Minggu, 27 November 2011

Belajar Fisika Secara Islami

“Apakah Ilmu Fisika mungkin dipelajari tidak secara islami?” Dengan kata lain, “Apakah ada cara mempelajari Fisika yang Islami atau tidak Islami?”.

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, terutama karena ada kesalahfahaman yang menggelayuti banyak orang tentang konsep dan proses Islamisasi ilmu kontemporer. Masih ada saja yang membayangkan bahwa Islamisasi sains berarti membuat “pesawat terbang Islam”, atau “mesin islam”. Atau, masih ada juga yang mengira bahwa Islamisasi hanyalah semata-mata berarti “mencocok-cocokkan” atau menjustifikasi ayat al-Qur’an dengan temuan sains atau sebaliknya (lihat tulisan Budi Handrianto “Meluruskan Konsep Islamisasi Sains”).

Jika memang ada cara tertentu untuk mempelajari Fisika secara Islami, pertanyaan selanjutnya, “Apa perlunya mempelajari ilmu Fisika secara Islami? Hal ini dapat dijawab dari dua sisi. Pertama, bahwa dalam Islam, tujuan utama dari setiap pendidikan dan ilmu adalah tercapainya ma’rifatullah (mengenal Allah, Sang Pencipta), serta lahirnya manusia beradab, yakni manusia yang mampu mengenal segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah.

Tak terkecuali saat seorang Muslim mempelajari Ilmu Fisika. Ia tak hanya bertujuan semata-mata untuk menghasilkan terobosan-terobosan sains atau temuan-temuan ilmiah baru; bukan pula menghasilkan tumpukan jurnal-jurnal ilmiah semata-mata atau gelimang harta kekayaan saja. Tapi, lebih dari itu, seorang Muslim melihat alam semesta sebagai ayat-ayat Alllah. “Ayat” adalah tanda.Tanda untuk menuntun kepada yang ditandai, yakni wujudnya al-Khaliq. Allah menurunkan ayat-ayat-Nya kepada manusia dalam dua bentuk, yaitu ayat tanziliyah (wahyu yang verbal, seperti al-Quran) dan ayat-ayat kauniyah, yakni alam semesta. Bahkan, dalam tubuh manusia itu sendiri, terdapat ayat-ayat Allah.

Allah memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang tidak mampu menggunakan potensi inderawi dan akalnya untuk mengenal Sang Pencipta. Mereka disebut sebagai calon penghuni neraka jahannam dan disejajarkan kedudukannya dengan binatang ternak, bahkan lebih hina lagi (QS 7:179).

Binatang ternak bekerja secara profesional sesuai bidangnya masing-masing. Dengan itu, ia mendapat imbalan untuk menuruti syahwat-syahwatnya. Makan kenyang, bersenang-senang, istirahat, lalu mati. “Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang dan makan-makan (di dunia) seperti layaknya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (QS 47:12).

Kedua, tujuan pendidikan nasional adalah bahwa ia harus menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,..”. Pertanyaannya, “Apakah pendidikan dan pengajaran sains sudah ditujukan membentuk manusia beriman, bertakwa dan berakhlak mulia?”, “Apakah buku-buku pelajaran dan buku-buku teks Fisika sudah ditujukan untuk hal tersebut?”

*****
Mempelajari Ilmu Fisika secara Islami dimulai dari Islami atau tidaknya fikiran seorang fisikawan. Bagaimana cara pandang seorang fisikawan terhadap alam, bagaimana konsep ia tentang ilmu, dan bagaimana konsepnya tentang Tuhan. Cara pandang inilah yang menentukan apakah ia mempelajari sains secara islami atau tidak, dan cara pandang inilah yang dikenal sebagai pandangan-alam (worldview). Fikiran seorang fisikawan akan memahami benar bahwa ada keterkaitan yang erat antara ilmu (‘ilm), alam (‘alam), dan Pencipta (al-Khaliq).

Kata ‘ilm sendiri berasal dari kata dasar yang terdiri, ‘a-l-m, atau ‘alam. Makna yang dikandungnya adalah ‘alaamah, yang berarti “petunjuk arah”. Menurut al-Raghib al-Isfahani al-‘alam adalah “al-atsar alladzi yu’lam bihi syai’” (jejak yang dengannya diketahui sesuatu). Dalam karyanya Knowledge Triumphant The Concept of Knowledge in Medieval Islam, Rosenthal memberikan pandangan tentang adanya keterkaitan erat secara bahasa antara ilmu pengetahuan dengan petunjuk jalan yaitu bahwa, the meaning of “to know” is an extension, peculiar to Arabic, of an original concrete term, namely, “way sign.”…the connection between “way sign” and “knowledge” is particularly close and takes on especial significance in the Arabian environment.

Mengenai keterkaitan antara adanya Pencipta dengan alam, sangat menarik jika kita simak pandangan Dr. Mohd. Zaidi Ismail, pakar Islamic Science, bahwa prototipe dari Natural Science khususnya dalam arti modernnya, dalam tradisi keilmuan dan sains Islam disebut sebagai ‘ilm al-tabii’ah (the science of nature). Kata al-tabii’ah tidak seperti kata bahasa Inggris “nature (alam)” yang menyiratkan keabadian dunia, diambil dari akar kata t-b-’a atau tab’a, yang berarti “dampak atas sesuatu (ta’thir fii…), “penutup (seal), atau “jejak (stamp)” (khatm), maka ia menyiratkan “sifat atau kecenderungan yang dengannya makhluk diciptakan” (al-sajiyyah allatii jubila ‘alayha). Semua arti tersebut “mengasumsikan” adanya Sang Pencipta.

Jadi alam tidak dipelajari semata-mata karena alam itu sendiri, namun alam diteliti karena ia menunjukkan pada sesuatu yang dituju yaitu mengenal Pencipta alam tersebut. Sebab alam adalah “ayat” (tanda). Fisikawan yang mempelajari alam lalu berhenti pada fakta-fakta dan data-data ilmiah, tak ubahnya seperti pengendara yang memperhatikan petunjuk jalan, lalu ia hanya memperhatikan detail-detail tulisan dan warna rambu-rambu itu. Ia lupa bahwa rambu-rambu itu sedang menunjukkannya pada sesuatu.

