Sabtu, 30 Juli 2011

Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan

Masalah klasik yang acap kali mencuat setiap menjelang Ramadhan dan akhir Ramadhan, yaitu berkaitan dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Sampai sekarang, masalah ini masih terus dibicarakan oleh para ulama.

Perbedaan pendapat seperti ini sudah dikenal luas di kalangan ulama bahkan masyarakat pada umumnya. Syariat telah menjadikan tanda-tanda alam, seperti hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai batas waktu penetapan ibadah dan hukum muamalah. Sebagai contohnya adalah ibadah puasa di bulan Ramadhan, Allah سبحانه وتعلى mengaitkannya dengan hilal. Allah سبحانه وتعلى berfirman yang artinya, “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).

Hanya saja, kemudian timbul pertanyaan, bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempatnya sendiri? Cukupkah dengan melihat hilal di satu negeri saja, atau tiap-tiap negeri harus melihat hilal di tempatnya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Karena itulah para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.

Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, diantaranya adalah;

PENDAPAT PERTAMA:
Jika hilal telah terlihat di suatu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim di negeri lain untuk berpuasa.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan pendapat Imam Ahmad.

Dalil pendapat pertama:
Firman Allah سبحانه وتعلى, “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).
Ayat ini berlaku bagi setiap orang yang melihat bulan (hilal) tanpa memandang adanya perbedaan mathla’ (tempat terbitnya bulan) atau pun teritorial negara.

Sabda Rasulullah صل اللة عليه وسلم

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sabda Rasulullahصل اللة عليه وسلم,

فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّون

“Hari berpuasa adalah hari kuam Muslimin berpuasa. Hari Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

PENDAPAT KEDUA:

Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah.


PENDAPAT KETIGA:

Apabila suatu negara mathla’nya berbeda dengan negara lainnya, maka masing-masing negara memiliki rukyat hilal (penentuan awal dan akhir bulan) sendiri. Dan apabila mathla’nya tidak berbeda, maka bagi siapa saja yang belum melihat hilal wajib mengikuti ketetapan rukyat hilal tempat yang lain. Dengan kata lain, pendapat ini hampir sama dengan pendapat kedua, hanya saja tidak dibatasi oleh teritorial negara. Sehingga setiap negara yang berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, dan ini tidak berlaku untuk negara yang saling berdekatan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328).



Namun demikian, ulama yang berpendapat demikian berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Ada pula yang mengatakan apabila berita terlihatnya hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga.


Dalil Pendapat Ketiga:

Firman Allah سبحانه وتعلى

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).



Pada dasarnya ayat ini tidak dimaksudkan rukyatnya atas setiap orang, namun yang dimaksud adalah orang-orang yang berada pada tempat di mana hilal dapat dilihat, dan setiap wilayah yang mathla’nya sama. Adapun bagi siapa saja yang mathla’ hilalnya berbeda, maka dalil ini tidak bisa dijadikan patokan baik hakekatnya atau pun secara hukum.


Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama, “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksudnya, perintah berpuasa di sini adalah bagi setiap orang yang berada di suatu daerah yang mathla’ hilalnya sama dengan orang yang melihat hilal, maka pada saat itu hukum berbuka dan berpuasa berlaku baginya. Dan bukan ditujukan bagi mereka yang mathla’ hilalnya berbeda.


Mereka mengatakan bahwa penentuan waktu yang didasarkan pada terbitnya bulan sama dengan penentuan waktu hari yang didasarkan pada terbitnya matahari, maka setiap daerah tentu berbeda dalam berpuasa dan berbuka dalam setiap bulannya. Pada dasarnya kaum Muslimin sepakat bahwa dengan perbedaan waktu akan membawa dampak lain. Maka dengan demikian, barangsiapa yang tinggal di bagian timur, maka dia berpuasa sebelum mereka yang berada di daerah barat dan berbuka sebelum mereka juga.



Maka dalam kondisi yang demikian, jika kita menghukumi penentuan waktu itu berbeda, maka dalam penentuan awal dan akhir bulan pun harus demikian.



Dalam masalah ini, sebagai contoh, ayat yang mengatakan (artinya), “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 187). Demikian pula hadits Nabi  yang mengatakan, “...Apabila matahari telah terbenam, maka seorang yang berpuasa berbuka.” (HR. Bukhari no. 1954 dan Muslim no. 1100) tidak mungkin seseorang mengatakan berlaku umum untuk semua kaum Muslimin di belahan bumi mana saja dia berada, karena waktu terbenamnya matahari tidak sama di setiap daerah. (Lihat Fatawa Ulama al Baladul Haram, hal 285-286, dengan perubahan dari redaksi).


Mereka juga berdalil dengan hadits dari Kuraib, yang diutus oleh Ummu Fadhl binti al Harits untuk menemui Muawiyah. Dia berkata, “Aku tiba di Syam dan aku laksanakan peritah Al Fadhl, bertepatan dengan munculnya hilal bulan Ramadhan. Ketika aku berada di Syam, aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya, “Kapan kalian melihat hilal?” Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jumat.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku, “Ya, orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Muawiyah turut berpuasa.” Abdullah bin Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau jika kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata, “Tidak cukupkah kita mengikuti rukyat hilal Muawiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak! Begitulah Rasulullah صل اللة عليه وسلم

memerintahkan kami.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).


Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin dan Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, “Dan pendapat inilah yang lebih kuat, baik ditinjau dari sisi zhahir lafazh dalil-dalil yang ada, nazhar (ijtihad yang shahih), dan qiyas yang shahih juga, yaitu qiyas waktu yang didasarkan pada bulan terhadap waktu yang didasarkan pada matahari.”


PENDAPAT KEEMPAT:

Perkara yang demikian dikembalikan kepada waliyul amr (pemerintah), maka kapan pemerintah menentukan wajibnya puasa dan berbuka (lebaran) yang didasarkan atas ketentuan syara’ (yaitu dengan rukyat hilal dan bukan berdasarkan hisab semata), maka pada saat itu juga wajib bagi kaum Muslimin mengikutinya.


Dalil Pendapat Keempat

Sabda Rasulullah صل اللة عليه وسلم

“Hari berpuasa adalah hari kuam Muslimin berpuasa. Hari Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.”



Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata dalam Syarhul Mumti’ (VI/322) sebagai berikut, “Inilah—yaitu berpuasa bersama negara masing-masing—yang dipraktikkan oleh kaum Muslimin sekarang ini. Yaitu apabila telah ditetapkan oleh waliyul amri (pemerintah), maka wajib bagi kaum Muslimin yang berada di bawah kekuasaannya untuk berpuasa atau berhari raya. Kalau dilihat dari efek sosiologisnya, pendapat ini sangat kuat, meskipun kita memilih pendapat perbedaan mathla’ (pendapat ketiga—red.) wajib.”



