Kamis, 28 November 2013

MENGAJARKAN AQIDAH DENGAN METODE RABBANI (1)

Mentauhidkan Allah dalam ibadah adalah tujuan utama diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Terj. QS. adz-Dzaariyaat: 56).

Oleh karena itu da’wah tauhid merupakan tujuan dasar diutusnya para nabi dan rasul. Firman Allah: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut  itu."(terj. QS. an-Nahl: 36).

Selain itu Tauhid juga merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan AllahAzza wa Jalla kepada umat Islam. Karena Dialah sumber kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat.

Di samping itu Tauhid juga merupakan sebab 'ishmah/perlindungan di dunia. Dengannya jiwa dan harta seorang muslim dilindungi, sekaligus menjadi bukti'aqd/ikatan Islam padanya. Inilah makna sabda Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam:Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaha illallah,siapa saja mengucapkanLaa ilaha illallahterpeliharalah darah dan hartanya; terkecuali kalau ada sesuatu hak Islam. Dan hisabnya diserahkan kepada Allah." 
Dan di akhirat, tauhid menjadi penyelamat dari api neraka. Firman AllahAzza wa Jalla: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (terj.QS. al-Maidah: 72)

Sebuah ibadah dan ketaatan hanya diterima jika dilakukan dengan ikhlas hanya karena Allah semata. Firman AllahAzza wa Jalla: “Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya”. (terj. QS. al-Kahfi: 110)

Allah juga befirman:"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi."(QS. 39:65)

Ilmu agama yang pertama kali wajib disampaikan kepada manusia adalah tauhid. Ketika mengutus Mu'adz Ibn Jabal ke Yaman, Rasulullah berwasiat kepadanya:"Wahai Mu'adz, sesungguhnya kau akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah perkara yang pertama kali kau serukan adalah beribadah kepada Allah. Bila mereka telah beriman, maka sampaikanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam."

Tauhid juga perkara terakhir yang wajib dipertahankan, bila seseorang ingin meninggalkan dunia dengan selamat. Sabda Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam:"Siapa saja yang ucapan terakhirnya dari dunia adalah Laa Ilaaha Ilallaah, pastilah ia masuk surga."

Oleh karena kebahagiaan kaum mukmin di dunia dan akhirat tergantung pada tauhid kepada Allah, maka ia menjadi kewajiban pertama yang harus diajarkan kepadamukallaf, dan hanya dengannyalah hatinya dapat hidup, selanjutnya hendaklah tauhid dijadikan konsep hidup sehari-hari. Inilah tanggung jawab ulama dan du'at, yang dapat disampaikan melalui majelis ilmu, khutbah, karya tulis, dan beraneka ragam sarana dakwah lainnya.

Tingkat pemahaman dan kecerdasan masing-masing orang berbeda. Karenanya, hendaklah para da'i mengajarkan tauhid kepada kaum awam dengan metoderabbani. Metode ini telah dijelaskan oleh Ibn Abbas radhiyallahu 'anhmua saat menafsirkan firman Allah: Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya."(terj. QS. Ali Imran: 79)  Beliau berkata:"Rabbani adalah seorang yang mengajari manusia mulai dari ilmu mendasar, baru kemudian yang lebih tinggi."

Yang dimaksud dengan dasar ilmu adalah kaidah-kaidah universal yang jelas dan pasti. Seorang da'i harus memulai dengan kaidah-kaidah ini sebelum masuk kepada masalah parsial yang lebih rumit.
Tidaklah bijaksana jika seorang da'i memulai pengajaran materi akidah kepada masyarakat awam dengan definisi, istilah-istilah ushul, perbedaan antara sekte-sekta dalam masalah aqidah, seperti iman kepada qadha dan qadar, asma' dan shifat, dsb. Metode ini kurang tepat, sebab:

1. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh kita berbicara kepada manusia sesuai kadar nalarnya. Masyarakat awam bisanya datang ke masjid karena ingin mendengarkan mutiara nasehat penyejuk jiwa. Adapun masalah-masalah seperti di atas biarlah menjadi spesialisasi penuntut ilmu.

2. Mayoritas kaum muslim lebih membutuhkan bimbingan yang dapat menghidupkan kembali cahaya hati yang telah redup, daripada mempelajari istilah-istilah ilmiah.
Maka hendaklah seorang alim atau da'i membedakan antara metode penyampaian kepadathalib al-ilmidengan metode penyampaian kepada masyarakat awam.

Seorang da'i harus menyadari bahwatazkiyatun nafsharus dimulai dengan menambah tinggi volume iman di hati, sehingga dapat mengalahkan kekuatan nafsu yang terpendam di dalamnya. Dan inilah visi utama mayoritas da'i. Selain itu hendaklah ia berdakwah dengan topik-topik paralel dan kontiniu, yang kesemuanya bertujuan merangkul objek dakwah menuju pengetahuan tentang AllahTa'aladan tunduk sepenuhnya kepada-Nya. Dengan demikian mereka akan siap menjadikan syari'at Allah sebagai konsep hidup yang komprehensif. (http://www.albayan.co.uk/id/article.aspx?id=171). Bersambung insya Allah.

Selasa, 26 November 2013

Kenapa Tarbiyah Lewat Halaqah-halaqah Al-Qur’an? (2)

Pada tulisan sebelumnya (http://wahdahmuna.blogspot.com/2013/11/kenapa-tarbiyah-lewat-halaqah-halaqah.html), telah diuraikan tentang bahwa, [1] tarbiyah dengan al-Qur’an Merupakan Metode Rabbani yang Allah Pilih untuk dijalankan oleh  Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam dalam Al-Qur’an 3: 164), dan [2] Tarbiyah dengan al-Qur’an merupakan implementasi Bacaan yang Sebenar-benarnya (haqqa tilawatiho) terhadap Al-Qur’an (2: 121).

Ketiga, Diskripsi Negatif Al-Qur’an terhadap Penghapal Al-Qur’an namun Tidak Memahami atau Mengamalkannya

Syariat mencela penghapal Al-Qur’an yang melalaikan hukum-hukumnya serta mengabaikan pengamalannya. Dalam sebuah ayat, Al-Qur’an mengingatkan bahwa sikap tersebut adalah sikap orang-orang Yahudi.

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْـحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِـمِينَ

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”(QS. al-Jumu’ah/62: 5).

Imam al-Qurthubi menulis:“Ayat ini mengandung peringatan Allah Ta’ala terhadap orang yang menghapal Al-Qur’an agar mempelajari maknanya dan mengajarkannya, agar dia terbebas dari celaan yang menimpa kaum itu.”(al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz XVIII, h. 62).