Hal ini sejalan dengan makna ilmu dalam Islam seperti ditunjukkan oleh Jurjani dalam at-Ta’rifaat bahwa ilmu adalah “hushuul shurat asy-Syai’ fi al-‘Aql” (sampainya makna sesuatu pada akal) namun juga “wushul an-nafs ilaa ma’na asy-syai’” (tibanya jiwa pada makna sesuatu). Sejalan dengan hal ini, pakar Filsafat Sains, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan:
“Pada hakikatnya sesuatu itu, seperti juga kata, adalah sebuah petunjuk (tanda) atau simbol, dan petunjuk atau simbol adalah sesuatu yang dzhair dan tak terpisahkan dari sesuatu yang lain yang tak dzahir. Sehingga tatkala yang pertama itu sudah dapat ditangkap, dan yang bersifat dengan sifat yang sama dengan yang pertama itu tadi dapat diketahui. Oleh sebab itu kami telah mendefisnisikan ilmu secara epistemologis sebagai sampainya arti sesuatu itu ke dalam jiwa, atau sampainya jiwa pada arti sesuatu itu. “Arti sesuatu itu” berarti artinya benar, dan apa yang kami anggap sebagai arti yang ”benar” itu, pada pandangan kami ditentukan oleh pandangan Islam (Islamic vision) tentang hakikat dan kebenaran sebagaimana yang diproyeksikan oleh sistem konseptual al-Qur’an.

Ketercerabutan “makna” dan peran alam sebagai “ayat”, sesungguhnya merupakan dampak dari sekularisme sebagaimana disebutkan Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karya besarnya, Islam and Secularism. Sekularisme telah menyebabkan dicabutnya kesakralan alam dan hilangnya pesona dari alam tabii (disenchantment of nature). Akibatnya alam tak lebih dari sekedar objek, tak punya makna dan tak ada nilai spiritual (lebih lanjut lihat tulisan Wendi Zarman “Fisika dan Metafisika Islam Perlu Disatukan Lagi”)

Konsep-konsep inilah yang akan membentuk cara pandang Fisikawan Muslim, dan dari pandangan-alam (worldview) inilah Fisika bisa dipelajari secara Islami. Aspek-aspek lain dalam dunia ilmiah seperti kejujuran ilmiah, “objektifitas”, sikap ilmiah seperti menerima kritik, mengakui kesalahan dan menerima kebenaran, lahir dari pandangan-alam ini. Sikap ilmiah dalam Islam bukan lahir semata-mata dari etika ilmiah itu sendiri, namun ia lahir dari suatu pandangan-alam (worldview) dan sebagai hasil dari pengenalannya terhadap Pencipta alam (ma’rifatullah). Worldview inilah yang telah membentuk pribadi para saintis Muslim terdahulu beserta karya-karya besar mereka yang gemilang (lihat “Fisikawan Muslim Mengukir Sejarah”, John Adler).

*****
Konsep Adab terhadap alam juga kemudian lahir dari pandangan-alam Islam (Islamic worldview) ini. Dengannya, seorang saintis akan memperlakukan dan memanfaatkan alam dengan adab yang benar. Lalu lahirlah konsep sikap ramah lingkungan yang Islami, yang didasarkan bukan semata-mata karena alasan keterbatasan sumber daya alam, namun kesadaran bahwa alam ini bukanlah milik manusia, namun ia adalah amanah dan sekaligus juga ayat-ayat Allah. Hanya dengan pandangan-alam seperti inilah, akan lahir manusia beradab dan berakhlak, seperti yang dicita-citakan dalam tujuan pendidikan kita saat ini.
Prof. Naquib al-Attas mengingatkan, bahwa hilangnya adab terhadap alam – sebagai ayat-ayat Allah – inilah yang telah menyebabkan kerusakan besar di alam semesta. Belum pernah terjadi dalam sejarah manusia, alam mengalami kerusakan seperti saat ini, di mana ilmu pengetahuan sekuler merajai dunia ilmu pengetahuan. Akar kerusakan ini adalah ilmu pengetahuan (knowledge) yang disebarkan Barat, yang telah kehilangan tujuan yang benar.
Ilmu yang salah itulah yang menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; ilmu yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism). Bahkan ilmu pengetahuan sekuler ini untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam ‘the Three Kingdom of Nature’ yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral.
Menurut al-Attas, dalam peradaban Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). (Lihat, Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana Program, 2002), 2:231-240).

Sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan yang mengalami perkembangan sangat pesat, Ilmu Fisika terbukti telah membawa banyak manfaat bagi umat manusia. Wajib sebagian kaum Muslim menguasai ilmu ini. Tetapi, cara pandang dan cara belajar seorang Muslim akan berbeda dengan yang lain. Sebab, bagi Muslim, alam semesta adalah ayat-ayat Allah, yang dipelajari – bukan sekedar untuk mengungkap temuan-temuan baru – tetapi juga untuk mengenal Sang Pancipta. (http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=164%3Abelajar-fisika-secara-islami&catid=22%3Asains-islam&Itemid=21)

Kamis, 24 November 2011

Perisai Yang Retak

Bumi diciptakan Allah sebagai tempat tinggal manusia yang paling nyaman. Ada tanah sebagai tempat berpijak , air untuk minum, serta udara untuk bernafas. Allah pula yang menciptakan matahari sebagai sumber panas alami, yang memberkn energy bagi setiao kehidupan di bumi.

Dan demi kenyamanan manusia pula, Allah menciptakan lapisan ozon yang menyelimuti bumi. Lapisan yang terbentuk dari rangkaian tiga atom oksigen ini adalah selimut pelindung yang mencegah masuknya sinar ultraviolet matahari. Meski sangat tipis dibandingkan dengan lapisan atmosfer, namun lapisan ozon ibarat perisai yang menyelamatkan kehidupan di bumi. Sebab, sinar ultraviolet memiliki efek yang sangat merusak.

Sayangnya, perilaku manusia semakin lama justru semakin merusak lapisan ozon. Perisai pelindung bumi ini terancam berlubang . Bahkan, di kutub selatan , lubangnya sudah mencapai 27 juta kilometer persegi. Luas ini lebih besar dibandingkan dengan luas daratan Amerika Utara yang hanya 25 juta kilometer persegi.