Demikian pula Lajnah Dâimah dan Majelis Tinggi Ulama dan Lembaga Fatwa dan Riset Saudi Arabia, telah mengeluarkan fatwa yang senada dengan fatwa yang ke empat ini.



Ini pulalah kesimpulan yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab Tamâmul Minnah (hal. 398) meskipun beliau lebih cenderung memilih pendapat ittihadul mathali’ (pendapat pertama)
Wallohu A’lam Bishshowab (Buletin AlFikrah)

Jumat, 29 Juli 2011

WELCOMING RAMADAN

Praise belongs to God (Allah SWT) who appointed among those roads His month, the month of Ramadhan, the month of fasting, the month of purity.
Ramadan is the ninth month in the Islamic calendar. It’s a time of blessing, when the gates to paradise(=surga) are wide open and the ones to hellfire(=neraka) are sealed shut. The month of Ramadhan is not only the month of fasting, it is also the month of the Qur’an. It is the month which the Qur’an was sent down, as a guide to mankind, and clear proofs of the guidance and the differentiation(between right and wrong)
“O you who believe! Fasting has been ordained upon you as it was ordained upon those before you, that you may attain taqwa(God-consciousness)”[al-Baqarah, 2: 183]
The concept of refraining from drinking and eating not only teaches us to be patient but also the valuable lesson of empathy. How else can we truly understand the feeling of those who have to suffer without food or drink? We appreciate what Allah has given us and consider in perspective exactly how lucky we are.
In an agreed upon Ahadeeth narrated on the authority of Abu Hurairah (Radhiallahu anhu), the Propphet (Shallallaahu alaihi wasallam)informed us : “whoever fasts the month of Ramadan out of faith (i.e. belief) and hoping for a reward (from Allah-Subhanahuwata’ala), then all his past sins will be forgiven.” Similarly he (Shallallaahu alaihi wasallam) said : “ whoever stand (in prayer)in the month of Ramadan out of faith(i.e. belief) and hoping for a reward (from Allah-Subhanahuwata’ala) then all his past sins will be forgiven.” We learn a couple of things from these Ahadeeth:
1. The month of Ramadhan has dual aspects
a. Fasting during the day , and
b. Standing in prayer in the night, reciting the Qur’an
2. Purity of intention
In regards to the fasting side of the glorious month, abstaining from food has great ramifications on the person observing the fast-physical as well as spiritual. Abstaining from food is an exercise for the discipline and control of the self.
Here are a few tips that might help you achieve the real objective of the great month of Ramadan:
1. Refrain from passing time in the shopping malls and other places. Use that quality time to come close to Allah(SWT) by worshipping Him through reciting the Qur’an, making Zikr, supplicating, giving carity and calling others to good.
2. Strive to complete the recitation of the Qur’an
3. Abstain from listening to music, vain talk, backbiting, cheating, obscene and vulgar language.
4. Get up for suhoor, eat and drink something before the break of down. The Prophet (SAW) recomended that we do that. There is Barakah in suhoor. The prophet(SAW) also recomended that we delay the suhoor till the time of dawn is close.
5. Do standing (taraweeh) in the Masjid
6. Control your anger. That’s going to be your biggest test!
7. Most television and satellite stations advertise their Ramadan entertainment programs that are full of rubbish. Abstain from such programs and dedicate the precious time to reciting of the Qur’an and sharing the life of the Prophet (SAW) with your family.
Atfer you read this paper, you must be happy and you say “ welcome... Ramadan”. (Rusdin)

Selasa, 26 Juli 2011

Doa-Doa Pada Bulan Ramadhan

1. Do’a Melihat Hilal (bulan sabit tanggal 1)

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata : Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat Al-Hilal beliau mengucapkan doa :

اللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ

“Allahu Akbar, Ya Allah terbitkanlah al-hilal kepada kami dengan keamanan dan iman, dengan keselamatan dan Islam, dan taufiq kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau Ridhai. Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.”
[HR. At-Tirmidzi (3451), Ad-Darimi (1741), Al-Hakim (II/285) dari shahabat Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1816. diriwayatkan pula oleh Ad-Darimi (1740) dari shahabat Ibnu ‘Umar. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Kalimith Thayyib no. 162.]

Doa ini dibaca ketika melihat hilal di bulan Ramadhan atau bulan-bulan lainnya.

2. Do’a Berbuka Puasa

Dari Marwan: “Aku melihat Ibnu Umar mengelus janggutnya lalu berhenti dan berkata: “Adalah Rasulullalh shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berbuka membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتـَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثـَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

“Telah hilang rasa lapar dan basahlah tenggorokan, tetaplah pahala atas kehendak Allah.
(HR. Abu Dawud)

Dari teks hadits di atas dapat disimpulkan bahwa do’a berbuka diucapkan ketika selesai berbuka, bukan pada saat sebelum berbuka.

3. Do’a Menjumpai Lailatul Qadar

Dari Aisyah bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku bertepatan dengan Lailatul qadar, apa yang kubaca?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah:

اَللــّٰـهُمَّ إِنــَّكَ عَفُوٌّ تــُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Engkau mencintai ampunan, maka ampunilah aku.” (HR. Imam yang lima kecuali Abu Dawud)

4. Takbir Pada Hari ‘Id

Dari Umar dan Ibnu Mas’ud:

اَلله ُأَكْبَرُ اَلله ُأَكْبَرُ لاَ إِلــٰـهَ ِإلاَّ الله ُوَالله ُأَكْبَرُ اَلله ُأَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ

“Allah Maha Agung (2x) Tiada tuhan selain Allah dan Allah Maha Agung, Allah Maha Agung dan bagi Allah segala pujian.”
(Fathul Bari II:462)

6. Do’a Tahni-ah ‘Id

Dari Jubair Bin Nufair berkata: “Para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mereka bertemu pada hari Raya, satu sama lain saling mengucapkan;

تَقَبَّلَ الله ُمِنَّا وَمِنْكَ

“Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua.”
(Fathul Bari:II:446)

Saling memberi selamat dengan kalimat di atas juga bisa diucapkan pada saat memasuki bulan Ramadhan. Wallahu a’lam.(sumber:www.wimakassar.org)

Berpuasa pada hari Yang Meragukan

Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallaahu ‘anhu,beliau berkata:

(من صام اليوم الذي يشك فيه فقد عصى أبا القاسم صلى الله عليه وسلم)

“Barangsiapa berpuasa pada hari syak (yang diragukan),maka ia telah bermaksiat (durhaka) kepada Abul Qasim shallallaahu ‘alaihi wasallam.

(Hadits ini disebutkan oleh Imam Bukhari secara mu’allaq,dan dinilai maushul oleh lima Ahli hadits,dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

1.Dilarang berpuasa pada hari yang diragukan pada bulan ramadhan,yaitu jatuhnya hari pertama bulan ramadha tanpa keyakinan (kepastian).Pada saat itu tidak diketahui apakah hari itu termasuk bulan ramadhan atu bukan ,yaitu malam ketigapuluh dari bulan sya’ban jika ada sesuatu yang menghalangi tampaknya bulan (hilal ).

