Kamis, 29 September 2011

Hidayah Lambat Karena Adat

Allah tidak pernah terlambat memberikan hidayah. Allah Mahatahu, kapan waktu yang paling tepat untuk menurunkannya. Sebagaimana Allah juga Mahatahu, siapa yang layak didahulukan atau diakhirkan hidayahnya, atau bahkan yang tidak layak memperolah secercahpun hidayah dari-Nya.

Jikalau ada yang diperlambat datangnya hidayah, bukan karena Dia kikir atau pelit, sungguh Dia Maha Penyayang lagi Maha Pemurah. Keterlambatan, atau bahkan terhalangya seseorang dari hidayah itu disebabkan oleh ulah dan sikap manusia dalam menerima dan menyambutnya. Atau dominasi hawa nafsu yang menguasai diri, sehingga menampik datangnya hidayah. Baik hidayah Islam secara global, ataupun hidayah tafshil (yang rinci), berupa menjalankan berbagai perintah, dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah.

Adat, Hambatan Paling Berat

Saat cahaya Islam pertama kali menyapa kaum Arab Quraisy, tak serta merta disambut dengan gegap gempita. Bahkan lebih banyak penentang katimbang pendukungnya. Alasan paling populer dari para penentang adalah, karena Islam tak sejalan dengan adat dan agama nenek moyang mereka.

Taklid kepada leluhur lebih mereka utamakan dari ajakan Allah dan Rasul-Nya, meskipun hati kecil mereka meyakininya. Tak ada penghalang yang lebih berat bagi Abu Abu Thalib, paman Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, selain beban untuk berpegang kepada agama leluhurnya. Adalah Abu Jahal yang memprovokasi Abu Thalib di ujung hayatnya. Dia membujuk, “Apakah engkau hendak meninggalkan agama Abdul Muthallib?” Hingga akhirnya Abu Thalib mati dalam keadaan musyrik. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, sebelum meninggal, dia mengulang-ulang sya’irnya,

Aku tahu bahwa agama Muhammad terbaik bagi manusia

Kalau saja bukan karena agama nenak moyang yang dicela

Niscaya engkau dapatkan aku menerima dengan sukarela

Sikap ini mewakili sekian banyak orang yang menampik hidayah, juga enggan untuk tunduk terhadap titah Allah dan Rasul-Nya. Karakter para penentang ini dikisahkan dalam firman-Nya,

“Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. (QS. Al Maidah:104)

Ketika mereka diajak menjalankan agama Allah dan syariatnya, menjalankan kewajiban dan apa yang diharamkannya, mereka menjawab, ”cukup bagi kami mengikuti cara dan jalan yang telah ditempuh oleh bapak dan kakek kami.” Demikian dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Katsier rahimahullah.

Seakan al-Qur’an masih hangat turun ke bumi. Betapa alasan ini sangat populer kita dapati. Tatkala didatangkan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, baik tentang larangan yang tak boleh dijamah, atau perintah yang mesti dilakukan, seringkali kandas ketika dalil itu tak sejalan dengan kebiasaan yang telah berjalan. ”Jangan merubah adat…! Ini sudah tradisi para leluhur…! Biasanya memang begini…!” dan ungkapan lain yang mengindikasikan ketidakrelaan mereka jika adat diganti dengan syariat. Ungkapan seperti ini tak jarang muncul dari lisan orang yang telah menyatakan dirinya Islam, yang telah mengikrarkan bahwa ia rela Allah sebagai Rabbnya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dan Islam sebagai agamanya. Tapi begitu syariat tidak sejalan dengan adat, adat lebih mereka utamakan.

Sejenak kita akan tahu bahwa, masih banyak warisan adat leluhur yang ternyata bertentangan dengan syariat, bahkan jika dirunut, tak hanya warisan nenek moyang masyarakat Indonesia, tapi warisan penyembah berhala di era jahiliyah Arab.

Kesesatan yang Dilestarikan

Atas nama melanggengkan nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang, budaya sesaji masih tetap lestari. Dari yang hanya sekedar mempersembahkan menu ’wajib’ berupa hewan sembelihan, maupun yang berupai kemenyan, buah-buahan dan ’tetek bengek’ lain sebagai menu tambahan. Semua itu ditujukan kepada sesuatu yang diagungkan, apakah jin penunggu, arwah leluhur atau dewa yang diyakini keberadaannya.

Tradisi ini mengiringi momen-momen penting dalam kehidupan manusia, seperti peringatan kelahiran, kematian, upacara pernikahan, peresmian gedung atau jembatan, peringatan hari besar, juga untuk tujuan insidental seperti mencegah terjadinya marabahaya. Tak ketinggalan pula masyarakat kita yang mengaku dirinya muslim. Mereka turut membudayakannya dengan sedikit modivikasi dan dikemas dengan simbol-simbol Islam.

Sulit untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan, sejak kapan tradisi sesaji bermula di negeri ini. Paling-paling kita harus puas dengan jawaban, ”itu sudah menjadi adat nenek moyang sejak dahulu.”

Jika ditelisik, sesaji tak hanya menjadi tradisi Hindu atau penganut animisme maupun dinamisme di Indonesia saja. Tapi juga merupakan adat jahiliyah Arab, yang kemudian disapu bersih dengan hadirnya Islam. Ini terlihat dari banyaknya ayat dan hadits yang melarang sembelihan untuk selain Allah, juga ancaman bagi yang melakukannya.

Dahulu, orang biasa Arab biasa menyembelih hewan di sisi kuburan, lalu Islam melarangnya. Sebagaimana hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam
لاَ عَقْرَ فِي الإِسْلاَمِ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: كَانُوا يَعْقِرُونَ عِنْدَ الْقَبْرِ بَقَرَةً أَوْ شَاةً

“Tidak boleh ada ‘aqr (menyembelih di kuburan) dalam Islam.” (HR. Abu Dawud)

Abdurrazzaq yang meriwayatkan hadits tersebut berkata; dahulu mereka menyembelih sapi atau kambing di kuburan.

Dengan alasan mengikuti adat, tradisi itupun masih dilestarikan dengan istilah bedah bumi (‘meminta ijin’ untuk menggali liang kuburan), atau sebagai penghormatan kepada orang yang telah mati.

Padahal secara tegas Nabi shallallaahu 'alaihi wasallambersabda,
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّه

“Dan Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim)

Jimat untuk kesaktian dan penangkal bahaya, juga menjadi warisan orang musyrik terdahulu. Suatu kali, sahabat Hudzaifah bin Yaman menengok orang sakit. Beliau melihat di lengan si sakit ada gelang (untuk jimat). Maka beliau langsung melepasnya sembari membaca firman Allah,

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah ( dengan sembahan-sembahan lain ).”(QS. Yusuf:106)

Bukankah praktik ini sering kita jumpai dalam bentuk rajah di pintu rumah, di warung, kendaraan, atau jimat lain berupa gelang, kalung atau cincin yang dianggap memiliki khasiat bisa mendatangkan manfaat dan mencegah madharat. Inilah keyakinan syirik warisan jahiliyah, di mana Islam datang untuk membersihkan dan menghilangkannya.

Belum lagi berbagai keyakinan khurafat yang masih subur dan diwariskan turun temurun.

Meninggalkan Adat Demi Syariat

Ajaran tauhid mengharuskan penganutnya bersih dari syirik, meski itu berupa adat yang mendarah daging dan mengakar kuat. Wajar, jika dakwah Nabi SAW oleh orang Arab diidentikkan dengan dakwah untuk meninggalkan adat nenek moyang.

Heraklius, Kaisar Romawi yang beragama Nasrani pernah bertanya kepada Abu Sufyan saat masih musyrik, ”Apa yang Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam serukan atas kalian?” Abu Sufyan menjawab,
يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَة

“Beliau mengatakan, “Hendaklah kalian hanya beribadah kepada Allah saja, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hendaknya kalian meninggalkan pendapat nenek moyang kalian, dia juga menyuruh kami shalat, berlaku jujur, menjaga kehormatan dan menjalin persaudaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menyelisihi kebiasaann nenek moyang bukanlah cela. Melanggar adat tak juga membuat kita kualat. Bahkan orang yang kualat dan mendapat ganjaran berupa siksa yang berat adalah mereka yang mempelopori adat yang sesat, juga para pengikutnya di dunia.

Di dalam hadits Bukhari, Nabi juga bersabda, ”Aku mengetahui, siapakah orang pertama yang merubah ajaran (tauhid) Ibrahim alaihis salam.” Para sahabat bertanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Dia adalah Amru bin Luhay, saudara Bani Ka’ab. Aku melihatnya dia menyeret usus-ususnya di neraka, hingga penduduk neraka yang lain terganggu oleh bau busuknya.” (HR. Bukhari)

Begitulah ganjaran bagi orang yang membawa berhala ke negeri Arab, yang tadinya telah dibersihkan oleh kapak dan dakwah tauhid Ibrahim alaihis salam. Apakah kita tetap akan membanggakan para leluhur meski memiliki kemiripan dengan Amru bin Luhay?

Teladanilah sikap yang diambil oleh seorang tabi’in, Syuraih al-Qadhi ketika beliau ditanya, ”Dari kaum manakah Anda?” Beliau menjawab, ”Dari kaum yang Allah telah karuniakan Islam atasnya. Sedangkan orangtuaku dari Kindah.” Beliau lebih suka menisbahkan dirinya kepada Islam, katimbang membanggakan sukunya.

Karena beliau tahu, suku atau keturunan siapa tak akan membuatnya mulia atau hina, tidak pula menolongnya kelak di akhirat. Nenek moyang tak mampu menyediakan surga baginya, bahkan, jika mereka sesat, mereka sendiri dalam keadaan hina. Simaklah kabar Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam tentang mereka,
لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجِعْلاَنِ الَّتِي تَدْفَعُ بِأَنْفِهَا النَّتِنَ

Maka, hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya; sebab mereka hanya (akan) menjadi arang jahannam, atau di sisi Allah mereka akan menjadi lebih hina dari ji’lan (kumbang kotoran) yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Memang, tak semua adat itu sesat, sehingga wajib kita mengukurnya dengan barometer syariat. Jika memang bertentangan, janganh ragu meningalkannya, demi merealisasikan ajaran Islam yang hanif. (Abu Umar Abdillah/http://www.arrisalah.net/kolom/2010/09/hidayah-lambat-karena-adat.html)

Bahtera Pena Para Ulama

Oleh Ust DR Ahmad Zain An Najah MA

Alhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ba’du :

Umat Islam mencapai kejayaannya, manakala para generasinya bekerja keras, tanpa kenal lelah untuk menggapai cita-citanya. Hal ini terbukti pada zaman keemasan Islam di mana para ulama telah menorehkan berbagai karya agung yang mereka toreh dengan keringat, air mata dan darah mereka. Karya-karya besar mereka sebagiannya sudah sampai kepada kita, sehingga kita bisa ikut merasakan manfaatnya yang begitu besar khususnya di dalam memahami ajaran agama kita.

Sebagai generasi yang datang terakhir, hendaknya kita mengambil pelajaran dari karya-karya tersebut, bagaimana mereka menorehnya, bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan yang besar tersebut, padahal kemampuan mereka sebagai manusia bisa dikatakan sama dengan kemampuan kita. Tetapi mereka bisa membuktikannya, sedang kita belum bisa membuktikannya. Apa yang membedakan antara mereka dengan kita ? Bukankah mereka adalah manusia yang juga makan dan minum sebagaimana kita makan dan minum ? Bahkan pada masa mereka sarana kehidupan sangat sederhana dan terbatas, sedang sarana kehidupan kita saat ini sangat banyak, beragam dan serba canggih ?