Lubang ozon adalah sebutan bagi kondisi menipisnya lapisan ozon. Adalah gas kimia pencemar udara yang memicu menipisnya lapisan ozon.Bahan-bahan kimia perusak lapisan ozon ini terutama berasal dari chlorofluorocarbons (CFC) yang digunakan dalam berbagai produk proses seperti lemari es , pendingin udara, dan proses pembuatan busa lembut sebagai cairan pembersih.

Bahan-bahan pencemar tersebut dihasilkan oleh manusia yang ingin hidup lebih nyaman. Namun, akibat jangka panjangnya justru membuat kehidupan bumi terancam bahaya. Sebab, menipisnya lapisan ozon berarti menambah jumlah ultraviolet matahari yang bisa meusak kehidupan bumi.

“Telah nyata kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS:Ar-Rum:41)

Senin, 07 November 2011

Ibrahim Sang Teladan

Setiap memasuki bulan Dzulhijjah (idul adha), memori sejarah kita kembali membuka dirinya. Ia mengajak kita mengenang kembali satu manusia agung yang menciptakan arus besar sejarah ummat manusia dan membentuk arah kehidupan kita. Dialah Ibrahim ‘alaihissalam, salah seorang Rasul Ulul Azmi.

Ada dua keutamaan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim. Pertama, beliau adalah seorang Nabi yang disebut Allah sebagai “ummat”. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang ummat (imam) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan senantiasa berpegang kepada kebenaran. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah” [QS. al-Nahl: 120].

Yang kedua, Allah juga menyebut Ibrahim sebagai qudwah, teladan. Dalam Al Qur’an, hanya dua sosok yang disebutkan secara tegas sebagai teladan, yaitu Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam (QS al Ahzab: 21) dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam (QS Al Mumtahanah: 4).

Atas dua pertimbangan tersebut, kehidupan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjadi sangat penting diperhatikan. Banyak hal yang dapat diteladani dari kehidupan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam Artikel ini akan menguraikan empat hal yang hendaknya diteladani dari kehidupan Nabi bergelar khaliilullah (kekasih Allah) tersebut.

Pertama, Ketundukan secara Total kepada Ketentuan Allah.

Nabi Ibrahim diperintahkan Allah membawa keluarganya ke Makkah yang saat itu belum dihuni seorang manusia pun. Beliau bersama anak dan istri tercinta menempuh jarak yang tidak dekat. Namun rasa penat belum lagi hilang, keringat belum mengering, beliau diperintahkan Allah pergi meninggalkan keluarganya di lembah tandus tak berpenghuni.
Beliau pergi dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah. Sikap taat ini tidak hanya dimiliki Ibrahim, tetapi tertanam pula di dalam sanubari sang istri dan mengalir dalam darah dan daging sang anak, Ismail ‘alaihissalam.

Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki seorang Muslim. Senantisa tunduk dan patuh kepada setiap perintah Allah. Inilah hakikat dan bukti komitmen keislaman kita. Sebab, hakikat Islam adalah ketundukan secara total kepada sang Pencipta. Seorang Muslim ketika berhadapan dengan perintah Allah, maka yang terbesit dalam pikirannya adalah usaha menunaikan perintah tersebut.

Kedua; Konsistensi dalam Memegang Prinsip.

Ibrahim ‘alaihissalam adalah teladan dalam keteguhan memegang prinsip dan aqidah yang diyakininya. Demi mempertahanan keyakinannya, beliau berhadapan dengan seorang penguasa dzalim yang memaksakan pemahaman yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid. Bahkan beliau dilemparkan ke dalam kobaran api,sebagai balasan yang harus beliau rasakan setelah menghancurkan patung-patung yang disembah oleh kaumnya.Ibrahim melakukan hal itu dalam usia yang masih sangat muda. Hal ini sebagaimana diabadikan dalam ayat Al Qur’an :” Mereka berkata: Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini, namanya Ibrahim (QS Al Anbiya :58-60).

Ujian yang dihadapi Nabi Ibrahim tidak hanya berasal dari luar. Bahkan ujian dalam keluarga juga menjadi bagian dari cobaan yang harus dilewati oleh Ibrahim ‘alaihissalam dalam mempertahankan dan memperjuangkan idealisme aqidah tauhid.

Dalam ayat Al Qur’an Allah mengabadikan dialog antara Ibrahim dengan ayahnya yang penyembah bahan pembuat berhala. Azar, ayah Ibrahim, mengancam akan merajam Ibrahim jika beliau tidak menghentikan da’wah tauhidnya. Dialog tersebut dapat kita baca dalam QS:Maryam: 46.

Ibrahim adalah sosok yang teguh mempertahankan idealism,bukan hanya disaat masih muda. Tetapi beliau terus mempertahankan idealismenya higga usia tua bahkan sampai mati.Hal tersebut Nampak dengan jelas ketika beliau mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih putra tercinta ,Ismail ,anak satu-satunya yang telah dinantikan kehadirannya semenjak bertahun-tahun. Ibrahim ‘alaihissalam menaati perintah Allah tersebut yang secara psikologis terasa lebihberat dari sekadar meluluhtantakkan berhala. Ini membuktikkan kepada kita Ibrahim memiliki idealisme dari muda sampai tua.

Inilah yang sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa ini. Jangan sampai ada generasi yang pada masa mudanya mengkritik system tetapi diusia tuanya menjadi bagian dari siste rusak yang dahulu sewaktu Mahasiswa selalu dikrtiknya.Jangan sampai ada aktivis pegrerakan yang getol menentang kezaliman, tapi ketika ia berkuasa pada usia yang lebih tua justeru ia sendiri yang melakukan kezaliman yang dahulu ditentangnya itu, jangan sampai ada generasi yang semasa muda menentang korupsi, tapi saat ia berkuasa di usianya yang sudah semakin tua justeru ia sendiri yang melakukan korupsi, padahal dahulu sangat ditentangnya.

