan syubhat terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Footnote:
[1] Yang dimaksudkan ialah Ahmad Zaini Dahlan, seorang yang memusuhi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab semata-mata karena dakwah tersebut menyalahi pegangan dan kedudukannya. Sebagaimana kata Syaikh Rasyid Ridha di atas, jika kita mengkaji buku-buku karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para tokohnya, ternyata bahawa cerita negatif “Wahabiyah” yang dibawa oleh Ahmad Zaini Dahlan adalah dusta. (Hafiz Firdaus)
[2]Inilah hakikat pembenci dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kebanyakan orang membenci dan menolak dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab semata-mata kerana ikutan kepada orang-orang sebelum mereka tanpa mengkaji secara ilmiah apa dan bagaimana dakwah tersebut. (Hafiz Firdaus)
[3] Yakni bacaan-bacaan selawat yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bacaan selawat yang terbaik, teragung, terbesar, termulia adalah bacaan selawat yang diajarkan sendiri oleh Rasulullah, yakni apa yang kita lazimi baca ketika duduk tasyahud dalam shalat.

Sumber: www.hafizfirdaus.com