Jumat, 30 Desember 2011

CATATAN PERGANTIAN TAHUN

Perayaan tahun baru memang telah lama menjadi tradisi dan ditetapkan sebagai hari libur umum nasional di berbagai Negara. Di Amerika Serikat, umumnya perayaan dilakukan pada tanggal 31 malam bulan Desember, saat di mana orang-orang berpesta dan berkumpul di jantung kota seperti di New York. Pada saat lonceng tengah malam berdentang, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan, orang-orang menyerukan “Happy New Year” dan menyanyikan lagu Auld Lang Syne.

Perayaan Tahun Baru di Dunia
Perlu diketahui bahwa umat agama lain pun merayakan hari tahun barunya sendiri, seperti tahun baru umat Yahudi, Rosh Hashanah, biasanya dalam kalender Masehi, jatuh sekitar bulan September-Oktober. Hari raya ini juga seringkali disebut sebagai Yom Teruah (Hari Meniup Shofar). Shofar adalah semacam serunai yang ditiup sepanjang hari di Sinagog pada perayaan tersebut. Selain itu, ada juga tahun baru Saka, tahun baru umat Hindu dan tahun baru Imlek (tahun baru Cina).

Bagi kita, kaum Muslimin berpegangan pada at-taqwim al-hijri atau kalender hiriyah, yakni kalender yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, seperti puasa Ramadhan dan Haji serta ibadah-ibadah sunnah lainnya. Dinamakan Kalender Hijriyah, karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran Matahari, Kalender Islam menggunakan peredaran Bulan sebagai acuannya.

Adapun sistem penanggalan yang umumnya digunakan di dunia disebut juga dengan kalender Gregorian. Jika dicermati, asal-usul nama-nama bulan dalam kalender tersebut juga sarat dengan pengaruh kepercayaan polytheist bangsa romawi kuno. Bulan Januari yang terdiri dari 31 hari diambil dari nama Janus, Dewa permulaan dan akhir bangsa Romawi. Bulan Februari, yang terdiri dari 28/29 hari diambil dari kata Februus, nama Dewa kematian dan pemurnian Romawi, yang juga menjadi dewa bangsa Etruskan. Maret, dari kata Mars, nama Dewa perang Romawi. Bulan Mei dari kata Maia Maiestas nama Dewi Romawi. Bulan Juni dari nama Juno, Istri Jupiter dalam mitologi Romawi. Bulan Juli dari nama diktator Romawi, Julius Caesar, bulan ini sebelumnya disebut Quintilis, dan bulan Agustus dari Augustus, nama Kaisar Romawi pertama (bulan ini sebelumnya disebut Sextilis, bulan ke-6 kalender Romawi).

Demikianlah sekilas sejarah perjalanan waktu, perayaan-perayaan dan penggunaan istilah yang sangat kental pengaruh keagamaannya. Dari pemaparan di atas, tersirat makna yang penting bagi kita untuk dapat mencermati dan menyikapi momen pergantian waktu dengan pandangan Islami (Islamic worldview).

Islam, seperti yang kita yakini, adalah agama yang syumul, artinya ajaran ini mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia; dari pribadi, keluarga, masyarakat hingga negara; dari semua bidang; sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, lingkungan, pendidikan hingga kebudayaan; dari etnis Arab ke Parsi hingga seluruh etnis manusia, dari kepercayaan, sistem hingga akhlak; dari Adam hingga manusia terakhir; dari sejak kita bangun tidur hingga kita tidur kembali; dari kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat.

Cakupan Islam dapat kita lihat dari beberapa dimensi; yaitu dimensi waktu, dimensi demografis, dimensi geografis dan dimensi kehidupan. intinya, semua dimensi hidup Muslim telah dibuatkan aturannya oleh ar-Rahmaan. Oleh sebab itu apapun yang akan kita lakukan kita hendaknya berpandukan ajaran agama yang suci ini.

Perayaan malam tahun baru, Maksiat satu malam?
Salah satu situs berita online ibukota mencatat, Indonesia merupakan pasar kembang api terbesar di dunia. Berdasarkan data tahun lalu, salah seorang importir kembang api membeberkan bahwa pasar kembang api di Indonesia dalam satu tahun menembus angka Rp 1,8 triliun. Ia bahkan tidak percaya jika Indonesia disebut sebagai negara miskin, karena kenyataannya, pasar kembang api dominan di kalangan masyarakat menengah bawah.
Meski pada momen pergantian tahun terjadi kenaikan harga, namun hal tersebut tidak mengurangi minat pembeli yang cukup banyak. Berbagai tipe dan model kembang api pun dinyalakan dan meledak di angkasa. Tentu harganya juga bervariasi, tergantung kemampuan isi kantong, mulai yang Rp 5.000 hingga Rp 15 juta per pak.

Membaca kenyataan di atas patut membuat kita tercengang, jika membandingkan dengan realitas nasib mayoritas bangsa kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Diantara isu yang paling sering mengemuka adalah masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Isra [17]: 26-27)

Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah Ta'ala telah menjadikan malam untuk berisitrahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada alasan syar’i.
Maka dari sini dapat dipahami bahwa pengharaman perayaan malam tahun baru buat umat Islam oleh sebagian Ulama adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.

Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang Kafir?
Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Dan sekedar menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.” (Al-Hadits)

Dalam riwayat lain, bahkan disebutkan lebih spesifik bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang sebelum kamu, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga andaikata mereka menelusuri lubang masuk ‘Dhabb’ (binatang khusus padang sahara, sejenis biawak), niscaya kalian akan menelusurinya pula”. Kami (para shahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (apakah mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?”. Beliau bersabda: “Siapa lagi (kalau bukan mereka-red)”. (H.R. Al-Bukhary dari sahabat Abu Sa’id Al Khudry).

Perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya.
Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke Eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa. Maka, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama non muslim (baca: kafir). Wallahu A’lam. []

Selasa, 20 Desember 2011

Toleransi Umar

JIKA barometer toleransi abad 20 ini dideteksi di setiap penjuru dunia, maka Jerussalem mungkin adalah yang terburuk.

Pada akhir tahun 1987 saya sempat berkunjung ke kota Jerussalem lama. Kota kuno di atas bukit yang dikelilingi tembok raksasa itu menyimpan tempat suci utama tiga agama. Ketiganya adalah Masjid al-Aqsa, Wailing Wall (Dinding Ratapan) dan Gereja Holy Sepulchre (Kanisat al-Qiyamah). Di zaman modern tempat ini adalah daerah konflik yang paling menegangkan di dunia.

