Sabtu, 15 Oktober 2011

Antara Wahabi dan Isu Terorisme

Pasca serangan bom bunuh diri di GBIS Kepunton Solo, perbincangan mengenai kaitan antara terorisme dan doktrin Wahabi kembali mencuat di media massa. Setidaknya hal itu tercermin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj pada harian Republika (3/10/2011). Artikel berjudul “Radikalisme, Hukum, dan Dakwah” ini menarik untuk dicermati, karena KH Said Aqil telah mengaitkan antara pergerakan dakwah Wahabi dengan radikalisme. Beliau bahkan membuat istilah baru tentang dakwah Wahabi, yaitu “ideologi puritanisme radikal.”

Kita tentu bersyukur, seorang ketua umum sebuah organisasi massa besar seperti KH Said Aqil Siradj begitu peduli terhadap teror bom yang banyak menimbulkan korban dari masyarakat yang tak bersalah. Bahkan sebenarnya bukan hanya KH Said Aqil Siradj, tokoh yang sering dikait-kaitkan dengan kasus terorisme seperti KH. Abu Bakar Ba’asyir (ABB) pun mengecam aksi bom di Cirebon dan Solo sebagai tindakan ngawur yang jauh dari pemahaman syariat. Pada beberapa kesempatan, ABB menyatakan bahwa Indonesia adalah wilayah aman yang karenanya Islam harus ditegakkan lewat cara-cara damai.

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari artikel Kiai Said di atas, yang terkesan seperti menabur angin, mengenai siapa saja yang dianggap sebagai Wahabi. Dalam beberapa alineanya, artikel tersebut bahkan seperti mengumbar stigma yang gebyah uyah. Jika tak dikritisi, tulisan tersebut bisa menimbulkan ragam penafsiran di masyarakat dan generalisasi terhadap kelompok yang dituduh mengusung dakwah Wahabi. Sehingga hal ini bisa berpotensi memicu konflik sosial di akar rumput, sebagaimana terjadi pada sebuah pengajian hadits di Klaten, Jawa Tengah, yang nyaris dipaksa bubar karena dianggap bagian dari dakwah Wahabi.

Diantara kalimat yang bisa menimbulkan bias pemahaman dan stigma dari tulisan KH Said Aqil adalah, “Kita bisa mencermati pergerakan paham Wahabi di negeri kita yang secara mengendap-endap telah memasuki wilayah pendidikan dengan menyuntikkan ideologi puritanisme radikal, semisal penyesatan terhadap kelompok lain hanya karena soal beda masalah ibadah lainnya. Di berbagai daerah bahkan sudah terjadi ‘tawuran’ akibat model dakwah Wahabi yang tak menghargai perbedaan pandangan antar-muslim. Model dakwah semacam ini bisa berpotensi menjadi ‘cikal bakal’ radikalisme.”

Pada alinea lain, KH Said Aqil mengusulkan agar dilakukan “sterilisasi” masjid-masjid yang berpotensi menjadi sarang kelompok puritan radikal, sebuah kelompok yang menurutnya seringkali menimbulkan “tawuran” di tengah masyarakat. Dalam kesempatan lain, KH Said Aqil bahkan meminta masyarakat untuk mewaspadai 12 yayasan dari Timur Tengah yang ditengarai mendapat suntikan dana dari kelompok Wahabi. Tulisan KH. Said Aqil Siradj yang dimuat dalam harian ini seolah menyatakan bahwa memerangi ideologi teror sama dengan memerangi ideologi puritan radikal yang diusung oleh kelompok yang ia sebut sebagai Wahabi. Kelompok yang saat ini menurutnya mengendap-endap di dunia pendidikan, membawa suntikan beracun berisi “ideologi puritan radikal”.

Antara Wahabi dan Terorisme

Stigma Wahabi merujuk pada sosok ulama abad ke-18 bernama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimy An-Najdi. Gerakan dakwahnya mengusung tajdid dan tashfiyah (pembaharuan dan pemurnian) akidah kaum muslimin dari beragam kemusyrikan dan amaliah yang tidak diajarkan oleh Islam. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang dai yang tak pernah menyebut kiprah dakwahnya dengan penamaan dakwah Wahabi atau tak pernah mendirikan organisasi dakwah bernama Wahabi. Istilah Wahabi baru muncul belakangan, itupun dengan tujuan stigmatisasi oleh mereka yang tak setuju dengan pemikiran yang diusung dalam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.

Di Indonesia, stigma Wahabi juga pernah dilekatkan pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis). Tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Soorkati, A. Hassan, dianggap sebagai pengusung paham Wahabi di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol pun pernah disebut sebagai pengusung dakwah Wahabi. Baik Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ataupun generasi dakwah selanjutnya di seluruh dunia yang sepaham dengan pemikirannya tak pernah ada yang dengan tegas menyatakan dirinya sebagai Wahabi.