Dari Samurah ibn Jundubradhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang mimpi yang beliau lihat, beliau bersabda,“Adapun manusia yang dipukul kepalanya dengan batu adalah orang yang membaca Al-Qur’an tapi menolaknya, dan dia tertidur hingga tidak melaksanakan shalat wajib.”(HR. Bukhari, no. 7047). Dalam redaksi lain disebutkan,“Yang aku lihat dipukul kepalanya adalah manusia yang Allah ajarkan Al-Qur’an kepadanya kemudian dia tidur di waktu malam dan tidak mengamalkannya di waktu siang.”(HR. Bukhari, no. 1386).

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala mencela manusia-manusia yang tidak mentadabburi Al-Qur’an.

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”(QS. Muhammad/47: 24).

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إلَّا أَمَانِيَّ وَإنْ هُمْ إلَّا يَظُنُّونَ

“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Alkitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.”(QS. al-Baqarah/2: 78).

Dalam tafsir disebutkan bahwa yang mereka ketahui dari Alkitab hanya bacaannya semata. (Lihat: Ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz I, h. 166). Intinya, mereka tidak mengetahui dan mengamalkan kandungannya.  Fudhayl ibn Iyadh berkata,“Al-Qur’an diturunkan semata agar diimplementasikan kandungannya, namun manusia menjadikan membaca Al-Qur’an sebagai pekerjaan.”(Al-Ajurri,Akhlaq Hamalah al-Qur’an, h. 37).
Banyak lagi ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang mencela bacaan dan hapalan Al-Qur’an semata tanpa pemahaman dan pengamalan. Orang yang membaca Al-Qur’an tidak akan mendapatkan keutamaan bila hapalannya tidak disertai dengan pemahaman dan pengamalan.
Hasan al-Bashri berkata,“Sesungguhnya Al-Qur’an ini dibaca oleh budak dan anak-anak. Mereka tidak paham artinya. Mentadabburi ayat-ayatnya hanya terwujud dengan mengamalkannya, bukan dengan menghapal sambil mengacuhkan ajarannya. Sampai-sampai ada orang yang mengatakan bahwa aku telah membaca Al-Qur’an tanpa satu huruf pun yang luput. Padahal, demi Allah, dia telah meluputkan semuanya! Al-Qur’an tidak tampak pada akhlak dan pengamalannya. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa aku membaca satu surah dalam satu nafas. Demi Allah, mereka bukanlah qurra’ sejati, bukan ulama, bukan ahli hikmah, bukan ahli wara’! Sejak kapan qurra’ seperti mereka!? Semoga Allah tidak memperbanyak manusia-manusia seperti mereka.”(Ibn al-Mubarak,al-Zuhd, h. 276).
Ibn Umar berkata,“Orang yang utama dari sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dahulu dari generasi awal umat ini hanya menghapal satu dua surah, namun mereka diberi karunia mengamalkan Al-Qur’an. Sesunggunya akhir dari umat ini akan membaca Al-Qur’an, di antara mereka anak-anak dan orang buta, namun tidak diberi karunia untuk mengamalkannya.”(Al-Qurthubi,al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I, h. 39).

Sudah seharusnyalah guru-guru Al-Qur’an mengajarkan bacaan dan kandungan Al-Qur’an. Bila tidak, pengajaran Al-Qur’an hanya akan melahirkan murid-murid yang mampu membaca namun tidak mengamalkannya. Sehingga guru-guru itu tercela dan kelak mendapat dosa juga.

Keempat, Halaqah Al-Qur’an merupakan Forum Tarbiyah yang Paling Baik
Forum tarbiyah merupakan salah satu faktor penting dalam proses tarbiyah. Di dalamnya, peserta tarbiyah berinteraksi dengan sejawatnya, memperoleh nilai-nilai tarbiyah, dan memperbaiki kekurangannya. Di dalamnya, seorang murabbi menanamkan, menumbuhkan, dan melestarikan nilai-nilai. Dalam forum tarbiyah inilah peserta tarbiyah memenuhi kebutuhannya: ruhiyah, jasad, akal, sosial, dan pemikiran. Dia mengembangkan kreasi, berpartisipasi, dan berinisiatif di sana.

Perbandingan sederhana di antara forum tarbiyah dari segi efektifitasnya menunjukkan bahwa halaqah Al-Qur’an termasuk forum tarbiyah yang sukses kalau bukan yang paling sukses. Alasannya, halaqah Al-Qur’an mengandung potensi tarbiyah yang dapat membantu guru dalam menjalankan tugasnya dengan baik.

Potensi halaqah Al-Qur’an tersebut dapat diuraikan ke beberapa segi: psikologi forum, mesjid, baitullah, kesucian tempat, tempat tamu-tamu Allah berkumpul.
Dari Jubair ibn Muth’im radhiyallahu anhu bahwa seseorang berkata,“Wahai Rasulullah, tempat apakah yang Allah paling cintai dan tempat apakah yang Allah paling benci?” “Aku tidak tahu sampai aku bertanya kepada Jibril,”jawab Rasulullah. Maka Jibril datang dan menginformasikan bahwa sebaik-baik tempat di sisi Allah adalah mesjid-mesjid dan seburuk-buruk tempat di sisi Allah adalah pasar-pasar. (al-Albani,Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 325).

Dalam hadits lain, dari Salman al-Farisi radhiyallahu anhu berkata,“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang berwudhu dan menuju mesjid maka dia adalah tamu Allah Ta’ala, dan Yang Dikunjungi berhak untuk memuliakan tamu-Nya.”(Lihat:ibid, no. 322).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alahi wasallam bersabda,“Tidaklah seseorang tinggal di mesjid-mesjid kecuali Allah akan ceria (tabasybasya) kepadanya sebagaimana orang-orang yang telah ditinggalkan kepada orang yang pergi kemudian datang kepada mereka.”(Lihat:ibid, 327).

Dari sahabat yang sama, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“. . . dan tidaklah sebuah kaum berkumpul di rumah dari rumah-rumah Allah, di sana mereka membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun ketenangan kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat melingkupi mereka, dan Allah menyebut mereka kepada makhluk yang ada di sisi-Nya.”(HR. Muslim, no. 2699).

Nash-nash di atas dan banyak lagi yang senada dengannya terkait keutamaan mesjid dan duduk di dalamnya menunjukkan dampak positif bagi murid halaqah Al-Qur’an. Karena dia mendapatkan ketenangan jiwa, kegembiraan, dan kebahagiaan yang merupakan berkah dari aktivitas mereka di masjid dan dalam komunitas pebelajar Al-Qur’an.

Nilai-nilai spiritual yang didapatkan oleh murid dalam mesjid ini dia rasakan sementara dia juga dalam keadaan suci dan membaca Kalamullah. Kondisi yang menjadikannya siap untuk menerima arahan yang terkait dengan Al-Qur’an yang dia baca.