2.Keharaman berpuasa pada hari syak (meragukan) tersebut ,disebabkan menjadi bentuk kedurhakaan kepada Rasulullah sahllaahu ‘alaihi wasallam.Allah Ta’ala berfirman: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah

3.Hadits di atas menunjukkan satu kaidah hukum yang menyatakan,Yang asal atau kuat tetap berlakunya hukum yang ada menurut keadaanya semula.Implementasi kaidah ini adalah tetapnya bulan sya’ban dan belum masuknya bulan ramadhan ,selama kita meyakini masih berlangsungnya bulan sya’ban dan belum adanya tanda-tanda masuknya bulan ramadhan.Artinya selama belum ada kepastian masuknya bulan ramadhan ,maka malam/hari itu masih bulan sya’ban.Dalam hadits lain ada larangan sehari/dua hari sebelum ramadhan.

4.Abul Qasim adalah ku nyah/gelar atau panggilan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.Al Qsim adalah nama putra beliau dari istri beliau Khadijah radhiyallaahu ‘anhu.

(Sumber:Disalin dari Taudhiyhul Ahkam Min Bulughil Maram dengan sedikit modifikasi ).

Senin, 25 Juli 2011

FATWA-FATWA TENTANG QADHA PUASA

1.Hukum Puasa Yang Belum Diqadha'

Tanya:Saya belum mengganti (mengqadha') puasa yang saya tinggalkan pada bulan Ramadhan disebabkan haidh, sementara saya tidak dapat menghitung jumlah puasa yang telah ditinggalkan, apakah yang harus saya lakukan?

Jawab:Alhamdulillah, hendaknya saudariku fillah berusaha menghitungnya dan mengganti puasa itu sesuai dengan sangkaan kuat saudari tentang jumlah puasa yang telah ditinggalkan. Mintalah pertolongan dan taufiq kepada Allah, bukankah Allah telah berfirman:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah :286)

Berusahalah sekuatnya dan ambillah yang paling selamat bagi diri saudari, hendaklah saudari mengganti jumlah puasa yang saudari yakini telah ditinggalkan. Dan hendaknya juga saudari segera bertaubat kepada Allah, hanya Allah sajalah yang berhak memberi taufik.

Diambil dari fatwa Syaikh Bin Baz rahimahullah.

2.Membatalkan Puasa Bulan Ramadhan Dan Tidak Mengqadha'nya Karena Malu

Tanya:Ketika masih berusia tiga belas tahun saya biasa berpuasa pada bulan Ramadhan. Suatu kali diam-diam saya membatalkan puasa karena haidh selama empat hari. Saya tidak menceritakan hal itu kepada seorangpun karena malu. Sekarang sudah berlalu delapan tahun, apa yang harus saya lakukan?

Jawab:Alhamdulillah, saudari telah keliru karena meninggalkan qadha puasa selama jangka waktu tersebut. Perlu saudari ketahui bahwa haidh adalah sesuatu yang telah Allah gariskan atas kaum wanita dan tidak perlu malu dalam menjalankan agama. Hendaklah saudari segera mengganti puasa empat hari tersebut dan saudari wajib membayar kifarat, yaitu memberi makan fakir miskin sebanyak hari yang ditinggalkan sebesar dua sha' makanan pokok sehari-hari.
Dinukil dari kumpulan fatwa Syaikh Bin Baz.

3.MEMILIKI KEWAJIBAN MENGQADHA BEBERAPA HARI RAMADAN, AKAN TETAPI DIA LUPA BILANGANNYA

Tanya:Istriku memiliki kewajiban mengqadha beberapa hari (pada bulan Ramadan lalu), akan tetapi lupa berapa hari persisnya. Apa yang harus dia lakukan?

Jawab:Alhamdulillah

Orang yang berbuka beberapa hari di bulan Ramadan karena uzur safar, sakit, haid, dan nifas diharuskan mengqadhanya.

Berdasarkan firman Ta’ala :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (سورة البقرة: 184)

‘Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.’ (QS. Al-Baqarah: 184)

Dan diriwayatkan oleh Muslim, 335 sesungguhnya Aisyah radhiallahu anha di tanya, 'Mengapa orang haid mengqada puasa dan tidak mengqadha shalat, beliau menjawab, "Dahulu kami mengalami hal itu, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat."

Kalau istri anda lupa bilangan hari yang menjadi tanggungannya, ragu apakah enam atau tujuh hari contohnya. Maka dia hanya wajib melakukannya enam hari. Karena asalnya seseorang tidak terkena beban kewajiban. Jika dia puasa tujuh hari sebagai kehati-hatian, maka hal itu lebih utama agar terbebas dari kewajibannya secara yakin. Kalau tidak ingat sama sekali bilangan harinya, maka dia berpuasa yang menjadi persangkaan kuat dapat membebaskan kewajibannya.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang wanita mempunyai tanggungan qadha puasa Ramadan, akan tetapi dia ragu apakah empat atau tiga hari. Sekarang dia berpuasa tiga hari, apa yang harus dia lakukan?

Beliau menjawab,

"Kalau seseorang ragu mempunyai tanggungan kewajiban mengqadha, maka dia mengambil yang paling sedikit. Kalau seorang wanita atau lelaki ragu, apakah dia ada kewajiban mengqadha, tiga atau empat hari? Maka dia mengambil yang terkecil, karena yang terkecil itu yakin, sementara tambahannya itu masih meragukan. Karena pada asalnya seseorang terbebas dari (kewajiban). Akan tetapi meskipun begitu, yang lebih hati-hati hendaknya dia mengqadha hari yang meragukan ini. Jika ternyata itu memang kewajibannya, maka dia telah terbebaskan dari tanggungan dengan yakin, kalau tidak wajib, maka itu sebagai sunnah. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang melakukan amalan kebaikan."

Fatawa Nurun Ala Ad-Darbi

(Sumber:http://www.islamqa.com/id)

Kamis, 21 Juli 2011

Hukum Operasi Sesar

Banyak alasan seseorang melakukan bedah sesar pada kelahiran bayinya. Bisa karena alasan medis; bayi kembar, bayi terlalu besar, habis ketuban dan lain sebagainya. Atau alasan estetika, agar organ kewanitaan tetap utuh,atau sekadar ingin menentukan tanggal tertentu bagi buah hati.

Motif atau alasan ini akan berpengaruh pada hukum melakukan operasi sesar. Secara definitif, operasi sesar(Jirahah al-Wiladah) adalah operasi yang bertujuan mengeluarkan bayi dari perut ibu, baik itu terjadi sebelum atau setelah sempurnanya bentuk bayi. (Dr. Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Ahkam al-Jirahiyah ath-Thibiyah, hlm: 154). Dari segi teknis, operasi sesar adalah proses mengeluarkan Janin dengan cara mengiris dinding perut, tentunya dengan metode ilmu medis.