Dalam tulisan berikut ini, akan kita temukan bahwa mereka mampu berkarya, karena mereka mempunyai kemauan yang kuat dan cita-cita yang tinggi. Mereka benar-benar mengejar cita-cita tersebut dengan keringat, air mata dan darah. Mereka tinggalkan segala bentuk kesenangan yang membuaikan dan meninakbobokan, mereka tiggalkan segala bentuk permainan dan senda gurau yang melupakan, mereka tinggalkan segala bentuk kegiatan yang tidak mendukung cita-cita mereka. Mereka kerahkan seluruh potensi yang ada di dalam diri mereka, mereka bekerja semaksimal dan seoptimal mungkin. Mereka sangat menghargai waktu, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam untuk meraih cita-cita tersebut.

Tiada kata berhenti di dalam hidup mereka, tiada kata istirahat di dalam kegiatan mereka. Mereka terus bekerja, bergerak dan berkarya sampai ajal menyemput mereka. Salah seorang dari mereka, yaitu Imam Ahmad ketika ditanya oleh kawan-kawannya ; “ Wahai Imam…kenapa anda terus menerus belajar ? kenapa tidak istirahat sejenak ? “ . Beliau menjawab : “ wahai teman, istirahatnya nanti ketika kita di syurga “

Tak ayal karya-karya mereka telah memenuhi bumi ini, bagaikan udara yang memenuhi seluruh ruangan. Ibnu Aqil salah satu dari mereka yang memiliki karya tulis yang beraneka ragam dan yang paling spektakuler adalah kitab “ Al-Funun “, sebuah ensiklopedia yang memuat beragam ilmu yang sangat berharga, terdapat di dalamnya berbagai macam nasehat, tafsir, fiqih, ushul fiqih, aqidah, bahasa Arab, sya’ir, sejarah, bahkan juga hikayat. Kitab “ Al-funun “ ini terdiri dari 800 jilid. Kitab ini hanya salah satu karya beliau saja. Beliau juga mempunyai karya-karya lain yang sangat banyak. . Berkata Imam Ad- Dzahabi : ” Belum ada buku di dunia ini yang lebih tebal dari buku ” Al Funun ” .

Lain lagi dengan Ibnu Jauzi, seorang ulama yang menulis berbagai bidang ilmu dan buku-bukunya yang sangat banyak menghiasi perpustakaan Islam. Dalam kitab Tatimmatul Mukhtashor fi Akhbaril Basyar, Ibnul Warid mengatakan : “ Bila lembaran-lembaran buku yang berhasil ditulis oleh Ibnul Jauzi dikumpulkan, lalu dikalkulasi dengan umur yang beliau miliki, maka ditetapkan bahwa beliau menulis dalam sehari sebanyak sembilan buah buku seukuran buku tulis.” Diceritakan juga bahwa bekas rautan pena Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan mayat beliau, itupun masih tersisa. Setelah diadakan kalkulasi judul-judul tulisannya, ternyata karya Ibnul Jauzi mencapai 519 buku. Al-Muwafiq mengatakan bahwa Ibnul Jauzi senantiasa menulis dalam sehari setara empat buku tulis.

Seorang ulama mutakhirin Imam Muhammad bin Ali, atau yang lebih terkenal dengan Asy-Syaukani, pengarang kitab “ Nailul Authar “ adalah seorang ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul fiqh. Beliau dilahirkan pada tahun 1173 H di daerah Syaukan bagian dari wilayah Yaman, dan wafat tahun 1250 H. Beliau mewariskan 114 karya tulis.

Imam Abdul Hayyi Al-Laknawi Al-Hindi yang baru wafat sekitar 100 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1304 H. Dalam umurnya yang ke 39 tahun, tulisan beliau telah mencapai 110 kitab.

Syaikh India Maulana Hakimatul Ummah Asyraf Ali At-Tahanawi, yang wafat tahun 1362 H dalam usia 81 tahun. Beliau telah menghasilkan 1000 buah karya.

Kisah-kisah di atas menunjukkan kepada kita betapa besar dan banyaknya karya tulis mereka. Bisakah kita sebagai generasi penerus mengikuti jejak mereka ?

Menulis Apa Yang Ada Di Benak

Para ulama menulis apa saja yang mereka dapatkan, dan menulis apa saja yang mereka miliki. Mereka tidak mau ilmu yang pernah mereka dapatkan berlalu begitu saja. Bahkan apa yang terlintas di dalam benak mereka, segera mereka tulis jangan sampai hilang, karena di dalamnya mengandung ide-ide yang cemerlang, sayang kalau dibuang begitu saja, karena kadang-kadang ide-ide tersebut tidak datang lagi. Lihat umpamanya

Imam Bukhori, beliau pernah bangun dari tidurnya di suatu malam. Dia pun menyalakan lampu dan mencatat ilmunya yang terlintas di benaknya, lalu ia mematikan lampu kembali. Kemudian ia bangun lagi dan melakukan hal yang sama. Demikian, sampai hal itu terjadi kurang lebih dua puluh kali.

Muhammad bin Yusuf berkata, “Suatu malam, aku berada di rumah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhori. Aku memperhatikannya bangun, lalu ia menyalakan lampu untuk mengingat sesuatu, dan mencatatnya sebanyak delapan belas kali.”

Isma’il bin Ayyasy salah seorang ulama besar, ketika sedang sholat, beliau sempat menghentikan shalatnya, sekedar untuk menulis hadits. Beliau bercerita : “ Saat itu aku sedang shalat, maka aku pun membaca beberapa ayat. Lalu aku teringat sebuah hadits dalam salah satu bab yang aku keluarkan. Maka aku pun menghentikan shalat, lalu aku segera menulisnya, dan kemudian aku kembali shalat.”

Suatu ketika Syaikh Alauddien masuk ke kamar mandi yang berada di pintu Az-Zahumah. Ketika di pertengahan mandi, beliau beranjak ke ujung kamar mandi tempat melepas pakaian pakaian. Beliau minta diambilkan tinta, pena dan kertas. Lalu beliau langsung menyusun tulisan dalam soal denyut nadi hingga selesai. Setelah itu beliau kembali ke kamar mandi dan menyempurnakan mandinya.”

Luar biasa bukan ? Bisakah kita mengikuti jejak mereka ? Saya teringat dengan kata-kata pepatah orang-orang dahulu :

إذا كانت النفوس كبارا تعبت في مرادها الأجسام

“ Jika jiwa itu mempunyai cita-cita tinggi Maka badan ini akan capai mengikuti kemauannya. ”

Kapan Mereka Menulis ?

Ketika kita mendapatkan karya para ulama yang begitu banyak dan menakjubkan, kadang-kadang timbul rasa penasaran di dalam benak kita : “ Kapan dan bagaimana mereka menulis “ ? Padahal kalau dilihat dari umur dan kesibukan mereka mengajar, sepertinya tidak mungkin mereka berkarya sebanyak itu, bahkan sebagian ulama jika dibandingkan banyak karya-karyanya dengan umur yang mereka miliki rasanya tidak sebanding, bahkan bisa dikatakan mustahil.

Tetapi setelah ditelusuri kehidupan mereka secara lebih mendetail, ternyata mereka telah menggunakan waktu mereka sebaik mungkin, mereka tidak rela sedetik waktu yang mereka miliki dibuang sia-sia tanpa ada kegiatan menulis.

Marilah kita tengok sebagian dari keahlian mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk berkarya dan menulis .

Di Dalam Perjalanan.

Perjalanan banyak menyita waktu di dalam kehidupan manusia. Bahkan kehidupan di kota-kota besar seperti Jakarta, yang terkenal dengan kemacetannya. Membuat banyak orang stress, karena mereka harus berangkat kerja pagi- pagi benar, kemudian malam baru bisa pulang, mereka sering terjebak dalam kemacetan panjang, yang membuat umur mereka habis di jalan. Kapan mereka akan menulis dan berkarya ?

Para ulama tidak mau kenal menyerah di dalam menempuh cita-cita mereka, di dalam perjalananpun mereka menyempatkan diri untuk berkarya dengan menggoreskan pena-pena mereka, mengukir ilmu, mewariskan banyak manfaat untuk kehidupan manusia.

Sa’id bin Jubair, seorang tabi’in yang wafat tahun 95 H pernah berkata : “Aku berjalan bersama Ibnu Abbas di suatu jalan di Mekkah di malam hari. Beliau menyampaikan hadits kepadaku, dan aku menulisnya di tengah pelana unta. Sehingga datanglah waktu pagi, lalu aku menulisnya kembali.”

Sementara itu Ibnu Qayim al Jauziyah, konon di dalam perjalanan hajinya bisa menyelesaikan buku yang spektakuler tentang kehidupan dan petunjuk seorang nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam yang diberinya judul “ Zaadul Ma’aad “ Buku ini terdiri dari enam jilid besar.

Suatu ketika seorang ulama Timur Tengah kontemporer yang hingga kini masih hidup. Dr. Yusuf Qardhawi datang ke Indonesia, dan ditanya tentang tulisan-tulisannya yang begitu banyak, sampai-sampai yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia mencapai 40 buku lebih. Beliau ditanya kapan menulis buku-bukui tersebut, beliau menjawab : “ Di dalam perjalanan dari rumah ke kantor, atau dalam perjalan menuju ke tempat-tempat lain. “.

Pada 1950, Buya Hamka mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan ini ia mengarang beberapa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

  1. Anda juga bisa seperti mereka, ketika anda punya sopir pribadi, maka dalam perjalanan anda bisa mengetik dengan laptop atau alat tulis yang lebih kecil. Begitu juga ketika anda dalam perjalanan menggunakan angkutan umum seperti bis dan kereta, apalagi pesawat, jangan biarkan anda melamun atau bengong, tapi gunakanlah untuk membaca atau menulis. Kebanyakan orang sekarang mengisi kekosongan mereka dalam perjalanan dengan bermain hp dan membuka internet, kenapa anda tidak gunakan untuk berkarya dan menulis ? Di tengah-tengah kemacetan kenapa anda tidak memnafaatkan untuk membaca, menghafal, merenung, berfikir, serta mencari ide-ide cemerlang ?

Mengurangi Waktu Makan

Manusia hidup perlu makan. Tapi kadang proses untuk dapat makanan banyak menyita waktu seseroang. Lihatlah ibu-ibu yang harus belanja sayur-sayuran ke pasar, beberapa jam mereka di pasar, kemudian setelah pulang mereka harus mengolahnya kemudian memasaknya. Berapa jam mereka membutuhkan waktu itu semua ? Bukankah untuk menyediakan makanan menyita banyak waktu dari hidup kita ? Kapan ibu-ibu itu punya waktu untuk menulis jika pekerjaan seharian terus-menerus seperti itu ? Adakah cara yang lebih praktis dan efesien untuk mendapatkan makanan, sehingga sisa waktunya bisa dipakai untuk menulis dan berkarya ?