Murid yang sedang dalam kondisi takut dan tidak stabil tidak mungkin untuk menerima arahan atau meningkatkan diri menuju kesempurnaan. Oleh karena itu, mesjid yangmenyelenggarakan pendidikan Al-Qur’an menjadi sumber ketenangan dan kesempatan bagi pendidik untuk meningkatkan kapasitas murid-murid lewat penjelasan tentang kandungan Al-Qur’an dan adab-adabnya.

Dalam sejarah kita belajar bahwa sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alahi wasallam, para tabi’un, ulama, panglima-panglima perang, para pendidik umat adalah pelopor-pelopor yang lahir dari rahim mesjid. Dari mesjidlah mereka sebelumnya belajar dan terdidik. Dan tidak mungkin generasi akhir umat ini bisa baik kecuali dengancara yang dengannya generasi awal umat ini berjaya dengannya.

Segi lain potensi halaqah Al-Qur’an adalah kesukarelaan. Sebagian besar murid yang belajar di halaqah Al-Qur’an karena sukarela, tanpa tekanan atau keterpaksaan. Segi lainnya adalah kebutuhan psikologis murid, sehingga biasanya murid telah dalam kondisi siap dengan arahan-arahan dari gurunya. (sumber:http://www.albayan.co.uk/id/article.aspx?id=210#.UoZdzz7WbNg.facebook). Bersambung insya Allah.

Selasa, 19 November 2013

4 Metode Salaf dalam Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (2)

2.    Belajar dan Mengajarkan Iman Sebelum Al-Qur’an
Maksuduya, terlebih dahulu menanamkan dalam hati-hati mereka pengagungan kepada Allah, serta pengagungan terhadap perintah dan larangan-Nya. Sehingga mudah bagi mereka menerima dan merespon hukum-hukum syariat. Ini merupakan aspek paling uatama dalam menghidupkan tarbiyah Qur’aniyah dalam jiwa setiap orang.

Manhaj inilah yang diterapkan al-Qur’an sendiri dalam membina para sahabat di awal-awal islam. Dimana ayat-ayat al-Qur’an yang pertama-tama turun dalam ayat-ayat Makkiyah menanamkan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Sehingga tumbuh dalam hati mereka iman yang shahih, pengagungan terhadap al-Qur’an. Pada puncaknya hal itu mengondisikan jiwa mereka untuk menerima taujihat (arahan-arahan) al-Qur’an secepatnya.

Salah seorang sahabat nabi yang merupakan salah satu murid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jundub ibn ‘Abdillah mengatakan, “kami bersama nabi shallallahu ‘alaiahi wa sallam, saat kami pemuda, kami belajar iman sebelum al-Qur’an. Lalu kami belajar al-Qur’an, sehingga iman kami bertambah. (Sunan Ibnu Majah, 1/74, no.64, dan Imam Tarikh al-Kabir, 2/221, Sunanul Kubro , 2/49, no. 5498, Mu’jam al-Kabir, 2/225 no. 1656, dan dishahihkan oleh Syekh al-Bani dalam Shahih Sunan Ibn Majah, 1/16, no.52)

Seperti itulah nabi memulai dengan menamkan keimanan dalam hati-hati mereka. Sehingga ketika iman telah merasuk dalam hati, mereka telah siap untuk menerima al-Qur’an, siap diarahkan dan dibimbing oleh al-Qur’an. Maka pada puncaknya, iman mereka makin bertambah.sehingga mudah menerima pesan-pesan dan arahan-arahan al-Qur’an.

3.    Memosisikan al-Qur’an Sebagai Surat ‘’Risalah” dari Allah
Para salaf rahimahumullah menempatkan al-Qur’an sebagai surat dari Allah yang ditujukan kepada mereka untuk diamalkan. Oleh karena itu mereka selalu membaca dan mengamalkannya siang dan malam. Imam Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian memandang al-Qur’an sebagai surat dari Tuhan mereka, oleh karena itu mereka mentadaburinya pada malam hari dan mengamalkannya pada siang hari”.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa, “Diantara kami –ada- yang mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an, ia tidak melewati ayat-ayat tersebut hingga ia mengetahui ma’nanya dan mengamalkannya”.  Artinya ia tidak berpindah ke ayat berikutnya, sebelum memahami makna kesepuluh ayat tersebut dan mengamalkan kandungannya. Ibu Mas’ud juga berkata, “Seorang pengemban al-Qur’an hendaknya dikenali [dengan shalatnya] pada waktu malamnya saat orang-orang sedang tidur, [dengan puasanya] pada siang hari saat orang-orang sedang makan, dengan sedihnya saat orang-orang bergembira ria, dengan tangisannya saat orang tertawa, dengan diamnya saat orang-orang berbicara dan dengan khusyu’nya saat orang-orang angkuh."

Manhaj inilah yang telah berhasil menelorkan generasi awal Islam. Andaikan kita bertalaqqi al-Qur’an seperti geerasi awal mengambilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita jadikan sebagi metode dalam membina generasi muda Islam hari ini, maka kita akan meyaksikan pengaruh dan warna al-Qur’an pada jiwa dan perilaku kaum Muslimin.


4.    Membaca al-Qur’an dengan Tartil dan Perlahan-lahan Serta Membacanya dalam Shalat Malam.
Hal ini nampak dalam kehidupan para salaf, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah, ‘’Aku pernah safar bersama ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Makkah ke Madinah. Beliau melakukan qiyamullail dengan membaca al-Qur’an huruf demi huruf.kemudian beliau menangis hingga terdengar isak tangis beliau” (Mukhtashar Qiyamul Lail, hlm.131).

Beliau juga mengingatkan agar kita janganlah membaca al-Qur’an dengan cepat, “janganlah kalian membaca al-Qur’an dengan cepat seperti membca sya’ir dan prosa. Berhentilah sejenak pada keajaiban-keajaibannya, gerakkan hati dengan ‘ajaib-ajaib tersebut. Janganlah yang menjadi target kamu (sampai) pada akhir surat”, tegasnya.

Membaca dengan tartil dan perlahan-lahan yang disertai tadabbur (perenungan) lebih merasuk ke dalam jiwa. Apatah lagi jika dilakukan dalam shalat atau diwaktu malam, sebagaimana dikatakan oleh Syekh  asy-Syinqithiy rahimahullah, “Tidak ada yang dapat meneguhkan al-Qur’an dalam dada, serta  memudahkan menghafal dan memahaminya, kecuali dengan membacanya dalam shalat di tengah malam (Muqaddimah Adhwaul Bayan, 1 /4).  Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk membaca al-Qur’an secara tartil dalam shalat malam. Karena menurut Ibnu Abbas hal itu lebih memudahkan untuk memahami al-Qur’an (ajdaru an yafqaha al-Qur’an).