Adapun hukumnya megacu pada alas an riil mengapa operasi sesar dilakukan.
Pertama: Keadaan Darurat. Maksudnya adanya kekhawatiran nyawa ibu, bayi atau kedua-duanya terancam. Kondisi darurat memiliki beberapa bentuk:
1)    Kondisi ibu yang mengalami eklampsia atau kejang dalam kehamilan, mempunyai penyakit jantung, persalinan tiba-tiba macet, pendarahan banyak selama kehamilan, infeksi dalam rahim, dan dinding rahimnya yang menipis akibat bedah Caesar atau operasi sesar sebelumnya.
2)    Operasi sesar untuk menyelamatkan nyawa bayi. Misalnya ibu sudah meninggal, tapi bayi yang berada didalam kandungan masih hidup. Dalam kasus ini,para ulama berbeda pendapat:
3)    Operasi sesar untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayi secara bersamaan adalah ketika terjadi air ketuban pecah, namun belum ada kontraksi, bayi terlilit tali pusar sehingga tidak dapat keluar secara normal, usia bayi belum matang (prematur), posisi bayi sungsang, dan lain-lain.

Dalam tiga keadaan diatas, menurut pendapat yang benar, dibolehkan dilakukan operasi sesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan anak. Dalil-dalinya sebagai berikut:
Pertama: Firman Allah       :
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”(Qs Al Maidah: 32)
Ibnu Hazm berkata: “jika seorang ibu yang hamil meninggal dunia, sedangkan bayinya masih hidup dan bergerak dan sudah berumur enam bulan, maka dulakukan pembedahan pada perutnya dengan memanjang untuk mengeluarkan bayi tersebut, ini berdasarkan firman Allah (Qs. 5:32), dan barang siapa membiarkan bayi tersebut didalam sampai mati, maka orang tersebut di kategorikan pembunuh.” (Ibnu Hazm, al-Mushalla, 5/ 166) 

Kedua: kaidah Fiqhiyah berbunyi:
“Suatu bahaya itu harus dihilangkan”(As-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, halm:87)
    Keberadaan bayi didalam perut ibunya yang sudah mati merupakan bahaya yang menimpa bayi tersebut, maka menurut kaidah diatas, bahaya itu harus dihilangkan darinya, yaitu dengan melakukan pembenahan.

Ketiga: kaidah Fiqhiyah berbunyi:
“Jika terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka diambil yang paling ringan kerusakannya” (Ibnu Nujaim al-Asybah wa an-Nadhair, halm:97)
Keterangan dari kaidah diatas bahwa operasi sesar dalam keadaan darurat terdapat dua kerusakan, yang pertama adalah terancamnya jiwa ibu atau anak, sedangkan kerusakan yang kedua adalah dibedahnya perut ibu. Dari dua kerusakan tersebut, maka yang paling ringan adalah dibedahnya perut ibu, maka tindakan itu diambil untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, yaitu terancamnya jiwa ibu dan anak.

Kadua: Keadaan Hajiyat

Keadaan Hajiayat dalam operasi sesar adalah adanya kekhawatiran terjadinya bahaya atau sesuatu yang buruk yang akan menimpa ibu, atau bayi, atau keduanya, tetapi bahaya itu tidak sampai pada terancamnya jiwa ibu atau anak. Seperti halnya jika lingkar rongga panggul yang lebih kecil dari ukuran janin, sehingga akan kesulitan ketika akan melahirkan secara alami, usia ibu yang terlalu tua, kelainan letak plasenta, ukuran bayi terlalu besar atau terjadi bayi kembar.
Dalam keadaan Hajiyat ini, operasi sesar boleh dilakukan, karena Hajiyat kadang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga sebagian ulama menyamakan kedudukannya dengan darurat. Oleh karenanya, mereka meletakkan kaidah fighiyat sebagai berikut:
 “Kebutuhan itu disamakan dengan keadaan darurat, baik yang bersifat umum, maupun khusus.”(Ibnu Nujaim didalam al-Asybah wa an-Nadhair, halm:100)

Ketiga: Keadaan Tahsiniyat

Yaitu melakukan operasi sesar dengan alasan yang sebenarnya tidak fundamen. Tidak ada ancaman atau dampak buruk pada bayi maupun ibu. Misalnya karena ingin organ kewanitaan tetap utuh, menghindari rasa sakit saat melahirkan, enggan menunggu proses kelahiran yang lama, atau sekedar ingin mengepaskan waktu lahir dengan tanggal tertentu.
Operasi sesar dengan alasan seperti ini tidak diperbolehkan, karena telah menyakiti (merusak) diri sendiri demi mencapai tujuan yang maslahatnya tidak mu’tabar (diakui syariat).Mengapa?

Karena operasi sesar cenderung membawa dampak kurang baik, utamanya bagi anak. Yang terjadi pada anak misalnya gangguan pernafasan paru-paru janin selama berada dalam rahim, rendahnya system kekebalan tubuh, rentan alergi, emosi cenderung rapuh, terpengaruh anestesi dan lain-lain.

Efek pada ibu misalnya rasa sakit yang sangat pada bagian perut dan rahim akibat robekan saat operasi, kemungkinan terjadi infeksi rahim dan pendarahan yang banyak, bahkan efeknya masih dirasakan hingga betahun-tahun lamanya, dan sekali sesar, besar kemungkinan. Wallahu A’lam ( Sumber :Dr.Ahmad Zain An Najah,MA/Majalah Arrisalah)

Selasa, 19 Juli 2011

Seni Berinteraksi Dengan Diri Sendiri

1. Mengamalkan segala hak Allah dan meminta tolong hanya kepada-Nya, hanya kepada-Mu saya melaksanakan segala yang Engkau kehendaki wahai Rabb-ku …

2. Bersifat optimis adalah jalan menuju keberhasilan, (Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda); وَيُعْجِبُنِى الْفَأْلُ “Saya senang terhadap optimisme.”

3. Bercita-cita tinggi dan jangan bercita-cita rendah.. 4. Kuatkan jiwa untuk senantiasa menyelesaikan segala pekerjaan dan membuat perencanaan (yang baik) untuk menyelesaikannya.

5. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan benar.

6. Tulis segala kegiatan penting yang akan dilakukan. Optimalisasi tertib perencanaan kerja adalah syarat keberhasilan.

7. Mengendalikan keinginan jiwa karena jiwa seorang itu dipenuhi dengan kejahatan, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah.

8. Bersegeralah kepada kebaikan dan jangan malas.

9. Introspeksi diri terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk. Bila ada dari kebiasaan-kebiasaan itu yang harus diganti, maka segeralah merubahnya.