Para ulama mempunyai trik-trik sendiri untuk menghindari makan yang banyak menghabiskan waktu. Sebagai contoh kita dapatkan Ubaid bin Ya’is teryata untuk efesien waktu, beliau tidak pernah makan dengan kedua tangannya sendiri. Beliau selalu disuapi saudaranya perempuan selama 30 tahun, karena sibuk menulis.

Ibnu Suhnun, seorang ulama Malikiyah yang sangat terkenal tersebut juga sering disuapi budaknya, karena tidak ada waktu untuk makan. Beliau sedang sibuk menyusun buku.

Diriwayatkan juga bahwa Abu Al Wafa’ bin Uqail Al Hambali adalah seorang ulama dari madzhab Hambali yang sangat ketat di dalam menjaga waktunya. Jika mulut , lidah , dan matanya capai karena banyaknya yang dibaca, dia terdiam merenung dan merancang apa saja yang perlu ditulis, maka ketika ia duduk atau berbaring, kecuali beliau telah menghasilkan banyak hal-hal yang bisa dicatat dalam buku. Bahkan beliau memilih-milih makanan yang paling praktis dan cepat dimakan, untuk kemudian sisa waktunya digunakan untuk membaca dan menulis.

  1. Diriwayatkan bahwa beliau memilih roti yang agak basah dari pada roti yang kering. Tentunya waktu untuk mengunyah roti yang basah jauh lebih sedikit dibanding waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah roti yang kering. Jeda waktu antara keduanya bisa beliau manfaatkan untuk membaca dan menulis. Subhanallah, tidak kaget kalau karya-karya beliau sampai 800 jilid lebih.

Di Pengasingan dan Penjara

Imam Syamsudin As-Syarkhasi telah mampu menulis kitab “ Al Mabsuth “, sebuah buku spektakuler yang dijadikan rujukan ulama Hanafiyah. Buku ini terdiri dari 30 jilid besar, kebetulan saya mempunyai buku tersebut. Beliau menulis buku tersebut di dalam penjara dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya. Beliau dimasukkan penjara karena memberikan nasehat kepada salah satu penguasa pada waktu itu.

Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara, karena menyampaikan kebenaran apa adanya, banyak orang yang hasad kepadanya. Beliau difitnah sehingga dijebloskan penjara oleh penguasa. Selama di dalam penjara, beliau manfaatkan untuk menulis. Tatkala beliau dijebloskan kembali ke dalam penjara yang berada di dalam benteng selama dua puluh bulan lebih, beliau dilarang untuk menulis dan menelaah kitab. Orang orang yang hasad dengan beliau tak membiarkan ada buku tulis maupun tinta di sisi beliau, karena tulisan-tulisannya bisa mempengaruhi banyak orang. Beliau dalam keadaan seperti itu beberapa bulan lamanya, sehingga beliau mulai berkonsentrasi untuk beribadah dengan membaca al-Qur’an, sholat tahajjud, serta berdzikir hingga beliau wafat.

Konon Buya Hamka, tokoh kelahiran Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908, ini hanya sempat masuk sekolah desa selama tiga tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) selama kurang lebih tiga tahun. Pada 27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh pemerintahan Soekarno. Dalam tahanan Orde Lama ini ia menyelesaikan kitab Tafsir al-Azhar (30 Juz). Ia keluar dari tahanan setelah Orde Lama tumbang.. Nama beliau dikenal luas berkat karya-karyanya. Tafsir yang beliau beri nama Tafsir Al Azhar tersebut sekarang menjadi rujukan masyarakat Indonesia dan Malaysia.

Sayyid Quthb, seorang tokoh Muslim yang juga berhasil menyelesaikan penulisan tafsir Alquran Fi Dzilalil Qur’an di dalam penjara.

Di Waktu Sepertiga Akhir Malam

Malam hari, khususnya sepertiga akhir malam merupakan waktu yang penuh barakah. Oleh karenanya, kita diperintahkan bangun dari tidur untuk melaksanakan sholat tahajud dan bermunajat kepada Allah swt. Para ulama menyebutkan jika seseorang bangun malam diberi dua pilihan antara sholat atau belajar.

Imam Al-Mufassir Abu Tsana’ Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Alusi Al-Baghdadi, seorang mufti sekaligus penutup para ahli tafsir, lahir pada tahun 1217 H dan wafat tahun 1270 H. Di setiap akhir malam beliau memanfaatkan untuk menulis lembaran demi lembaran tentang tafsir. Sehingga, pada keesokan pagi harinya, tulisan itu beliau serahkan kepada para juru tulis yang ditugaskan dirumah beliau. Mereka tidak mampu menyelesaikan tulisan itu secara baik, kecuali dalam rentang waktu sepuluh jam. Beliau terus saja menulis hingga saat sakit beliau yang terakhir.

Antara Sholat Lima Waktu

  1. Allah Ta'ala telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melaksanakan sholat dalam lima waktu yang terpisah-pisah dalam satu hari. Barangsiapa yang mampu memanfaatkan waktu-waktu tersebut insya Allah akan diberkati amalannya. Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi telah berhasil memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk menulis. Setelah shalat shubuh , beliau mengajarkan al-Qur’an atau terkadang mengajarkan hadits. Lalu beliau berwudhu dan shalat sebanyak 300 rakaat dangan membaca al-fatihah dan mu’awwadzataini, hingga mendekati waktu dzuhur. Kemudian, beliau tidur ringan, lalu bangun untuk shalat dzuhur, dan kemudian sibuk menyimak atau menyalin tulisan hingga datang waktu maghrib.”

Menggunakan Sarana Yang Terjangkau

Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam kitabnya Al-Intiqa fi Fadha’ilits Tsalasatil A’immatil fuqaha’ dengan sanadnya yang sampai kepada Imam Syafi’I, bahwa Imam Syafi’I menuturkan, “Aku tidak mempunyai harta. Aku menuntut ilmu dalam usia muda yaitu sebelum 13 tahun . Aku pergi ke kantor meminta kertas bekas untuk menulis.” Maksudnya, kertas bekas yang sebelahnya telah dipakai dan sebelahnya belum terpakai. Kemiskinan tidaklah menghalangi beliau, untuk terus menulis ilmu. Sehingga beliau termasuk Imam Madzhab yang paling banyak karyanya dibanding dengan ketiga imam madzhab yang lain.

Menulis tidak harus menunggu punya computer atau laptop, menulislah di buku-buku tulis, atau di kertas-kertas bekas, sebagaimana para ulama menulis. Menulis dengan bulpen, dengan pencil, dengan spidol, dengan apa saja, yang penting anda menulis.

Menulis Sambil Makan

Al-Hafidz Dzahabi berkata di dalam Tsadzkiratul Hufadz, tentang biografi Al-Hafidz Abu Bakar Abdullah Bin Imam Al-Hafidz Abu Daud As-Sijistani, ia berkata, “Aku memasuki kota kuffah dan hanya mempunyai uang satu dirham. Dengannya aku membeli 30 mud kacang-kacangan . Aku makan darinya dan menulis hadits dari Al-Asyaj –yakni Abdullah bin Sa’id Al-Kindi, ahli hadits kuffah-. Kacang-kacangan tersebut belum habis, hingga aku mampu menulis darinya 30.000 hadits , baik yang maqthu’ maupun yang mursal.”

Al-Barqani menuturkan, “ Aku memasuki kota Isfirayin, sedangkan aku berbekal uang tiga dinar dan satu dirham. Tiga dinar tersebut hilang, dan yang tersisa hanyalah satu dirham. Aku memberikannya kepada tukang roti. Setiap harinya aku menerima darinya dua potong roti. Aku mengambil satu jilid buku dari Bisyr bin Ahmad, lalu aku menyalinnya dan menyelesaikannya di petang hari. Aku telah menyalin 30 jilid kitab, sedangkan jatahku dari tukang roti telah habis. Maka, aku pun melanjutkan melanjutkan perjalanan.”

Menulis Cepat

Abu Isma’il Al-Anshari berkata : ” Seorang ahli hadits harus memiliki sifat cepat dalam berjalan, cepat dalam menulis, cepat dalam membaca.” Perlu ditambah satu lagi, yaitu cepat dalam makan.

Kenapa harus cepat berjalan ? Karena dengan cepat berjalan, waktu akan lebih efesien dan lebih cepat sampai kepada tujuan. Bisa diartikan lebih cepat kepada syekh atau guru, sehingga ilmu yang akan di dapat lebi banyak. Untuk zaman sekarang, bisa diterapkan dengan menggunakan pesawat, walaupun mahal sedikit, tapi bisa efesien waktu, apalagi di dalam perjalanan bisa dimanfaatkan untuk menulis.

Kenapa harus cepat menulis ? Karena seseorang yang bisa menulis cepat, berarti dia bisa menulis lebih banyak, sehingga menjadi produktif. Oleh karenanya dianjurkan bagi siapa saja yang ingin menulis, hendaknya dia menulis yang ada di dalam benaknya dan yang ia kuasai. Jika ingin menambahkan dari beberapa referensi, hendaknya mencari referensi yang terjangkau dan mudah dipahami, sehingga tidak menghambat proses penulisan.

Kenapa harus membaca cepat ? Karena dengan membaca cepat, maka maklumat yang ia dapatkan jauh lebih banyak, sehingga membantunya untuk mempercepat tulisannya. Karena tulisan seseorang tergantung kepada maklumat yang dimilikinya.

Kenapa cepat dalam makan ? Kalau seseorang bisa makan cepat, waktu yang tersisa bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat, terutama membaca dan menulis. Di bawah ini dijelaskan bagaimana para ulama yang produktif, ternyata mereka menulis dengan cepat.

Imam Burhanuddin Ibrahim Ar-Rasyid berkata, “jika Ala’ bin Nafis ingin mengarang sebuah kitab, maka beliau pun meletakkan pena-pena yang telah dirautnya, lalu beliau berputar menghadapkan wajahnya kearah dinding. Kemudian beliau menulis dari berbagai ide yang terbetik dalam benaknya. Beliau menulis ibarat air yang mengalir. Bila penanya tumpul dan tidak jelas tulisannya, maka beliau mencampakkannya dan menggunakan yang lainnya, agar waktunya tidak terbuang untuk meraut pena yang tumpul .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam usia 57 tahun adalah beliau menghasilkan sekitar 500 jilid karya tulis. Beliau mampu mengarang dalam sehari sebanding dengan jumlah lembar tulisan seorang juru tulis pada zaman itu yang ditulis selama sepekan atau bahkan lebih banyak lagi. Biasanya saat menyampaikan fatwa, beliau mampu menulis sejumlah masalah dangan tulisan yang sangat cepat, disertai penjelasan dan penjabaran hal-hal yang sulit.

Dalam sehari semalam beliau mampu menulis masalah tafsir atau fiqih, atau masalah-masalah ushul fiqih, ushul kalam, dan tauhid, atau memberikan bantahan terhadap kalangan filosof dan ahli takwil, sekitar empat buku tulis atau lebih. Maka tak berlebihan jika karya beliau hingga sekarang mencapai 500 jilid. Dalam sejumlah masalah, beliau memiliki karya tersendiri. Beliau seorang yang pandai menulis secepat kilat dan laksana hujan deras yang tak henti-hentinya.

Beliau mampu menulis tentang satu masalah hingga tak ada batasnya. Beliau mampu menulis dua atau tiga lembar dalam sekali duduk. Syaikh Ibnu Qoyyim telah menulis sebuah risalah yang berisi nama-nama karya Ibnu Taimiyah, hingga mencapai 22 halaman.