KH. Said Aqil Siradj dalam tulisannya tak menjelaskan siapa saja atau kelompok mana saja yang masuk dalam kategori puritan radikal pengusung dakwah Wahabi. Ia hanya menjelaskan, kelompok tersebut tak menghargai perbedaan dan mudah memberikan label sesat pada sesama Muslim lainnya. Sama tak jelasnya, ketika ia melontarkan pernyataan bahwa ada 12 yayasan milik Wahabi yang perlu diwaspadai yang kini beroperasi di Indonesia. Apa saja yayasan itu, kenapa perlu diwaspadai, adakah pelanggaran baik dari sisi hukum nasional ataupun hukum Islam dari 12 yayasan tersebut sehingga layak untuk diwaspadai tak pernah dijabarkan. Sekali lagi, apa yang dilontarkan KH Said Aqil seperti menabur angin, menerpa siapa saja yang dianggap sebagai Wahabi.

Jika merujuk pada banyak kasus yang terjadi di basis-basis NU, maka kelompok puritan radikal atau Wahabi yang dimaksud KH Said Aqil adalah mereka yang membid’ahkan tahlilan, tawassul, ziarah kubur, maulid Nabi, dan amaliah lainnya yang menjadi tradisi di kalangan Nahdhiyyin. Kriteria inilah yang sering diungkapkan oleh KH Said Aqil di media massa ketika menyoroti kiprah kelompok yang ia sebut sebagai “Wahabi”. Namun, adakah kaitannya antara kelompok yang berdakwah untuk menjauhi bid’ah dalam urusan ibadah dengan kelompok teroris?

Nyatanya seluruh ormas Islam di Indonesia, baik yang meyakini bolehnya tahlilan atau tidak, sepakat bahwa aksi pengeboman di zona damai adalah perbuatan yang diharamkan Islam, apalagi pemboman yang terjadi di tempat ibadah. Bom yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan jihad tentu mencoreng nama Islam. Islam mengajarkan syariat jihad dengan batasan dan aturan yang ketat dan rinci. Jihad tidak mengedepankan hawa nafsu dan serampangan. Jihad sangat menghargai nilai-nilai dan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak sipil. Dalam perang, musuh yang menjadi target adalah para combatan dan basis-basis militer, bukan orang-orang sipil, fasilitas umum, dan tempat-tempat ibadah.

Akhirul kalam, menyebut dakwah Wahabi sebagai kontributor aksi teror bom tak pernah bisa dibuktikan dengan jelas. Stigmatisasi itu tak lebih daripada memukul bayang-bayang. Kita tentu tak sepakat dengan sekelompok orang yang mudah mengkafirkan muslim lainnya hanya karena urusan khilafiyah. Kita juga tak setuju dengan pola-pola dakwah yang eksklusif, merasa paling benar, dan jauh dari nilai-nilai akhlakul karimah. Jika ada perbedaan dalam urusan dakwah, maka selesaikan dengan jalan dialog. Begitupun jika terjadi perbedaan pendapat dalam hal furu’iyah maka kedepankanlah sikap tasamuh (toleran). Stigmatisasi yang tak jelas di tengah prahara terorisme akan menambah beban masalah yang melebar ke mana-mana. Selain persoalan ideologi yang menyimpang, akar dari terorisme adalah ketidakadilan global yang melanda negeri-negeri Muslim. (Disalin dari tulisan Ust Heri Nurdi di Harian Republika, 7 Oktober, 2011)

Senin, 10 Oktober 2011

Membungkam Kerancuan Pluralisme Dengan Logika Sederhana

Judul Buku   : Kemi,Cinta Kebebasan Yang Tersesat

Penulis          : Adian Husaini

Penerbit        : Gema Insani

Tahun           : Terbitan kedua 1432 H/2011

Tebal            : 316 Halaman


Dr Adian Husaini MA dikenal sebagai tokoh yang gigih penyebaran berbagai pemikiran destruktif yang merusak aqidah ummat.Beliau selalu berada di gardaterdepan dalam membendung arus liberalisme di tanah air.Salah kontribusi beliau dalam menjawab berbagai syubuhat yang merusak aqidah adalah dengan menulis buku dan atikel-artikel ilmiyah. Diantara buku yang telah beliau susun adalah;Islam Liberal,Sejarah,Konsepsi,Penyimpangan dan Jawabannya,Wajah peradaban barat, Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler Liberal,Hegemoni Kristen –Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi,Membendung Arus Liberalisme (Kumpuan CAP di www.hidayatullah.com), Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam,Muslimah Daripada Liberal dan sebagainya.