Singkatnya, al-Qur’anmerupakan sumber inspirasi dan energi kehidupan para salaf. Mereka mementingkannya melebihi kepentingan mereka terhadap makanan dan minuman. Sebab mereka sadar, bahwa kehidupan yang hakiki danya dapat diraih dengan mengikuti petunjuk al-Qur’an. Oleh karena itu, jika ingin menikmati lezatnya al-Qur’an mari mengikuti manhaj dan metode mereka dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Ja’alanallahu waiyyakum min ashabil Qur’an. Wallahu a’lam bis Shawab. (diadaptasi dari Manhajus Salaf fi Talaqqil Qur’an wa Tadabburihi dalam Tsalatsuna Majlisan fit Tadabbur; Majalis Imaaniyah wa ‘Ilmiyyah, hlm.43-50)

Jumat, 15 November 2013

4 Metode Salaf dalam Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (1)

Imam Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

" إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواماً ويضع به آخرين "

“Sesunggunya Allah memuliakan dan menghinakan suatu kaum dengan al-Qur’an.” (Terj. HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi). Lafadz ini terdapat dalam Shahih Muslim.Sedangkan dalam lafadz ad-Darimi berbunyi; 

" إن الله يرفع بهذا القرآن..."

Sesungguhnya Allah memuliakan dengan al-Qur’an ini (HR.Ad-Darimi)

Maksudnya kemuliaan dan kehinaan suatu, kaum, bangsa, dan ummat sangat ditentukan oleh kadar perlakuan mereka terhadap al-Qur’an. Jika mereka memuliakan al-Qur’an maka Allah memuliakan mereka. Sebaliknya jika mereka mengetepikan al-Qur’an, maka kehinaan akan Allah timpakan kepada mereka.

Tentu saja manusia paling mulia yang dimulikan oleh Allah lantaran perlakuan mulia mereka terhadap al-Qur’an –setelah Rasulullah- adalah generasi awal ummat ini. Mereka yang biasa dikenal dengan sebutan salafus Saleh digelari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik Islam. Nabi mengatakan dalam sabdanya:

خير الناس قرني، ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

 “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian yang setelah mereka (para tabi’in), lalu yang setelah mereka (tabi’ tabi’in)”. (Terj. HR. Bukhari dan Muslim).

Dan tidak dapat dipungkiri bahwa, salah satu sebab  kemuliaan dan kejayaan  mereka adalah lantaran berpegang teguh dengan al-Qur’anul Karim. Oleh karena itu, bagi yang ingin mengikuti jejak mereka hendaknya mengenali manhaj dan metode mereka dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Syekh Dr. Muhammad ibn Abdillah Rabi’ah hafidzahullah mengatakan bahwa, “Siapapun yang mengamati kehidupan para salaf, akan menemukan bahwa mereka memiliki manhaj tertentu dalam berinteraksi dengan kitab suci yang agung ini (al-Qur’an)”. Selanjutnya ,  dosen di Universitas Qasim Saudi Arabia anggota ini menyebutkan empat metode para salaf dalam berinteraksi dengan al-Qur’an:

1.    Mengenali Keagungan dan Maksud diturunkannya Al-Qur’an

Hal itu dimaksudkan untuk menumbuhkan kecintaan dan pengagungan terhadap al-Qur’an. Sebab kecintaan, pengagungan, dan keimanan  terhadapnya dapat menumbuhkan husnut ta’amul (interaksi yang baik) dengan al-Qur’an. Karena barang siapa yang mengetahui nilai sesuatu maka ia kan memperhatikannya. Sikap seperti ini dapat kita saksikan pada kehidupan para generasi awal Islam. Perkataan dan perbuatan mereka mencerminkan kecintaan, pengagungan, dan keimanan terhadap al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya mari simak perkataan Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut ini.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah ma’dubah (jamuan)-Nya Allah, maka pelajarilah (nikmatilah) jamuan-Nya semampu kalian. Al-Qur’an ini adalah tali Allah yang Dia perintahkan untuk –berpegang- dengan nya. Ia adalah cahaya Allah yang terang, obat penawar yang sangat bermanfaat, serta pelindung bagi yang berlindung dengannya.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, Allah menjamin orang yang membaca al-Qur’an tidak akan sesat di dunia dan tidak akan sengsara di akhirat. Lalu beliau membaca firman Allah;

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. “(QS. Thaha:123). (Mustadrak, Imam Hakim, 2/413, no.3438). Yang dimaksud dengan membaca adalah mengikuti petunjuknya sebagaimana diterangkan dalam ayat tersebut.

Saat ini kita sangat butuh untuk membina hati-hati kita untuk mencintai dan mengagungkan al-Qur’an. Karena sikap pengagungan, kecintaan yang tulus, dan keimanan terhadap al-Qur’an telah berkurang pada sebagian kalangan. Hal ini menyebabkan lemahnya interaksi kita dengan al-Qur’an. Solusinya adalah menanamkaan pengagungan dan kecintaan terhadap al-Qur’an dalam hati-hati kita dan membangun kesadaran tentang perlunya merealisasikan tujuan diturunkannya al-Qur’an. (Bersambung Insya Allah)

Kenapa Tarbiyah Lewat Halaqah-halaqah Al-Qur’an? (1)

Ada satu ungkapan yang cukup akrab dalam dunia pendidikan kita, yakni, at-thariqatu ahammu minal maaddah. Cara lebih penting dari materi. Maksudnya keberhasilan suatu proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh efektifitas metode yang dipakai. Sebaik apapun materinya, jika tidak disampaikan dengan cara yang baik, maka tidak akan seefektif jika disampaikan dengan metode yang lebih baik. Sebaliknya materi yang biasa-biasa saja bisa lebih baik jika disampaikan dengan metode yang baik. Tentu saja yang terbaik adalah materi yang baik disampaikan dengan metode yang baik pula.  Dalam konteks pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) materi terbaik adalah al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah sumber ilmu tertinggi. Selain itu al-Qur’an juga memuat metode pendidikan terbaik. Karena pada prinsipinya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah sebagai pengajar (mu’allim) yang mengajarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu mentarbiyah dengan al-Qur’an adalah sebuah keharusan. Kita mesti menjadikan al-Qur’an sebagai sumber dan metode dalam bertarabiyah. Berikut ini adalah silsilah “Kenapa Tarbiyah Lewat Halaqah-halaqah Al-Qur’an?, yang kami kutip dari website: http://www.albayan.co.uk/id/.

Pertama, Merupakan Metode Rabbani yang Allah Pilih buat Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam dalam Al-Qur’an, AllahTa’ala berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْـمُؤْمِنِينَ إذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّـمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْـحِكْمَةَ وَإن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ

 “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada kaum mukmin ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”(QS. Aali ‘Imran/3: 164).