Adalah Al- Khatib Al Baghdadi pernah berkata : ” Saya mendengar dari Al-Simsi yang menceritakan bahwa Ibnu Jarir At Tobari selama 40 tahun, menulis setiap harinya 40 lembar . Bahkan salah seorang murid Ibnu Jarir yang bernama Al Farghani mengatakan bahwa para murid Ibnu Jarir telah mendata kehidupan beliau sejak baligh hingga meninggal dunia pada umur 86 tahun. Kemudian mereka mengumpulkan seluruh karya-karya beliau, dan jika dibandingkan dengan umur beliau, ternyata didapatkan bahwa beliau menulia setiap harinya 14 lembar. Dan ini tidak akan mampu dilakukan oleh seseorang kecuali atas inayah Allah Ta'ala. Dan jika dihitung-hitung lembaran karya tulisnya maka didapatkan jumlahnya sekitar 358.000 lembar. Wallahu A’lam

(Sumber:http://www.ahmadzain.com/read/penulis/268/bahtera-pena-para-ulama/)

Selasa, 27 September 2011

Kritik Atas Manhaj Takfir

Kajian ini berisi kritik atas manhaj pelaku dakwah yang mudah mengafirkan (takfir) kelompok lain yang berbeda pendapat dengannya. Padahal perbedaan itu masih di wilayah ijtihadiy sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan, dan perbedaan itu sah menurut para ulama. Sikap berlebih-lebihan dalam masalah takfir (mengafirkan orang, mengeluarkan kaum muslimin dari agama Islam dan memerangi mereka), bila dibiarkan akan mengganggu hubungan persaudaraan (ukhuwah) di antara kaum muslimin. Dan hal tersebut selain menyebabkan kegagalan misi dakwah, juga menimbulkan citra yang buruk bagi pelaku dakwah dan umat Islam secara keseluruhan.



Berkaitan takfir, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid dalam bukunya Dar’ul Fitnah ’an Ahli Sunnah memberikan beberapa rambu dan peringatan sebagai berikut:

1. Takfir adalah hukum syari’at yang tidak boleh didasarkan pada ra’yu (akal) semata, karena masalah ini termasuk masalah syar’i, bukan masalah aqliyah. Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa takfir merupakan hak Allah semata, dan tidak ada seorang pun di antara hamba-hamba-Nya yang berhak menentukannya. Maka orang kafir adalah orang yang dikafirkan Allah dan rasul-Nya, bukan yang lain. Demikian juga menghukumi seseorang sebagai orang adil, darahnya terjaga dan termasuk orang yang berbahagia di dunia dan akhirat merupakan masalah syar’i, oleh karena itu ra’yu tidak boleh masuk ke dalamnya. Hukum untuk menentukan itu adalah hak milik Allah dan Rasul-Nya.

2. Untuk menghukumi sesuatu sebagai riddah dan kufr harus ada sebab-sebab adanya hukum riddah dan kufr yaitu perkara-perkara yang membatalkan keislaman dan keimanan, baik berupa keyakinan, perkataan, perbuatan, keraguan, atau meninggalkan suatu perbuatan, yang menurut dalil yang jelas dan keterangan yang terang dari al-Kitab, sunnah dan ijma’ bahwa hal ini merupakan pembatal-pembatal iman yang mu’tabar. Maka dalil yang dlaif (lemah) tidak cukup untuk dijadikan sandaran, demikian juga dalil yang masih samar. Dan tidak boleh mengambil pendapat seorang pun jika pendapatnya itu tidak didasari dalil yang jelas dan shahih. Para ulama telah menjelaskan sebab-sebab kekufuran di dalam kitab-kitab akidah, dan dalam sub bab hukum orang murtad dalam kitab-kitab fikih. Sebagaimana adanya faktor-faktor yang harus ada untuk menentukan hukum riddah dan kekufuran, maka dia juga memiliki beberapa syarat dan penghalang. Syaratnya adalah harus ada penegakan hujjah risalah yang dapat menghilangkan syubhat, dan tidak adanya penghalang-penghalang seperti takwil, kebodohan, kesalahan dan paksaan. Pada sebagian syarat tersebut ada perinciannya yang cukup panjang.

3. Harus dibedakan antara takfir mutlak dan takfir mu’ayyan. Takfir mutlak adalah tindakan mengafirkan secara umum terhadap orang yang melakukan salah satu pembatal keislaman. Sesungguhnya keyakinan, perkataan, perbuatan, keraguan ataupun meninggalkan satu perbuatan itu jika termasuk kekufuran, maka perkataan yang mutlak itu adalah dengan mengafirkan orang yang melakukan perbuatan itu atau mengucapkan perkataan tersebut dan seterusnya. Tanpa menentukan orang per orangnya. Adapun takfir mu’ayyan adalah jika ada orang yang mengucapkan perkataan itu atau melakukan perbuatan kufur, maka sebelum menghukumi bahwa orang itu kafir harus dilihat terlebih dahulu terpenuhinya syarat-syaratnya dan tidak adanya penghalang. Dia dihukumi sebagai kafir dan murtad, lalu diminta untuk bertaubat, maka jika dia bertaubat, dia bebas. Dan jika tidak mau bertaubat, dia dibunuh menurut ketentuan syari’at.

4. Pendapat yang benar adalah tidak mengafirkan setiap orang yang menyelisihi ahlussunnah wal jama’ah karena penyimpangannya. Tetapi hukumnya didudukkan sesuai dengan jenis penyimpangannya, apakah termasuk kekufuran, bid’ah, fasik atau maksiat.

Demikianlah pendapat ahlussunnah wal jama’ah, yaitu tidak mengafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki ilmu, iman, sikap adil, dan kasih sayang kepada sesama makhluk. Ini berbeda dengan ahlul hawa’, yang kebanyakan mereka mengafirkan orang yang menyelisihi mereka.

5. Sebagaimana iman itu bercabang-cabang dan tingkatannya berbeda-beda (yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaa haillallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu itu termasuk salah satu cabang iman), maka demikian juga dengan kekufuran, yang merupakan lawan dari iman, dia juga bercabang-cabang dan tingkatannya berbeda-beda. Yang paling buruk adalah kekufuran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, seperti kufur kepada Allah dan mendustakan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. Ada juga yang disebut kufur duna kufrin (kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama). Dan ada pula sebagian perbuatan maksiat yang dinamai dengan kekufuran.

Oleh karena itu, para ulama tafsir, para pensyarah hadits dan para penulis ilmu bahasa Arab dan kata-kata yang memiliki lebih dari satu makna mengingatkan, bahwa lafazh kufur yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah itu memiliki beberapa makna: ada yang termasuk kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari agama, kufr duna kufrin, kufur nikmat, bebas dari tuduhan, juhud (ingkar) dan menutupi (sesuai dengan asal maknanya menurut bahasa). Berdasarkan hal ini, maka jika ada seorang hamba yang melakukan salah satu cabang kekufuran, dia tidak serta merta menjadi kafir secara mutlak yang mengeluarkannya dari agama, sehingga dia melakukan pokok kekufuran, yang berupa salah satu pembatal keislaman, baik yang berupa keyakinan, perkataan ataupun perbuatan yang keterangannya bersumber dari Allah dan rasul-Nya, bukan dari yang lain. Maka yang wajib dilakukan adalah meletakkan nash-nash sesuai pada tempatnya, dan menafsirkannya sesuai dengan yang dimaksud nash tersebut berdasarkan penjelasan para ulama amilin yang ilmunya mendalam. Kekeliruan dalam masalah ini sering terjadi dalam tataran praktik dan penafsiran nash, maka hendaknya orang yang ingin adil pada dirinya menyadari bahwa ini merupakan perkara yang pelik dan rinci, dan hendaknya dia berhenti pada batas-batasnya dan menyerahkan ilmu kepada orang yang menguasainya.

6. Menetapkan hukum kafir itu bukan merupakan hak setiap orang, namun penetapan hukum ini diserahkan kepada para ulama yang memahami ilmu syar’i secara mendalam dan mendapat pengakuan dalam hal ilmu, kebaikan dan keutamaannya.

7. Adanya peringatan keras dan larangan berburuk sangka kepada seorang muslim, apalagi mencacinya dan mengafirkannya, menghukuminya sebagai orang murtad dan tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan dalam masalah itu tanpa didasari hujjah dan penjelasan dari al-Qur’an dan sunnah[1]

Para ulama sangat hati-hati ketika memberikan status kafir kepada kelompok-kelompok sesat. Hal itu bukan lain karena besarnya akibat yang muncul dari status kafir. Berikut beberapa pendapat ulama tentang hal tersebut:

Imam Al-Khatabi, dalam kitab Ma’alim as-Sunan-nya, ketika mensyarahi hadits perpecahan umat, mengatakan:”Di dalam hadits tersebut ada dilalah yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok itu semua tidak keluar dari agama, karena Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam telah menjadikan mereka semua bagian dari umatnya.”

DR. Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa semua golongan ahli sunnah, baik itu mazhab Asy’ari, Maturidi, Hambali, Mutakallimin, Ahli hadits, para ulama fiqih maupun sufi, tak satupun yang mengafirkan golongan-golongan yang mereka pandang sebagai pelaku bid’ah. Mereka tidak mengafirkan golongan Khawarij dan Muktazilah serta golongan lainnya. Mereka tidak menganggap golongan yang melakukan bid’ah itu keluar dari Islam. Mereka hanya memberikan hukum bahwa golongan tersebut adalah golongan pembuat bid’ah saja, tidak lebih.[2]

Sedang pendapat Syaikh Islam Taqiyuddin As-Subki tentang ahli bid’ah (dalam hal akidah) tertuang dalam kitab Al-Yawaqit wa al-Jawahir, karya Asy-Sya’rani. Imam As-Subki berkata:

"Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa keberanian mengafirkan orang-orang yang beriman adalah sesuatu yang amat serius. Setiap orang yang menyimpan keimanan dalam kalbunya, akan merasa sangat takut melontarkan ucapan pengkafiran terhadap para ahli bid'ah itu, sementara telah mengikrarkan kalimat La ilaha illa Allah Muhammad Rasul Allah. Sungguh, pengkafiran adalah perkara yang amat serius dan sangat berbahaya. Maka demi menjaga adab dan sikap lurus, setiap orang Mukmin hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan mengafirkan siapa pun dari para ahli bid'ah itu, kecuali apabila mereka secara terang-terangan berlawanan dengan nash-nash yang jelas dan pasti dan yang tidak mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan."[3]

Muhammad Abdul Hadi Al-Mishri, mengutip dari Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, Ahli Sunnah wa al-Jama’ah berpendapat bahwa bid’ah yang menentang Sunnah ada yang terjadi dalam perkara-perkara yang samar, dan ada juga yang terjadi berkenaan dengan perkara-perkara prinsip yang besar. Oleh sebab itu, pelaku-pelaku bid’ah bersama pendukungnya mempunyai tingkat penyimpangan yang berbeda-beda terhadap Sunnah. Sebagian mereka berselisih dalam soal lafazh dan asma. Sebagian lagi berselisih dalam soal makna dan hakikat segala sesuatu.[4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (salah seorang ulama bermadzhab hambali) di dalam Majmu’atur Rasail wa al-Masail juz 5 halaman 199 dan 201, mengatakan bahwa tidak boleh mengafirkan seorang muslim dengan alasan dosa yang telah dilakukannya atau kesalahan yang pernah ia lakukan, seperti dalam masalah-masalah yang memang terjadi perbedaan diantara ahli kiblat (umat Islam). Orang-orang Khawarij yang diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk memerangi mereka, dan amirul mukminin Ali bin Abi Thalib pun telah berperang dengan mereka serta telah terjadi kesepakatan di antara para imam di antara kaum muslimin mulai zaman shahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya untuk memerangi mereka, namun Shahabat Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash dan para shahabat lainnya tidak menganggap mereka kafir. Mereka tetap sebagai muslim, tetapi harus diperangi. Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib tidak memerangi mereka kecuali setelah mereka menumpahkan darah terlebih dahulu dan merampas harta kaum muslimin. Jadi Amirul mukminin memerangi mereka dalam rangka untuk menumpas kedzaliman mereka, dan bukan karena mereka termasuk orang-orang kafir. Karenanya istri-istri mereka tidak dijadikan sebagai tawanan perang, demikian juga harta-harta mereka juga tidak dijadikan sebagai rampasan perang (ghanimah).