Sebagai pemuda dan mahasiswa muslim hendaknya meneladani Nabi Ibrahim dalam mempertahankan keyakinan. Bersabar saat diuji dengan kesulitan dan bersabar pula tatkala duji dengan kemudahan dan kemewahan. Banyak orang yang sanggup bertahan ketika diuji dengan kesulitan, tetapi tidak berdaya saat diuji dengan kemudahan. Sering kita dengar, mantan aktivis organisasi mahasiswa menjadi pragmatis setelah hidup mapan. Padahal sewaktu kuliah mereka dikenal sebagai aktivis dengan idealisme yang kokoh.

Sewaktu menjadi anggota “parlemen jalanan” mereka begitu vocal menyampaikan kritik terhadap penguasa,tetapi ketika menjadi anggota parlmen sungguhan ,mereka justru mengamini bahkan mendukung berbagai kebijakan penguasa yang tidak memihak kepada kepentingan ummat.Padahal dahulu merekalah yang paling nyaring suaranya mengkritik hal tersebut.

Mari renungkan peringatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidziy dalam Sunannya :
"Janganlah kamu menjadi imma’ah (orang yang ikut-ikutan) dengan mengatakan kalau orang lain berbuat baik, kamipun akan berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim, kamipun akan berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip, kalau orang lain berbuat kebaikan kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan melakukannya" (HR. Tirmidzi).

Ketiga, Peka Problem.

Ibrahim ‘alaihissalam adalah sosok yang peka problem. Ketika tidak ada orang yang peduli bahkan larut pada penyimpangan aqidah di masyarakat seperti menyembah bintang dan berhala, sensitifitas Ibrahim sebagai seorang yang bertauhid muncul. Ia bangkit mengubah penyimpangan aqidah tersebut.

Ditempuhnya berbagai macam cara dan sarana untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Ia berdialog dengan hikmah, debat dengan cara terbaik (ahsan) bahkan sampai melakukan tindakan secara fisik (mengubah dengan tangan). Patung-patung yang disembah kaumnya dengan kapak hingga hancur berantakan.

Sebagai pemuda dan mahasiswa Muslim yang memiliki idealisme, harusnya peka terhadap berbagai problem yang melanda Ummat Islam. Peka problem juga bermakna pemuda Muslim harus mampu mengendus problem paling krusial yang menimpa ummat.
Sesungguhnya problem paling pelik yang menimpa ummat Islam hari ini tidak berbeda dengan masalah yang dihadapi nabi ibrahim yaitu masalah kerusakan aqidah. Upaya perusakan aqidah tersebut diusung dengan jargon-jargon yang kelihatannya ilmiah.

Upaya dekontrusi syari’ah, liberalisasi, bahkan sampai desakralisasi kitab suci disebarkan dengan kemasan yang mengatasnamakan pembaharuan dan pencerahan.
Pemuda Muslim seharusnya berada di garda terdepan dalam menghadang berbagai upaya penodaan dan perusakan terhap Islam. Sebagaimana dahulu Nabi Ibrahim memberantas kerusakan aqidah di tengah-tengah ummatnya.

Keempat, Bertindak Cerdas.

Ibrahim ‘alaihissalam telah memadukan antara sikap kritis dan peka problem dengan kecerdikan dalam bertindak. Sikap kritis tidak lantas membuat beliau bertindak tanpa perhitungan. Betul, beliau menghancurkan patung-patung yang disembah oleh Namruz dan rakyatnya. Tetapi beliau telah menyiapkan argumen yang cerdas untuk menjawab tuduhan dan tuntutan para penyembah berhala tersebut.

Beliau tidak menghancurkan semua patung yang ada. Beliau masih menyisakan satu patung yang paling besar dan meletakkan kapak di leher patung tersebut. Maksudnya adalah la’allahum ilaihi yarji’uun, agar mereka kembali kepadanya. Ibrahim hendak menghentak kesadaran mereka bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya keliru dan bertentangan dengan fitrah serta akal sehat.

Mereka kemudian tersadar bahwa sesembahan yang mereka ibadahi adalah Dzat yang tidak pantas untuk disembah. Berhala-berhala tersebut tidak sanggup memberi manfaat dan menolak mudharat. Berhala-berhala itu tidak kuasa membela diri ketika dihancurkan Nabi Ibrahim, bahkan hanya untuk sekadar berkata-kata. Jadi, Ibrahim tidak sekadar menghancurkan sarana kesyirikan, tetapi mengajak para pelaku kesyirikan untuk merenung mengakui kesalahan mereka. Wallaahu waliyyuttaufiyq.[Bogor 8/Dzulhijjah/1432 H]
(Dimuat di Eramuslim.com pada tanggal 11 dzulhijjah 1432 H)

Minggu, 06 November 2011

Setetes Darah Istri Tercinta

SUBUH itu kami baru saja menikmati sahur pertama bulan Ramadhan, ketika tiba-tiba istri saya mengeluh sakit perutnya. Sempat muncul tanda tanya apakah istri saya akan melahirkan, tetapi kami sempat ragu karena HPL-nya masih 11 hari lagi. Agar tak salah penanganan, kami segera memeriksakan diri ke bidan terdekat di Tambak¬beras, Jombang. Ternyata, bidan Sri Subijanto melarang pulang. “Sudah bukaan lima,” kata Bu Sri.

Bu Sri mendampingi beberapa saat. Barangkali dirasa masih agak lama, Bu Sri meninggalkan ruangan bersalin. Meski hanya sebentar, tapi ternyata inilah saatnya bayi saya lahir. Dengan ditemani seorang pembantu bidan dan Bu Lik (tante), saya mendampingi istri melewati saat-saat yang mendebarkan. Di saat-saat terakhir, istri saya nyaris kehabisan tenaga. Tak berdaya. Ingin sekali saya mengusap keringat di keningnya, tetapi tak ada saputangan di saku saya. Lalu, saya coba menggenggam tangannya untuk memberi kekuatan psikis. Saya tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tapi saya lihat ada semangat yang bangkit lagi. Sedangkan di matanya, kulihat airmata yang hampir menetes.

Saya ingin sekali rasanya berlari memanggil bidan, tapi tak tega meninggalkannya. Saya hanya berharap Allah akan memberi pertolongan. Alhamdulillah, hanya satu jam di ruang bersalin, anak saya lahir. Seorang laki-laki.