10. Jadikan hal mendasar yang merupakan prinsip pokokmu berupa perkara-perkara baku yang tidak lagi mungkin ditawar.

11. Berhati-hatilah untuk berbasa-basi terhadap sebuah kewajiban yang tidak engkau penuhi.

12. (Allah berfirman); {إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ} [الزمر: 10] “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”. Olehnya, terimalah seluruh hasil perbuatanmu dengan ketenangan.

13. Bersungguh-sungguhlah terhadap masalah pribadimu dan jangan menyingkapnya pada setiap orang kecuali jika benar-benar ada maslahatnya.

14. Berupayalah meraih nilai maksimal dari derajat kesempurnaan manusiawi agar engkau bisa mendapatkan cita-citamu. Panutan terbaikmu adalah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-; semakin engkau mencontohnya, semakin dekatlah engkau kepada kesempurnaan manusiawi. Namun semakin kecil keinginanmu untuk mencontohnya, maka akan semakin jauhlah engkau dari nilai kesempurnaan manusiawi.

15. Kegembiraan dan kelapangan hati adalah dua hal –setelah pertolongan Allah- yang bisa membantu seorang dalam menyelesaikan beberapa urusannya.

16. Jauhi angan-angan kosong dan berlakulah secara proporsional.

17. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda; اخشوشنوا فإن النعم لا تدوم “Berlaku sederhanalah dan jangan boros karena kenikmatan itu tidaklah kekal.”

18. Senantiasalah berlaku jujur dalam berinteraksi.

19. Berlaku jujurlah bahkan terhadap diri sendiri. Berupayalah sendiri untuk dapat mengobati segala celanya, karena engkau sendirilah yang mengetahui aibnya. Sesungguhnya manusia itu adalah tempatnya cela dan kekurangan.

Sumber: Muhammad Irfan Zain/http://www.facebook.com/muhammad.i.zain)

Senin, 18 Juli 2011

Aktivasi potensi menuju kesuksesan diri

Di manapun kita beraktivitas atau bekerja, seharusnya memberikan ruang agar seluruh potensi yang Allah berikan kepada kita bisa aktif dan berkembang. Ini sebagai wujud syukur kepada Dzat yang telah menganugerahkan segala nikmat. Sekaligus menjadi penentu seberapa sukses seseorang menjalani hidup. Karena kesuksesan seseorang tergantung seberapa besar potensi yang diaktifkan sesuai dengan fungsinya. Dan begitulah semestinya fitrah berjalan sesuai dengan relnya. Tak ada satu potensipun yang tidak berfaedah, dan tak ada satu anugerah dari Allah yang boleh disia-siakan.
    Menelatarkan sebagian fungsi, atau menjadikannya fasif dan menganggur, adalah kekufuran terhadap nikmat yang Allah berikan. Dan segala hal yang berjalan tidak sesuai dengan fitrahnya, pasti akan rusak, dan bahkan merusak potensi yang lain.

Mengaktifkan Akal Pikiran

Allah telah memberikan potensi akal kepada manusia, anugerah yang menjadi pembeda utama antara manusia dan hewan. Semakin banyak akal ‘menganggur’,  maka makin mendekatkan manusia pada karakter hewani, nas’alullahal ‘aafiyah. Karenanya, Umar bin Khatab  berkata, “ashlur rajuli ‘aqluhu, wa sabuhu diinuhu, wamuruu’atuhu khuluquhu”, inti sesorang disebut manusia itu adalah karena akalnya, kehormatannya terletak pada agamanya, sedangkan kewibawaannya tergantung pada akhlaknya.
Maka selayaknya kita menjalankan fungsi akal sebagaimana mestinya. Terus mengisinya dengan ilmu yang bermanfaat, baik dunia maupun di akhirat. Nutrisi akal yang dengannya ia bisa berkembang adalah dengan menghayati ayat-ayat Allah berupa qur’aniyah dan kauniyah, firman Allah,
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perinta-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal”. (QS an-Nahl 12)
Sisi istimewa dari akal adalah, makin sering dipergunakan, maka kemampuannya semakin bertambah, berbeda dengan barang-barang elektrik yang jika sering dipergunakan makin cepat mengalami penyusutan dan penurunan fungsi. Sebaliknya, akal yang dibiarkan menganggur akan cepat jumud, tumpul dan pikun. Secara fungsi akan mengalami penyusutan secara drastis.

Maka, bertambahnya kesibukan maupun usia, tak boleh menjadi halangan untuk tetap belajar, membaca, menghafal, memahami maupun menganalisa hal-hal yang bermanfaat. Bahkan, kerja akal tidak layak berhenti, meski aktivitas jasad istirahat karena lelah. Saat kaki tak lagi kuat menyangga tubuh, saat mata terasa berat unruk membaca dan melihat. Seperti yang menjadi tekad Ibnu’Uqail Al-Hambali, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, sehingga apabila lisan dan mataku telah lelah membaca dan berdiskusi,maka aku menggunakan pikiranku dalam keadaan berbaring diatas tempat tidur. Aku tidak berdiri, kecuali terlintas dibenakku apa yang akan ku tulis.”

Mengaktifkan Hati Dan Jiwa

Hati dan nafsu, juga merupakan potensi yang harus diaktifkan secara benar. Pengangguran itu tak hanya berlaku bagi orang ysng tak memiliki pekerjaan secara fisik. Layak pula disebut pengangguran bagi orang yang tidak mengaktifkan hati dan jiwanya untuk mencari dan merasai nikmat iman. Karena tanpanya, hati tidaklah berguna. Abdullah bin Mas’ud memberikan jawaban, kemana hati harus aktif bekerja dan mencari nutrisi yang bermanfaat. Beliau berkata,  “carilah hatimu di tiga keadaan, saat mendengarkan al-Qur’an, saat berada dimajelis ilmu dan saat menyendiri bermunajad kepada Allah. Jika kamu tidak mendapatkan hatimu disana maka mohonlah kepada Allah untuk memberikan hati untukmu karena kamu tidak memiliki hati.”

Eksistensi hati itu dikatakan ada tatkala ia bisa menikmati lezatnya nutrisi-nutrisi imani. Ia merespon bacaan dan arahan al-Quran, merasa haus akan ilmu yang menunjukkan cara mendekatkan diri kepada sang pencipta. Ia juga merasakan hadirnya ketentraman dan kesyahduan saat bermunajad kepada Allah. Jika tanda-tanda itu sama sekali tidak ada, maka hati tidak menunjukkan tanda-anda kehidupannya. Seakan pemiliknya telah kehilangan olehnya, dan hidup tanpa memiliki hati. Wajar jika Ibnu Mas’ud menyarankan kepadanya, agar ia memohon kepada Allah untuk memberikan hati yang baru kepadanya. Seharusnya, kita senantiasa membawa hati kepada hal-hal yang bisa membuat hati hidup dengan sehat.
Begitupun nafsu, hendaknya secara sengaja dan aktif dikendalikan menuju perkara-perkara yang diridhai oleh Allah. Bukan dibiarkan bergentayangan sesuai dengan kehendaknya. Karena nafsu itu, seperti yang dikatakan sahabat Salman al-Farisi, “sesungguhnya nafsu itu, jika kamu tidak menyibukkan ia dalam ketaatan, niscaya ia menyibukkan dirimu dengan kemaksiatan.