Jikalau orang Khawarij yang telah ditetapkan oleh nash dan ijma’ sebagai kelompok yang sesat dan harus diperangi tidak dianggap sebagai kelompok yang kafir, lalu bagaimana dengan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat, yaitu kelompok yang tidak mengetahui sesuatu yang benar terhadap beberapa hal, yang orang sebelum mereka (yang lebih memahami tentang agama ini) juga salah dalam hal itu? Maka tidak diperbolehkan (la yahillu) saling mengafirkan di antara mereka, karena barangkali mereka sendiri yang lebih banyak berbuat bid’ah dibanding kelompok yang mereka kafirkan. Secara umum bisa dikatakan bahwa mereka semua adalah orang-orang yang tidak tahu hakekat sebenarnya tentang masalah yang diperselisihkan.

Darah, harta, dan harga diri kaum muslimin hukum asalnya adalah haram bagi kaum muslimin yang lain. Hukum itu tidak bisa berubah menjadi halal kecuali atas izin Allah dan rasul-Nya. Ketika ada seorang muslim yang dianggap (muta-awwal) harus diperangi atau dihukumi kafir, tidak otomatis dia menjadi kafir sebab anggapan itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada Hatib bin Abi Balta’ah,”Wahai Rasulullah, biarkanlah saya memenggal leher munafik ini.” Rasulullah saw menjawab,”Dia adalah termasuk ahli Badr (orang yang ikut perang Badar). Tahukah kamu bagaimana sikap Allah kepada Ahli Badr? Allah berfirman,’Berbuatlah semau kalian, karena kalian sudah diampuni.’ Dan kisah ini terdapat dalam Shahihain.

Contoh lain yaitu pada peristiwa ifiq. Usaid bin Hudlair berkata kepada Sa’ad bin Ubadah,”Kamu itu orang munafik yang mengolok-olok orang-orang munafik.” Akhirnya terjadilah permusuhan di antara mereka. Kemudian Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam mengishlahkan mereka.

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 9-10)

Di ayat di atas, sungguh Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa mereka, meskipun saling berperang dan saling menganiaya, tetap sebagai saudara seiman. Karenanya, Allah memerintahkan untuk ishlah di antara mereka dengan adil.

Imam Asy-Syatibi (salah satu ulama bermadzhab maliky) di dalam kitab Al-I’tishom juga membicarakan tentang para pengikut hawa nafsu (ahlul hawa) dan para pelaku bid’ah (ahlul bid’ah) yang sering mengambil sikap yang berbeda dengan umat Islam, seperti kelompok Khawarij dan lainnya. Beliau berkata,”Umat (para ulamanya) berbeda pendapat tentang status para pelaku bid’ah yang besar (al-bida’ al-’udzma), apakah mereka kafir atau tidak. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat adalah tidak menghukumi mereka sebagai kafir. Dalilnya adalah tindakan ulama salaf terhadap mereka.

Perhatikan sikap ’Ali radliyallahu ’anhu terhadap kelompok Khawarij, ketika beliau memperlakukan mereka---meskipun memerangi mereka---sebagaimana memperlakukan umat Islam. Sesuai dengan firman Allah Ta'ala.

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!

Imam Nawawi (salah satu ulama bermadzhab Syafi’iy) di dalam Syarh Muslim berkata,”Ahli kiblat (seorang muslim) tidak menjadi kafir karena suatu dosa yang dilakukannya. Para pengikut hawa nafsu dan bid’ah (seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Rafidlah) juga tidak kafir. Adapun orang yang menentang/menolak terhadap apa –apa (dari agama) yang telah diketahui dengan pasti, maka ia dihukumi murtad dan kafir, kecuali ia baru masuk Islam atau berada di daerah yang sangat jauh/pelosok sehingga tidak ada informasi tentang agama Islam ke daerah tersebut. Demikian juga (dihukumi kafir) orang yang menghalalkan zina, khomr, membunuh atau lainnya yang memang diharamkan secara pasti oleh agama.”[5]

Imam Ghazali (salah seorang ulama bermadzhab syafi’iy sekaligus asy-’ary) setelah membicarakan tentang Mu’tazilah, Musyabbihah dan kelompok-kelompok pembuat bid’ah di dalam agama serta kelompok-kelompok yang salah dalam melakukan ta’wil, beliau berkata,”Yang seyogyanya dilakukan adalah menahan diri untuk mengklaim kafir, selama ditemukan suatu alasan. Karena menghalalkan darah dan harta orang Islam yang sholat menghadap kiblat dan jelas-jelas membaca kalimat laa ilaaha illaah adalah suatu kesalahan. Dan kesalahan membiarkan hidup seribu orang kafir lebih ringan bila dibandingkan kesalahan mengalirkan darah seorang muslim. Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam, berkata, ’Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah. Maka ketika mereka telah mengucapkannya, berarti telah menjaga darah dan harta mereka dari saya.’”[6]

Ibnu Qudamah al-Maqdisy juga menegaskan bahwa ia tidak mengafirkan seorang pun dari ahli qiblat sebab dosanya dan juga tidak mengeluarkannya dari Islam sebab perbuatannya.[7]

Sedang berkaitan dengan hukum kafir terhadap orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, Abu Nashar as-Sajzi mengemukakan dua pendapat berikut:

Pertama, orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, maka dia kafir yang mengeluarkannya dari agama. Inilah pendapat kebanyakan ulama.

Kedua, dia kafir tetapi tidak mengeluarkannya dari agama. Maka dari itu Al-Khaththabi berkata,”Ini mereka katakan dalam rangka untuk menyalahkan orang-orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk itu, dengan kesalahan yang berat. Begitu juga para ulama terakhir dari sahabat-sahabat kami juga berselisih pendapat dalam mengafirkan mereka secara abadi. Sebagian besar mereka mengabadikannya seperti yang dinukil dari sekelompok ulama hadits klasik seperti Abu Hatim, Abu Zar’ah dan lain-lain. Tetapi sebagian lain menolak bahwa mereka kafir selamanya.[8]

Pandangan ulama-ulama di atas jelas sekali bagaimana kehati-hatian mereka dalam menghukumi kafir pada kelompok lain. Itu karena mereka menyadari hukum yang akan mengenai seseorang ketika ia murtad/kafir. Padahal kelompok-kelompok yang disebutkan oleh para ulama di atas, sebagian besar adalah kelompok-kelompok yang sudah dianggap sesat oleh para ulama. Lalu apa dalilnya, sehingga kita berani menganggap kafir kepada kelompok lain yang berbeda dengan kita, padahal jumhur ulama pun tidak menganggap kelompok itu sebagai kelompok sesat apalagi kelompok kafir? Wallahu a’lamu bish-shawab.




Daftar Pustaka

Al-‘Utsaimin, Syarh Lum’atul I’tiqad, Riyadl: Maktabah Thabariyyah, 1992.

Al-Ghazali, Iqtishod fi al-I’tiqod, cet. 1, Beirut: Dar Al-Minhaj, 2008.

Al-Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal jam’ah: menurut pemahaman ulama salaf, penerjemah: Abu Fahmi, dkk, cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, t.t.

Al-Qahthani, Sa’id bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, terjemahan oleh Munirul Abidin, cetakan kelima, Jakarta: Darul Falah, 2007.

Al-Qaradlawi, Yusuf, Fiqih Peradaban: Sunnah sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, Terjemahan oleh Faizah Firdaus, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

An-Nawawi, Shahih Muslim Syarh Nawawi, juz 1, Kairo: Dar al-Manar, 2003.

Marzuki (ed), Nasihat Salaf untuk Salafi, Klaten: Wafa Press, 2009.

(Sumber: Abdul Hakim, S.Si, Apt(Peneliti InPAS dan Dosen UIN Maliki Malang)

Minggu, 25 September 2011

Waspadai Kristenisasi via Pacaran & Hamilisasi (Belajar dari Kasus Bantul)

Cinta memang membutakan. Love is Blind. Begitulah sebuah ungkapan. Ketika cinta sudah merasuk ke dalam dada, maka mata tidak bisa melihat sebuah kebenaran. Apapun akan dikorbankan untuk mendapatkan yang dicintainya. Tidak peduli akan melanggar norma agama ataupun harus mengorbankan kebahagiaan hakiki di akhirat. Naudzubillahi min dzalik.

Sebuah pengalaman berharga dialami Mawar, bukan nama sebenarnya, muslimah penduduk Bambanglipuro Bantul Jogjakarta. Bambanglipuro adalah sebuah kecamatan yang cukup banyak komunitas nasraninya hasil proyek penjajah Belanda.

Meski pendidikan yang dialami mawar cukup memada. Dari TK hingga SMK di sekolah Muhammadiyah, bukan merupakan jaminan bagi gadis berusia 18 tahun ini untuk mempertahankan akidahnya ketika suatu saat ia berkenalan dengan seorang pemuda Katolik. Dengan usia masih sangat belia, Mawar berkenalan dengan Alex, lajang yang cukup berumur 33 tahun. Kesenjangan usia yang cukup jauh bukanlah hambatan. Cinta pun tumbuh seiring perkembangan waktu.

...Alex datang dengan ditemani tokoh Nasrani setempat mengatakan kalau mawar sudah hamil, maka mereka harus segera dinikahkah di gereja...

Hingga suatu ketika, di awal bulan September 2011, Alex datang dengan ditemani tokoh Nasrani setempat mengatakan kalau mawar sudah hamil, maka mereka harus segera dinikahkah di gereja. Pak Amir, ayah Mawar pun linglung tak tahu harus berbuat apa. Maka ketika disodori surat kesediaan untuk menikahkan putrinya yang hamil di gereja, Pak Amir menyetujuinya dengan membubuhkan tanda tangan.

Selang beberapa hari, Pak Amir mulai berpikir. Ia tidak rela mengorbankan anak dan keterunannya ke dalam lembah kesusahan yang tiada berkesudahan dalam keyakinan kafir, berpindah akidah. “Meskipun dari awal Mawar mengatakan ingin tetap istiqamah dalam Islam, tapi itu tidak mungkin. Bagaimana kebahagiaan di dunia dan di akhirat akan dicapai dengan perbedaan konsep hidup beragama yang berbeda. Tidak mungkin!” ujarnya dalam hati.

...Cara apapun mereka tempuh untuk memurtadkan umat Islam...

Dengan dibantu segenap tokoh agama, tokoh masyarakat setempat dan beberapa ormas Islam, akhirnya Pak Amir mencabut surat pernikahan anaknya di gereja. Proses pencabutan berlangsung cukup cepat. Beberapa orang berkumpul di parkir samping gereja membuat warga sekitar gereja kaget hingga beberapa personel polisi datang.

Upaya penyadaran terhadap Mawar terus dilakukan. Ruqyah, dan pendampingan serta penambahan pemahaman kepada keluarga Pak Amir. Bu Amir yang berada di luar kota pun pulang untuk melihat keadaan anak dan suaminya karena beberapa kali Bu Amir diteror pemuda gereja tentang keselamatan suaminya.

Tak hanya itu, para pemuda gereja juga menghembuskan berita bohong bahwa ormas Islam menggropyok gereja ketika melakukan pencabutan pembatalan pernikahan dengan menggunakan 3 truk. Padahal saat itu rombongan datang hanya beberapa orang tidak menggunakan truk. Datang dengan baik-baik dengan sebuah mobil dan puluhan sepeda motor.

...Alex bersama tokoh agama Nasrani setempat menipu dengan mengatakan kalau mawar sudah hamil 3 bulan, agar pihak keluarga merestui pernikahan di gereja...

Juga ketika Alex, pacar korban datang dengan tokoh agama Nasrani setempat mereka sudah menipu dengan mengatakan kalau mawar sudah hamil 3 bulan dengan maksud agar pihak keluarga (ayah korban) segera memberikan restu untuk dinikahkan di gereja. Tindakan ngawur untuk mengelabuhi korban. Cara apapun mereka tempuh untuk memurtadkan umat Islam.

Kejadian di atas semoga menjadi pelajaran bagi para muslimah dalam mencari calon suami. Dan bagi para orangtua untuk senantiasa memperhatikan pergaulan anaknya. Jauhi pergaulan beda agama yang mengarah pada pacaran dan pernikahan. Karena hubungan ini rawan Kristenisasi.

Semoga Allah senantiasa memberikan bimbingan kepada kita menempuh kehidupan ini dijalan-Nya, meskipun banyak persoalan berkaitan dengan akidah seringkali ada. [http://www.voa-islam.com/counter/christology/2011/09/20/16146/waspadai-kristenisasi-via-pacaran-hamilisasi-belajar-dari-kasus-bantul/]

Jumat, 09 September 2011

Muslim Teheran Dilarang Syi'ah Shalat Idul Fitri

Warga Muslim yang tinggal di ibukota Iran, Teheran, dilarang menyelenggarakan shalat Idul Fitri pada 1 Syawal kemarin (31/8).

Iran memerintahkan penganut Islam Sunni (selanjutnya disebut Muslim) yang merupakan minoritas di negara beragama Syi'ah itu, untuk tidak menyelenggarakan shalat Idul Fitri secara terpisah.

Ratusan polisi diterjunkan di ibukota untuk mencegah orang-orang Muslim memasuki gedung atau rumah yang mereka sewa untuk menggelar shalat Idul Fitri.

Pemerintah Syi'ah Iran senantiasa menolak permohonan warga Muslim untuk mendirikan masjid mereka sendiri di Teheran. Sekarang ini tidak ada satu pun masjid di Teheran milik umat Islam Sunni. Padahal, di kota itu terdapat gereja-gereja dan sinagog-sinagog untuk orang Kristen dan Yahudi yang jumlah populasinya lebih sedikit daripada Muslim.

"Polisi Teheran mencegah jamaah Sunni dari melaksanakan shalat Id di berbagai tempat di ibukota," tulis situs komunitas Muslim di Iran, SunniOnline.us. "Mereka mengepung rumah-rumah di mana Sunni melakukan shalat dan menghalangi jamaah yang ingin masuk ke dalam."

Sebagaimana dilansir Guardian, ribuan warga Syi'ah hari Rabu (31/8), berbaris di belakang pemimpin spiritual tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei, yang memimpin shalat Idul Fitri ala Syi'ah di Universitas Teheran.

Rezim Iran menggunakan shalat Idul Fitri untuk menunjukkan kepada publik bahwa tokoh-tokoh politik negeri itu bersatu di belakang pemimpinnya. Politisi dari berbagai kelompok yang berbeda diwajibkan menghadiri acara itu. Jika mereka absen, maka ketidakhadirannya dianggap sebagai pembangkangan.

Berdasarkan konstitusi Iran, kelompok minoritas agama harus dihormati dan memiliki perwakilan di parlemen. Dua hari sebelum Idul Fitri (29/8), beberapa anggota parlemen dari kelompok Muslim menulis surat kepada Presiden Mahmud Ahmadinejad untuk meminta izin agar komunitas mereka diperbolehkan menggelar shalat Idul Fitri yang terpisah dari Syi'ah.

Muslim Teheran sejak beberapa pekan sebelumnya telah diperintahkan pejabat berwenang untuk membuat pernyataan tertulis berisi jaminan bahwa warga Muslim tidak akan menggelar shalat Idul Fitri di ibukota.

Syiekh Abdul Hamid Ismail Zehi, imam Muslim di Zahedan, sebuah kota di kawasan tenggara Iran, mengkritik rezim Iran dalam khutbahnya.

"Saya ingin meminta kepada pemimpin tertinggi agar menghentikan langkah-langkah diskriminatif dan ilegal dari sejumlah pejabat, karena mereka melarang minoritas Sunni di kota-kota besar Iran menggelar shalat khususnya shalat Id dan shalat Jum'at. Ini adalah permintaan seluruh Sunni di Iran," katanya sebagaimana dikutip SunniOnline.us.

Iran kerap membual bahwa penduduk Syi'ah dan Muslim di negaranya hidup berdampingan dengan damai. Namun, warga Muslim beberapa tahun belakangan mengeluhkan tindakan keras yang dilakukan rezim Syi'ah.

Rezim Syi'ah menuding Muslim yang bertanggungjawab atas pemboman belum lama ini di daerah selatan Iran. Syi'ah menuding Muslim bersama negara-negara Islam di Timur Tengah yang melakukan kejahatan itu.(http://www.hidayatullah.com/read/18773/09/09/2011/muslim-teheran-dilarang-syi%27ah-shalat-idul-fitri.html).

Perokok Adalah Serdadu Berani Mati




Oleh : Taufiq Ismail

Para perokok adalah pejuang gagah berani.
Berada di dekat kawan-kawan saya perokok ini.
Saya serasa berdampingan dengan rombongan serdadu berani mati.
Veteran dua Perang Dunia, Perang Vietnam, Perang Revolusi
Dan Perang Melawan Diri Sendiri.

Perhatikanlah upacara mereka menyalakan belerang berapi.
Dengan khimadnya batang tembakau dihunus dan ditaruh antara dua jari.
Dengan hormatnya Tuhan Sembilan Senti.
Disisipkan antara dua bibir, digeser agak ke tepi.
Sementara itu sudah siap An Naar, nyala api sebagai sesaji.

Hirupan pertama dilaksanakan penuh kasih sayang dan hati-hati.
Kemudian dihembuskan asapnya, ke kanan atau ke kiri.
Mata pun terpicing-picing tampak nikmat sekali.
Berlindung pada adiksi dari tekanan hidup sehari-hari.
Lena kerja, lupa politik, mana ingat anak dan isteri.

Para perokok adalah serdadu-serdadu gagah berani.
Untuk kenikmatan 5 menit mereka tidak peduli 25 macam penyakit
yang dengan gembira menanti-menanti.
Saat untuk menerkam dari setiap penjuru dan sisi.

Paru-paru obstruksi kronik bronkhitis kronik dan emfisema.
Gangguan jantung pembulu darah arteriosklerosis hipertensi dan gangguan pembuluh
darah otak. Kanker rongga mulut, nasopharynx, oropharynx, hypopharynx dan
rongga hidung. Lalu sinus paranasal, larynx, esophagus dan lambung. Radang pankreas,
hati, ginjal, ureter dan kandung kemih. Radang cervix uteri dan sumsum tulang, infertilitas
dan impotensi. Daftar ini belum disusun secara alfabetis, dan sebenarnya (ini rahasia profesi medis)
penyakit yang 25 ini cuma nama samaran julukan pura-pura saja.

Nama aslinya penyakit rokok.

Rokok, abang kandung narkoba ini tak tertandingi dalam soal adiksi.
4000 macam racun didapatkan sepanjang sembilan senti. Untuk orgamus nikotin 5
menit itu serdadu tembakau ini mana peduli terhadap hari depan anak-anak
yang masih memerlukan pencarian rezeki.
Terhadap bagaimana telantarnya kelak janda yang dulu namanya isteri.
Atau nasib duda yang dulu namanya suami.
Terhadap pengotoran udara depan belakang, kanan dan kiri.
Dalam memuaskan ego, dengan sengaja mendestruksi diri pribadi.

Betapa beratnya memenangkan Perang Melawan Diri Sendiri.

Selasa, 06 September 2011

Menantikan Lahirnya Generasi Shalahuddin

Judul buku: Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina

Judul Asli: Hakadza zhahara Jil Shalahuddin wa hakadza adat al-quds.

Penulis: Dr. Majid Irsan Al-KilaniAlih Bahasa: Asep Sobari, Lc. dan Amaluddin, Lc. M.A.

Penerbit: Kalam Aulia Mediatama, 2007,xvi + 360 hlm. ; 15x23
Peresensi: M. Masykur



Tidak ada yang menyangkal, kekalahan kaum Muslimin dari pasukan Salib pada akhir abad 5 Hijriah, merupakan salah satu tragedi terbesar yang dialami umat Islam. Hal itu terjadi tidak lain karena kesalahan umat Islam sendiri. Sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, bahwa sebelum terjadi invasi pasukan Salib kondisi umat Islam berada dalam kemunduran dan kerusakan yang parah. Para penguasa meninggalkan amanat yang diemban dan gila dengan kemewahan serta kekuasaan, bahkan mereka berlaku dzolim kepada rakyat. Para ulama pun banyak yang menjadi “ulama dunia” dengan mencari muka di depan para penguasa demi sebuah simpati atau jabatan dan bahkan tidak jarang terjadi permusuhan dan saling menjatuhkan antar ulama. Singkatnya, ada arus penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat setelah ditinggalkan oleh tiga generasi emas (shalafus shalih). Penyimpangan yang merambah semua kalangan umat baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya dan masyarakat biasa.

Namun fakta sejarah berbicara, sekitar 90 tahun kemudian, tampil Shalahuddin Al-Ayyubi yang memimpin pasukannya merebut Hitthin sebaga pembuka jalan untuk merebut Palestina kembali. Apa gerangan yang terjadi? Apakah Shalahuddin Al-Ayyubi seoran utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat? Apakah Shalahuddin seorang pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan mengandalkan segala keistimewaan pribadinya? Jawabannya tentu tidak. Sejak awal Shalahuddin “hanya” seorang anak didik Nuruddin Zanki yang sudah menyiapkan mibar baru untuk Masjidil Aqsha jauh sebelum itu.

Di sisi lain, sejarah tidak mungkin melupakan karya dan peran signifikan sejumlah ulama dan tokoh umat Islam yang hidup dalam kurun waktu tersebut, seperti Al-Ghazali, Abdul Qodir al-Jilani, Ibnu Qudamah al-Madisi dan sederetan nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat. Mereka berhasil mengikis virus-virus yang menggerogoti imunitas internal umat berupa hegemoni filsafat, aliran kebatinan, dikotomi fiqih dan tasawuf, mazhabisme dan lain-lainnya, sebelum melahirkan sebuah generasi baru yang mengimplementasikan nilai-nilai nilai-nilai Islam dan mengusung panji kejayaannya saat berhadapan denan lawan-lawannya.

Kesimpulannya, dalam buku ini dinyatakan bahwa shalahuddin hanya seoran juru bicara resmi dari sebuah generasi yang telah mengalami proses penggodokan dan perubahan. Sebuah generasi yang telah berhasil melampaui kesalahan-kesalahan masa lalu yang ditorehkan oleh para pendahulunya.

Buku ini seakan menjadi sindiran kepada kita semua, umat Islam generasi sekarang. Masjid Al-Aqsha sudah dikuasi oleh pasukan Israel, mereka memperlakukan umat Islam di Palestina dengan semena-mena. Masihkah kita belum berpikir untuk bangkit dan merebut kembali Palestina? Jika generasi Shalahuddin mampu merebut kembali Palestina dari pasukan Salib, mengapa kita tidak mampu melakukan hal yang sama? Apa yang salah dari generasi kita? Buku ini akan memberi petunjuk pada kita, bagaimana melahirkan generasi yang mampu meninggikan izzah Islam dan menyongsong peradaban Islam yang gemilang. (http://www.inpasonline.com/images/stories/buku misteri.jpg)

Senin, 05 September 2011

Renungan Pasca Ramadhan

Sungguh tidak terasa, begitu cepatnya Ramadhan meninggalkan kita, terasa baru kemarin kita berkumpul shalat berjam`ah shalat tarawih,buka bersama ,dan mengikuti kajian-kajian menarik. Ingin rasanya kita menangis ,goresan yang ditorehkan Ramadhan di dalam hati ini terasa masih segar, goresan yang tidak berdarah namun berair mata. itulah goresan kerinduan yang terukir karena kecintaan.

Betapa tidak ,Ramadhan adalah bulan jihad ,bulan perjuangan,bulan kesabaran,bulan yang menjadi symbol kemenangan melawan nafsu setan ,buan yang penuh dengan rahmah, berkah dan magfirah, bulan semangat: semangat shalat jama`ah , shalat sunnah, puasa, baca al¬-Qur`an, berzikir dan semangat berukhwah. Bulan yang di dalamnya pintu surge di buka lebar, pintu neraka di tutup rapat , setan di belenggu, malaikat di turunkan, pahala dilipat gandakan, rahmat dibentangkan. Sungguh bahagialah orang yang menatap Ramadhan dengan wajahnya ,menyambut dengan tangannya dan memeluk dengan kuatnya. Ya Allah terimalah semua amalan baik kami dan ampunilah segalah kesalahan dan dosa kami, dan luluslkan kami dari madrasah taqwa, madrasah Ramadhan, amin…, Ada sekelompok orang yang sanggat rugi dan celaka , hati keras, tidak mendapat ampunan, mendapat laknat Allah, yaitu orang yang penuh dengan debu maksiat dan kotoran dosa, yang setelah masukkan ke dalam madrasah Ramadhan ini atau di godok dan di cuci dalam mesin cuci Ramadhan, ternyata ia masih teteap seperti semula, tidak bersih dan tidak berubah menjadi putih. Setelah Ramadhan ia masih tetap malas beribadah dan giat melakukan maksiat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: “ Barang siapa menjumpai Ramadhan dan ia tidak mendapat ampunan, maka jika ia mati akan masuk neraka” ( Hadits shahih riwayat ibnu Khuzaimah dan ibn Hibban). Karena itu ketika malaikat Jibril berkata kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam: “ sungguh hina orang yang menjumpai Ramadhan ternyata ia tidak mendapatkan ampunan,”maka Nabi berkata, “Amin (semoga hina orang tersebut).” (HR Imam Ismail al-Qadhi, di sahihkan oleh Al-Blbani).

Maka tanda orang yang lulus Ramadhan adalah yang giat beribada sesudah Ramadhan seperti giat di dalam bulan Ramadhan, dan orang yang sabar menahan diri dari maksiat di luar Ramadhan seperti ia sabar menahannya di dalam bulan Ramadhan. Mengapa demikian..?, karena yang mukmin pasti akan mengatakan baha wa:
• Allah, Tuhan yang kita sembah, kita taati dan kita takuti serta yang kita cintai di dalam bulan Ramadhan, Dia juga yang menjadi Tuhan penguasa di luar Ramadhan.
• Tuhan yang memberikana rahmat dan nikmat yang harus di sukuri di dalam Ramadhan Dia juga
yang harus di sukuri di luar Ramadhan.
• jikaRamadhan telah usai maka amalan mukmin belum dan tidak usai kecuali dengan datangnya kematian Allah Ta’ala berfirman:“Dan sembahlah Tuhanmu hingga ajal menjemputmu.”(QS. Al-Hijr: 99)
Allah Ta’ala Berfirman;
“ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu meniggal dunia kecuali dalam kedan muslim .” (Ali Imran: 102)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seseorang hamba telah mati maka putuslah amalnya”.(HR Muslim Abu Daud, Nasai dan Bukhari dalam al-adab al-Mufrad) Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak menjadikan batas akhir dari amal kecuali kematian.
Semua ibadah yang ada di bulan Ramadhan ada yang harus kita lakukan di luar Ramadhan, di antaranya antara lain:
1. Majelis ilmu dan kajian -kajian
2. Shalat berjama’ah
3. Puasa sunnah
4. Infaq dan shadaqah
5. Tilawatul Qur’an
6. Qiyamul lail
7. I’tikaf memakmurkan masjid
8. Jihad memerangi nafsu dan setan
9. Semangat ukhuwah Islamiyah
10. Shalat sunnah, wirid dan do’a
11. Silaturahim
Abu Ja’far Muhammad Ibn Ali meriwayatkan secara marfu’ bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menjumpai Ramadhan dalam keadan sehat dan muslim lalu ia puasa di siang harinya, shalat rutin di sebagian malamnya menjaga pandangan matanya, menjaga kemaluan, lisan dan tanganya, menjaga shalat berjama’ah dan bersegera pergi (pagi-pagi) menuju jum’ahnya maka ia telah berpuasa sebulan penuh, mendapatkan pahala secara utuh, mendapatkan lailatul Qadar dan berhasil memboyong piala dari Allah penguasa yang Maha Suci lagi Maha Tinggi.”(HR. Ibn Abi al-dunya)
Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian meneruskannya dengan (puasa) enam hari dari bulan Syawwal maka (pahalanya) seperti puasa satu tahun.”(HR. Muslim,dan hadits yang mirip dengan ini di riwayatkan oleh Darimi, Ibn Majah, Ahmad dan Bazzar).

Ada beberapa catatan penting mengenai puasa Syawwal dan Qadha Ramadhan:
1. Orang yang masih menanggung hutang puasa Ramadhan harus mengqadha’ dulu, baru kemudian baru kemudian puasa Syawwal, karena:
(a) . Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: “ Barang siapa puasa Ramadhan”, ini berarti Ramadhan secara keseluruhan. Kemudian Nabi berasbda: “ lalu ia teruskan dengan Syawwal.” Artinya enam Syawwal ini datang setelah selesainya keseluruha Ramadhan
(b) .Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa menjumpai Ramadhan sementara ia masih terbebani oleh sebagian tanggungan Ramadhan lalu, maka tidak akan di terima daripadanya hingga ia mengqadhanya.”(HR. Ahmad dari Abu Hurairah, hadits hasan)
2 Dari sini dapat di simpulkan pula bahwa tidak boleh berniat puasa Qadha dan Syawwala sekaligus, tetepi harus di tunaikan secara terpisah.
3 Puasa enam hari Syawwal boleh berurutan dan boleh juga di lakukan secara terpisah-pisah, dengan mengutamakan pada hari Senin dan Kamis, sebab Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
  “Amal-amal manusia itu di laporkan pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka bila amalku dilaporkan saat aku berpuasa.” (HR. tirmidzi dari Abu Hurairah)
4 Yang menyamai fadhilah puasa Ramadhan dan enam Syawwal adalah puasa tiga hari setiap bulan. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam  bersabda:
“ Tiga hari dari setiap bulan dan Ramadhan ke Ramadhan ( berikutnya), ini adalah puasa setahun penuh:”(HR.Muslim dan Ahmad)
Inilah puasa yang di wasiatkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam kepada Abu Hurairah ra, dan yang paling utama tiga hari tersebut adalah hari-hari purnama, yaitu tanggal 13,14,dan,15.(Hadits Abu Dzar, riwayat Ahmad dan Nasa’i).
Di antara ibadha-ibadha yang harus di kerjakan di luar Ramadhan adalah apa yang di nyatakan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berikut ini:
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah tali kekerabatan, sahalatlah di waktu malam saat manusia dalam tidur panjang kamu pasti masuk surga dengan aman.” (HR.Tirmidzi, Hasan Shahih).
Karena itu wahai saudara-saudaraku, bersemangatlah dalam melakukan ketaatan dan berjihadlah dalam menjauhi kemaksiatan agar mendapatkan kemenangan hakiki dan kebahagiaan abadi, kehidupan yang baik duniawi dan ukhrawi, serta pahala yang melimpah tiada henti.
Allah Ta'ala berfirman:
“ Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keada beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”(QS. Al-Nahl:97).

Ya, Allah tetapkanlah hati kami dalam keimanan, tegakkan semangat Ramadhan di hati kami ,bimbinglah kami ke jalan ridha-Mu, hidupkanlah kami dalam kehidupan yang indah penuh arti dan kumpulkanlah kami kedalam barisan orang-orang yang shalih.(Disalin Dari Majalah Qiblati Edisi Khusus 12/VI Syawwal –Dzulqa’dah 1432H)

"Warna-Warni Idul Fithri"

Oleh: Dr. Adian Husaini

Senin (29/8/2011) pagi itu, saat saya menonton TV bersama-sama anak saya, muncullah berita: Jamaah Naqshabandiyah di Sumatera Barat sudah merayakan Idul Fithri 1432 H. Anak-anak saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar langsung bertanya: “Sekarang sudah lebaran?” Saya jelaskan pada mereka, “Itu kelompok yang menyimpang. Yang aneh!”

Aneh memang, setidaknya, saya sempat melihat tiga stasiun TV menyiarkan Idul Fithri kelompok Naqshabandiyah itu. Sayangnya, tanpa ada penjelasan apa pun dari otoritas keagamaan di Indonesia,apakah dari MUI atau pengurus Tarekat Mu’tabarah. Segera saya mengirim SMS ke sejumlah pimpinan MUI, mohon agar mereka mengklarifikasi aktivitas Jamaah Naqshabandiyah tersebut. Dijawab oleh seorang pimpinan MUI, bahwa tadi pagi Sekjen MUI sudah memberikan penjelasan. Entah TV-TV itu yang tidak tahu atau sengaja tidak memuat klarifikasi MUI. Wallahu a’lam.