Ayat ini menunjukkan bahwa misi Nabi tidak terbatas pada membacakan Kitabullah agar dihapal oleh sahabat-sahabatnya, tetapi juga menjelaskan arti dan hukum-hukum yang dikandungnya. Sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggabungkan antara perhatian terhadap teks dan hapalan/bacaan dengan perhatian terhadap pendidikan/penyucian jiwa dan pengajaran.

Dengan kata lain, proses pendidikan yang hanya menekankan pada hapalan tanpa pengajaran arti dan penyucian jiwa adalah pendidikan yang timpang. Prinsip ini diketahui betul oleh para sahabat Nabi. Imam Abu Abdirrahman al-Sulami, ulama yang belajar langsung Al-Qur’an kepada Ibn Mas’ud berkata:“Kami belajar Al-Qur’an dari kaum yang mengatakan kepada kami bahwa mereka dahulu jika belajar sepuluh ayat, mereka tidak akan melangkah ke sepuluh ayat berikutnya hingga mereka tuntas mempelajari kandungannya: kami belajar Al-Qur’an dan pengamalannya sekaligus.”(Al-Dzahabi,Siyar A’lam al-Nubala, Juz IV, h. 269).

Bisa jadi inilah rahasia di balik turunnya Al-Qur’an secara bertahap sesuai dengan momentum dan kronologis peristiwa. Tujuannya, menciptakan pengaruh ke dalam hati manusia yang menerima dan menghapalnya. Pengaruh yang tertancap dalam sehingga mampu mengubah sikap dan perilaku serta mendidik jiwa. Setiap kali ayat turun, sahabat-sahabat menghapal, memahami arti, dan menjalankan ajarannya.

Mari kira visualisasikan kembali kondisi sahabat-sahabat Nabi yang pulang dari perjanjian Hudaibiyah. Mereka kecewa karena terhalang melakukan umrah di Masjidil Haram. Sebelum mereka nyaris mencukur rambut dan menyembelih onta mereka, mata mereka memandang kota Mekkah. Hati mereka terbakar oleh kerinduan untuk bertemu Ka’bah dan merasakan indahnya kemenangan yang besar. Di momen yang mengharu-biru itu, turunlah firman Allah yang berbunyi:

لِيُدْخِلَ الْـمُؤْمِنِينَ وَالْـمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِندَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًا

“Supaya Dia memasukkan kaum mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.”(QS. al-Fath/48: 5).

Dalam konteks ini, Al-Qur’an memanfaatkan kondisi kejiwaan sahabat-sahabat Nabi yang galau untuk mengintrodusir konsep kemenangan hakiki di sisi Allah. Pemahaman bahwa masuk Surga dan ampunan dosa merupakan keuntungan yang jauh lebih besar daripada kemenangan melawan kaum kafir. Dan hal itu hanya terwujud lewat keimanan dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Akhirnya, sahabat-sahabat Nabi meninggalkan Hudaibiyah dengan membawa pemahaman yang baru yang lebih menguatkan mereka terhadap Islam. Pemahaman yang mendorong seorang Umar ibn Khattabradhiyallahu anhuuntuk melakkukan amal shalih yang dia harapkan bisa menghapus kesalahannya karena menggugat keputusan Rasulullahshallallahu alaihi wasallamdi Hudaibiyah.
Metode Nabi dalam mengajarkan Al-Qur’an adalah gabungan antarata’lim/mengajar,tazkiyah/menyucikan jiwa, dantilawah/membaca. Inilah metode yang memberi kesan dan telah AllahTa’alapilih buat Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam.

Kedua, Merupakan Implementasi Bacaan yang Sebenar-benarnya terhadap Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman:

{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ أُوْلَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ}

“Orang-orang yang telah Kami berikan Alkitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya.”(QS. al-Baqarah/2: 121).

Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu berujar,“Demi yang jiwaku di tangan-Nya, bacaan yang sebenar-benarnya terhadap Al-Qur’an adalah menghalalkan yang dia halalkan dan mengharamkan yang dia haramkan, membacanya sebagaimana Allah turunkan, tidak menyelewengkan maknanya, dan tidak menyalahtafsirkan sehingga keluar dari maknanya.”
Mujahid berkata,“Yaitu mengikutinya dengan sebenar-benarnya.”(Ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz I, h. 226).

Keterangan ayat ini menunjukkan bahwa keutamaan sejati bukan terhadap manusia yang membaca serta menghapalnya saja, tapi menjalankan dan mengamalkan ajarannya. Inilah pembacaan yang sebenar-benarnya terhadap Al-Qur’an.

Senada dengan ini, pernyataan Ibn Taimiyah bahwa ungkapan “tilawah” seperti dalam firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 121 mencakup pengamalan terhadap Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan Ibn Mas’ud dan selainnya di muka. (Lihat: Ibn Taimiyah,Majmu’ Fatawa, Juz VII, h. 167).

Dari sini dapat dipahami bahwa pengajaran Al-Qur’an yang semata membaca dan menghapal tanpa mempelajari hukum dan adab-adab yang dikandungnya merupakan kelemahan.  Pengajaran Al-Qur’an yang paripurna hanya terwujud dengan melengkapi hapalan Al-Qur’an dengan pelajaran mengamalkan isinya.

Mari kita simak hadits berikut. Dari Nawwas ibn Sam’anradhiyallahu anhu,“Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Pada hari Kiamat, Al-Qur’an dan Ahl al-Qur’an yang dahulu (di Dunia) mengamalkan isinya akan didatangkan, dia diantar oleh surah al-Baqarah dan Aali Imran.”(HR. Muslim, no. 805).

Bila demikian ganjaran bagiAhl al-Qur’anyang mengamalkan isinya, bagaimana dengan guru-guru Al-Qur’an yang mendidik murid-muridnya agar mengamalkan Al-Qur’an? Bagaimana dengan guru-guru yang telah menelorkan jumlah murid yang banyak? Di zaman ini, kita membutuhkan halaqah-halaqah yang melahirkan manusia-manusia yang membaca Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya serta tunduk kepada hukum halal dan haramnya. Manusia-manusia model ini hanya bisa lahir lewat tarbiyah imaniyah yang dilakukan oleh guru-guru Al-Qur’an. Bersambung insya Allah. (sumber:http://www.albayan.co.uk/id/article.aspx?id=210#.UoZdzz7WbNg.facebook)

Senin, 11 November 2013

Shiyam (Puasa) ‘Asyuro

Saat ini kita sedang berada di bulan suci dan mulia. Yakni bulan suci  Muharram. Bulan ini merupakan satu dari empat bulan yang disucikan dan dimuliakan oleh Allah [QS:9:36]. Bulan ini disebut pula dengan syahrullah (bulan-Nya Allah. Sebagai Muslim yang beriman kita harus memuliakan bulan ini. Diantara bentuk penuliaan terhadap bulan ini adalah dengan meninggalkan segala bentuk kedzaliman (dosa dan maksiat).