Tidak sedih, tidak gembira. Hanya perasaan haru yang menyentuh ketika saya membersihkan kain yang penuh dengan darah dan kotoran istri. Setetes darah istriku telah mengalir untuk lahirnya anakku ini. Ia merelakan rasa sakitnya untuk melahirkan. Ia telah mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan anaknya. Maka, apakah aku akan membiarkan anak-anakku hanya tumbuh besar begitu saja tanpa pendidikan yang betul-betul baik dan terarah? Rasanya, terlalu berharga pengorbanan istriku jika aku tak serius membesarkan anak-anak yang dilahirkannya.

Diam-diam kupandangi anakku. Ingin kusentuh ia dengan tanganku. Tetapi aku harus bersabar dulu. Setelah asisten bidan selesai mengurusinya, kurengkuh ia dalam pelukanku. Lalu kuperdengarkan di telinganya azan dan iqamah yang kuucapkan dengan suara terbata-bata. Semoga ucapan awal ini membekas dalam hati dan jiwanya, sehingga kalimat ini memberi warna bagi kehidupannya. Konon ungkapan-ungkapan awal pada masa komunikasi pra-simbolik ini akan banyak menentukan anak di masa-masa beri¬kutnya. Begitu bunyi teori komunikasi anak yang pernah saya pinjam saat menulis buku Bersikap terhadap Anak (Titian Ilahi Press, Jakarta, 1996).

Sekali lagi kupandangi anakku. Tubuhnya yang masih sangat lemah, terbungkus kain yang saya bawa dari rumah. Hatiku terasa gemetar melihatnya. Saya teringat, ada satu peringatan Allah agar tidak meninggalkan generasi yang lemah. Allah Ta’ala meng¬gunakan perkataan, “… hendaklah kamu takut….” Tetapi saya dapati dalam diri saya, masih amat tipis rasa takut itu. Lalu dengan apa kujaminkan nasib mereka jika rasa ta¬kut ini masih belum menebal juga? Ya Allah, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, dan aku dapati diriku ini masih termasuk orang-orang yang zalim.

Diam-diam kupandangi anakku sekali lagi. Kuusap-usap kepalanya. Kukecup keningnya, seraya dalam hati aku mohonkan kepada Allah keselamatan dan kemuliaan hidupnya. Pengalaman menemani istri di detik-detik persalinannya telah mengajarkan kepadaku sesuatu yang sangat berharga, “Anak yang dilahirkan dengan darah dan air¬mata ini, jangan pernah disia-siakan. Ibu yang melahirkan anak ini, jangan pernah dinis¬takan.” Mereka adalah amanat yang telah kuambil dengan kalimat Allah, dan semoga Allah memampukanku untuk mempertanggungjawabkannya di hari kiamat kelak.

Setelah merasakan pengalaman mendampingi detik-detik persalinan istri, saya merasa sangat heran terhadap para suami yang masih tega menampar istri atau menyia-nyiakan anaknya. Saya juga merasa sangat heran terhadap sebagian rumah sakit yang masih saja melarang suami terlibat langsung dalam proses persalinan istrinya, sebagaimana ketika istri saya melahirkan anak pertama saya di Kendari. Padahal keterlibatan suami dalam proses persalinan dari awal sampai akhir, sangat besar manfaatnya. Baik bagi istri maupun bagi hubungan ayah dengan anak.

Kedekatan psikis (attachment) antara ayah dengan anak akan lebih mudah terben¬tuk apabila ayah berkesempatan menyaksikan secara langsung detik-detik persalinan itu. Di sisi lain, saya kira seorang istri akan merasa sangat berbahagia kalau suaminya bersedia men¬dampinginya di saat ia sangat membutuhkan dukungan psikis dan kehangatan perhatian.

Saya tidak tahu apakah istri saya lebih bahagia dengan kehadiran saya mendampinginya. Tetapi saya kira Anda –para ummahat— akan lebih senang jika suami Anda bersedia mendampingi persalinan Anda. Bagaimana?



Muhammad Fauzil Adhim/www.hidayatullah.com)

Kamis, 03 November 2011

MEMBANGUN JIWA KEPEMIMPINAN DENGAN SIFAT TAUHID DAN SEMANGAT PENGORBANAN

(Khutbah Seragam Idul Adha 1432 H Wahdah Islamiyah)

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ )
( يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا )
( يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا )
أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ .

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, La Ilaha Illallah Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu.

Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah

Tiada ungkapan yang paling indah pada pagi hari ini melebihi kesyukuran kepada Allah Ta'ala dengan melantunkan takbir, tahmid dan tahlil. Semangat berkurban yang merasuk ke dalam jiwa kaum mukminin, membangkitkan keimanan untuk senantiasa beramal saleh dan berbuat untuk agama Allah Ta'ala . Semuanya dilakukan atas dasar bakti dan syukur kepada Allah Ta'ala , sehingga berbuah kebahagiaan yang bermuara pada ungkapan Allahu Akbar, Laa Ilaha Illallahu, Walillahi al-Hamdu.