Ketika akal, hati dan jiwa telah aktif dijalan yang seharusnya, maka jasadpun akan bergerak. Anggota badan itu lah yang akan merampungkan capaian tujuan secara fisik. Kaki dengan gagah akan melangkah, tangan dengan cekatan akan berkarya, mata akan sibuk membaca, menelaah dan mencari hal-hal yang berfaedah, dan telinga akan aktif mendengarkan hal-hal yang bermanfaat. Jika semua potensi berjalan, maka kesuksesan paripurna akan berhasil diraih. Wallahu a’lam. (Sumber:Abu Umar Abdillah/Majalah Ar risalah)

Rabu, 13 Juli 2011

Lebih Dekat Dengan Imam Bukhariy

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Akan tetapi beliau lebih terkenal dengan sebutan Imam Bukhari, karena beliau lahir di kota Bukhara, Turkistan, bekas wilayah negeri Soviet.

Beliau adalah seorang yang sangat alim di bidang hadits. Beliau menyusun sebuah kitab yang kesahihannya telah disepakati oleh umat Islam dari jaman dahulu hingga sekarang.

Imam Bukhari pernah ditanya oleh seseorang: “Bagaimana mulanya engkau berkecimpung dalam bidang hadits ini?” Maka beliau mengatakan, “Saya diilhami untuk menghafal hadits ketika saya bersama dengan para penulis hadits.” “Berapa usiamu pada waktu itu?” Dia menjawab, “10 tahun, atau kurang. Saya lalu keluar dari kelompok para penulis itu dan selanjutnya saya selalu menemani ad dakhili dan ulama lainnya. Ketika saya telah berkecimpung di bidang ini saya telah hafal hadits dari Ibnul mubarak dan Waqi’. Saya lalu pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaraku , sesudah selesai berhaji , saudaraku lalu mengantarkan ibuku pulang, sedangkan saya memperdalam dan mematangkan diri dalam bidang hadits.”

Imam Bukhari selanjutnya berkelana ke berbagai daerah seperti Nisabur, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekkah, Madinah, Syam dan Mesir untuk mendapatkan hadits dari sejumlah ulama.

Beliau menulis kitabnya yang bernama Tarikh di masjid nabawi, sejumlah buku yang memuat nama-nama rijal (Orang) periwayat hadits.

Imam Bukhari pada waktu kecil pernah mendatangi para ulama yang sedang bersama para muridnya, karena beliau masih kecil beliau malu memberi salam pada mereka. Suatu ketika beliau ditanya oleh seorang alim: “Berapa hadits yang sudah kau tulis hari ini? Bukhari kecil menjawab, “Dua.” Orang-orang yang ada di sekitarnya mentertawakannya. Alim itu pun berkata, “Kalian jangan mentertawakannya, boleh jadi suatu hari kalian akan ditertawakannya.”

Beliau berkata, “Suatu kali saya bersama Ishak ibnu Rahawaih (baca Rahoyah), lalu ada sejumlah temanku yang berkata kepadaku, “Alangkah baiknya kalau sekiranya engkau kumpulkan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah kitab yang singkat”. Hal tersebut mengena dalam hatiku, maka saya mulai mengumpulkannya dalam kitab ini (Kitab sahih Bukhari).

Beliau berkata, “Kitab ini saya pilihkan dari 600 ribu hadits. Beliau juga berkata: “Tidaklah aku tulis satu hadits dalam kitab ini kecuali saya wudhu/mandi dan shalat dua rakaat.

Imam Bukhari berkata, “Saya menulis hadits dari 1000 orang alim atau lebih. Tidak ada satu pun hadits yang ada padaku kecuali kusebutkan isnadnya.”

Imam Bukhari meninggal pada tahun 256 H pada malam hari raya Idhul Fitri pada usia 62 tahun. Kubur beliau terletak di Bikharnatk dekat dengan samarkand.

Pujian Ulama kepada Imam Bukhari rahimahullah

Al-Hafidz Ibnu Huzaimah berkata, “Tak ada orang di bawah langit ini yang lebih tahu tentang hadits melebihi Al-Bukhari”

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Bumi Khurasan (nama daerah tempat Imam Bukhari) tidak melahirkan orang yang semisal Muhammad bin Ismail (nama asli Imam Bukhari)”.

Al-Ahzam berkata, “Aku lihat Muslim bin Hajjaj (Imam Muslim) ada di depan Al-Bukhari dan bertanya kepada beliau layaknya seorang murid kepada gurunya.”

Berkata Abu Amr Al-Khaffaf, “Telah bercerita kapadaku seorang yang bersih, taqwa, ‘alim yang aku belum pernah melihat yang semisalnya yaitu Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dia lebih tahu tentang hadits dari pada Ishaq, Ahmad dan selain keduanya sebanyak 20 derajat.”

Agar Setan Menyesal

Lumrahnya, kalau manusia terpeleset melakukan dosa apalagi dosa besar, manusialah yang akan rugi dan setanlah yang akan merasa beruntung dan begembira. Tapi bagaimana jika setelah manusia melakukan dosa, justru setanlah yang menyesal dan berkata,“Andai saja aku tidak menjerumus kannya ke dosa itu..”?. Bagaimanakah hal semacam itu bias terjadi?
Setiap hari jiwa kita bergelut dengan nafsu yang dikipasi setan. Memilih antara melakukan kebaikan atau kemaksiatan, antara manfaat atau sia-sia, kebenaran atau kebatilan. Ketaatan dan kebaikan ibarat anak tangga kayu yang membuat pijakan kaki semakin tinggi dan derajad kita semakin meningkat. Sedang dosa tak ubahnya rayap yang kita biarkan menggerogoti pijakan hingga membuat pjakan patah dan kita pun terjerembab ke tangga dibawahnya atau bahkan paling bawah.
Fokus usaha setan hanyalah mencari cara agar manusia terperosok. Semakin jauh manusia jatuh, semakin dekat dirinya dengan “hunian masa depan setan”, neraka jahannam. Kalaupun kadang manusia masih bisa bangkit, setan akan kembali menjatuhkannya pada derajat yang lebih rendah. Begitulah seterusnya, manusia berusaha, setan menggagalkan.
Kalau saja Allah tidak meluaskan rahmat-Nya dan hanya menerima orang-orang yang selamat sampai diatas tanpa memberikan dispensasi bagi yang terjatuh, wallahua’lam, entah bagaimana nasib kebanyakan manusia. Tapi, segala puji bagi Allah yang membuka pintu taubat. Sebuah pintu rahmat yang tak ternilai harganya bagi manusia yang sering salah dan lupa. Dengan taubat, manusia bahkan bisa lebih cepat membuat anak tangga menuju kemuliaan daripada sebelumnya.
Manakala seseorang berbuat dosa lalu bertaubat, perasaan rendah diri, kehinaan di depan Allah karena kesalahannya, kebergantungan kepada-Nya, ketakutan akan nasibnya dan harapan akan kasih sayang-Nya akan membuatnya bersegera menggantinya dengan yang baru. Iapun naik dengan cepat.
Allah befirman,:

“kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.al Furqan:70)

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa maksud keburukan diganti dengan kebaikan adalah hati dan amal orang yang bertaubat akan diganti dengan kebaikan; syirik akan diganti dengan iman, zina diganti dengan sikap menjaga diri dan kehormatan, dusta diganti dengan kejujuran dan khianat dengan sifat amanat. Dengan ini dia melaju menaiki tangga menuju janah laksana kilatan petir. Said bin Musayib bahkan berpendapat bahwa keburukan yang diganti adalah keburukan amal didunia diganti dengan kebaikan di akhirat.

Ibnul Qayim menjelaskan, ada seorang salaf yang menyatakan, bahwa ada kalanya seorang yang berbuat salah lalu bertaubat lebih baik dari yang tidak pernah terpeleset tapi merasa ujub dengan amalnya. Orang yang salah lalu bertaubat, dosanya selalu tampak dimatanya kemanapun dia pergi. Hatinya pun hancur, senantiasa menyesali dan memohon ampun. Sedang yang senantiasa berbuat baik merasa ujub, kebaikannya teringat kemanapun dia pergi, hingga hal itu justru dapat mencelakakannya.(Madarijus Salikin, Ibnul Qayim, hal.57).

Hanya saja taubat yang dimaksud adalah taubat nashuha. Taubat yang total yang memiliki tanda: orang yang bertaubat menjadi lebih baik dari sebelumnya dan selalu berusaha berada pada jalur yang benar. Contoh nyatanya ada pada kisah-kisah para pendahulu. Misalnya, Fudhail bin Iyadh, seorang perampok yang bertaubat dan akhirnya menjadi ulama dan orang shalih hingga akhir hayatnya -wala nuzakki’alallahi ahada-. Taubat nashuha bukan taubat sambal yang memiliki efek temporer dan hanya pada menyembuhkan titik dosa yang telah dilakukan sedang yang lain tidak. Bertaubat dari zina, tapi masih gampang terjerumus atau malah bergelimang dosa riba, misalnnya. Bukan. Taubat nashuha adalah taubat yang mempengaruhi hati dan amal secara keseluruhan hingga membuatnya semakin baik, meskipun bisa jadi pemicunya hanya satu jenis dosa.

Taubat itu seperti seember air yang diguyurkan pada kanvas amal yang telah kita coreti dengan tintah nafsu yang hitam. Air itu meluruhkan torehan-torehan itu hingga bersih. Dosa-dosa yang kita lakukan tak ubahnya sapu-tangan tinta pada kanvas hati yang semakin lama akan membentuk seraut wajah yang mengerikan. Wajah dari amal dan hakikat diri kita. Dan taubat nashuha adalah air yan membilasnya dengan bilasan yang amat bersih.

Manakala seseorang bertaubat nashuha karena suatu dosa, saat itulah setan akan kesal dan menyesal, andai saja dia tidak menjerumuskannya pada dosa itu. Rupanya dosa itu terlalu berat bagi hati manusia dan justru membuatnya amat menyesal lalu kembali kepada Allah. Setan berfikir, andai saja ia jerumuskan manusia tadi pada dosa lain. Ini menjadi sebuah kerugian yang amat besar dalam usaha penyesatan manusia. Lukisan mengerikan itu hampir saja sempurna, tapi akhirnya malah musnah tanpa sisa diguyur air taubat nashuha.

Nah, pada akhirnya kita lah yang akan memilih. Allah sudah bukakan pintu, apakah kita akan memasukinya atau berpaling meninggal kannya.

Ya Allah, karuniakanlah kepada kami taubat nashuha. Ampunilah seluruh dosa-dosa kami dan gantilah keburukan kami dengan kebaikan.Amin. (Disalin dari tulisan Abu Rozin di Majalah Arrisalah edisi 118)

Senin, 11 Juli 2011

Berpuasa Sehari /Dua Hari Sebelum Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu,:bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا تقدّموا رمضان بصوم يوم ولا يومين الاّ رجل كان يصوم صوما فاليصمه

“Janganlah kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya,kecuali bagi yang terbiasa berpuasa .maka hendaknya ia (tetap) berpuasa (seperti biasa)”.
(Muttafaqun ‘alaihi).

Ada beberapa pelajaran dari hadits ini,diantaranya:

1).Hadits di atas berisi larangan mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari atau hari sebelumnya. Sebagian Ulama berpendapat ,haram berpuasa sehari /dua hari sebelum ramadhan.Namun kebanyakan Ulama berpendapat ,hukumnya makruh dan tidak haram.

2).Ada keringanan dan diperbolehkan bagi orang yang telah terbiasa berpuasa sebelumnya untuk tetap berpuasa.misalnya seseorang telah terbisa puasa sunnah senin & kamis, puasa Daud,maka tidak mengapa ia berpuasa sehari/dua hari sebelum ramadhan (ketika hari senin/kamis atau jadwal puasa daudnya bertepatan dengan sehari/dua hari sebelum ramadhan).

3).Hikmah dari larangan tersebut adalah untuk membedakan antara puasa wajib dan puasa sunnah dan sebagai persiapan menghadapi puasa Ramadhan dengan penuh semangat dan antusias. Mengenai hikmah ini Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa hukum puasa ramadhan bergantung pada ru’yatul hilal. Barangsiapa mendahului puasa ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sbelumnya), maka ia telah berusaha menyelisihi hukum tersebut.

4).Orang yang memilki kewajiban berpuasa ,baik berupa puasa qadha atau puasa nadzar,maka ia wajib untuk tetap berpuasa sehari/dua hari sebelum ramadhan.Misalnya si A memilki utang puasa dua hari pada ramadhan yang lalu (1431 H) dan ia baru teringat pada 27 sya'ban.Maka tidak mengapa ia berpuasa pada 28 dan 29 sya'ban (satu dan du hari sebelum ramadhan).Bahkan ia harus berpuasa pada hari tersebut.Demikian pula dengan orang bernadzar.