Selain itu amalan lain yang juga dianjurkan pada bulan ini adalah puasa sunnah. Karena puasa pada bulan Muharram merupakan puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah haditsnya bahwa:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم (رواه مسلم)

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bula Allah (yaitu) Muharram, , , ”. (terj. H.R. Muslim).

Imam al-Qari berkata, “dzahirnya, yang dimaksud adalah berpuasa pada sepanjang bulan Muharram”. Sedangkan Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, “Jika dikatakan bahwa puasa paling afdhal setelah Ramadhan adalah adalah puasa pada bulan Muharram? Lalu bagaimana dengan memperbanyak puasa sya’ban melebihi puasa di bulan Sya’ban? Maka jawabannya adalah, “Mungkin beliau tidak mengetahui keutamaan puasa Muharram melainkan di akhir hayat beliau sebelum beliau sempat melakukannya, atau beliau ditimpa sakit atau sedang safar sehingga tidak sempat memperbanyak puasa, atau karena faktor lain”.

Imam Ibnu Rajab berkata, “Shiyam tathawwu’ ada dua macam, yakni; [pertama] shiyam tathawu’ mutlak. Puasa sunnah mutlak yang paling afdhal adalah puasa Muharram. Sebagaimana shalat sunnah mutlak yang paling afdhal adalah qiyamullail (shalat malam). [Kedua] Shiyam yang menyertai shiyam Ramadhan seperti puasa sya’aban dan enam hari di bulan syawal. Ini tidak termasuk puasa sunnah mutlak. Karena termasuk jenis puasa yang menyertai puasa Ramadhan. Ini lebih afdhal dari puasa tathawwu’ mutlak. Syekh Soleh al-Munajjid mengomentari pendapat Ibn Rajab di atas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan. Sehingga hadits ini dibawa kepada ma’na anjuran memperbanyak shiyam pada bulan Muharram. Bukan berpuasa sebulan penuh.

Selain itu di bulan ini ada  hari ‘Asyuro yang ditekankan untuk berpuasa pada hari tersebut. Sehingga bagi yang tidak sempat memperbanyak puasa pada bulan Muharram ini, jangan sampai melewatkan puasa di hari yang satu ini. Karena puasa ini memiliki fadhilah yang sangat utama, yakni menghapus dosa selama setahun. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda, “Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits lain dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata: "Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Keutamaan Puasa‘Asyuro
Sebelum menguraikan keutamaan puasa ‘asyuro, akan diuraikan terlebih dahulu sekilas tentang keutamaan hari ‘asyuro itu sendiri. Hari ‘asyuro (10 maharram) merupakan hari mulia. Sebelumnya orang-orang Yahudi juga memuliakan bulan ini, karena menurut mereka ini adalah hari yang mulia karena pada hari tersebut Allah menyelamtakan nabi Musa dari kejaran Fir’aun bersama balatentaranya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut. Beliau bertanya, “hari apa ini sehingga kalian berpuasa pada hari ini?” Mereka menjawab, ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan nabi Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai tanda syukur kepada Allah. maka kamipun berpuasa. Rasulullah bersabada, “kami lebih berhak atas Musa dari kalian”. Lalu Rasulullah berpuasa dan menyuruh para sahabat untuk turut berpuasa.
Puasa ‘asyuro memiliki beberapa keutamaan, diantaranya;
Pertama, Puasa ‘asyuro merupakan puasa sunnah paling afdhal setelah ramadhan. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi yang telah disebutkan di atas.
Kedua, Menghapus dosa setahun sebelumnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi pernah ditanya tentang keutamaan puasa ‘asyuro, beliau menjawab, “Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (ter.H.R. Bukhari dan Muslim). Tentu saja yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil.
Ketiga, Puasa ‘asyuro sangat diperhatikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma seperti disebutkan di atas.

Tingkatan Puasa ‘Asyuro
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitab Zaadul Ma’aad –berdasarkan riwayat-riwayat yang ada- menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan puasa ‘asyuro:
a. Urutan pertama, dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11)
b. Urutan kedua, puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits
b. Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja.

Puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11) dikuatkan para para ulama dengan dua alasan sebagai berikut:
1. Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10)
2.  Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).

Adapun puasa tanggal 9 dan 10, dinyatakan jelas dalam hadis pada akhir hidup beliau sudah merencanakan untuk berpuasa pada tahun depannya. Hanya saja beliau meninggal sebelum melaksanakannya. Beliau juga memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi. 

Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja, sebagian ulama memakruhkannya, meskipun pendapat ini tidak dikuatkan sebagian ulama yang lain.  Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan puasa,sekalipun itu hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah, dan tetunya kita berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin. Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr ditanya tentang pendapat sebagian ulama yang memakruhkan berpuasa sehari saja (10 Muharram). Beliau menjawab: "Tidak diragukan lagi bahwa berpuasa sehari sebelumnya lebih afdhal sebab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Jika aku mendapati tahun yang akan datang, maka aku akan berpuasa pada hari ke sembilan". Namun jika ia hanya mampu melaksanakan puasa Asyura secara sendiri (tidak didahului dengan puasa pada tanggal 9) maka tidak mengapa. Tapi mendahulukannya dengan puasa sehari jauh lebih afdhal karena Rasulullah shallahu alaihi wasallam sangat berkeinginan untuk melakukannya." Wallahu ta'ala a'lam"



Keutamaan Bulan Muharram

Hari ini kita memasuki bulan Muharram 1435 H. Bulan  yang merupakan bulan pertama dalam Kalender Hijriyah ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bulan sial. Sehingga diantara mereka ada yang mengindari mengadakan hajatan pada bulan tersebut. Salah satu hajatan yang biasa dihindari untuk diadakan pada bulan itu adalah pernikahan. Ini adalah anggapan yang keliru. Justru Muharram termasuk diantara bulan-bulan yang dimuliakan dan dihormati, bukan bulan  yang mendatangkan sial. Kemulian bulan muharraam dinyatakaan oleh ayat Allah Ta’ala dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah, Rasul-Nya dan para sahabat memuliakan bulan ini.

Bulan Mulia
Bulan Muharram merupakan satu dari empat bulan mulia yang disebut asyhurul hurum Sebagaimana dinyataakaan oleh Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 36:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ [٩:٣٦]

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (terj. Q.S. at Taubah :36).

Yang dimaksud dengan empat bulan haram dalam ayat di atas adalah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Hal ini dijelaskan oleh Nabi dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam bersabda ,“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati: 3 bulan berturut-turut; Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharra  m dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada tsaniah dan Sya’ban.” (terj. HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Al Qodhi Abu Ya'la rahimahullah, penamaan bulan haram [1] diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut sebagaimana hal ini diyakini pula oleh orang jahiliyyah, dan [2] Larangan untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya. (lihat Zadul Maysir, Ibnu Jauziy). Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Ibnu Abbas, Qatadah dan yang lainnya.