Ketika menapaki jalan-jalan di kota tua itu banyak perisiwa menegangkan. Saya menyaksikan seorang pendeta Katholik dan seorang rabbi Yahudi saling memaki dan sumpah serapah, nyaris saling bunuh.

Di lorong-lorong pasar saya melihat ceceran darah segar Yahudi dan Palestina. Di pintu masuk dinding ratapan saya bertemu seorang Yahudi Canada. Dengan pongah dan percaya diri dia teriak, "I come here to kill Muslims". Di pintu gerbang masjid Aqsa, seorang tentara Palestina menangis selamatkan masjid al-Aqsa! Selamatkan masjid al-Aqsa!

Namun jika deteksi toleransi itu dialihkan abad ke 7 dan seterusnya mungkin Jerussalem justru yang terbaik. Setidaknya sejak Muslim memimpin dan melindungi kota ini. Jika kita menelurusi lorong via dolorosa menuju Gereja Holy Sepulchre orang akan tersentak dengan bangunan masjid Umar. Masjid Umar itu terletak persis didepan gereja yang diyakini sebagai makam Jesus. Di situ semua sekte berhak melakukan kebaktian. Melihat lay-out dua bangunan tua ini orang akan segera berkhayal “ini pasti lambang konflik dimasa lalu”. Tapi khayalan itu ternyata salah. Fakta sejarah membuktikan masjid itu justru simbol toleransi.

Sejarahnya, umat Islam dibawah pimpinan Umar ibn Khattab mengambil alih kekuasaan Jerussalem dari penguasa Byzantium pada bulan Februari 638. Mungkin karena terkenal wibawa dan watak kerasnya Umar memasuki kota itu tanpa peperangan. Begitu Umar datang, Patriarch Sophronius, penguasa Jerussalem saat itu, segera “menyerahkan kunci” kota.

Syahdan diceritakan ketika Umar bersama Sophronius menginspeksi gereja tua itu ia ditawari shalat di dalam gereja. Tapi ia menolak dan berkata: “jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka, hanya karena saya pernah shalat disitu”.

Umar kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Ditempat batu itu jatuh ia kemudian melakukan shalat. Umar kemudian menjamin bahwa Gereja Holy Sepulchre tidak akan diambil atau dirusak pengikutnya, sampai kapanpun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani. Itulah toleransi Umar.

Toleransi ini kemudian diabadikan Umar dalam bentuk Piagam Perdamaian. Piagam yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah itu mirip dengan piagam Madinah. Dibawah kepemimpinan Umar non-Muslim dilindungi dan diatur hak serta kewajiban mereka.

Piagam itu di antaranya berisi sbb: Umar amir al-mu’minin memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan sehat dari semua penganut agama. Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas. Penduduk Ilia (maksudnya Jerussalem) harus membayar pajak (jizya) sebagaimana penduduk lainnya; dan seterusnya.

Sebagai ganti perlindungan terhadap diri, anak cucu, harta kekayaan, dan pengikutnya Sophorinus juga menyatakan jaminannya. “kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru dikota dan pinggiran kota kami;..Kami juga akan menerima musafir Muslim kerumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam… kami tidak akan menggunakan ucapan selamat yang digunakan Muslim; kami tidak akan menjual minuman keras; kami tidak akan memasang salib … di jalan-jalan atau di pasar-pasar milik umat Islam”. (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar b. al-Khattab Trans. Yohanan Fiedmann, Albany, 1992, p. 191)

Bukan hanya itu. Salah satu poin dalam Piagam itu melarang Yahudi masuk ke wilayah Jerussalem. Ini atas usulan Sophorinus. Namun Umar meminta ini dihapus dan Sophorinus pun setuju. Umar lalu mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk tinggal di Jerussalam dan mendirikan synagogue. Konon Umar bahkan mengajak Sophorinus membersihkan synagog yang penuh dengan sampah. Itulah toleransi Umar.

Piagam Umar ternyata terus dilaksanakan dari sau khalifah ke khalifah lainnya. Umat Islam tetap menjadi juru damai antara Yahudi dan Kristen serta antara sekte-sekte dalam Kristen. Ceritanya, karena sering terjadi perselisihan antar sekte di gereja Holy Sepulchre tentara Islam diminta berjaga-jaga di dalam gereja. Sama seperti Umar, para tentara juru damai itu pun ditawari shalat dalam gereja dan juga menolak. Untuk praktisnya mereka shalat dimana Umar dulu shalat.

Di tempat itulah kemudian Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1193, membangun masjid permanen. Jadi masjid Umar inilah saksi toleransi Islam di Jerussalem.

Namun, kini Jerussalem yang damai tinggal cerita lama. Belum ada jalan kembali menjadi kota toleransi. Lebih-lebih makna toleransi seperti dulu sudah mati oleh liberalisasi. Umar maupun Sophorinus tidak mungkin akan dinobatkan menjadi “Bapak pluralisme”. Sebab menghormati agama orang lain kini tidak memenuhi syarat toleransi. Toleransi kini ditambah maknanya menjadi menghormati dan mengimani kebenaran agama lain. Tapi “ini salah” kata Muhammad Lagenhausen. Kenneth R. Samples, pun sama “Ini penghinaan terhadap klaim kebenaran Kristen”. Biang keladinya adalah humanis sekuler yang ateis dan paham pluralisme agama (The Challenge of Religious Pluralism, Christian Research Journal). Bagi saya toleransi model pluralisme ini adalah utopia keberagamaan liberal yang paling utopis.

(Sumber:Tulisan Ust Dr. Hamid Fahmi Zarkasy Direktur Program PKU ISID pada Jurnal ISLAMIA-Republika edisi Kamis 15 Desember 2011)

Minggu, 18 Desember 2011

WAHDAH ISLAMIYAH, GERAKAN PURIFIKASI AKIDAH

Oleh: Rahmat Abd. Rahman

Ketua Lembaga Kajian dan Konsultasi Syariah Makassar
(Fajar, Opini Sabtu 17 Desember 2011)


Wahdah Islamiyah menggelar sebuah hajatan besar, yaitu muktamar kedua di Kota Makassar. Momen empat tahunan ini berfungsi sebagai ajang evaluasi terhadap seluruh program kerja pasca muktamar pertama lalu, dan juga revisi terhadap pedoman dasar organisasi, termasuk Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, serta tidak kalah pentingnya, berwenang untuk menyusun kepengurusan baru di tingkat pusat, di antaranya adalah Pimpinan Umum organisasi dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat.



Ribuan anggota, kader dan keluarga Wahdah Islamiyah dari seluruh tanah air telah berdatangan ke Kota Anging Mammiri buat berpartisipasi dalam hajatan besar ini, sebagian sebagai peserta penuh dan sebagian lainnya sebagai pendukung dan penggembira, bahkan ada yang hanya sekedar menghadiri acara pembukaan saja.

Wahdah Islamiyah menjadi organisasi Islam satu-satunya pada saat ini yang berpusat di Kota Makassar dan telah memiliki amal usaha dakwah, pendidikan dan sosial yang tersebar di wilayah-wilayah nusantara. Didirikan pada tahun 2002 lalu, usia Wahdah Islamiyah tergolong masih belia, jika diibaratkan manusia, maka organisasi ini baru menginjak paruh pertama jenjang pendidikan dasar. Sejarah dan latar belakang the founding father atau pendiri organisasi ini sebagai kader atau peserta pengajian-pengajian organisasi Islam lain, seperti Muhammadiyah, tidak dapat dipungkiri memberi warna terhadap perjalanan Wahdah Islamiyah, namun kemapanan dan gerakan perjuangan memiliki corak tersendiri. Mengusung slogan “Memandu Kebangkitan Islam dengan Ilmu Syar’i”, Wahdah Islamiyah menganut pola dan konsep Ahlussunnah Waljamaah dalam gerakan perjuangannya.

Pemahaman dan pengamalan beragama seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan ulama salaf saleh, yaitu para sahabat, tabiin dan tabi’ tabiin, menjadi pondasi buat melakukan gerakan perbaikan umat. Wahdah Islamiyah menyadari dengan baik, bahwa Rasulullah saw. dan ulama salaf saleh telah mewariskan kekayaan (sarwah) ilmiah dan amaliah yang tidak pernah usang dimakan zaman, nas-nas Alquran dan hadis diimplementasikan dalam pemahaman dan pengamalan yang sempurna. Menurut Imam Malik bin Anas (al-Wajiz, 2002), umat Islam zaman sekarang akan menjadi baik, apabila konsisten dengan ajaran yang menjadikan umat Islam zaman dahulu juga baik.

Konsep Ahlussunnah Waljamaah yang dikembangkan oleh Wahdah Islamiyah bersifat konsisten dan dinamis. Konsisten dalam menjadikan pemahaman ulama salaf saleh yang berdasarkan atas nas-nas Alquran dan hadis sebagai acuan gerakan perbaikan umat, dan dinamis dalam realisasi pengamalan beragama dan berdakwah sesuai kaidah-kaidah yang bersumber dari Alquran dan hadis pula.

Perkembangan zaman di bidang informasi, teknologi dan bidang-bidang lainnya menuntut agar kaidah-kaidah agama diterapkan dengan pemahaman dan metodologi yang benar dan bijak. Nilai-nilai kemuliaan yang ada pada zaman Rasulullah saw. berupaya diwujudkan kembali oleh gerakan Wahdah Islamiyah secara bersih dengan menjaga keseimbangan zaman dan lingkungan keberadaannya. Perilaku umat Islam pada zaman itu berupaya ditransformasikan pada kondisi kekinian dengan mengacu pada prinsip utama beragama, yaitu ajaran tauhid atau kemurnian ibadah kepada Allah swt.

Organisasi dan Purifikasi Akidah Islam

Gerakan dakwah Wahdah Islamiyah adalah gerakan purifikasi atau pemurnian dan penyucian sifat tauhid dan akidah umat Islam dari segala kemusyrikan, berbentuk seruan kepada segenap lapisan masyarakat agar menjalankan kalimat syahadat yang telah mereka ikrarkan secara konsisten. Kalimat syahadat dan keislaman bukan sebatas identitas, namun dilalui sebagai jalan untuk sampai kepada Allah swt. Konsekwensi keislaman seseorang berupa pengamalan terhadap syariat agama, diserukan oleh ulama dan dai Wahdah Islamiyah dengan cara yang bijak, yaitu penyampaian dalil-dalil agama secara dalam dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi di tengah umat Islam, serta menghindari perbuatan menghujat dan memojokkan sesama aktivis dakwah atau elemen umat yang berjuang buat kemajuan kaum muslimin, kecuali apabila terjadi penyimpangan nyata terhadap prinsip agama, maka akan dijelaskan sisi penyimpangannya tanpa menyebut pelakunya secara langsung.

Pemurnian tauhid dan akidah Islam menjadi seruan prioritas dalam berdakwah, merupakan ruh yang selalu ditiupkan ke dalam jiwa setiap kader dan aktivis Wahdah Islamiyah. Berpedoman kepada Rasulullah saw. yang memulai gerakan dakwah dengan penyadaran terhadap Kemahaesaan Allah Ta'ala. untuk disembah, segenap permasalahan pada masa Jahiliyah dihubungkan dengan kerusakan visi Ketuhanan mereka yang berwujud pada kemusyrikan, sehingga perbaikan sistem bermasyarakat dimulai dari titik sentral tauhid dan akidah. Sahabat Rasulullah saw. yang mendapatkan tugas berdakwah di luar kota Madinah juga mendapatkan wasiat serupa, sebagaimana yang dituturkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu 'anhuma., bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam. berwasiat kepada Mu’az bin Jabal radhiyallaahu 'anhu. yang diutus ke Negeri Yaman untuk mendakwahkan dua kalimat syahadat sebelum syariat Islam lainnya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sifat tauhid dan akidah Islam yang bersih membuat visi hidup setiap manusia menjadi lurus, kehidupan akan dilalui dengan kegiatan yang memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Visi kehidupan yang lurus berarti pemahaman terhadap maksud dan tujuan hidup di alam dunia, serta menyiapkan perbekalan buat sampai kepada kehidupan akhirat. Bekal ini berupa ketakwaan yang terwujud dalam segala bentuk kebaikan di semua lini kehidupan, yaitu ibadah ritual, sistem sosial dan ekonomi, sistem pendidikan dan budaya, hingga sistem politik dan tata negara.

Sifat tauhid menjadi sumbu dalam kehidupan seorang manusia dan masyarakat, segala aktivitas yang dihasilkan oleh sifat ini akan berbuah baik dan membuat arus pusaran kebaikan pada lingkungan yang ada di sekelilingnya. Perumpamaan kalimat tauhid di dalam Alquran, adalah ibarat pohon tinggi menjulang ke langit dan berakar tunjang menghunjam ke dalam perut bumi, buahnya dapat dinikmati setiap saat oleh siapapun yang melewatinya (QS. Ibrahim/14: 24-25), atau ibarat pelita yang menerangi kegelapan (QS. al-An’am/6: 122).

Gerakan purifikasi akidah yang dikembangkan oleh Wahdah Islamiyah berlaku pada perbaikan mental, perilaku dan sistem beragama secara menyeluruh. Ajaran Islam yang telah sempurna tidak mungkin disikapi dengan pemurnian tauhid saja terlebih dahulu dan meninggalkan syariat lain sebagaimana periodisasi pada zaman Rasulullah saw., namun gerakan purifikasi akidah ini dilakukan secara sinergis dan integral dalam pelaksanaan sistem Islam di segala bidang dan lini kehidupan.

Wahdah Islamiyah telah melembagakan gerakan purifikasi akidah ini dalam sistem pembinaan secara integral pada lini kehidupan yang dikelolanya. Sistem dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup, telah menjadi satu kesatuan dalam gerakan yang terorganisir menuju peradaban yang tinggi seperti yang pernah dibuktikan oleh kaum muslimin pada zaman keemasannya, yaitu abad-abad awal hijriyah. Visi 2015 Wahdah Islamiyah untuk eksis di seluruh kabupaten sepulau Sulawesi dan ibukota propinsi di seluruh Indonesia, dimaknai sebagai media buat mengukuhkan gerakan purifikasi akidah ini, organisasi bagi aktivis Wahdah Islamiyah adalah sarana buat menyebarkan sistem kebaikan yang berdasarkan atas sifat tauhid dan kemurnian akidah Islam.

Akhirnya, selamat bermuktamar bagi keluarga Wahdah Islamiyah, semoga dapat mewujudkan tema: Memantapkan Peran Dakwah Wahdah Islamiyah yang Bijak Menuju Masyarakat Berperadaban, pasca muktamar ini. Amin. (sumber:www.wahdah.or.id)

Kamis, 15 Desember 2011

Sepucuk Surat Perjuangan; Teruntuk Jiwa-Jiwa Perindu Kemenangan

(Dalam Rangka Mendukung Semangat Muktamar II Wahdah Islamiyah)

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu…!

Segala puji itu hanya menjadi hak Allah. Dialah Dzat yang memunculkan para ulama yang masih saja tersisa di setiap zaman. Para ulama tersebut mendakwahi orang yang tersesat kepada hidayah, dan mereka bersabar atas berbagai gangguan. Dengan kitab Allah, mereka hidupkan orang-orang yang hatinya sudah mati. Mereka perlihatkan cahaya Allah kepada orang yang buta mata hatinya. Betapa banyak korban iblis yang berhasil mereka selamatkan. Betapa banyak orang yang tersesat dan bingung berhasil mereka tunjuki jalan yang benar. Betapa bagus pengaruh mereka di tengah-tengah manusia dan betapa jelek balasan manusia terhadap mereka. Para ulamalah yang mengingkari penyelewengan makna Al-Qur’an yang dilakukan oleh orang-orang yang berlebih-lebihan serta pemalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan. Yaitu, orang-orang yang memasang tali bid’ah dan mengencangkan ikatan fitnah. Mereka memperdebatkan kitabullah, menyelisihi Alquran, dan sepakat untuk keluar dari aturan Alquran. Mereka berbicara atas nama Allah, tentang Allah, dan tentang kitabullah, tanpa dalil. Mereka membicarakan tentang hal yang rancu dan menipu manusia-manusia bodoh dengan kerancuan berpikir yang mereka sebarkan. Kami berlindung kepada Allah dari ujian karena orang-orang yang sesat. (Mukadimah yang disampaikan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya, Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah). Shalawat dan salam tercurah untuk Rasulullah, para keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang tunduk lagi taat kepada beliau. Amma ba’du ….

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (Terjemah al-Qur’an Al-Hujuraat(49): 15)

Dari Abu Abdullah, yaitu Khabbab bin Aratti Radhiyallahu ‘Anhu, katanya: “Kita mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau ketika itu meletakkan pakaian burdahnya di bawah kepalanya sebagai bantal dan berada di naungan Ka’bah, kita berkata: “Mengapa Tuan tidak memohonkan pertolongan – kepada Allah – untuk kita, sehingga kita menang? Mengapa Tuan tidak berdoa sedemikian itu untuk kita?” Beliau lalu bersabda: “Pernah terjadi terhadap orang-orang sebelummu – yakni zaman Nabi-nabi yang lalu, yaitu ada seorang yang diambil – oleh musuhnya, karena ia beriman, kemudian digalikanlah tanah untuknya dan ia diletakkan di dalam tanah tadi, selanjutnya didatangkanlah sebuah gergaji dan ini diletakkan di atas kepalanya, seterusnya kepalanya itu dibelah menjadi dua. Selain itu iapun disisir dengan sisir yang terbuat dari besi yang dikenakan di bawah daging dan tulangnya, semua siksaan itu tidak memalingkan ia dari agamanya -yakni ia tetap beriman kepada Allah. Demi Allah niscayalah Allah sungguh akan menyempurnakan perkara ini – yakni Agama Islam, sehingga seseorang yang berkendaraan yang berjalan dari Shan’a ke Hadhramaut tidak ada yang ditakuti melainkan Allah atau karena takut pada serigala atas kambingnya – sebab takut sedemikian ini lumrah saja. Tetapi engkau semua itu hendak bercepat-cepat saja.” (HR. Bukhari)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, mengatakan; “Ketahuilah semoga Allah senantiasa memperbaiki diri kalian, ni’mat terbesar bagi orang yang Allah kehendaki pada dirinya adalah ketika Allah menghidupkannya sekarang ini, zaman ketika Allah tengah memperbaharui agama-Nya. Dia menghidupkan kembali syiar kaum muslimin. Dia menghidupkan ihwal kaum mu’minin dan para mujahidin, sehingga keadaannya mirip dengan Assabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka siapa saja yang melaksanakan semua ini di zaman sekarang, berarti ia termasuk orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam kebaikan. Maka sudah selayaknya kaum mukminin bersyukur kepada Allah atas ujian yang pada hakikatnya adalah anugerah dari Allah ini. Seharusnya mereka mensyukuri terjadinya fitnah yang didalamnya terdapat nikmat besar. Hingga seandainya para sahabat Assabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan yang lainnya Radiyallahu ‘anhum ajmain, mereka hadir ditempat ini, tentu amalan yang mereka lakukan adalah berjuang melawan orang-orang jahat itu. Dan tidak ada yang ketinggalan dari peperangan seperti ini selain orang yang merugi perdagangannya, dungu jiwanya, dan diharamkan untuk mendapatkan bagian besar dari Dunia dan Akhirat.”

Duhai jiwa-jiwa yang takut pada Rabb yang Menguasai jiwa. Tertunduk hina pada Rabb, yang kepada-Nya makhluk bersujud. Duhai jiwa-jiwa yang suka mengadu pada Rabb, yang sempurna nama-nama-Nya.Duhai jiwa-jiwa yang merasakan indahnya munajat. Menautkan hati pada jalan perjuangan. Duhai jiwa-jiwa yang saling mencintai karena Allah. Merindukan kemenangan terindah.

Duhai para generasi pejuang. Duhai para generasi pemenang. Kepada kalian diwariskan kesucian Islam. Kepada kalian diwariskan risalah ilmu. Kepada kalian diwariskan risalah amal. Kepada kalian diwariskan risalah dakwah. Karena kesucian Islam tidak mungkin diperjuangkan pada mereka generasi pecundang. Pada mereka generasi bodoh. Pada mereka generasi pengkhianat. Pada mereka generasi pembeo. Pada mereka generasi pezina. Pada mereka generasi pemalas.

Duhai jiwa-jiwa perindu kemenangan. Bersiaplah, kemenangan itu telah dekat. Bersiaplah dengan aqidah yang kokoh. Bersiaplah dengan al bashirah. Bersiaplah dengan kekuatan azzam yang lurus. Duhai jiwa-jiwa pejuang. Nikmatilah, angin kemenangan telah berhembus. Nikmatilah, melangkah pada setiap kerikil tajam yang mengoyak. Jalan yang panjang lagi bertabur duri. Nikmatilah, merayap pada setiap kawat siap menyayat kulit. Nikmatilah, dengan semangat dan mujahadah. Dengan air mata curhat di hadapan Allah. Nikmatilah, dengan senyuman indah di hadapan manusia. Nikmatilah, dengan pengorbanan dan kesabaran.

Duhai jiwa-jiwa perindu kemenangan. Lihatlah, bendera kemenangan sudah berada di depan mata. Lihatlah, ada kilauan mutiara yang hendak mengalihkan perhatianmu. Ada kesenangan dunia yang hendak melenakanmu. Lihatlah, ada godaan syahwat yang terus meronrong imanmu. Ada kenikmatan semu yang hendak membuaimu. Lihatlah, ada rengekan istri-istrimu yang meminta ditemani. Ada tangis anak-anakmu yang meminta dibelikan mainan. Lihatlah, ada tuntutan orang tuamu untuk membuatnya tersenyum. Lihatlah, syaithan bersarang dalam dada mengalir dalam darah. Lihatlah, syaithan masuk dalam semua lini tuk membuatmu berkata; “Apa gunanya aku memperjuangkan ini? Apa yang kudapat di jalan ini? Yang ada hanya kelaparan dan rasa takut. Yang ada hanya penderitaan dan kesedihan. Sungguh terlalu berat beban yang harus ditanggung. Toh masih ada orang lain. Mengapa mesti aku?

Aku sudah lelah di jalan ini. Aku tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan” Akhirnya engkau mengatakan; “Aku mundur dari jalan ini…”

Kemudian menghilang tanpa jejak. Hingga, engkau ditemukan tanpa beda dengan para pengejar dunia. Habiskan waktu hanya untuk uang dan uang. Tak beda dengan para preman. Habiskan waktu untuk merusak. Tak beda dengan para hidung belang. Mata jelalatan. Tak beda dengan para pelacur. Berpakaian tapi telanjang.

Tak beda dengan penyembah kuburan. Beribadah tapi juga ke dukun. Tak beda dengan orang kafir. Bahkan juga ikut menghancurkan Islam.

Duhai jiwa-jiwa perindu kemenangan. Sudah teguhkah azzam yang kau pancang? Benarkah perjuanganmu karena Allah? Mundurlah, dan luruskan kembali niatmu. Jika, nafsu masih merajaimu. Kilauan permata masih menyilaukanmu Kesenangan dunia masih melenakanmu Syaithan masih bersarang di dadamu dan menjadi teman setiamu. Kenikmatan semu masih membuaimu dan menutup mata batinmu. Percayalah, semua itu adalah keindahan sesaat yang akan menggoyahkan tekadmu. Allah Azza Wa Jalla sengaja ciptakan itu sebagai ujian bagimu! Berbahagialah jika kau menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai tujuan akhirmu, puncak kerinduanmu. Dan jadilah sebagai orang-orang yang beruntung! Untukmu, duhai jiwa-jiwa perindu kemenangan. Untukmu setiap diri yang mengaku penuntut ilmu. Untukmu setiap diri yang mengaku ahli ibadah. Untukmu setiap diri yang mengaku sebagai pejuang. Untukmu setiap diri yang mengaku aktivis dakwah, mengajak kepada jalan yang lurus. Ketika jalan ini mulai terasa berat dan melelahkan. Maka ingatlah azzam yang dipancangkan sebelumnya. Luruskan kembali niat. Apakah dunia yang fana lebih kau cintai daripada kampung akhirat yang kekal abadi?

Dakwah telah memanggilmu! Umat menunggu pencerahan darimu! Letih sudah mata ini menyaksikan kemaksiatan merajalela. Lelah sudah kaki melangkah, karena setiap jengkal yang dipijak, bumi merasa terdzolimi oleh manusia-manusia tak beradab. Lunglai tubuh ini ketika mendapati hukum-hukum Allah diganti dengan hukum-hukum makhluk yang hanya menebar kerusakan. Perih hati ini ketika menemukan thoghut-thoghut bersarang di dalamnya. Menangis batin ini menyaksikan saudara-saudara seiman, seislam, dan seaqidah saling caci, saling menyalahkan, saling bermusuhan. Lalu ke mana perginya ukhuwah? Apakah ukhuwah hanya berlaku pada segolongan atau sekelompok umat yang bernaung dalam satu jamaah?

Untukmu, jiwa-jiwa perindu kemenangan dipersembahkan sepucuk surat perjuangan ini. Jangan pernah engkau tinggalkan jalan ini. Jangan pernah engkau tanggalkan pakaian perjuangan yang telah engkau pakai. Sebagai penutup dengarkanlah khutbah Ibnul Jauzy:

“Wahai Manusia, mengapa kalian melupakan agama kalian? Mengapakah kalian menanggalkan harga diri kalian? Mengapa kalian tidak mau menolong agama Allah, Sehingga Allah pun tidak menolong kalian? Kalian kira harga diri (‘izzah) itu milik orang musyrik, padahal Allah telah jadikan harga diri itu milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Celakalah kalian! Tidak pedih dan terlukalah hati kalian melihat musuh-musuh Allah dan musuh kalian menyerang tanah air kalian yang telah disuburkan oleh bapak-bapak kalian dengan darah? Musuh menghina dan memperbudak kalian. Padahal dulu kalian adalah para pemimpin dunia! Tidaklah hati kalian bergetar dan emosi kalian meledak menyaksikan saudara-daudara kalian dkepung dan disiksa dengan berbagai siksaan dari musuh? Hanya makan minum dan bernikmat-nikmat dengan kelezatan hidup sajakah kalian. Sementara saudara-saudara mu disana berselimutkan jilatan api. Bergelut dengan kobarannya dan tidur diatas bara?
Wahai Manusia! Sungguh perang suci telah dimulai. Penyeru jihad telah memanggil. Pintu-Pintu langit telah terbuka. Jika kalian tidak mau menjadi pasukan berkuda dalam perang. Bukalah jalan untuk kaum wanita agar mereka bisa berperang! Pergi sajalah kalian dan ambillah kerikil dan celak mata. Wahai wanita bersurban dan berjenggot! Jika tidak, pergilah mengambil kuda-kuda. Inilah dia tali kekangnya untuk kalian…..! Wahai manusia, tahukah kalian dari apa tali kekang ini dibuat? Kaum wanita telah memintalnya dari rambut mereka. Karena mereka tidak punya apa-apa selain itu.

Demi Allah, Ini adalah gelungan rambut wanita-wanita pingitan yang belum pernah tersentuh oleh sinar matahari. Karena mereka sangat menjaga dan melindunginya; mereka terpaksa memotongnya karena zaman bercinta sudah selesai dan babak perang suci telah dimulai,babak baru perang di jalan Allah! Jika kalian masih tidak sanggup mengendalikan kuda, ambil saja tali kekang ini dan jadikanlah sebagai kucir dan gelang rambut kalian, Sebab tali kekang itu terbuat dari rambut wanita!
Sungguh, berarti tidak ada lagi perasaan dalam diri kalian!”

Setelah itu Ibnul Jauzi melempar tali kekang itu dari atas mimbar dihadapan khalayak ramai seraya berteriak lantang. “Bergeraklah wahai tiang-tiang masjid. Retakkanlah wahai bebatuan, dan terbakarlah wahai hati! Sungguh hati ini sakit dan terbakar, para lelaki telah menanggalkan kejantanan mereka!”

Dari Sudut Serambi Madinah; Subhan Husain (www.wimakassar.org)

Membangun Peradaban Islam

Bila ada yang bertanya apa salahnya peradaban kita hari ini sehingga kalian begitu bersikeras ingin membangun peradaban yang ‘baru’?? Maka jawabannya peradaban kita hari ini begitu ambruk, jatuh, berantakan, tak terkendali dan tidak manusiawi. Sehingga untuk alas an kehidupan yang lebih baik, harus segera dikembalikan ke peradaban yang kuat, tinggi, teratur, terkendali dan manusiawi.

Realitas hidup yang kita saksikan setiap saat di media-media bahkan di lingkungan kita sebagai bukti itu semua. Penindasan, kesemena-menaan, korupsi, kesenjangan social, manipulasi, legalitas zina, dan yang paling parah kesyirikan yang merajalela.

Arti peradaban

Telah populer dalam kalangan akademis, istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah “budaya”. Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai “seni, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat”. Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah tentang penggabaran yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial serta beragam kegiatan ekonomi dan budaya.
Dari sini telah dapat dipahami bagaimana sebuah perdaban yang unggul itu seharusnya.

Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam potongan haditsnya yang diriwayatkan imam Ahmad dan imam Addaarimiy tentang ketika datang kepada beliau seseorang yang ingin bertanya apa itu kebaikan dan dosa, maka beliau berkata “istafti qalbaka! Bertanyalah pada hatimu!

Pembaca yang budiman, maka sekarang bertanyalah pada hati kita, bagaimana budaya kita? Bagaimana nilai seni, adat istiadat, kebiasaan dan kepercayaan masyarakat kita?

Budaya kita hari ini adalah budaya yang sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan gaya hidup orang kafir. Begitu pula seni, adat istiadat, kebiasaan bahkan pengamalan agama pun ikut-ikutan terpengaruhi.

Realitas hidup yang kami sebutkan di atas sama sekali bukan budaya kita, bukan adat kita, bukan ajaran agama kita. Namun itulah realitas, dan itu itulah peradaban yang hancur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun peradaban

Kini kita harus kembali membuka lembaran sejarah untuk belajar bagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam membangun peradaban Islam. Dan dari sanalah kita harus belajar sebab sebagaimana kata imam Malik –rahimahullah-, la yasluhu hadzihil ‘ummah illa bima sholuhat awwaluhaa. Tidak mungkin bisa baik ummat hari ini, kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi yang awal. Dan masa itu diawali dengan peristiwa hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama generasi-generasi awal Islam menuju kota madinah.

Setidaknya dua pelajaran besar harus kita petik dari peristiwa ini, agar tidak salah langkah dan cita-cita kita terwujud.

Pertama: Memakmurkan Masjid. Tak dapat disangkal, bahwa betapa besar perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan masjid, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar mengoptimalkan fungsi masjid. Bukan hanya untuk melakukan, sholat, mengaji, zikir, I’tikaf dll, akan tetapi disana pulalah pusat dakwah, pusat pendidikan dan pengajaran bahkan di masjid pula terkadang Rasululllah menyelesaikan masalah-masalah bahkan menjadi pusat komando prajurit bila terjadi peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk membangun beradaban yang gemilang maka ummat ini harus digiring untuk senantiasa memakmurkan masjid. Dan sebaliknya bila masjid telah ditinggalkan dan kita sibuk dengan rumah kita, toko kita, kantor kita, untuk segala urusan, maka hati akan saling berjauhan, berpisah-pisah, maka lahirlah nafsi-nafsi yang ujungnya adalah kehidupan manusia yang mirip realitas kita hari ini.

Kedua: Membangun persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) guna tercapainya persatuan Islam (wahdah Islamiyah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diawal hijrahnya, langsung mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar sehingga terjadilah hubungan sosial yang baik, solidaritas yang kuat, perasaan sepenanggungan dan yang lebih hebat, sikap tolong-menolong yang begitu kental.

Kita lihat persaudaraan mereka adalah persaudaraan agama, bukan lagi persaudaraan berdasarkan kesukuan sebagaimana yang berjalan sebelum itu. Melalui semangat persaudaraan Islam ini, maka persatuan Islam (wahdah Islamiyah) begitu kokoh, hasilnya, gelinding peradaban Islam yang mulia pun tak dapat dibendung oleh kekuasaan apapun saat itu.

Disini penting diperhatikan. Sebab realita tak dapat berkata dusta. Hari ini kita melihat kelompok-kelompok Islam sudah mulai berlebih-lebihan dalam mengidentifikasi diri. Hampir bila tidak tampak ukhuwah Islamiyah diantara mereka. Masing-masing merasa jalannya yang paling benar menuju penegakan Islam. Bahkan ada aroma kebanggaan “kullu hisbin bima ladaihim farihum” yang mulai terasa. Ini terlihat dari berbagai perseteruan yang kerap terjadi antara kelompok-kelompok Islam, dibanding usaha riil menuju persatuan (maaf aliran sesat tidak masuk dalam konteks pembicaraan). Sesama gerakan dakwah saling serang dan saling bantah. Aktivitas yang benar-benar menguras tenaga, mematikan potensi, dan melumpuhkan kemajuan.

Karenanya, dalam hal ini, harus ada usaha penyatuan yang khusus untuk mengikis runcingnya bilah perbedaan penyebab perseteruan. Kesatuan ummat Islam untuk sebuah peradaban yang maju akan terwujud cepat bila masing-masing memiliki kesadaran untuk memprioritaskan kesatuan dan lebih banyak mencari persamaan ketimbang perbedaan. Lalu setelah itu bersama-sama menegakkan dien dalam ikatan persatuan yang kokoh. Karena untuk tercapainya iqomatuddien, membutuhkan banyak potensi yang bisa diarahkan pada satu ujung tombak perjuangan.

Membangun peradaban butuh pejuang

Setiap perbuatan yang dilakukan manusia, mengandung konsekuensi dipuji atau dicela. Dipuji oleh satu pihak dan dicela oleh pihak yang lain. Tak ada satupun tindakan yang dipuji oleh semua manusia meskipun itu tindakan yang sangat-sangat baik. Dan satupun juga tindakan yang dibenci oleh semua manusia di dunia, meskipun itu tindakan yang jelas-jelas jahat dan buruk.

Oleh karena itu dalam membangun peradaban Islami dibutuhkan dari ummat ini orang-orang yang bermental pejuang yang tak haus pujian manusia, yang tak gemar memburu ridha manusia meski membuat Allah marah. Dan pula sabar menghadapi tantangan. Karena demikianlah kemenangan dijanjikan dengan kesabaran. “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaran itu dan bersiap-siagalah dan bertaqwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu meraih kemenangan.” (Terjemah QS. Ali Imran : 200)

Perjuangan mewujudkan peradaban Islam, peradaban yang bermartabat, yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya memerlukan waktu yang panjang. Untuk dapat menaklukkan konstantinopel, ummat Islam membutuhkan waktu sekitar 800 tahun. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam wafat sekitar tahun 636 M. semasa hidup beliau pernah mengabarkan bahwa Islam suatu ketika akan menaklukkan Konstantinopel. Ternyata penaklukan Konstantinopel baru terjadi pada tahun 1453 lalu pada tahun 1099 M, kota Yerussalem kembali jatuh ke tangan pasukan salib. Umat Islam baru merebut kembali kota Yerussalaem pada tahun 1187 M. itu artinya, umat Islam harus menunggu waktu selama 88 tahun untuk merebut kembali Yerussalem.

Maka kini para pejuang harus sadar, bahwa perjuangan itu panjang, dibutuhkan pula nafas panjang agar bias tetap eksis di jalan perjuangan. Nafas itu harus terus bersambung dari generasi ke generasi, maka pendahulu harus mengkader generasi penggantinya ager benar-benar nafas perjuangan itu sampai di saat yang Allah tetapkan sebagai era indah dalam kehidupan manusia dibawah panji Islam dengan peradaban hidup yang madani.

Maka seorang muslim pejuang harus terus berjuang betapapun keadaannya lebih sulit dari sebelumnya. Adapun kesulitan-kesulitan tidak selayaknya menghentikan dia untuk berjuang. Bahkan dia harus berjuang lebih gigih dari pada waktu lampau.

Dr. Mohammad Natsir, pada 17 Agustus 1951 menulis sebuah artikel berjudul “Jangan berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” kami kutip dari tulisan Dr. Adian Husaini majalah Islam ar-risalah, Desember 2009 hal. 32 beliau berpesan:

“Dahulu mereka riang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu Negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan berates tahun yang lampau…

Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menunntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat-sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”

(Copy Paste dari tulisan Ust Syahrullah Hamid yang Diterbitkan di Buletin al-Balagh edisi 03 Muharram 1433 H dan http://wimakassar.org/wp/2011/12/16/membangun-peradaban-islam/)

Rahmatan Lil Alamin

Tidak lama setelah Nabi wafat Ummat Islam “mengusir” tentara Romawi dan “menduduki” Syria. Di zaman Umar Ibn Khatab kekaisaran Persia “ditaklukan” dan Palestina “dikuasai”. Pada awal abad VIII Spanyol dibawah kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth “ditundukkan” oleh Thariq bin Ziad. Di Mesidr ummat Muslim yang berada dibawah komando Amr bin al-As “memukul mundur” pasukan Bizantium dan “menguasai” orang-orang Kristen Koptik. Pada abad XV kota Kostantinople, salahsatu bagian dari kekaisaran Romawi “ditaklukan” panglima muda al-Fatih. Di dunia Melayu ummat Islam “mengusir” kepercayaan animisme, dinamisme dan agama-agama kultural lainnya.

Istilah-istilah mengusir, menduduki, menaklukan, menguasai, mendesak dan sebagainya adalah bahasa politik dan bersifat negatif. Tapi apa yang sebenarnya terjadi jauh dari kesan itu. Sebab, ketika Islam masuk Syria orang-orang Kristen merasa selamat dari Romawi dan Yunani. Michael the Elder, Patriach dari Jacobus mengakui “Tuhan telah membangkitkan putera-putera Ismail dari selatan (maksudnya Muslim) untuk menyelamatkan kita dari Romawi”.
Ketika pasukan Muslim dibawah pimpinan Abu Ubaidah mencapai lembah Jordan, penduduk Kristen setempat menulis surat kepadanya. Isinya “kami lebih bersimpati kepada saudara daripada orang-orang Romawi, meskipun seagama dengan kami ... Pemerintah Islam lebih adil dari pemerintah Byzantium”.

Pada waktu Umar memasuki Yerussalem ia menadatangani perjanjian. Diantara isinya:” ... gereja tidak akan berubah menjadi tempat kediaman, tidak akan dirusak, ... salib-salib atau harta mereka tidak akan diganggu ... dan tidak seorangpun dintara mereka akan dianiaya”. Orang tidak pernah konflik dengan ummat Kristen. Justru konflik antar sekte di Gereja Holy Sepulrchre, atau the Chuch of the Resurrection didamaikan oleh Islam.

Abdul Aziz Marwan Gubernur Mesir memberi izin orang-orang Kristen pegawai istana untuk mendirikan gereja di Halwan. Di Andalus Islam, Kristen, Yahudi hidup damai bertahun-tahun. Seorang specialist sastara Iberia di Universitas Yale, Maria Rosa Mencoal dalam karyanya berjudul The Ornament of the Word (2003) berterus terang. Ia menulis “Toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus dan nasib non Muslim lebih baik daripada dibawah Kristen Eropah”.Tapi berakhirnya kekuasaan Islam, berakhir pula toleransi itu.

Jika fakta-fakta ini dicermati, istilah menguasai, menaklukan, mengusir, dan bahkan menjajah tidak layak untuk dipakai. Yang lebih cocok, sesuai dengan namanya,Islam ‘menyelamatkan’ atau ‘membebaskan’ bangsa-bangsa tertindas. Maka tidak heran jika Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam menyatakan:”Kemenangan kaum Muslimin berarti kebebasan beragama (bagi non Muslim), sesuatu yang telah berabad-abad mereka dambakan”. Anehnya Bernard Lewis menganggap toleransi dalam Islam tidak ada asal-usulnya.

Rahmat Islam yang lain ada dalam keseluruhan ajarannya. Syariatnya menjaga jiwa, keturunan, agama, harta dan akal manusia dari kehancuran. Ritual peribadatannya menyentuh aspek jiwa dan raga, aspek sosial dan individual, aspek spritual dan material. Prinsip hidupnya seimbang tidak materialis tidak spritualis, tidak melulu dunia atau melulu akhirat. Sayyid Qutb mensifatinya dengan istilah tawazun. Pengharagaannya pada orang kaya dan orang miskin, pria dan wanita sama meski tidak harus memakai toeri gender dan diklaim sosialistis atau feministis.
Konsep Tuahannya “transenden” artinya jauh dan tak terjangkau. Tidak serupa apapun, karena itu tidak bisa diberhalakan. Tapi juga “immanen”, lebih dekat dari urat nadi kita. Dan yang terpenting Allah dalam Islam bersifat Alim (Maha Tahu). Karena itu wahyu yang diturunkan-Nya sarat dengan perintah berfikir dan mencari ilmu. Dari kitab suci itupula lahir berbagai disiplin ilmu. Ulum Al Qur’an, Tafsir, Hadits, Fiqih, Kalam, Tasawuf, mawarits, Nahwu dan sharaf lahir dari sebab memahami al-Qur’an.

Inilah rahaisianya mengapa Islam menjadi rahmat dunia dengan ilmu. Dengan iman dan ilmu khazanah keilmuan Yanani, Persia, India, Mesir dan sebagainya dihidupkan. Dari India Muslim menemukan angka nol. Asas bagi matematik dan ilmu komputer masa kini. Di Pesria Ibnu Syatir mengembangkan astronomi yang buku-bukunya mengispirasi Coperniscus menemukan teori heliosentrisme. Di Baghdad Ibn Haitham menemukan teori optick.Tanpa teori ini camera tidak akan pernah wujud.

Di zaman Umayyah di Spanyol dan Abbasiyah di Baghdad budaya ilmunay sangat tinggi. Di Cordoba saja terdapat 75 perpustakaan. Lebih ramai dari mall di zaman postmodern. Di Baghdad koleksi seorang Ulama mencapai 400 judul buku. Menjadi ulama lebih bergengsi daripada menjadi pengusaha. Inilah peradaban ilmu.

Tapi ilmu bukan sekadar ilmu, tapi juga menjadi amal alias teknologi.Di Spanyol waktu itu irigasinya tercanggih di dunia. Hasil panennya memberi makan orang Spanyol yang kelaparan dan tertindas. Tatakotanya tidak ada duanya di Eropah. Menurut Tertius Chandler dalam, Four Thousand Years of Urban Growth: An Historical Census populasi Cordoba waktu itu sekitar 500 ribu, mengalahkan Konstantinopel. Kemakmurannya mengalahkan penduduk Eropah. Sains dan teknologi yang lahir karena al-Qur’an dan kecerdasan jiwa-jiwa yang beriman dan betauhid. Itulah “misykat” kehidupan.

Tauhid inilah yang digambarkan dalam al-Qur’an surah Ibrahim (24-25) sebagai “kalimat tayyibah” (kalimat yang baik), dan peradaban ilmunya sebagai “syajarah tayyibah” (pohn yang baik). Pohon itu memberi makan atau menghidupi orang pada setiap musimnya, dengan izin Tuhannya. Tujuannya satu, “agar mereka ingat nikmat Tuhannya”. Tapi begitulah manusia, banyak yang telah memakan buah (rahmat) peradaban Islam dan banyak yang tidak ingat. Allah Maha Besar.(Disalin dari tulisan Dr Hamid Fahmi Zarkasyi (Direktur INSISTS) di Jurnal Pemikiran Islam Republika-ISLAMIA Edisi Kamis,23 Oktober 2011,hlm.26).