Penyembelihan hewan kurban pada setiap Idul Adha senantiasa mengingatkan umat Islam pada perintah AllahTa'ala kepada kekasih dan rasul utusanNya, yaitu Nabi Ibrahim  untuk menyembelih anak semata wayangnya pada saat itu, yaitu Ismail alaihissalam sebagai ujian terberat dalam kehidupannya. Perintah ini dipatuhi oleh Nabi Ibrahim alaihissalam, namun penyembelihan anak kesayangannya pada akhirnya terganti dengan seekor domba jantan, maka syariat ini dikekalkan hingga akhir zaman. Kepatuhan terhadap perintah Allah Ta'ala mengantar Nabi Ibrahim alaihissalam menjadi sosok pemimpin yang kuat. Keteguhan Nabi Ibrahim alaihissalam dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta'alamengukuhkannya sebagai tokoh yang patut diteladani, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan senantiasa berpegang kepada kebenaran. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” QS. al-Nahl(16): 120.
Jiwa kepemimpinan yang kuat menjadi salah satu pelajaran penting dari sosok Nabi Ibrahim alaihissalam. Sifat ini membuat Nabi Ibrahim alaihissalam sebagai qudwah (teladan) di dalam menjalankan agama secara sempurna. Allah Ta'ala mengisahkan di dalam Alquran sifat utama Nabi Ibrahim alaihissalam ini dalam menyikapi pelanggaran terhadap ajaran agama, khususnya perkara kesyirikan yang dilakukan oleh penguasa, masyarakat atau bahkan hingga oleh ayahnya sekalipun. Dialog antara Nabi Ibrahim as. dengan ayahnya, dan dengan Raja Namruz di dalam Alquran menegaskan jiwa kepemimpinan yang kuat ini, sehingga Allah Ta'ala berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim alaihissalam dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata.” QS. al-Mumtahanah(60): 4.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
Kaum Muslimin yang berbahagia,
Jiwa kepemimpinan yang kuat menjadikan penguasa suatu bangsa sejajar dengan penguasa bangsa lain atau bahkan lebih mulia, sehingga tidak mudah didikte oleh bangsa manapun kecuali jika sejalan dengan keinginan Allah Ta'ala. Kisah Nabi Sulaiman alaihissalam dengan Ratu Balqis yang memiliki kekuasaan agung adalah contoh dari sifat ini, Nabi Sulaiman alaihissalam tanpa ragu dan rasa takut meminta kepada Ratu Balqis untuk datang menjumpainya dan mengikuti ajaran tauhid yang dibawanya, “Janganlah kalian bersikap sombong kepadaku, namun datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. Atau Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang berkirim surat kepada para penguasa di negara-negara adidaya pada zamannya dan mengajak mereka untuk memeluk Islam sebagai agamanya, “Saya mengajak anda untuk menganut agama Islam, niscaya anda akan selamat (di dunia dan akhirat) dan kekuasaan anda akan bertahan”, demikian seruan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada para penguasa ini, di antaranya adalah Kaisar Romawi dan Persia.
Jiwa kepemimpinan menjadikan seseorang sebagai qudwah (teladan) bagi sesama umat manusia di dalam kehidupan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala sebagai doa orang-orang beriman:

وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. QS. al-Furqan(25): 74.
Menurut Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma, yaitu pemimpin yang diteladani dalam kebaikan.
Keteladanan sikap dan perilaku yang sesuai dengan perkataan, merupakan nilai moral yang dibutuhkan oleh suatu bangsa untuk maju dan disegani. Tumbuhnya kepercayaan dalam diri setiap anggota masyarakat terhadap pemimpinnya disebabkan oleh sifat keteladanannya, sehingga menjadi dasar terhadap pelaksanaan segala kebijakan yang bertujuan membangun kesejahteraan mereka.
Jiwa kepemimpinan juga menjadikan suatu bangsa dapat membangun peradaban yang tinggi dan mampu bertahan dengan peradaban itu. Tidaklah peradaban bangsa-bangsa besar pada zaman dahulu dapat terbangun dan bertahan kecuali karena mereka memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Kekuasaan masing-masing bangsa terbentuk menjadi suatu kekaisaran (imperium) yang memiliki wilayah begitu luas, demikian pula umat Islam yang memiliki wilayah pemerintahan sangat luas dan pengendalian yang kuat terhadap wilayah-wilayah tersebut, khususnya pada masa pemerintahan khulafa’ rasyidun. Pemerintah Islam pada zaman itu berhasil membangun peradaban dunia yang berlandaskan pada ajaran Alquran, berkat jiwa kepemimpinan para khalifahnya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
Kaum Muslimin yang berbahagia,
Kehilangan atau kelemahan jiwa kepemimpinan akan membuat suatu bangsa inferior (merasa rendah diri) di hadapan bangsa lain, sehingga hanya dapat membeo terhadap segala keinginan bangsa tersebut. Kondisi ini juga bisa membuat bangsa ini menggadaikan kedaulatannya kepada bangsa tersebut dengan tidak langsung, seperti mengadopsi sistem politik, atau menjiplak sistem ekonomi dan budaya secara mutlak. Dampaknya berujung pada kesejahteraan masyarakat, mereka tidak memiliki kemerdekaan penuh dalam pengelolaan sumber daya alam, atau dalam sistem berpolitik dan berbudaya yang bersumber pada nilai-nilai kemuliaan, sehingga tingkat kehidupan mereka tidak mengalami pertumbuhan seiring berkurangnya potensi alam yang ada, tetapi tetap berada di bawah garis kesejahteraan pada bidang ekonomi, atau tetap latah dengan gaya hidup orang lain yang tidak menunjukkan kemuliaan sebagai manusia apalagi sebagai seorang muslim.
Krisis panutan adalah dampak lain dari hilangnya jiwa kepemimpinan di tengah masyarakat. Tidak mudah mencari orang yang selaras perbuatan dengan perkataannya, atau begitu mahal nilai sebuah kejujuran, sehingga menemukan seorang yang jujur menjadi ibarat oase di tengah luasnya gurun tandus kedustaan. Berita tentang seorang yang jujur menjadi luar biasa, media-media informasi meraup keuntungan besar karena menyebarkannya, seorang pejabat penting masyarakat bahkan hingga harus rela berjalan kaki buat menemui orang yang diberitakan jujur tersebut. Mencari panutan pada saat jiwa kepemimpinan telah hilang, ibarat mencari butiran emas di pasir bebatuan sungai, tidak mudah dan paling sering tidak menemukannya. Harapan yang besar biasanya memberi gambaran fatamorgana yang tidak memiliki kebenaran, sehingga pada saat dibutuhkan, yang terjadi hanyalah segudang kekecewaan karena tertipu dengan gambaran lahiriyah tanpa hakikat. Begitulah kondisi suatu masyarakat yang tidak memiliki orang-orang berjiwa pemimpin.
Berbagai kasus di negeri ini menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan akan krisis jiwa kepemimpinan di kalangan anak bangsa. Kasus perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di dalam negeri dan tidak memberikan kontribusi pendapatan yang wajar kepada negara dan bangsa bahkan terhadap masyarakat sekitarnya sekalipun, kasus penanganan terorisme dan korupsi yang terkesan tebang pilih, hingga kasus separatisme yang merebak di tanah Papua dan upaya campur tangan lembaga asing buat penyelesaiannya. Masyarakat tidak mendapatkan teladan yang baik dari para penanggungjawab permasalahan-permasalahan ini, sehingga cenderung bersikap putus asa dan berlepas tangan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
Kaum Muslimin yang berbahagia,
Kondisi krisis seperti ini tidak dapat dibiarkan, harus ada upaya membangun kembali jiwa kepemimpinan pada diri setiap masyarakat, khususnya kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas negeri ini. Upaya yang dilakukan itu sepatutnya bersumber pada sejarah perjuangan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam membina pribadi para sahabat. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam merupakan teladan utama dalam pembinaan dan para sahabat adalah teladan terbaik dalam jiwa kepemimpinan, bukan hanya sahabat yang memiliki kekuasaan politik seperti khulafa’ rasyidun, namun secara umum para sahabat yang dibina langsung oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, masing-masing mereka memiliki sifat ini, sehingga setiap sahabat tersebut menjadi pemimpin di bidangnya. Kondisi ini membuat peradaban kaum muslimin pada masa itu berkembang sangat pesat hingga meruntuhkan peradaban lain yang lebih dulu ada, seperti Persia dan Romawi.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memulai pembinaan pribadi para sahabat pada permasalahan akidah dan tauhid, penegasan terhadap Kemahaesaan Allah Ta'ala untuk disembah dan penolakan terhadap segala bentuk perbuatan kesyirikan. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menanamkan ke dalam diri para sahabat butir-butir keimanan kepada hari akhirat dan meluruskan visi hidup setiap mereka, sehingga amal perbuatan para sahabat dapat bertujuan ukhrawi meskipun amal itu bersifat duniawi. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga meniupkan ke dalam jiwa para sahabat ruh kemerdekaan dan kebebasan dari segala bentuk penghambaan kecuali hanya kepada Allah Ta'ala dan bahwa semua manusia dan semua bangsa adalah sama di hadapan Allah Ta'ala kecuali yang bertakwa, maka dialah yang termulia.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam selanjutnya membina jiwa kepemimpinan dalam diri para sahabat dengan menanamkam semangat pengorbanan (tadhiyah). Pengorbanan dengan segala potensi diri yang dimiliki, waktu, harta, perhatian bahkan jiwa, demi menggapai cita-cita termulia yaitu keridaan Allah Ta'ala (mardhatullah). Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mendidik para sahabat untuk bersabar dalam pengorbanan ini, semuanya buat hasil terindah berupa surga Allah Ta'ala . Sebagaimana ungkapan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada keluarga Yasir  yang disiksa oleh bangsa Quraisy pada zaman awal agama Islam disebarkan:
اصْبِرُوا آلَ يَاسِرٍ مَوْعِدُكُمُ الْجَنَّةُ
“Bersabarlah wahai keluarga Yasir, tempat yang dijanjikan buat kalian adalah surga”
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam senantiasa mengingatkan para sahabat bahwa cita-cita yang tinggi tidak dapat diraih kecuali dengan pengorbanan dan kesabaran di dalamnya. Segala ujian, berupa kesempitan dan kelapangan, kesusahan dan kelancaran adalah dinamika kehidupan yang harus dilalui oleh siapapun yang telah memilih keimanan sebagai jalannya menuju Allah Ta'ala .
Keyakinan terhadap ajaran tauhid menjadi pondasi dari bangunan jiwa kepemimpinan yang kuat, karena dapat memberikan kepada seorang manusia kemerdekaan dari penghambaan dan ketundukan kepada sesama makhluk, sehingga dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah Ta'ala , tidak tunduk kecuali hanya kepada aturan yang datang dari Allah Ta'ala atau yang sesuai dengannya. Sifat pengorbanan di jalan Allah Ta'ala menjadi landasan operasional buat membentuk pemimpin yang kuat, karena sifat ini akan menempa seorang manusia menjadi pribadi yang tegar dan tahan terhadap segala ujian, dan juga menghindarkannya dari sifat kikir dan cinta kepada dunia yang berlebih-lebihan.
Kedua sifat ini, yaitu keyakinan yang kokoh dan pengorbanan dengan penuh kesabaran adalah jalan untuk membangun jiwa kepemimpinan yang kuat, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. QS. al-Sajdah(32): 24.