Oleh karena Muharram merupakan bulannya Allah yang mulia [syahrullah al-haram], maka kita harus memuliakannya. Sebagaimana dikatakan oleh Qatadah rahimahullah. “Sesungguhnya Allah memilih yang termulia dari makhluq ciptaan-Nya. Dari para Malaikat dan manusia Dia pemilih para utusan [Rasul]-Nya sebagai Malaikat dan manusia termulia. Dari perkataan manusia Dia memilih dzikrullah. Di bumi Dia memilih masjid sebagai tempat termulia. Dari seluruh bulan (asy-syuhur) Dia memilih Ramadhan dan bulan-bulan haram. Dari hari-hari Dia memilih hari jum’at, dan Dia juga memilih malam lailatulqadr sebagai malam paling mulia. Maka muliakanlah yang dimulikan oleh Allah”. Sebab, pemuliaan terhadap yang dimuliakan oleh Allah merupakan alamat ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Waman yu’adzim sya’airallah fiannaha min taqwal qulub”.

Syahrullah
Selain itu bulan ini disebut pula dengan syahrullah [bulan-Nya Allah]. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم (رواه مسلم

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bula Allah (yaitu) Muharram, , , ”. (terj. H.R. Muslim).

 Penyebutan ini memberi makna bahwa bulan ini memiliki keutamaan khusus karena disandarkan pada lafdzul Jalalah (Allah). Menurut Para Ulama penyandingan sesuatu pada lafdzul Jalalah menunjukan tasyrif (pemuliaan), sebagaimana istilah baitullah, Rasulullah, Saifullah dan sebagainya. Menurut Imam Ibnu Rajab al-Hambali  rahimahullah, “Muharram disebut dengan syahrullah (bulan-Nya Allah) karena [1]  untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram, serta [2] untuk menunjukkan otoritas Allah Ta’ala dalam mensucikankan dan memuliakan bulan Muharram”.

Lalu, bagaiman seharusnya memuliakan bulan ini?
Oleh karena Muharram merupakan bulannya Allah yang mulia [syahrullah al-haram], maka kita harus memuliakannya. Tentu memuliakan dan menghormati bulan ini bukan dengan mengkeramatkannya, bukan dengan menganggapnya sebagai bulan sial. Bukan pula dengan menghindari hajatan karena taakut sial dan seterusnya. Tapi kita hendaknya memuliakaan bulan ini sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya. Kita harus memuliakaan bulan ini sebagaimana Rasulullah dan para sahabat mengormatinya. Yakni dengan meninggalkan segala bentuk dosa dan meningkatkan ibadah kepada Allah Ta’ala.

Jangan Berbuat Dzalim di bulan Muharram

Pada bulan-bulan mulia ini –termasuk muharram-, Allah melarang berbuat dzalim. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah memalui kalimat “Fala tadzlimu fihinna anfusakum,”. Maksudnya janganlah kalian mendzalimi diri sendiri pada bulan-bulan tersebut. Karena keharaman dosa pada bulan-bulan itu lebih tegas, dan dosanya lebih berat dari dosa yang dilakukan pada bulan-bulan lain. Hal ini seperti pelipatgandaan dosa yang dilakukan di tanah haram. Sebagaiaman dinyatakan oleh Allah, “Waman yurid fihi bi ilhadin bi dzulmin. . .

Menurut Ibnu Ishak sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, ma’ana kalimat ‘fala tadzzlimu fihinna anfusakum’ adalah janganlah kalian jadikan yang haram menjadi halal dan yang halal menjadi haram sebagaimana dilakukan oleh para ahli syirik. 

 Oleh karena itu hendaknya kita memuliakan dan menyicikan bulan ini dengan meninggalkan segala bentuk kedzaliman. Mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Dan kedzaliman nomor wahid yang harus dihindari dan dijauhi adalah kesyirikan. Sebab, syirik merupakan kedzaliman paling besar, sebagaimana firman Allah dalam surah Luqman ayat 13:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

"sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS Luqman:13)

Sunnah Bepuasa
Amalan yang dianjurkan pada bulan ini adalah puasa sunnah. Karena puasa pada bulan Muharram merupakan puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan. Imam al-Qari berkata, “dzahirnya, yang dimaksud adalah berpuasa pada sepanjang bulan Muharram”. 

Sedangkan Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, “Jika dikatakan bahwa puasa paling afdhal setelah Ramadhan adalah adalah puasa pada bulan Muharram? Lalu bagaimana dengan memperbanyak puasa sya’ban melebihi puasa di bulan Sya’ban? Maka jawabannya adalah, “Mungkin beliau tidak mengetahui keutamaan puasa Muharram melainkan di akhir hayat beliau sebelum beliau sempat melakukannya, atau beliau ditimpa sakit atau sedang safar sehingga tidak sempat memperbanyak puasa, atau karena faktor lain”.

Imam Ibnu Rajab berkata, “Shiyam tathawwu’ ada dua macam, yakni; [pertama] shiyam tathawu’ mutlak. Puasa sunnah mutlak yang paling afdhal adalah puasa Muharram. Sebagaimana shalat sunnah mutlak yang paling afdhal adalah qiyamullail (shalat malam). [Kedua] Shiyam yang menyertai shiyam Ramadhan seperti puasa sya’aban dan enam hari di bulan syawal. Ini tidak termasuk puasa sunnah mutlak. Karena termasuk jenis puasa yang menyertai puasa Ramadhan. Ini lebih afdhal dari puasa tathawwu’ mutlak. Syekh Soleh al-Munajjid mengomentari pendapat Ibn Rajab di atas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan. Sehingga hadits ini dibawa kepada ma’na anjuran memperbanyak shiyam pada bulan Muharram. Bukan berpuasa sebulan penuh.

Selain itu di bulan ini ada  hari ‘Asyuro yang ditekankan untuk berpuasa pada hari tersebut. Sehingga bagi yang tidak sempat memeprbanyak puasa pada bulan Muharram ini, jangan sampai melewatkan puasa di hari yang satu ini. Karena puasa ini memiliki fadhilah yang sangat utama, yakni menghapus dosa selama setahun. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda, “Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits lain dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata: "Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)






Selasa, 22 Oktober 2013

Remaja tanpa Krisis Identitas

MITOS besar itu adalah remaja merupakan masa krisis identitas. Kita manggut-manggut dan percaya, lalu memberi toleransi yang sebesar-besarnya terhadap berbagai perilaku yang tidak patut. Alasannya? Mitos lagi: remaja sedang mencari identitas diri. Lho, memangnya identitas mereka ketinggalan dimana? Jika hilang, apa sebabnya identitas diri mereka hilang begitu memasuki usia remaja? Jika mereka belum memiliki identitas diri yang jelas, pertanyaan serius yang perlu kita jawab adalah, “Apa saja yang kita kerjakan selama bertahun-tahun sehingga membiarkan anak-anak kita memasuki usia remaja tanpa memiliki identitas diri yang jelas?”