5).Hadits ini menyebutkan larangan berpuasa sehari/dua hari sebelum ramadhan.Sebagian Ulama Syafi'iyyah melarang puasa jika telah lewat pertengahan sya'ban (16 sya'ban ke atas).Mereka berhujjah dengan hadits Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu,Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika telah masuk pertengahan sya'ban ,maka janganlah kalian berpuasa" (HR Abu Daud,Tirmidziy dan Ibnu Majah).Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah .Namun mayoritas Ulama tetap membolehkan berpuasa meski telah lewat pertengahan sya'ban.Dasarnya adalah perbuatan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.Beliau tetap berpuasa meski telah lewat pertengahan sya'ban ,bahkan beliau banyak berpuasa pada bulan sya'ban.Sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, bahkan beliau berpuasa sebulan penuh pada bulan Sya’ban. Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata:

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah berpuasa sebulan lebih banyak dari pada bulan sya’ban, sesungguhnya beliau berpuasa pada seluruhnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad yaitu hadits Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha beliau berkata:

“Bahwasanya Nabi tidak pernah berpuasa sebulan penuh dalam setahun kecuali bulan Sya’ban yang diteruskan dengan puasa Ramadhan”.

Di sisi lain hadits Abu Hurairan di atas didhaifkan oleh sebagian ulama hadits.
Wallaahu a'lam. .semoga bermanfaat.

Jumat, 01 Juli 2011

Berpuasa Pada Bulan Sya'ban

Berpuasa Pada Bulan Sya`ban Secara Penuh.

Pertanyaan:

Apakah berpuasa di bulan Sya’ban secara penuh sesuai dengan sunnah?

Jawaban:

Alhamdulillah.

Dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Terdapat riwayat bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam sering berpuasa di bulan Sya’ban.

Diriwayatkan oleh Ahmad, 26022. Abu Daud, 2336. Nasa’i, 2175. Ibnu Majah, 1648 dari Ummu Salamah radhiallahu anha berkata: ”Aku tidak melihat Rasulullah sallahu’alaihi wa sallam berpuasa dua bulan secara berurutan kecuali beliau melanjutkan bulan Sya’ban dengan Ramadhan."

Dalam riwayat Abu Daud (dikatakan), "Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh dalam setahun kecuali pada bulan Sya’ban dilanjutkan ke Ramadhan." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud, no. 2048)

Dalam hadits ini tampak bahwa Nabi shallallahu alaihi wa salam biasanya berpuasa bulan Sya’ban penuh. Akan tetapi ada (hadits) lain bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam biasanya berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali sedikit.

Diriwayatkan oleh Muslim, 1156, dari Abu Salamah dia berkata, saya bertanya kepada Aisyah rardhiallahu anha tentang puasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dia menjawab:



كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا (رواه مسلم، رقم 1156)

"Beliau biasanya berpuasa sampai kami mengatakan sungguh telah berpuasa (terus). Dan beliau berbuka sampai kami mengatakan sungguh beliau telah berbuka. Dan aku tidak melihat beliau berpuasa yang lebih banyak dibandingkan pada bulan Sya’ban. Biasanya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya, dan biasanya beliau berpuasa pada bulan sya’ban kecuali sedikit." (HR. Muslim)

Para ulama berbeda pendapat dalam mengkompromikan dua hadits ini,

Sebagian mereka berpendapat hal ini terkait dengan perbedaan waktu. Pada sebagian tahun beliau shallallahu alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban secara penuh. Dan pada sebagian tahun lainnya beliau shallallahu alaihi wa salam berpuasa kecuali sedikit (yang tidak berpuasa). Pendapat ini adalah pilihan Syekh Ibnu Baz rahimahullah." (Silakan lihat Majmu Fatawa Syekh Ibnu Baz, 15/416).

Sebagian lainnya berpendapat, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan. Sementara hadits Ummu Salamah maksudnya adalah berpuasa bulan Sya’ban kecuali sedikit (yang tidak berpuasa). Mereka mengatakan bahwa dari sisi bahasa kalau seseorang sering berpuasa, dibolehkan mengatakan berpuasa sebulan penuh.

Al-Hafiz berkata: “Sesungguhnya hadits Aisyah menjelaskan bahwa maksud dari hadits Ummu Salamah, bahwa Beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak berpuasa dalam setahun sebulan penuh kecuali Sya’ban bersambung dengan Ramadhan.” Yakni bahwa beliau lebih banyak berpuasanya. At-Tirmizi mengutip dari Ibnu Mubarak sesungguhnya beliau berkata, "Dalam bahasa Arab dibolehkan mengatakan telah berpuasa sebulan penuh bagi orang yang berpuasa pada sebagian besar hari dalam satu bulan tersebut."

Ath-Thayyiby berkata, dimungkinkan beliau sekali berpuasa Sya’ban secara penuh, dan di lain waktu berpuasa sering dalam bulan itu, agar tidak disimpulkan kalau hal itu wajib dilakukan sebulan penuh, seperti Ramadhan. Kemudian Al-Hafiz mengomentari, "Pendapat pertama lebih tepat."

Maksudnya bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak melakukan puasa Sya’ban sebulan penuh. Dengan dalil riwayat Muslim, no. 746 dari Aisyah radhiallahu anha, belaiu berkata, "Tidak aku ketahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an semalam penuh, tidak juga melakukan shalat malam sampai subuh. Dan tidak berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan."

Begitu juga berdasarkan riwayat Bukhari, no. 1971 dan Muslim, no. 1157 dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata, "Nabi shallallahu alahi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan."

As-Sindy berkata dalam menjelaskan hadits Ummu Salamah, “Teks 'Melanjutkan (puasa) Sya’ban ke Ramadhan’ yakni berpuasa di kedua bulan. Yang tampak dari teks tersebut adalah berpuasa Sya’ban sebulan penuh. Akan tetapi terdapat riwayat yang menunjukkan sebaliknya. Oleh karena itu dipahami bahwa beliau berpuasa pada sebagian besar harinya, sehingga seakan-akan beliau berpuasa penuh dan bersambung ke bulan Ramadhan."

Kalau dikatakan, apa hikmahnya memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban? Maka jawabannya adalah perkataan Al-Hafidz: “Yang lebih tepat apa yang diriwayatkan oleh Nasa’i dan Abu Daud serta dishahihkan oleh Ibnu Huzaimah dari Usamah bin Zaid, dia berkata, saya bertanya: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihat engkau (sering) berpuasa dalam satu bulan seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban?" Beliau bersabda: “Itu adalah bulan yang kebanyakan orang melalaikannya yaitu antara Rajab dan Ramadhan. Yaitu bulan yang di dalamnya di angkat amalan-amalan kepada Allah, Tuhan seluruh alam. Maka aku ingin amalanku di angkat, aku dalam kondisi berpuasa.” (Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i, no. 2221). Wallahu’alam .

[Sumber: Soal Jawab Tentang Islam di www.islamqa.com]