Saya maklum, dalam kredo jurnalistik lama masih berlaku jargon “anjing menggigit manusia bukan berita, tetapi manusia menggigit anjing itu baru berita.” Dalam pepatah Arab juga ada ungkapan: “bul zamzam tu’raf!”, kencingilah sumur zamzam, maka kamu akan terkenal!

Tentu saja, dari sudut pandang Islam, berita tentang Idul Fithri kelompok Naqshabandiyah itu, sangat tidak mendidik. Dan itu juga bertentangan dengan salah satu fungsi jurnalistik, yakni fungsi edukasi. Berita itu memang “aneh”, menarik, dan “nyeleneh”, tapi seharusnya pendapat sekelompok orang yang ‘nyeleneh’, tidak bisa disejajarkan derajatnya dengan pendapat jumhur umat Islam. Dalam dunian ilmu pengetahuan dan jurnalistik pun, dipegang kualitas dan kredibilitas nara sumber.
Kita maklum, ini Negara demokrasi! Kata sebagian penganutnya: suara rakyat adalah suara Tuhan! Meskipun suara rakyat Israel yang setuju menjajah Palestina, jelas suara setan!
*****

Bersamaan dengan munculnya beberapa kali tayangan berita Idul Fithri Naqshabandiyah, muncul pula berita berjalan “running text” di beberapa stasiun TV: “PP Muhammadiyah menetapkan Idul Fithri 1432 H, jatuh pada Hari Selasa (30/8/2011)”. Anak-anak saya bertanya lagi: “Jadi besok kita lebaran?” Anak saya yang duduk di bangku kelas 3 SD hari itu sudah merengek-rengek minta batal, karena kehausan. Saya bilang, “Ya sudah, kamu besok boleh tidak puasa!”

Hingga habis magrib, anak-anak lainnya masih terus bertanya, “Jadi besok kita lebaran?” Saya katakan: “Kita nunggu pengumuman pemerintah.” Istri saya ikut menjelaskan: “Tunggu pengumuman Presiden!”

Memang, Senin itu cukup mengasyikkan.Bukan hanya menjawab pertanyaan anak-anak. Puluhan SMS juga datang bertubi-tubi menanyakan, kapan kita Idul Fithri? Kepada mereka saya jawab: “Saya menunggu sidang itsbat.” Saya hanya mewakili pribadi. Bukan mewakili pendapat satu ormas atau lembaga tertentu.

Ada juga yang tidak puas dengan jawaban saya. Seorang professor, kolega saya, menyatakan, bahwa pemerintah Indonesia kan bukan pemerintah Islam. Jadi tidak bisa dijadikan pegangan. Saya jawab: “Memangnya sekarang ini ada pemerintahan Islam?” Maaf, setahu saya, -- mungkin saya keliru – di Mesir, Ikhwanul Muslimin tidak mengumumkan Id sendiri, meskipun rezim Mesir tak henti-hentinya menindas mereka. Meskipun beroposisi, setahu saya, Partai PAS di Malaysia juga tidak mengumumkan Id sendiri.

*****

Lalu, tibalah saatnya Sidang Itsbat berlangsung! Jujur, baru kali ini saya menyaksikan secara langsung dan lengkap jalannya Sidang Itsbat di Kementerian Agama. Bagi saya, itu sangat menarik. Begitu “demokratisnya” Indonesia. Dipimpin langsung oleh Menteri Agama, jalannya sidang itu bisa disaksikan secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia. Dugaan saya, mekanisme seperti ini tidak dijumpai di negara-negara lain.

Dalam sidang Itsbat itu, MUI -- melalui salah satu ketuanya, KH Ma’ruf Amin -- mengantarkan, bahwa sudah ada fatwa MUI tahun 2004, yang menyatakan, umat Islam Indonesia wajib mengikuti keputusan pemerintah dalam soal penetapan awal Ramadhan, Idul Fithri, dan Idul Adha.

Oohhh, ternyata sudah ada fatwa itu. Tapi, ternyata, tidak bergigi! Tentu, banyak sebabnya. Mungkin, kelemahan itu ada dipihak MUI, di pihak pemerintah, atau mungkin pula di pihak Ormas-ormas Islam. Di sini, tak cukup tempat untuk menelusurinya.

Sungguh asyik menonton Sidang Itsbat malam itu! Meskipun anak-anak saya tidak sabar menunggu, dan pergi satu persatu dari depan layar TV. Mereka hanya mau keputusan: “Kita Lebaran kapan? Itu saja!”

Asyiknya, sidang itu bukan hanya dihadiri oleh wakil-wakil Ormas Islam, tetapi juga sejumlah pakar astronomi terkemuka di Indonesia. Di situ pula dibacakan semua laporan yang masuk, baik yang mengaku melihat hilal (bulan sabit) maupun yang tidak! Sebagian besar mengaku tidak melihat hilal. Berdasarkan pendapat beberapa ulama yang dibacakan oleh Ketua MUI, maka kesaksian yang bertentangan dengan kesepakatan ahli hisab atau astronomi yang sudah diyakini kebenarannya, tidak dapat diterima.

Saya terus terang menikmati acara sidang itsbat itu. Mungkin, itu satu-satunya di dunia Islam. Berbagai aspirasi disampaikan secara langsung. Terbuka. Akhirnya, sekitar pukul 20.00, berdasarkan mayoritas suara peserta sidang Itsbat – Menteri Agama memutuskan: Idul Fithri 1432 H di Indonesia jatuh pada hari Rabu (31/8/2011).

Tibalah saat yang menentukan! Saya harus menjelaskan kepada anak-anak saya, kapan saya ber-Idul Fithri 1432 H. Berpuluh tahun saya terlibat dalam polemik masalah ini. Malam itu, saya menggunakan logika sederhana saja. Saya lihat semua tokoh yang berbeda pendapat selalu mengimbau agar umat Islam bisa menerima perbedaan, karena yang berlebaran hari Selasa atau pun Hari Rabu, sama-sama benar. Hanya kriteria yang digunakan berbeda!

Saya percaya, ucapan para pemimpin Ormas Islam itu tulus ikhlas. Sama antara mulut dan hatinya. Karena itu, saya putuskan, saya ber-Idul Fithri 1432 H, Hari Rabu (31/8/2011). Sebab, keduanya berdasarkan dalil. Keduanya sama-sama benar. Dengan memilih Rabu, saya punya kesempatan menambah ibadah Ramadhan 1 (satu) hari lagi. Lumayan….!
Lalu, saya ajak anak-anak saya shalat Isya’ dan tarowih berjamaah. Anak saya yang kelas 3 SD ikut shalat tarawih juga. Tapi, esoknya dia tetap konsisten, tidak puasa. Katanya, ikut lebaran dengan yang lain. Kami hanya tersenyum… Dan Alhamdulillah, sejumlah tetangga kami juga ikut ber-Idul Fithri hari Selasa. Berbeda-beda, tetapi tetap berukhuwah!
*****


Pada 27 Ramadhan 1432 H, sekelompok professional Muslim Indonesia mengeluarkan sebuah petisi bertajuk “PETISI UKHUWAH DAN PERSATUAN”. Sebuah slogan dikumandangkan: “BEDA BOLEH! SATU LEBIH BAIK! SATU LEBIH INDAH! “ (http://www.petitiononline.com/ukhuwwah/).

Ajakan itu menarik. Dalam beberapa hari, ratusan orang kemudian menandatangani petisi tersebut. Mereka rindu persatuan! Disebutkan dalam Petisi, bahwa ulama terkenal, Dr. Yusuf Qaradhawi pernah berpendapat, jika kaum Muslim tidak mampu mencapai kesepakatan pada tingkat global, minimal mereka wajib berobsesi untuk bersatu dalam satu kawasan. Kata Syekh Qaradhawi, tidak boleh terjadi di satu negara atau satu kota kaum Muslim terpecah-pecah; beda pendapat dalam penentuan awal Ramadhan atau Hari Raya. Kaum Muslim di negara itu harus mengikuti keputusan pemerintahnya, meskipun berbeda dengan negara lain. Sebab, itu termasuk ketaatan terhadap yang ma’ruf. (Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jld II (terj), Jakarta :GIP, 1995 , hal. 315).

Kaidah Ushul Fiqih menyatakan: “Al-khurûj minal khilâf mustahabbun” (Menghindar dari perpecahan itu lebih dicintai (sunnah).” (Lihat, Abu Bakar al-Ahdal asy-Syafii, al-Faraid al-Bahiyah fil-Qawaid al-Fiiqhiyyah, (Semarang: Toha Putra, 1997, hal. 24, kaedah no. 12).

Begitulah Isi Petisi itu. Dan saya ikut tandatangan tanda setuju!

Seorang pimpinan salah satu Ormas Islam (Ust Muhammad Zaitun Rasmin Lc, MA [ketua DPP Wahdah Islamiyah]), dalam Sidang Itsbat di Kemenag, Senin malam itu, membacakan satu hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang indah, yang mengajak kaum Muslimin berpuasa dan ber-Hari Raya pada saat masyarakat melakukannya. Hadits ini, katanya, memberikan isyarat bahwa seharusnya kaum Muslimin di satu lokasi tidak boleh merayakan Idul Fithri pada hari yang berbeda.

Saya setuju! Tampaknya, salah satu hikmah Idul Fithri adalah persatuan umat. Di hari yang sama, semua kaum Muslimin bersama-sama merayakan kemenangan. Soal perhitungan yang “jlimet-jlimet” dalam perhitungan “wujudul hilal” atau “imkanur-ru’yat” adalah metodologi yang tak habis-habisnya dibahas. Sudah ratusan tahun masalah ini diperdebatkan di antara para ulama. Toh, ujung-ujungnya, semua tetap dengan pendapatnya masing-masing. Maka, dalam soal ini, yang penting dan menjadi keputusan akhir adalah “Keputusan Ulil Amri”.

Para jamaah haji sedunia tak pernah mempersoalkan akurasi keputusan Pemerintah Saudi saat penentuan wukuf! Pemerintah Saudi juga tidak menggelar Sidang Itsbat, seperti di Indonesia. Yang penting, semua berwukuf pada hari yang sama! Padahal, banyak pihak yang menilai, pemerintahan Saudi pun tidak sesuai dengan sistem Islam! Jika secara astronomi pemerintah Saudi salah ambil keputusan, jamaah haji juga tidak wajib mengulang ibadahnya. Meskipun tahun ini kita ber-Idul Fithri 20 jam lebih lambat dari Saudi, toh kita tidak juga menggeser shalat Jumat kita menjadi 20 jam kemudian, pasca shalat Jumat di Saudi!

Jadi, tampaknya, Ibadah Idul Fithri dan Idul Adha memang dimaksudkan agar kita semakin cinta kepada persatuan dan persaudaraan sesama Muslim. Jika kita mau, InsyaAllah kita mampu bersatu. Kita tentu tidak hanya mengaku cinta persatuan di mulut, tetapi dalam hati bercerai-berai dan saling mendendam.
Terlepas soal perbedaan, apa pun Harinya, sejatinya kita tetap ber-Idul Fithri 1 Syawal. Tidak ada yang 2 Syawal! Minal ‘Aidin wal-Faizin, Mohon Maaf lahir dan batin. Taqabbalallahu minna waminkum. Wallahu a’lam bil-shawab.*/ (Disalin dari CAP Adian Husaini di :)http://www.hidayatullah.com/read/18695/04/09/2011/.