Sebenarnya kajian liberalisme,pluralisme dan pemikiran destruktif lainnya termasuk kajian yang cukup berat.Tetapi dalam karya –karya Dr Adian kita akan memahami dan menjawab dengan mudah argumen-argumen kaum liberalis tersebut .Salah satu karya beliau yang beirisi trik-trik praktis untuk menjawab argumen kaum liberal adalah sebuah novel yang berjudul,Kemi ,Cinta kebebsan yang Tersesat.


Novel ini bercerita tentang kisah pergolakan pemikiran seorang santri bernama Kemi yang terjangkiti virus SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme). SEPILIS adalah Virus Pemikiran yang telah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Cerita berawal ketika Kemi meninggalkan ponpes Minhajul Abidin, tempatnya menimba ilmu agama selama bertahun-tahun. Ia keluar pesantren atas ajakan Farsan, kakak kelasnya yang telah bergabung dengan sebuah jaringan yang bergerak dalam menyebarkan paham Sekularisme, pluralisme, dan Liberalisme.

Tokoh lain yang dikisahkan dalam cerita ini adalah Rahmat, seorang santri yang masih merupakan rekan Kemi di pesantren. Rahmat dikenal cerdas dan istiqamah. Kyai Rais mengutusnya untuk menyelamatkan Kemi dan membawanya kembali ke Pesantren. Untuk menjalankan misi tersebut, Rahmat mendaftar sebagai mahasiswa di Institut Damai Sentosa, kampus yang menjadi corong penyebaran paham Sekularisme, pluralisme, liberalisme, multikuralisme, kesetaraan gender, bahkan dekontruksi kitab suci.

Adapula tokoh lain yang bernama Siti, Putri Kyai terkenal yang terjebak dalam pemahaman femisime liberal. Ia terperangkap dalam jejaring kebebasan yang semu. Namun semenjak bertemu dengan Rahmat, ia mengalami pergolakan dalam batinnya. Ia mulai mempertanyakan makna dan hakikat kebebasan yang selama ini diperjuangkannya. Pada saat yang sama, naluri kewanitaannya muncul. Diam-diam ia jatuh cinta kepada Rahmat, bahkan cintanya tak terbendung. Namun, di sisi lain ia tidak kuasa menghapus bayang-bayang dosa dan kesalahan yang terus menghantuinya.

Melalui dialog antartokoh dalam novel ini, Ustadz Adian menyingkap satu persatu argumen para pengusung ide pluralisme dan relativisme. Seperti dalam salah satu fragmen dialog antara toko Kemi dan Rahmat berikut ini:
“Tetapi, coba kita berdiskusi lebih menukik... soal Tuhan, misalnya. Menurut saya, yang penting adalah substansinya. Apalah arti sebuah nama. Tuhan itu satu. Tetapi manusia mempersepsikan dan memanggilnya dengan persepsi dan lingkungan budaya masing-masing. Orang Islam memanggil Allah, orang Yahudi memanggil Yahweh, orang Kristen memanggil Yesus, orang Hindu memanggil Brahman dan sebagainya. Nama Tuhan memang berbeda-beda, tetapi Tuhan tetap satu. ‘Berbeda-beda tetapi tetap satu’. Kata professor John Hick, kamu tahu kan dia, God had many names. Itu judul buka yang ia tulis. Ya kan, Rahmat...?” “Kalau memang masalah nama tidak penting, kenapa kamu tidak berdoa saja, ’’Wahai Yahweh, Wahai Tuhan Yesus?” Menurut saya, kamu sudah cukup keblinger. Harusnya sebagai orang Islam, kamu sudah paham masalah ini. Coba, mau nggak kamu baca syahadat tidak ada Tuhan selain Yahweh... Tidak ada Tuhan selain Dewata Agung. Ayo, ...................” (hal:59-60).

Hal yang sama juga nampak ketika Rahmat menaklukan Profesor Malikan di ruang kuliah (Hal:164-173). Demikian pula ketika santri andalan Kyai Rais tersebut mempermalukan Kyai Dulpikir di ruang seminar (Hal:238-243). Bahkan Kyai tersebut meninggal usai seminar.
Dari novel ini, pembaca dapat belajar cara mudah mematahkan argumentasi pluralisme, liberalisme, relativisme, multikulturalisme dan pemahaman menyimpang lainnya. Buku ini sangat mudah dipahami karena disajikan dengan gaya bercerita dan dialog. Pembaca tidak perlu mengerutkan kening untuk menyerap isi dan pesan dari novel yang mendapatkan pujian dari Taufik Ismail ini.

Oleh karena itu, novel ini penting dibaca para santri, mahasiswa, da’i dan semua pihak yang memiliki kepedulian untuk menjaga keimanan dan keislamannya serta menghendaki terbentenginya aqidah ummat dari berbagai pemahaman dan pemikiran destruktif yang semakin gencar menyerang ummat Islam.(Syams,Bogor 11/11/1432 H)