Namun, kedua sifat ini juga tidak dapat diwujudkan dan dipelihara kecuali dengan proses tarbiyah (pembinaan) yang dijalankan secara berkesinambungan dan mengacu kepada sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama para sahabat.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
Kepada segenap dai dan ulama, anda sekalian adalah pemimpin sejati bagi umat manusia, Allah Ta'ala telah menjadikan setiap anda sebagai teladan di dalam kehidupan, olehnya itu, jadilah teladan yang baik bagi umat manusia, serukanlah kebenaran dan jangan pernah takut atau ragu untuk menyuarakannya. Sampaikanlah agama, binalah umat ini dengan nilai-nilai kemuliaan yang berdasarkan ajaran tauhid (keesaan Allah Ta'ala ) dan dakwahkanlah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta dengan penuh amanah dan kesantunan, semoga dengan itu kesadaran umat untuk menjalankan agama semakin membaik.
Kepada segenap pengelola negara, kami tidak pernah berhenti menyerukan untuk menegakkan keadilan dengan ajaran Islam. Agama Islam diturunkan oleh Allah Ta'ala untuk dilaksanakan dan memberikan kesejahteraan kepada umat manusia, olehnya itu jalankanlah tuntunan agama ini dengan penuh keyakinan dan kejujuran, raihlah kemuliaan dan kebanggaan sebagai pemimpin bangsa dengan menjadikan agama sebagai panduan, tegakkanlah kewibawaan bangsa ini karena agama adalah identitasnya, niscaya kewibawaan itu disegani oleh bangsa lain.
Kepada segenap orang tua dan kaum pendidik, kami mengingatkan besarnya tanggungjawab terhadap generasi muda, olehnya itu didiklah anak-anak anda sekalian untuk cinta kepada Allah Ta'ala , kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan kepada agamanya. Tanamkanlah sejak dini ke dalam diri mereka jiwa kepemimpinan yang kuat, dengan memperkokoh akidah tauhid dan memotivasi semangat mereka untuk melakukan ketaatan terhadap perintah-perintah Allah Ta'ala , hindarkanlah mereka dari perkara-perkara yang dapat merusak agama, semoga Allah Ta'ala mengaruniakan anda sekalian generasi yang saleh.
Kepada segenap kaum wanita, kami menyerukan untuk memelihara kemuliaan dengan berjilbab yang benar, berbusana yang sopan dan jauh dari kesan menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, jagalah sikap dan pergaulan agar tetap menunjukkan identitas sebagai wanita muslimah. Janganlah tertipu dengan gemerlap kehidupan dunia seperti yang ditampilkan oleh para artis atau selebritis, karena kadang hal itu tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Jadilah diri sendiri dan lakukanlah kebaikan untuk kemaslahatan diri dan keluarga, semoga anda diberkati menjadi muslimah yang salehah.
Kepada segenap generasi muda Islam, tuntutlah ilmu yang bermanfaat setinggi-tingginya dan berbuatlah yang terbaik bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga buat bangsa, negara dan umat Islam. Manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya dengan beribadah kepada Allah Ta'ala dan jangan disia-siakan dengan bersenda gurau tanpa manfaat atau dihabiskan dengan begadang malam di tempat-tempat maksiat. Bersiaplah menjadi pemimpin di masa depan dengan menjadi muslim sejati, semoga Allah Ta'ala memberkati hari-hari anda sekalian.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
Kaum Muslimin yang Berbahagia,
Mari berkurban sesuai tuntunan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam , hewan yang dapat dikurbankan adalah domba yang genap berusia 6 bulan, kambing yang genap setahun, sapi yang genap 2 tahun. Syaratnya, hewan kurban tidak boleh memiliki cacat atau penyakit yang bisa berpengaruh pada dagingnya, jumlah maupun rasanya, misalnya: kepicakan pada mata, kepincangan pada kaki dan penyakit pada kulit, kuku atau mulut.
Seekor domba atau kambing hanya mencukupi untuk kurban satu orang saja, sedangkan seekor sapi boleh berserikat untuk tujuh orang, kecuali berserikat pahala maka boleh pada semua jenis tanpa batas. Sebaiknya pemilik kurban yang menyembelih sendiri hewan kurbannya, tetapi dia bisa mewakilkannya kepada penjagal, dengan syarat seorang muslim yang menjaga shalatnya, mengetahui hukum-hukum menyembelih dan upahnya tidak diambilkan dari salah satu bagian hewan kurban itu sendiri, kulit atau daging, meskipun dia juga bisa mendapat bagian dari hewan kurban sebagai sedekah atau hadiah. Waktu penyembelihan hewan kurban adalah seusai pelaksanaan shalat Idul Adha hingga tiga hari tasyriq setelahnya.
Pembagian hewan kurban yang telah disembelih dapat dibagi tiga bagian, sepertiga buat pemiliknya, sepertiga buat hadiah dan sepertiga buat sedekah kepada fakir miskin. Nilai pahala hewan kurban seseorang di sisi Allah Ta'ala tidak hanya diukur dengan banyaknya daging yang dihasilkan atau banyaknya darah yang dikucurkan, tetapi sifat keikhlasan pemiliknya, olehnya itu luruskanlah niat hanya mengharap balasan dariNya semata.
Akhirnya, pada hari yang mulia ini, marilah kita sekali lagi memuji dan bersyukur kepada Allah seraya menundukkan hati, pandangan dan wajah kita, berdo’a dan bermunajat kepada Allah Ta'ala ,
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسوله الأمين و على آله وصحبه والتابعين،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَحْمَدُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُحْمَد وَنَشْكُرُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُشْكَر وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ فَإِنَّكَ أَنْتَ أَهْلُ الْمَجْدِ وَالثَّناَءِ ، رَبَّناَ ظَلَمْناَ أَنْفُسَناَ ظُلْماً كَثِيْراَ وَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لَناَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْناَ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَحِيْم
Ya Allah, Engakulah Penguasa langit dan bumi, Penguasa dunia dan akhirat, kami datang kepadaMu pada hari yang penuh berkah ini mengadukan beratnya dosa yang telah kami lakukan. Kami sadar bahwa nikmat pemberianMu belumlah dapat kami syukuri dengan sebenarnya, kami mengaku kesalahan kami lebih banyak dari kebaikan kami, namun kami yakin bahwa Engkau adalah Zat Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Penyayang, maka kami berharap kepada-Mu, Ya Allah ampunkanlah segala dosa dan kesalahan kami.
Ya Allah, kedua ayah dan ibu kami adalah orang yang pertama kali berjasa kepada kami, memperkenalkan kami kepada-Mu, merawat, mendidik dan membimbing kami dengan penuh kesabaran, tak jarang airmata mereka tumpah karena ulah kami, Ya Allah tak ada yang mampu kami berikan kepada mereka kecuali seuntai doa kepada-Mu untuk mengampunkan kekhilafan dan kesalahan mereka, melimpahkan kasih sayang dan rahmat kepada mereka, ampunkan mereka yang telah wafat, bimbing dan tunjukilah mereka yang masih bersama kami dan jadikanlah kami orang yang mampu berbakti kepada mereka sesuai tuntunan-Mu, Engkaulah Zat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa.
Ya Allah berkahilah negeri kami ini dan seluruh negeri kaum muslimin dengan ketaatan kepada-Mu, yang akan mengundang curahan rahmat-Mu. Lindungilah negeri kami ini dan seluruh negeri kaum muslimin dari busuknya dosa dan pengingkaran atas syariat-Mu. Ya Allah janganlah Engkau timpakan azab atas kami karena kezaliman sebagian orang di antara kami. Berikankanlah pemimpin-pemimpin kami keyakinan dan kemampuan untuk menjalankan syariat-Mu, yang dengannya mereka membimbing kami menuju keselamatan di dunia dan di akhirat.

Ya Allah, Zat Yang Maha Mengabulkan doa kabulkanlah doa kami, penuhilah permintaan kami, kamilah hamba-Mu yang lemah, harapan kami hanya kepadaMu, Engkau Maha Mendengar, Engkaulah Penguasa satu-satunya Yang Haq, Engkaulah sebaik-baik Pemberi yang diharap.
رَبَّناَ لاَ تُزِغْ قُلُوْبَناَ بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَناَ وَهَبْ لَناَ مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ ،
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ .