Sabtu, 28 April 2012

Wudhu, Bersihkan Diri Sucikan Hati


Adalah Ali bin Husein, apabila beliau berwudhu maka wajah beliau berubah menjadi pucat. Tatkala beliau ditanya, “Apakah yang terjadi pada Anda saat berwudhu?” Beliau menjawab, “Tahukah kalian, di hadapan siapa aku hendak berdiri menghadap?”

Lazimnya, tatkala seseorang hendak menemui seorang pejabat yang dihormati dan dicintai misalnya, ia akan memperbagus tampilan sebelum bertemu. Ia akan bersih diri, memakai pakaian yang paling bagus dan memakai minyak yang paling wangi. Ia pun akan bercermin dan meneliti secara detil hal-hal yang sekiranya dapat mengundang kesan tidak baik dalam pandangan pejabat yang dimaksud. Itupun disertai perasaan gugup, takut dan sekaligus berharap akan mendapat sambutan yang baik. Begitulah keadaan seseorang yang hendak menghadap pejabat. Lantas bagaimana keadaan seorang hamba yang sedang mempersiapkan diri untuk menyambut panggilan Pencipta-nya untuk menghadap?

Alasan inilah yang membuat raut wajah Ali bin Husein berubah. Beliau memahami bahwa shalat berarti menghadap dan menyambut undangan Pencipta yang berkuasa untuk berbuat apapun terhadapnya. Sedangkan wudhu adalah persiapan untuk menyambut undangan agung tersebut.

Adapun sekarang, betapa sedikit orang yang mencapai penghayatan demikian dalam. Wudhu hanya sebatas formalitas dan aktifitas lahir yang tidak menyertakan amal bathin. Sehingga, amal yang sejatinya besar ini tidak banyak memberikan pengaruh yang signifikan ke dalam hati, selanjutnya nihil pula dampaknya dalam amal perbuatan.

Wudhu dan Kesucian Hati

Sejatinya, wudhu memiliki dua dimensi kesucian yang menjadi tujuan. Suci lahir dan suci batin. Sisi lahir adalah sucinya anggota badan, dan sisi batinnya adalah penyucian hati dari noda dosa dan maksiat dengan bertaubat. Oleh karena itu Allah menyandingkan antara taubat dan thaharah (bersuci) dalam firmanNya,

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Bada’i al-Fawa’id menjelaskan ayat ini, “Bersuci yang dimaksud ada dua hal; bersuci dari hadits dan najis dengan air, dan bersuci dari kesyirikan dan kemaksiatan dengan taubat. Dan poin kedua inilah yang menjadi inti. Karena bersuci dengan air tidaklah berguna tanpa bersuci dari syirik dan maksiat. Maka mempersiapkan dan mencurahkan kesungguhan untuk mendapatkan kesucian hati lebih diprioritaskan. Sebagaimana seorang hamba tatkala masuk Islam, dia terlebih dahulu membersihkan kesyirikan dengan bertaubat, baru kemudian bersuci dari hadats dengan air.”

Pada kesempatan yang lain, dalam Kitab Ighaatsatul Lahfaan beliau juga berkata, “Dengan hikmah-Nya, Allah menjadikan kebersihan sebagai persyaratan untuk berjumpa dengan-Nya, karena itu seorang yang melaksanakan shalat tidak boleh bermunajat dengan-Nya kecuali setelah bersuci. Demikian pula Allah menjadikan kebersihan dan kebaikan sebagai syarat untuk masuk jannah, sehingga tidak masuk jannah kecuali orang yang baik dan suci. Itulah dua jenis kesucian, suci badan dan suci hati. Karena itu, orang yang selesai berwudhu diperintahkan berdoa,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ.

“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikan aku termasuk orang-orang yang banyak bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang beriman.”  (Lafal ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, shahih dan memiliki beberapa syawahid, seperti yang diutarakan oleh al-Albani dalam al-Irwa’)

Kebersihan hati diperoleh dengan bertaubat dari dosa, sedangkan kebersihan badan bisa diperoleh dengan air. Tatkala seseorang telah memiliki dua macam kebersihan, maka ia layak untuk berjumpa dengan Allah.”

Dan Dosa pun Berguguran


Dosa bagi hati, laksana penyakit bagi badan. Setiap kali bertambah dosa, bertambah pula tingkat keparahan penyakit yang diderita oleh hati. Hingga tatkala tak diiringi dengan penawar, sementra penyakit bertambah akut, lambat laun hati akan mati. Dosa juga menimbulkan karat di hati. Setiap kali jasad melakukan satu dosa, muncullah satu bercak hitam di hati. Jika tidak dibersihkan dan dosa terus bertambah, maka bercak hitam akan memenuhi permukaan hati, hingga hati menjadi buta, gelap dan tertutup dari cahaya iman. Inilah ‘rona’ yang dimaksud dalam firman Allah,

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Muthaffifiin;14).

Wudhu menjadi salah satu penggugur dosa dan pembersihnya, hingga racun hati menjadi tawar, penyakit menjadi hilang dan karat di hati menjadi bersih. Nabi shallallahu alaihi wasallam,

“إِذَا تَوَضّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ (أَوِ الْمُؤْمِنُ) فَغَسَلَ وَجْهَهُ، خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) حَتّى يَخْرُجَ نَقِيّاً مِنَ الذّنُوبِ”.

“Jika seorang hamba Muslim atau Mukmin berwudhu lalu membasuh wajahnya, akan keluar dari wajahnya setiap dosa yang dilakukan kedua matanya bersamaan dengan keluarnya air atau tetesan air yang terakhir. Jika dia membasuh tangannya, akan keluar dari kedua tangannya setiap dosa yang pernah diperbuat oleh kedua tangannya itu bersama air atau tetesan air yang terakhir. Jika dia membasuh kedua kakinya, akan keluar setiap dosa yang pernah diperbuat oleh kedua kakinya bersama dengan air atau tetesan air yang terakhir, sehingga dia akan keluar dalam keadaan benar-benar bersih dari dosa.” (HR. Muslim)

Wudhu pun harus Khusyu’

Seyogyanya, kita hadirkan hati dan batin kita saat berwudhu. Sadar bahwa anggota wudhu yang kita basuh kerap melakukan dosa, dan kita berharap agar Allah menggugurkan dosa bersamaan tetesan air wudhu. Bukankah apa yang kita basuh di saat wudhu adalah anggota badan yang sering bersentuhan langsung dengan maksiat? Mata memandang yang haram berkali-kali, tangan berbuat aniaya bertubi-tubi, kaki melangkah ke tempat-tempat yang tidak Allah ridhai? Begitupun dengan lisan yang tak terkendali, hingga disunnahkan pula untuk berkumur sebagai penyuci.

Sertakan pula penyesalan dan taubat hati dari segala hal yang bisa mengotori, agar ia menjadi suci. Inilah yang disebut dengan wudhunya hati atau wudhu batin. Seperti perbincangan di antara dua ulama dan ahli ibadah berikut ini,

Suatu hari, Isham bin Yusuf menghadiri majlis Hatim Al-Asham, Isham bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, bagaimanakah cara Anda shalat?” Hatim menjawab, “Apabila masuk waktu shalat aku berwudhu dengan lahir dan bathin.” Isham bertanya, “Bagaimana maksud wudhu lahir dan bathin itu?” Hatim menjawab, “Wudhu lahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sementara wudhu bathin adalah membasuh hati dari tujuh perkara; bertaubat, menyesali dosa yang dilakukan, tidak tergila-gila oleh dunia, tidak mencari pujian orang (riya’), tidak gila jabatan, membersihkan dari kebencian dan kedengkian.”

Antara Air dan Sucinya Hati

Bersuci dengan air memang memiliki kaitan erat dengan bersihnya hati dari dosa. Karenanya, dalam salah satu doa Nabi shallalahu alaihi wasallam berbunyi,

اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

“Ya Allah cucilah dosa-dosaku dengan air, dan salju dan barad (air hujan es).” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, “Bagaimana Allah membersihkan kesalahan-kesalahan dengan air dan salju? Bukankah air panas lebih efektif untuk membersihkan kotoran?”

Beliau menjawab, “Kesalahan-kesalahan menyebabkan hati menjadi panas, kotor dan lemah. Akibatnya, hati menjadi lembek, sementara api syahwat berkobar di dalamnya. Kesalahan dan dosa ibarat kayu bakar yang tersulut api, semakin banyak kesalahan, maka nyala api di hati semakin besar, dan hati semakin lemah. Air akan membersihkan kotoran sekaligus mematikan api. Apabila air tersebut dingin, ini bisa menjadikan badan lebih kuat dan lebih kokoh. Bila air tersebut disertai dengan salju dan barad, maka akan lebih menyegarkan, menguatkan dan mengokohkan badan. Dengan demikian, ia lebih banyak menghilangkan dampak dan pengaruh dari  kesalahan-kesalahan tersebut.”

Begitulah keagungan wudhu, hingga kita pun tahu, tak ada satu syariatpun yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, kecuali mengandung maslahat yang besar. Bukan sekedar formalitas, apalagi hanya iseng. Bahwa ada yang belum merasakan efeknya secara signifikan, itu dikarenakan minimnya pengetahuan, di samping masih jauh dari pengamalan yang benar. Semoga wudhu kita bisa menjadi pembersih bagi diri dan hati kita. (Abu Umar Abdillah/www.arrisalah.net)

Menyikapi Kebrutalan Zionis Israel

Muslimin Indonesia harus menyusun langkah melawan hegemoni Yahudi.  Syaratnya ukhuwah Islamyah tak hanya di lisan. Apalagi masih bangga kelompoknya sendiri.

Hari-hari ini, kaum Muslim seluruh dunia menyaksikan kebrutalan yang membabi buta kaum Zionis  terhadap kaum Muslim di Palestina dan Lebanon. Setiap hari, jet-jet tempur beserta tank-tank Israel membunuhi warga Muslim. Dunia mengutuk serangan Israel itu. Tetapi, semuanya tidak berdaya, tidak mampu mencegah kebrutalan Israel. Padahal, dari segi hukum internasional, aksi sepihak Israel yang menyerbu Lebanon jelas-jelas tidak dibenarkan.

Tetapi, kaum Zionis Israel tidak mempedulikan hal itu. Mereka merasa lebih kuat, dan menganggap remeh protes dunia Islam terhadap kebrutalan mereka. Pada akhir Juli 2006,  Israel bahkan menyerang tempat pengungsian penduduk sipil di Desa Qana, sehingga membunuh lebih dari 60 warga  Lebanon –37  diantaranya adalah anak-anak. Seketika itu kemudian dunia mengecam Israel. Tetapi, tetap saja, hal itu tidak mampu menghentikan kebiadaban kaum Zionis Israel.

Umat Islam dan dunia Islam, sejauh ini, hanya mampu melakukan protes, menangis, mengeluarkan resolusi dan kutukan demi kutukan. Tetapi, tidak ada yang digubris oleh Israel. Sepertinya, Israel sudah hafal langgamkaum Muslim. Jika dibantai atau dipecundani, kaum Muslim akan marah dan melakukan aksi demontrasi. Setelah itu, lama-lama lupa pada masalahnya, lalu diam. Megapa umat Islam begitu mudah untuk diperdaya dan dipecundangi ? Tidak adakah kemuliaan bagi kaum Muslimin? Padahal, dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjamin :

“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran: 139).

Jadi, umat Islam harusnya menjadi umat yang mulia, umat yang disegani, umat yang terbaik yang menjadi saksi atas umat manusia lainnya. Tetapi, semua itu tidak akan terjadi, jika umat Islam meninggalkan syarat-syarat untuk dapat menjadi umat yang mulia.

"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (kamu) menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemunkaran, serta beriman kepada Allah." (QS Ali Imran:110). Jika kaum Muslim meninggalkan syarat untuk menjadi mulia, maka mereka akan menjadi umat yang hina.

Kondisi umat Islam yang tidak berdaya menghadapi kebiadaban kaum Zionis Israel seperti mencerminkan apa yang telah digambarkan oleh Rasulullah saw:

“Hampir tiba suatu zaman dimana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.” Maka salah seorang sahabat  bertanya: “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?”  Nabi  menjawab: “Bahkan, pada hari itu jumlah kamu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu banjir, dan Allah akan mencabut rasa  gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit al wahnu.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?”  Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam  menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud)

Tanpa perlu melakukan riset yang rumit, dengan mudah dapat dilihat, bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat mirip dengan apa yang digambarkan Rasulullah  tersebut. Di berbagai belahan dunia, umat menghadapi ujian dan cobaan yang berat. Umat Islam diperlakukan dengan sangat hina. Tidak disegani dan ditindas dimana-mana. Di Palestina, Moro, Xin Jiang, India, Kashmir,

Thailand Selatan, dan di berbagai belahan dunia lainnya, umat Islam menghadapi penindasan dalam berbagai bidang kehidupan. Umat Islam, yang jumlahnya sekarang sekitar 1,3 milyar jiwa, bernasib seperti buih, kehilangan kepercayaan diri,  diombang-ambingkan situasi dan kondisi. Untuk menyelesaikan masalah Palestina saja masih belum  mampu. Bandingkan dengan kaum Yahudi yang jumlahnya hanya sekitar 15 juta jiwa, yang berani menolak  puluhan resolusi PBB, dan tidak gentar sedikit pun menghadapi protes dari seluruh penjuru dunia.

Sebagai Muslim kita tidak boleh berdiam diri terhadap perkembangan di Palestina dan Lebanon saat ini. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bangun pagi dan tidak peduli dengan masalah umat Islam, maka dia tidak termasuk bagian dari umat Islam.”

Secara umum, ada dua tanggung jawab muslim terhadap dunia Islam, yaitu (1) tanggung jawab risalah, dan  (2) tanggung jawab ukhuwah.  Tanggung jawab risalah wajib dilaksanakan oleh umat muslim berdasarkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang terdapat dalam sejumlah ayat Al Quran:

"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada  yang makruf dan mencegah kemunkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran:104).
Ayat-ayat Al Quran tersebut memberikan penjelasan yang tegas tentang kewajiban umat Islam untuk  melaksanakan dakwah, dalam arti melanjutkan risalah Rasulullah saw.

Ad-Dinul Islam diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala  melalui Rasul-Nya, Muhammad Shallallaahu 'alaihi Wasallam ., kepada seluruh manusia (QS 34:28).  Islam diturunkan bukan hanya untuk umat Islam semata. Islam diturunkan untuk menyelamatkan umat manusia, untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam (QS 21:107). Penegasan agar ajaran Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam juga tampak dari seruan Rasulullah  dalam Khutbatul Wada’, dimana Rasul  saw senantiasa menggunakan seruan “Ya ayyuhan naas…”. Ketika itu beliau berpesan, agar orang-orang yang hadir di Arafah, menyampaikan pesan-pesan kepada yang tidak hadir.

Karena mengemban misi yang sangat mulia -- yaitu untuk menyebarkan rahmat kepada seluruh alam, yang  dapat juga diartikan sebagai tugas untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran  -- maka umat Islam  diberi julukan dengan berbagai predikat yang agung, seperti “khairu ummah”, “ummatan wasatha”, dan  sebagainya.

Pada sisi lain, sebutan-sebutan indah itu juga mengindikasikan adanya perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar umat Islam menjadi umat yang mulia, umat yang disegani, umat yang kuat, dan umat yang agung; bukan umat yang hina dan lemah. Hal itu dapat dilihat, misalnya, pada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar umat Islam menghimpun segala macam kekuatan, agar mereka menjadi umat yang kuat.

Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu), kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengatahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya.”
(QS al-Anfal:60).

Mudah dipahami, dengan kondisi sebagai “umat yang mulia”, “umat yang kuat”, dan sebagainya, maka umat Islam akan dapat menjalankan fungsi dakwah dan amanah risalah kepada seluruh manusia, dengan lancar. Jika kondisi umat Islam sebaliknya, yakni umat yang lemah dan hina, maka umat Islam bukanlah menjadi  “subjek”, tetapi akan menjadi “objek”. Bukan menjadi da’i, tetapi malah menjadi “mad’u”, bukan menjadi  “penentu arah” perjalanan dunia, tetapi malah menjadi “yang diarahkan”.

Tanggung jawab yang kedua, yakni tanggung jawab ukhuwah, juga jelas-jelas merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS 9:71).

Umat muslim diibaratkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam  sebagai satu tubuh (kal jasadil wahid) atau satu bangunan  yang saling menguatkan (kal bunyan yasyuddu ba’dhuhum ba’dha). Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam juga mengibaratkan kaum Muslimin seperti penumpang yang bersama-sama berlayar ke tengah lautan. Di dalam kapal itu, ada satu penumpang yang bermaksud melobangi kapalnya untuk mengambil air. Jika seluruh penumpang membiarkan orang itu melobangi perahunya, maka binasalah dia dan juga seluruh penumpang.

Hanya di antara orang-orang beriman dapat menjalin ukhuwah Islamiyah, sebab ukhuwan Islamiyah adalahmanivestasi dari iman. Ukhuwah Islamiyah membutuhkan pengorbanan, lebih mementingkan kepentingan saudaranya sesama mukmin, ketimbang kepentingan dirinya.  Ditegaskan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam : “Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhihi maa yuhibbu linafsihi.” (Tidak/belum sempurna iman salah seorang kamu, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintai oleh dirinya sendiri.).

Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan tertinggi antar sesama muslim. Nilai persaudaraan ini lebih tinggi daripada persaudaraan yang dibangun di atas landasan  kesukuan, kebangsaan, atau hubungan darah sekali pun.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan dan Hari Akhir berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu orang tua sendiri, anak,  saudara kandung atau keluarga. Mereka itulah yang Allah telah tuliskan keimanan di hatinya dan  menguatkannya dengan pertolongan dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap (limpahan rahmat) Allah. Mereka itulah "hizbullah". Ketahuilah, bahwa sesunggguhnya "hizbullah" itulah yang pasti menang." (QS Al Mujadalah:22).

Ironinya, justru sekarang, persaudaraan muslim itu sudah ditinggalkan oleh umat Muslim, yang kiniterkoyak-koyak dan terpecah belah dalam berbagai paham nasionalisme sempit, bahkan terkadang sudah bersikap fanatis buta terhadap kelompoknya sendiri. Dalam situasi dimana saudara-saudara kita kaum  Muslim Palestina dan Lebanon menjadi mangsa keganasan dan kebiadaban Yahudi Israel saat ini  seyogyanya kaum Muslimin kini mampu menyatukan hati dan pikiran untuk melakukan gerakan perlawanan yang efektif dan serius.

Kaum Muslim di Indonesia, sudah harus mulai berpikir serius dalam merumuskan srategi perjuangan  melawan Yahudi. Sebelum melakukan perlawanan, umat Islam harus tahu persis, di mana posisi-posisi Yahudi di Indonesia. Perusahaan mana saja yang dibiayai Yahudi. iapa saja pendukung-pendukungnya di  Indonesia. Bagaimana cara mereka menguasai umat Islam. Semua itu harus dipelajari dan dikaji dengan serius oleh umat Islam, agar tidak salah dalam melangkah dan menyusun program perjuangan; agar tidak  sporadis dalam melawan kekuatan Yahudi yang sudah menggurita di berbagai sektor kehidupan: informasi, studi dan pemikiran Islam, keuangan, sampai barang-barang konsumsi rumah tangga.

Perjuangan melawan hegemoni Yahudi dan para kroninya adalah perjuangan yang panjang dan  membutuhkan keseriusan,  ilmu dan kesabaran. Maka, sudah saatnya umat Islam berusaha keras  pembangun posisi kemandiriannya, terutama dalam pemikiran, budaya, dan ekonomi. Sangatlah sulit dibayangkan, bagaimana kaum Muslim mau melawan Yahudi, sedangkan untuk air minum saja, umat Islam masih merasa nyaman mereguk air kemasan produk Yahudi.

Dan sangatlah mustahil untuk mengalahkan Yahudi dan kroninya, jika untuk pemikiran Islam saja, kampus-kampus berlabel  Islam bangga menjiplak pemikiran Yahudi, dan bahkan sejumlah kampus sudah memasukkan metode penafsiran Bibel Yahudi untuk menafsirkan Al-Quran sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir-Hadits. Wallahu a’lam.(Ust.DR. Adian Husaini/http://adianhusaini.com)

Jumat, 27 April 2012

“Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam”

PADA Hari Senin, 27 Februari 2012, saya mendapat undangan untuk mengisi acara bernama “Kegiatan Multikultur, Penguatan Nilai-Nilai Kebangsaan, Pembelajaran PAI

Berbasis Fitrah, dan Pemberdayaan Manajemen MGMP” di Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh “Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Agama Islam (PAI) SMK Provinsi DKI Jakarta”.

Sesuai undangan, Tema yang diminta ke saya adalah telaah terhadap buku yang berjudul “Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK” – selanjutnya disingkat Panduan Integrasi. (Diterbitkan oleh PT Kirana Cakra Buana, bekerjasama dengan Kementerian Agama RI, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima).

Dalam buku tersebut disebutkan, bahwa Latar belakang dan Tujuan diajarkannya pendidikan multikultur dalam PAI adalah: “Pendidikan multikultural adalah proses penanaman sejumlah nilai yang relevan agar peserta didik atau siswa dapat hidup berdampingan secara harmonis dalam realitas keberagaman dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola keberagaman menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan Indonesia, tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya.” (hal.xi).

Membaca tujuan itu, kita tentu bertanya, apakah selama ini PAI di sekolah-sekolah kita tidak mengarahkan anak didik untuk memahami multikulturalisme; dan apakah sudah begitu mendesaknya, sehingga kurikulum PAI harus dibebani dengan muatan pendidikan multikulturalisme?

Jika tujuannya adalah untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat-umat lain, maka sejak awal mula Islam sudah mencontohkan hal itu. Di dalam buku Panduan Integrasi, ini pun disebutkan contoh tentang Piagam Madinah yang memberikan jaminan kehidupan kemasyarakatan bagi pemeluk agama-agama lain.

Idealnya, sebelum memasukkan suatu materi dalam kurikulum PAI, diteliti dengan ilmiah, bahwa kurikulum PAI selama ini tidak atau kurang berwawasan multikultural, sehingga kurikulum tersebut perlu diubah, dikurangi, atau ditambah. Jika memang ada, pada bagian yang mana?

Sebagai kaum Muslim, kita diajarkan untuk tidak menutup diri terhadap istilah atau konsep-konsep baru dari luar Islam – seperti multikulturalisme. Tetapi istilah itu perlu diklarifikasi maknanya. Jika tidak sesuai dengan pandangan alam Islam (the worldview of Islam), maka perlu diberikan makna baru, seperti yang dilakukan para pendakwah Islam di Nusantara yang melakukan Islamisasi terhadap istilah “sorga, neraka, pahala, dosa, bakti,” dan sebagainya.

Itu perlu dilakukan, agar jangan sampai muncul kesan bahwa “Pendidikan Multikultural” kita masukkan ke dalam kurikulum PAI karena desakan eksternal atau memanfaatkan peluang ketersediaan finansial yang menjanjikan.

Sudah sama-sama kita pahami, jauh sebelum adanya istilah multikultural ini, secara konseptual maupun dalam realitas sejarah, Islam adalah agama yang terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah, Baghdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) memelopori satu Negara dengan Konstitusi tertulis, pertama di dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan

kebebasan beragama dalam perspektif Islam di Kota Jerusalem, tahun 636 M.
Sejarah sosial Islam sangat berbeda dengan sejarah kehidupan keagamaan di Barat yang beratus tahun menerapkan sistem Teokrasi (pemerintahan yang dilegalisasi Tuhan melalui wakil-Nya, yaitu Paus) dan mengalami konflik keagamaan yang sangat parah, sehingga menimbulkan trauma sejarah dan keagamaan yang mendalam. Dari sinilah muncul renaissance yang berujung kepada sekularisme-liberalisme dan penyingkiran nilai-nilai agama dalam kehidupan. (Tentang sejarah toleransi Islam, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, dan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2004); tentang sejarah sekalisasi di Barat, lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).

Memahami sejarah sosial suatu perdaban sangat penting, sebab makna suatu konsep tidak terlepas dari sejarah dan sistem (medan) makna yang ada dalam suatu peradaban. Tujuan untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat adalah baik. Perbedaan tidak identik dengan konflik. Dan Islam – sebagaimana diakui dalam buku ini – sudah berhasil mewujudkan kehidupan harmonis antar berbagai kelompok yang beragam.

Dengan logika ini, kita bertanya, lalu untuk apa dimasukkan “Pendidikan Multikulturalisme” dalam kurikulum PAI? Apa yang salah dengan kurikulum PAI selama ini?

Buku Panduan Integrasi ini menjelaskan latar belakang diajarkannya Pendidikan multikulturalisme: “Harus kita sadari bersama, bahwa keberhasilan negara-negara Barat ini memakan waktu atau sejarah yang panjang serta menerapkan cara, metode dan strategi yang berbeda-beda. Misalnya di Amerika Serikat sendiri, sudah berabad-abad menerapkan kebijakan ini, dan baru masa kini dinyatakan berhasil. Begitu juga Inggris, Perancis, dan Australia. Disebabkan karena klaim kebenaran inilah, nilai-nilai multikultural sekarang ini banyak didesakkan ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, khususnya umat Islam.” (hal. 34).

Menyimak pernyataan tersebut, kita patut bertanya dan bersikap kritis: Benarkah Negara-negara Barat berhasil menerapkan multikulturalisme? Mengapa di AS tidak kita jumpai ada menteri Muslim? Mengapa umat Islam di AS, Inggris, Australia tidak mendapatkan hak libur pada Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha? Mengapa umat Islam di Swiss dilarang membangun menara masjid? Apakah di Negara-negara Barat umat Islam diberi hak sama dengan kaum Kristen atau Yahudi? Jawabnya jelas: TIDAK!

Perlu dicatat, bahwa konsep Negara modern sekarang ini telah melakukan diskriminasi yang sangat kejam terhadap manusia. Yakni, hanya karena tempat kelahiran dan kewarganegaraan yang berbeda, manusia diperlakukan sangat diskriminatif. Padahal, manusia tidak pernah memilih tempat kelahirannya. Lihatlah, nasib TKI-TKW kita di luar negeri. Lihatlah nasib para imigran di berbagai negara! Bukankah mereka semua adalah manusia – yang katanya punya HAM dan tidak boleh diperlukan secara diskriminatif?

Keberagaman makna

Menyimak berbagai buku-buku tentang Pendidikan Multikulturalisme selama ini, pemahaman tentang “multikulturalisme” begitu beragam. Sebagaimana pernah kita bahas dalam CAP yang lalu, ada seorang guru besar sosiologi agama di sebuah Perguruan Tinggi Islam di Malang yang sangat gencar mempromosikan paham multikulturalisme.

Tahun 2009, sang profesor menyampaikan pidato pengukuhan guru besarnya dengan judul “Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial”. Sang professor mengajukan gagasan perlunya pengembangan studi agama berbasis paham multikulturalisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama. Ia menulis: ”Semua agama, apapun bentuk eksoteriknya (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya), kata Frithjop Schuon, berjumpa pada ranah transendental, yaitu Tuhan. Inilah dimensi esoterik agama, sekaligus jantung semua agama (the heart of religion).” (hal. 46).

Jelas, gagasan transendentalisme semacam itu tidak sesuai dengan Islam, yang menggariskan, bahwa setelah Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) diutus, maka syariat yang berlaku bagi umat manusia adalah syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Jika semua cara menyembah Allah Subhanahu Wata’ala dibenarkan, lalu untuk apa Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) diutus?

Contoh ketiga, sebuah buku berjudul Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (2011). Buku ini diberi kata ‘Pengantar Ahli’ oleh Prof. Dr. Muhaimin, M.A., guru besar UIN Malang. Sang guru besar menulis, bahwa saat ini sudah “mendesak sekali “membumikan” pendidikan Islam berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dipandang menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.” (hal. xiv).

Jika kita renungkan, penggunaan istilah “multikulturalisme sebagai paradigma baru Pendidikan Islam” itu pun sebenarnya sudah bermasalah. Jika multikulturalisme adalah konsep yang baik sejak dulu, kenapa baru sekarang dijadikan paradaigma bagi Pendidikan Agama Islam? Apakah Pendidikan Agama Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw tidak berbasis multikulturalisme? Selama ratusan tahun pesantren telah berdiri di Indonesia. Apakah mereka tidak berwawasan multikultural? Mana yang tepat: pendidikan Islam berbasis multikulturalisme atau pendidikan Islam berbasis Tauhid?

Dalam sebuah buku berjudul ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural karya Zakiuddin Baidhawi, ditulis: ”Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama... Pesan kesatuan ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu... Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah sebentuk manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity).” (hal. 45-46).

Inilah contoh-contoh pemaknaan multikulturalisme yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, penggunaan istilah ini memang perlu berate-hati.

Multikuturalisme dalam PAI

Dalam buku Panduan Integrasi ini, multikulturalisme didefinisikan sebagai berikut:
“Inti dan substansi dari multikultural adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, atau pun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.” (hal. 18).

Di antara nilai-nilai multikultur yang harus diajarkan dalam PAI adalah nilai “keadilan”, yang didefinisikan sebagai: “Kesadaran untuk memperlakukan orang lain tidak berat sebelah/tidak memihak dan tidak membedakan keberpihakan kepada sesama karena perbedaan warna kulit, golongan, suku, agama, ekonomi, jenis kelamin, dsb.” (hal. 65).

Terhadap definisi semacam itu, kita perlu memberikan catatan, bahwa dalam memahami suatu istilah atau konsep, maka yang penting dilakukan adalah penggunaan “cara pandang”, “framework”, atau lebih tepatnya “worldview”. Seorang muslim seyogyanya menggunakan worldview of Islam (pandangan alam Islam) ketika menilai konsep atau istilah. Itulah yang dilakukan umat Islam sepanjang zaman. Di awal-awal perkembangan Islam, al-Quran melakukan proses adopsi istilah-istilah yang ada di masa Jahiliyah tapi diberikan makna baru, seperti Allah, karim, nikah, haji, dan sebagainya. Di wilayah Nusantara, para ulama penyebar Islam di wilayah ini juga melakukan proses yang kemudian dikatakan Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai proses Islamisasi.

Misalnya, adopsi dan Islamisasi istilah-istilah Hindu, seperti pahala, dosa, sorga, neraka, bhakti, dan sebagainya.

Dengan menggunakan worldview of Islam, dengan mudah kita bisa menilai apakah konsep multikulturalisme yang digunakan dalam buku ini sudah sesuai dengan Islam atau tidak, sehingga harus diterima, ditolak, atau dilakukan proses Islamisasi dengan melakukan perubahan makna agar sesuai dengan konsep Islam?

Ada satu “kemajuan” dalam pendefinisian makna multikulturalisme dalam buku Panduan Integrasi ini, yakni menolak definisi Pluralisme Agama – yang bermakna kebenaran dan keabsahan semua agama. Dalam konsep multikulturalisme ini, semua bentuk budaya dan agama harus diperlukan sama dan adil di ruang publik. Ada yang menyebut konsep in sebagai “civic pluralism”. (hal. 65).

Terhadap definisi semacam itu, kita perlu memberikan catatan, bahwa dalam memahami suatu istilah atau konsep, maka yang penting dilakukan adalah penggunaan

Dengan menggunakan worldview of Islam, dengan mudah kita bisa menilai apakah konsep multikulturalisme yang digunakan dalam buku ini sudah sesuai dengan Islam atau tidak, sehingga harus diterima, ditolak, atau dilakukan proses Islamisasi dengan melakukan perubahan makna agar sesuai dengan konsep Islam?

Ada satu “kemajuan” dalam pendefinisian makna multikulturalisme dalam buku Panduan Integrasi ini, yakni menolak definisi Pluralisme Agama – yang bermakna kebenaran dan keabsahan semua agama. Dalam konsep multikulturalisme ini, semua bentuk budaya dan agama harus diperlukan sama dan adil di ruang publik. Ada yang menyebut konsep ini sebagai “civic pluralism”.

Jika menggunakan “secular worldview” atau cara pandang yang netral agama, maka konsep semacam ini bisa diterima. Artinya, setiap muslim diminta melepaskan konsep-konsep agamanya dalam menilai agama dan budaya lain. Untuk menerima konsep civic pluralism atau multikulturalisme semacam ini, setiap Muslim harus membuang cara pandang “tauhid” dan “amar ma’ruf nahi munkar” dari dirinya. Dia harus bersikap netral, seolah-olah tidak beragama.

Kelemahan mendasar dari definisi multikulturalisme dalam buku Panduan Integrasi, adalah tidak memberikan batasan makna terhadap “budaya” dan “agama” itu sendiri. Budaya dan agama seperti apa yang harus ditoleransi dan diberikan ruang yang sama di ruang publik? Apakah budaya syirik, aliran-aliran sesat yang memiliki nabi baru, aliran-aliran penyembah setan atau agama yang mengajarkan free sex dan pornografi bisa diterima dan harus diperlakukan sama di ruang publik?

Jika batasan agama dan budaya – dalam perspektif Islam -- tidak diberikan, maka definisi multikulturalisme dalam buku Panduan Integrasi dapat menjadi “liar”. Dengan definisi yang kabur semacam itu, maka Nabi Ibrahim bisa jadi akan dimasukkan kategori “tidak berwawasan multicultural”, sebab beliau menolak budaya paganisme dari kaumnya sendiri. Nabi Luth juga bisa dicap tidak berwawasan multikultural, karena melawan budaya homoseksual yang tertanam kuat pada kaumnya sendiri. Bahkan, dengan definisi yang sama, Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) pun pernah dicap sebagai pemecah belah kaumnya. Guru-guru agama yang melarang muridnya merayakan Natal bersama atau mengikuti tradisi Valentine juga bisa kena tudingan anti-multikulturalisme.

Karena definisi “multikulturalisme” yang diberikan dalam buku Panduan Integrasi ini masih perlu disempurnakan, maka para penulis dan penerbit buku ini seyogyanya berfikir sejuta kali untuk menyebarkan buku ini, apalagi mengajarkan kepada para murid di sekolah.  Sebab, tanggung jawab dalam soal ini, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. (Ust DR Adian Husaini/www.hidayatullah.com)

Kemuliaan Wanita; Antara Pandangan Feminisme dan Islam (1)


DI PENGHUJUNG tahun kemarin, seorang teman dilanda kebingungan yang sangat mendalam. Istrinya diterima bekerja di sebuah instansi pemerintahan dan ditempatkan di salah satu pulau di ujung Sumatera, sementara suami bekerja di Jawa. Tanpa perlu menunggu keridhaan suami, sang istri pun pergi.

Ternyata, sewaktu mengikuti rangkaian tes penerimaan yang mengharuskan pergi keluar kota, sang istri juga tidak menghiraukan larangan suami. Dia tetap pergi meninggalkan suami dan anak yang masih menyusu, bahkan sampai hitungan bulan. Menghadapi istrinya yang memaksa mengejar karir tanpa bisa dikendalikan, suami sangat galau. Hampir saja dia memilih perceraian.

Tetapi, lain dulu lain sekarang. Seiring berjalannya waktu, semua jadi biasa. Suami sudah tidak protes lagi dengan keinginan istrinya. Entahlah, apakah karena kekuatan cinta atau materi.

Ini hanya salah satu cerita, masih ada kasus lain yang hampir sama. Memprihatinkan, bukan dari segi ekonomi, melainkan keutuhan keluarga. Suami bekerja di kota A, istri di kota B, dan anak dititipkan di kota C. Atau dalam satu rumah tapi sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan ada yang istrinya menolak hamil. Lebih memprihatinkan lagi, kasus ini tidak hanya terjadi pada pasangan suami-istri yang minim ilmu Islam, tetapi juga menimpa pasangan yang pernah menjadi aktivis dakwah.

Feminisme

Virus materialisme kini semakin mengganas menyerang kaum Muslimin dan menggerogoti keluarga Islam. Ditambah lagi dengan semakin maraknya propaganda ide keadilan dan kesetaraan gender yang dimotori kaum feminis. Gerakan feminisme merupakan gerakan “pembebasan” kaum wanita. Mereka menuntut persamaan hak agar setara dengan pria.

Feminisme lahir beberapa abad yang lalu di Barat, karena adanya ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum wanita. Pada masanya, gerakan ini memang diperlukan, tentunya di Barat sana, karena memang ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum wanita itu terjadi.

Hal ini dapat diketahui dari catatan-catatan sejarah peradaban dunia. Misalnya dalam doktrin peradaban Yunani, menurut penuturan Prof Will Durant, “Di Roma, hanya kaum lelaki yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa awal negara republik. Lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya menjadi miliknya pribadi ... Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.”

Bahkan seorang filosof terkenal dari Yunani pun merendahkan wanita. Aristoteles mengatakan, “Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah ... Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam, demikian pula kekuasaan lelaki atas kaum perempuan ...”

Dalam perjalanan perjuangannya, ide feminisme muncul dan berkembang di berbagai penjuru dunia dengan corak yang berbeda-beda, sebagai tindak lanjut Konferensi PBB I tahun 1975 tentang perempuan di Mexico City. Masing-masing menawarkan analisisnya tentang sebab-sebab terjadinya penindasan atas kaum wanita, pelakunya, dan cara-cara penanggulangan tindak penindasan tersebut. Di Indonesia, misalnya, lahir Undang-Undang No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Meski coraknya berbeda, cita-citanya sama, yaitu kesetaraan peran wanita dengan pria di rumah, kantor, pemerintahan dan lain-lain. Kesetaraan yang dimaksud di sini adalah pembagian peran 50 : 50.

Itulah yang dimaksud kesetaraan gender. Feminis meyakini bahwa wanita sama seperti pria, wanita memiliki kebebasan mutlak atas tubuh, diri, dan hidupnya. Wanita bebas memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.

Malapetaka

Kaum feminis Barat, sebagai generasi awal pejuang feminisme, telah berjuang puluhan tahun. Apa yang terjadi di Barat saat ini dapat dijadikan gambaran kehidupan yang akan dihasilkan oleh ide ini. “Perempuan baru” Barat yang merasa bertanggung jawab atas segala urusan mereka, mengklaim telah mempunyai peradaban modern dan beradab. Padahal, sesungguhnya peradaban yang itu penuh kerusakan dan kembali pada kebodohan.

Salah satu budaya yang mengikuti ide kesetaraan gender adalah kebebasan seks. Kaum feminis beranggapan bahwa ikatan perkawinan bersifat memaksa dan dapat menciptakan dominasi pria. Tapi ternyata, kebebasan seks justru hanya menguntungkan pria, karena wanita yang pada akhirnya harus merasakan efek terpentingnya, misalnya kehamilan, aborsi, prostitusi, perceraian hingga single mother. Sementara pria tidak terpengaruh apapun.

Selain itu, wanita sekarang masih saja menjadi korban “tirani kecantikan”. Jutaan anak perempuan berdiet keras dan menghabiskan uang untuk kosmetik dan fashion agar menjadi objek seks dan kegairahan pria.

Kesetaraan, Mustahil

Sesungguhnya, keadaan setara antara pria dan wanita dalam segala hal adalah sesuatu yang mustahil. Hal ini disebabkan oleh dua hal.

Pertama, ide feminisme yang menginginkan kesetaraan gender tidak sesuai dengan fitrah manusia, yaitu mengingkari keberadaan naluri. Keadaan pria atau wanita bukan sekadar fisik tubuh, melainkan ada hal lain yang juga menjadi pembeda, yaitu naluri.

Naluri adalah sesuatu yang fitrah, tidak bisa berubah dan tetap ada dalam diri manusia karena merupakan sifat kodrati yang melekat pada penciptaan manusia. Mungkin ada sebagian orang yang mampu mengingkari, tapi tidak untuk menghilangkannya. Jadi, bukan karena keadaan fisiknya memiliki kelengkapan sebagai wanita maka seorang wanita memiliki naluri keibuan. Juga bukan karena sosial budayanya maka wanita memiliki naluri keibuan. Karena ternyata, dalam keadaan terpaksa, seorang pria juga bisa berperan sebagai ibu, mengasuh dan merawat anak-anak. Tapi, apakah peran pria sebagai ibu mampu menyamai wanita? Tidak. Hormon-hormon kewanitaan yang terbentuk saat wanita menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui yang berpengaruh pada sifat-sifat kewanitaan (baca: keibuan) yang sangat dibutuhkan oleh bayi tak berdaya, tidak dimiliki oleh pria.

Kedua, feminisme adalah buatan manusia, hasil pemikiran manusia. Manusia adalah makhluk yang memiliki sifat terbatas (lemah, serba kurang, dan saling bergantung kepada yang lain). Sehingga, apapun yang terlahir dari manusia akan senantiasa membawa sifat terbatas ini.  Oleh karena itu, ide-ide feminisme bersifat terbatas yang berarti tidak akan mampu menjadi solusi tuntas bagi permasalahan kaum wanita.

Sampai saat ini, solusi-solusi yang diajukan oleh para feminis baru ditujukan demi “menyelesaikan” masalah segelintir perempuan. Bukan masalah perempuan secara menyeluruh.

Lantas bagaimana solusi ajaran Islam dalam mengatasi masalah ini? /Woro Suhartiwi/www.hidayatullah.com

INVESTASI AKHIRAT "PEMBANGUNAN MASJID DAN PESANTREN PENGHAFAL AL-QUR’AN IBNU ABBAS KABUPATEN MUNA"

PROPOSAL PROYEK PEMBANGUNAN MASJID DAN PESANTREN PENGHAFAL AL-QUR’AN IBNU ABBAS KABUPATEN MUNA

 
 A.    Latar Belakang

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran (QS Al-Qamar:17,22,32,& 40).
 Demikian pula firman-Nya:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ [٢:١٢١]
Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS: Al baqarah: 121)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Bukhari).
Dua ayat dan hadits di atas merupakan arahan Allah dan Rasul-Nya agar manusia memiliki perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah nikmat terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kepada ummat manusia. Dengannya Rasullah shallallaahu ‘alahi wasallam membangun peradaban. Membebaskan manusia dari pebudakan, mengangkat derajat mereka,dan melepaskan mereka dari himpitan dunia yang sempit menuju keadilan Islam dan keluasan negeri abadi. Sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam mengahasilkan suatu generasi dengan ciri yang khas dan unik dibanding seluruh sejarah ummat manusia, melalui “madrasah al Qur’an”. Di dalam generasi itu terdapat tokoh-tokoh besar dunia, menara petunjuk bagi manusia yang memimpin peradaban zamannya dengan keadilan dan akhlak mulia. Generasi yang memenuhi panggung sejarah dengan prestasi, walau sang Nabi tidak lagi hidup bersama mereka. Sebab, mereka adalah generasi lulusan “sekolah Nabi” yang mengambil warisan Nabi dengan sepenuh hati, mengukir makna Al-Qur’an di hati dan melukisnya di dalam sejarah. Ajaran sang Nabi senantiasa hidup di dalam sanubari.

Kini generasi ummat Islam miskin prestasi. Menderita kelemahan di segala aspek kehidupan , terpinggirkan  dari peradaban zaman. Ummat Islam kehilangan kekuatan untuk memainkan perannya dalam memimpin manusia di atas akhlak mulia dan keadilan, serta tidak berdaya mengakkan amar ma’ruf nahi munkar. Peradaban ummat manusia pun terguncang kemerosotan moral akibat kelemahan kaum Muslimin.
Pertanyaanya adalah; apa yang hilang dari ummat Islam hingga mereka lemah?  Apa yang mereka tidak miliki? Padahal kaum Muslimin adalah 1/6 dari penduduk bumi. 2/3 sumber daya alam berada di wilayah negara kaum Muslimin . Mereka juga memiliki tekonolgi yang cukup dalam mengembangkan  berbagai sarana kehidupan. Namun mengapa mereka tetap lemah dan terbelakang , diliputi oelh kemiskinan dan kelaparan, kebodohan dan penyakit , ketakutan dan keterpaksaan, intimidasi dan ketidakadilan serta berbagai bentuk kelemahan lainnya. Cahaya kemuliaan kaum Muslimin pun meredup seiring kelemahan-kelemahan yang dideritanya. Sinarnya lambat laun memudar dan tidak lagi kuat  untuk menerangi jalan keteladanan  bagi kehidupan umat manusia. Mereka tersilaukan oleh kemajuan peadaban materi yang telah dicapai oleh bangsa lain.  Lalu disangkanya itulah cahaya yang menuntun pada kebangkitan. Hingga mengalihkan mereka menjadi murid-murid  peradaban materi, yang belajar dan menilai kelulusannya, kemajuannya, kebangkitannya dan kemuliaannya dengan nilai-nilai materi. Namun, teryatanya  mereka masih menjadi bangsa  yang dibelakang bukan didepan.Yang dipimpin bukan memimpin, yang meniru-niru bukan memberi teladan.
Fenomena kelemahan kaum Muslimin di atas adalah akibat dari meredupnya ‘ruh’ dan ‘cahaya’ mereka yang sejati. Yakni ‘ruh’ dan ‘cahaya’ yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk membangkitkan kehidupan manusia yang hakiki.
  وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ [٤٢:٥٢]
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS: Asy Syura:52)

Itulah al Qur’an yang menghimpun “ruh” dan “cahaya” . Dengan ruh itu hati menjadi hidup dan dengan cahayanya hati mampu mengenal kebenaran dan kebatilan. Dengan al Qur’an Allah meninggikan suatu kaum yang memuliakannya dan merendahkan kaum yang melalaikannya.
Segala upaya untuk mendekatkan  ummat dengan  al Qur’an perlu segera dilakukan secara lebih intensif, berkesianmbungan dan terorganisir dengan baik. Yayasan Pesantren Ibnu Abbas merespon permasalahan ini dengan mendirikan pondok pesantren Tahfidz Al Qur’an Ibnu Abbas.

Pesantren Ibnu Abbas alhamdulillah telah beroperasi sejak tahun 2006 bertempat di Kelurahan Mangga Kuning Kecamatan Katobu Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Seiring perkembangannya, pesantren ini akan dipindahkan ke  lokasi baru yang lebih strategis  yakni Desa La Salepa Kecamatan La Salepa Kabupaten Muna. Mengawali proyek pembangunan ini,-alhamdulillah- pengelola yayasan telah berhasil mendapatkan bantuan dari pihak donatur  yang bersedia membiayai bangunan Masjid dan asrama santri . Hanya saja pihak donatur mempersayaratkan  lokasi  tersebut layak dan siap untuk didirikan bangunan di atasnya. Alhamdulillah pihak yayasan telah mendapatkan lokasi yang merupakan tanah wakaf. Namun lokasi tersebut masih perlu ditimbun sehingga lokasi tersebut belum siap dibangun. Beban biaya penimbunan ditambah biaya administrasi dan IMB sekitar Rp 135.000.000 (Seratus Tiga Puluh Lima Juta Rupiah)

Oleh karena itu, kami mengajak  bapak/Ibu/sdr(i) Muhsinin kiranya dapat berpartisipasi menjadi donatur /penyumbang biaya penimbunan lokasi pembangunan pesantren penghafalan Al Qur’an tersebut. Semoga sedekah, infak, dan donasi bapak/ibu/sdr (i) tercatat sebagai ibadah di sisi Allah  Ta’ala dan menjadi amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir.

Donasi dapat diantar langsung ke Masjid Al Wahdah/ Yayasan Ibnu Abbas Jalan Kontu Kowuna (belakang SLTP 3 Raha) Kelurahan Mangga Kuning Kecamatan Mangga Kuning Kab. Muna Sulawesi Tenggara, atau transfer via rekening:  BNI CABANG BAU-BAU NO.REK.0196575474 an.La Sinani, Spd. CP : 081 342 611151 (Salehaman).


Ketuan Yayasan Ibnu Abbas Kab. Muna

                ttd

Ust. Fajar Mahyuddin, Spd.



Kamis, 19 April 2012

Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender (3)

Oleh: Dr. Adian Husaini

HARI Rabu (4/4/2012) dan Kamis (5/4/2012), saya diundang oleh dua stasiun TV – yaitu Alif-TV dan Jak-TV untuk mendiskusikan tentang RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU-KKG). Dalam kedua forum tersebut, saya dipanelkan dengan dua aktivis perempuan dan seorang anggota Komisi VIII DPR RI. Ketiga perempuan mendukung RUU KKG. Sementara saya memberikan opini yang berbeda. Memang, saya diundang untuk mengkritisi RUU tersebut.

Di antara hasil dari dua diskusi tersebut, saya semakin paham, bahwa paham Kesetaraan Gender memang bermasalah sejak konsep dasarnya. Inilah yang tampaknya belum dipahami dan disetujui oleh para aktivis KKG. Dalam sebuah diskusi dengan sejumlah pimpinan Organisasi Wanita Islam, ada juga sebagian tokoh wanita Islam yang menyatakan, bahwa RUU KKG tersebut tidak bertentangan dengan Islam.

Terhadap pernyataan itu, saya tunjukkan bukti definisi gender dari naskah dari DPR RI yang beredar: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1)

Sepintas, definisi semacam itu seolah-olah tampak biasa-biasa saja. Padahal, jika dilihat dalam perspektif ajaran Islam, konsep gender dalam draft RUU tersebut jelas-jelas keliru. Sebab, pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam Islam bukanlah merupakan hasil budaya, tetapi merupakan konsep wahyu. Ketika Rasulullah SAW melarang seorang istri untuk keluar rumah karena dilarang suaminya – meskipun untuk berziarah pada ayahnya yang meninggal dunia – larangan Nabi itu bukanlah budaya Arab. Tetapi, itu merupakan ajaran Islam yang berdasarkan kepada wahyu Allah.

Ketika Islam mewajibkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, maka itu juga bukan konsep budaya Arab, tetapi konsep wahyu yang diakui sepanjang sejarah Islam oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, yang bersifat lintas zaman dan lintas budaya. Inilah ciri Islam, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebagai “the only genuine revealed religion”. Dan itu mudah dipahami, karena Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang diutus pada semua manusia sampai Hari Akhir; berbeda dengan Nabi-nabi Bani Israel yang memang hanya diutus untuk bangsa dan kurun waktu tertentu.

Karena itulah, dalam perspektif Islam, maka konsep pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, bukanlah konsep budaya yang bisa dipertukarkan. Tetapi, Islam memberikan keleluasaan antara suami-istri untuk berbagi tugas dan saling tolong menolong diantara mereka untuk menjalani kehidupan yang baik. Bisa saja suami mengasuh anak, dan istrinya bekerja. Bisa saja suami tinggal di rumah, sementara istrinya aktif berbisnis. Tetapi, yang penting, si istri menyadari statusnya sebagai istri dan tetap menghormati suaminya sebagai pemimpin rumah tangga.

Karena itulah, dalam memilih suami, pilihlah yang mampu menjadi imam yang baik. Sebab, memang laki-laki diberi amanah dan kewajiban yang berat sebagai pemimpin.

Pembagian peran semacam ini – jika dijalankan dengan baik – akan membawa kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan. Dalam hal ini, ada baiknya, kita renungkan lagu berjudul ‘Dunia Ini Panggung Sandiwara’, yang ditulis Taufiq Ismail tahun 1976, dan kemudian dipopulerkan oleh Ahmad Albar :


Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah

Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap insan dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan...

Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, pembagian peran antara suami-istri sudah terbiasa, dan biasanya tidak menjadi masalah, tanpa ada isu KKG dan ketertindasan perempuan. Sejak zaman KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, perempuan sudah banyak aktif dalam organisasi Aisyiyah, tanpa mengangkat isu ketertindasan perempuan dan kesetaraan gender. Apalagi sampai menuntut persamaan dalam semua hal.

RUU KKG – sesuai draft yang sementara yang kita terima dari DPR – mengandung sejumlah muatan yang seharusnya membuat perempuan berpikir panjang untuk menerimanya. Misalnya, pasal 4 ayat 2 menyebutkan: “perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30 % (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislative, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.”

Inilah salah satu contoh cara berpikir aktivis KKG yang perlu dikritisi. Mereka memandang, bahwa keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga sosial dan politik dalam jumlah tertentu merupakan indikator kemajuan perempuan. Targetnya adalah kesetaraan nominal 50:50 antara laki-laki dan perempuan. Cara berpikir seperti ini tidak sesuai dengan fakta. Saat ini, keterwakilan perempuan di DPR RI mencapai 18 persen, lebih kecil dari ketentuan Undang-undang yang mengharuskan 30%.

Angka 18% itu lumayan tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara lain yang – biasanya dikatakan – lebih maju dari Indonesia. Misalnya, di AS angkanya 16,8%; Jepang 11,3%; Korsel 15,6%, Malaysia 9,9%, Brazil 8,6%. Sementara itu, keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda mencapai 56,3%, Nepal 33,2%, Tanzania 36%, dan Uganda 34,9%, Ethiopia 27,8%. (Sumber: Women in Parliament (November 2011), http://www.ipu.org/wmne/classif.htm).

Jika kita telaah, RUU KKG sangat kental dengan semangat anti-diskriminasi. Bahkan, secara khusus diberikan definisi: “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” (pasal 1:4).

Tetapi, anehnya, RUU ini juga sangat kental dengan semangat diskriminasi terhadap laki-laki. Cobalah renungkan, sebenarnya kuota 30% bagi perempuan dalam suatu lembaga, adalah bentuk diskriminasi terhadap laki-laki, yang disahkan oleh UU. Itu fakta. Karena kuota tersebut, maka keterwakilan perempuan harus 30%. Soal kualitas tidak dipentingkan. Jadi, jika ada laki-laki yang berkualitas untuk suatu jabatan, tetapi karena kuota untuk laki-laki sudah penuh, jaatan itu harus diserahkan kepada perempuan yang kualitasnya lebih rendah. Yang penting, orang itu perempuan, bukan laki-laki.

Jadi, diskriminasi ditukar dengan diskriminasi dalam bentuk lain. Kita sulit membayangkan jika ketentuan semacam ini akan diperlakukan untuk semua organisasi pemerintah dan non-pemerintah. Bagaimana dengan organisasi perempuan? Apakah juga harus menampung kepengurusan laki-laki?

Karena itulah, bisa kita simak, RUU KKG ini keluar dengan landasan berpikir yang keliru tentang “kemajuan perempuan”. Seorang perempuan cerdas dan berilmu tinggi yang memilih profesi sebagai Ibu Rumah Tangga untuk mendidik anaknya secara langsung tidak dipandang sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan. Itu tidak mengejutkan, karena kuota 30% untuk perempuan biasanya disyaratkan oleh lembaga-lembaga internasional, seperti UNDP, untuk mengucurkan bantuan ke Indonesia.

Dr. Ratna Megawangi, dalam penelitiannya, menemukan bahwa agenda feminis mainstream, semenjak awal abad ke-20, adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam rumah. Untuk mewujudkan kesetaraan seperti itu, para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis, atau perbedaan nature, atau genetis. Para feminis yakin dapat mewujudkannya melalui perubahan budaya, legislasi, atau pun praktik-praktik pengasuhan anak. (Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? (Bandung: Mizan, 1999).

Perspektif anatagonis semacam inilah yang senantiasa melihat laki-laki dalam nuansa kecurigaan. Di kalangan Muslim, ini bisa dilihat dalam cara pandang kaum feminis yang senantiasa melihat para mufassir atau fuqaha dalam kacamata kecurigaan, bahwa mereka menafsirkan ayat-ayat al-Quran atau hadits dalam kerangka melestarikan hegemoni atau kepentingan laki-laki atas wanita. Para pendukung ide gender equality menolak penafsiran yang bersifat tafadul, yang memberikan kelebihan kepada laki-laki atas dasar jenis kelamin. Pada tahun 2003, sekelompok aktivis dan ulama yang tergabung dalam Forum Kajian Kitab Kuning telah menerbitkan satu buku bertajuk “Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujayn” yang memperjuangkan gender equality dan menolak segala macam hukum yang mereka anggap bersifat diskriminatif terhadap wanita. Menurut mereka, QS an-Nisa:34, harus diartikan, bahwa kelebihan itu bukanlah karena jenis kelamin, tetapi karena prestasi yang dicapai oleh setiap orang tanpa melihat jenis kelamin, apakah laki-laki atau wanita. Menurut para pendukung ide kesetaraan gender ini, banyak ajaran agama yang selama ini ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki, sehingga merugikan wanita. (Lihat, M. Idrus Ramli (ed.), Menguak Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Cabang Pasuruan, Pasuruan, 2004. Buku yang ditulis para kyai muda NU Jawa Timur ini dengan serius membongkar berbagai kekeliruan dan kepalsuan pendapat aktivis “Kesetaraan Gender” yang tergabung dalam forum FK3.)

Cara berpikir antagonis dan seksis sangat kental dalam paham Kesetaraan Gender. Sebutlah contoh, banyaknya lembaga perempuan yang mengekspose data kekerasan terhadap perempuan. Kita tidak menolak, bahwa kekerasan terhadap perempuan itu banyak terjadi. Tetapi, yang perlu kita lihat, adalah kenapa kekerasan itu terjadi, sehingga bisa kita carikan solusinya yang tepat. Misalnya, ada seorang suami yang memukul istrinya. Lalu, si suami dilaporkan ke polisi sesuai dengan UU KDRT. Lalu, muncullah berita: “Terjadi lagi kekerasan terhadap perempuan!”

Memang benar, yang mengalami kekerasan adalah perempuan, dan yang melakukan kekerasan adalah laki-laki. Tetapi, kasus itu terjadi, karena si perempuan menyeleweng dengan laki-laki lain. Jadi, suami memukul istrinya bukan karena istrinya adalah seorang perempuan, tetapi, karena dia menyeleweng. Si suami memukul istri juga bukan karena kelelakiannya, tetapi karena ia melihat kemunkaran besar yang dilakukan istrinya. Bisa saja dianalisis dengan cara lain.

Misalnya, si istri kebetulan orang keturunan Cina. Si suami ketutunan Arab. Orang yang ingin mengangkat isu ketertindasan kaum keturunan Cina akan mengatakan: “Lagi-lagi, orang Cina dianiaya!”

Jadi, kita perlu berhati-hati memahami data kekerasan terhadap perempuan, sehingga solusinya pun haruslah tepat. Cara berpikir seksis ini bisa dilihat dalam banyak buku tentang Kesetaraan Gender. Sebuah buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah (2004), mengkritisi sebuah buku pelajaran sekolah yang menampilkan gambar pembangunan sebuah masjid, dimana semua tukangnya adalah laki-laki. Gambar semacam itu, menurut buku ini, memberikan kesan seolah-olah perempuan tidak bisa menjadi tukang.

Suatu hari ada aktivis organisasi wanita Islam ke rumah saya. Ia bercerita, seorang temannya memberikan penilaian terhadap kajian saya, bahwa cara berpikir Adian itu adalah cara berpikir laki-laki. Saya tidak heran dengan komentar semacam itu. Karena memang begitulah yang diajarkan dalam berbagai buku tentang KKG.

Contoh yang terkenal adalah Amina Wadud, seorang feminis. Ia menulis buku berjudul Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Quran menurut Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2001). Karena cara berpikir seksis dan antagonis, para feminis sering menuduh para mufassir dan ulama fiqih laki-laki telah menyusun tafsir dan kitab fiqih yang bias gender, sebab mereka laki-laki.

Cara berpikir seksis dan antagonis semacam itu tentu saja sangat tidak benar. Bisa saja sebagian pendapat ulama keliru. Tetapi menuduh mereka memiliki motif jahat untuk menindas perempuan dan melestarikan hegemoni laki-laki atas perempuan, merupakan kecurigaan yang bias gender pula. Lagi pula, sepanjang sejarah, telah lahir ulama-ulama perempuan dalam berbagai bidang. Pendapat mereka tidak berbeda dengan pendapat ulama laki-laki.

Sebagai contoh, perempuan ulama fiqih terbesar, yakni Siti Aisyah radhiyallaahu 'anhu tidak berbeda pendapatnya dengan pendapat para sahabat laki-laki dalam berbagai masalah hukum yang kini digugat kaum feminis. Belum lama ini telah terbit sebuah buku karya Sa’id Fayiz al-Dukhayyil, Mawsu’ah Fiqh ‘Aisyah Umm al-Mu’minin, Hayatiha wa Fiqhiha, (Dar al-Nafes, Beirut, 1993), yang menghimpun pendapat-pendapat Siti Aisyah radhiyallaahu 'anhu tentang masalah fiqih. Hingga kini, ribuan ulama dan cendekiawan Muslimah tetap masih aktif menentang ide-ide ekstrim dari para feminis dan aktivis KKG yang terinspirasi atau terhegemoni oleh pandangan hidup sekular-liberal atau Marxisme.

Menyimak fakta draft RUU KKG semacam ini, maka sangat masuk akal kita berharap DPR menunda dulu pembahasannya. Tugas kita memberikan masukan kepada para wakil kita dan mendoakan mereka agar senantiasa diberikan bimbingan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menetapi jalan yang lurus. (sumber: CAP Ust Adian Husiani, http://www.hidayatullah.com/read/22115/09/04/2012/mengapa-kita-menolak-ruu-kesetaraan-gender-%283%29.html)