Apa akibat serius mempercayai mitos ini?
Pertama, kita abai terhadap keharusan menyiapkan anak-anak kita agar memiliki identitas diri yang kuat semenjak usia kanak-kanak. Kita abai karena menganggap belum masanya, sehingga mereka benar-benar mengalami krisis identitas saat memasuki usia remaja. Mereka mengalami krisis karena kita memang mengabaikan tanggung-jawab untuk menumbuhkan, menyemai dan menguatkan.

Kedua, tanpa identitas diri yang kuat, anak lebih mudah terpengaruh teman sebaya. Bukan bersibuk mengejar apa yang menjadi tujuannya karena ia memang belum memilikinya secara kuat. Ini pun menyisakan pertanyaan penting, yakni mengapa ada anak yang mudah terpengaruh oleh temannya, sementara yang lain justru menjadi sumber pengaruh.

Ketiga, dalam kondisi tak memiliki identitas diri yang kuat, remaja cenderung mengidentifikasikan diri dengan sosok yang dianggap besar. Inilah idolatry (pemujaan, pengidolaan). Siapa yang mereka idolakan? Tergantung kemana media membawa mereka dan apa yang paling membekas dalam diri mereka. Dan hari ini, media sedang bergerak menjadikan artis, atlet dan siapa pun menjadi idola. Kita tak mengenal mereka, kita tak mengetahui akhlaknya (atau justru sudah sampai pada tingkat tidak mau tahu), tetapi media menggambarkan mereka sebagai sosok luar biasa, sehingga remaja dapat mengalami histeria karena memperoleh apa-apa yang berhubungan dengan idola. Rasanya, “sesuatu banget” (gue banget).

Masalahnya adalah, orang-orang yang mereka idolakan itutidak memberi arah hidup yang jelas. Kita hanya memperoleh info sepotong-potong. Dan masalah yang jauh lebih serius, sosok tersebut bahkan tidak memiliki integritas pribadi yang dapat diandalkan. Apatah lagi kalau kita bertanya tentang keteguhan iman dan kelurusan aqidah….

Jadi, ada dua hal penting yang perlu kita benahi dalam diri kita dalam masalah remaja. Pertama, mengoreksi diri sendiri agar tidak menganggap remeh persoalan-persoalan yang muncul pada para remaja sebagai kewajaran. Kaidah pentingnya, tidak akan muncul masalah jika tidak ada yang salah. Begitu kita mengabaikan, maka kita tidak cepat tanggap sehingga persoalan dapat berkembang sedemikian jauh. Kita menganggap biasa persoalan yang seharusnya diselesaikan segera. Kedua, menyiapkan anak-anak memasuki masa remaja semenjak mereka masih kanak-kanak. Ini bukan terutama dengan memberi keterampilan atau mengasah kecerdasan. Tetapi yang jauh lebih penting adalah: membangun orientasi hidup yang jelas, tujuan hidup yang kuat serta orientasi belajar. Lebih lengkap lagi jika semenjak awal anak diajak untuk mengenali diri sendiri dan menerima sepenuhnya kelebihan maupun kekurangannya.

Hanya membekali anak dengan keterampilan dan kemampuan akademik maupun kesenian, tidak menjadikan mereka memiliki arah hidup yang jelas. Mereka tak mempunyai pegangan yang kokoh. Boleh jadi mereka cerdas, tapi tanpa orientasi yang kuat memudahkan mereka mengalami krisis kepribadian (salah satunya krisis identitas) begitu mereka memasuki masa remaja atau bahkan sebelum itu. Nah, mari kita bertanya, siapakah yang salah jika remaja bermasalah sementara kita hanya bekali mereka dengan keterampilan dan pengetahuan saja saat kanak-kanak?

Mengenali dan menerima sepenuhnya kelebihan dan kekurangan ini sangat penting bagi anak agar tidak minder tatkala berada di tengah-tengah teman sebaya. Jika pengenalan diri ini disertai dengan empati (dan ini perlu kita tumbuhkan dalam diri mereka, bukan hanya berharap) anak akan lebih mudah menghargai orang lain, ringan hati memberi tahniah (ucapan selamat) saat ada teman yang meraih prestasi, dan ringan langkah membantu temannya yang lemah. Dalam lingkup kelas, ini memudahkan pembentukan iklim kelas yang positif (positive classroom climate) dimana yang cemerlang akan berkembang, sementara yang lemah akan memperoleh dukungan dari teman sekelas untuk mengatasi kelemahannya. Mereka merasa menjadi “satu keluarga”. Inilah yang agaknya kerap terlalaikan dari sekolah-sekolah kita.

Pertanyaannya, bukankah buku-buku psikologi modern menyatakan bahwa krisis identitas sebagai keniscayaan? Ya. Dan inilah akibat arogansi Amerika yang menganggap fakta di negerinya sebagai realitas yang berlaku untuk warga seluruh dunia. Padahal di banyak negara, terutama negeri-negeri timur, remaja tidak mengalami itu. Yang menarik kita perhatikan, remaja di Timur Tengah tak mengalami krisis identitas sampai negeri mereka mengadopsi model pendidikan a la Amerika. Lebih lanjut, silakan baca buku The 50 Great Myths in Popular Psychology.

Empat Sebab Kenakalan
Di luar masalah krisis identitas, bisa saja remaja maupun anak-anak melakukan perilaku yang tidak patut secara sengaja. Ada empat sebab anak bertindak demikian.

Pertama, anak melakukan tindakan-tindakan tidak menyenangkan tersebut untuk memperoleh perhatian. Dalam hal ini, yang dapat kita lakukan adalah menunjukkan kepada mereka apa yang perlu mereka lakukan untuk memperoleh perhatian. Disamping itu, kita berusaha memberi perhatian yang memadai.

Kedua, anak bertingkah karena motif kekuasaan, yakni mereka bertingkah untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak dapat dipaksa. Anak semacam ini antara lain dapat “dikendalikan” antara lain dengan memberinya tanggung-jawab mengatur.

Ketiga, anak bertingkah sebagai balas dendam. Tindakan dilakukan untuk maksud menyakiti hati (orangtua atau guru) dan bahkan sampai ke taraf ingin mempermalukan. Anak tak peduli resiko yang dihadapi.

Keempat, anak bertingkah karena merasa dirinya tidak akan berhasil. Ia merasa pasti gagal. Maka, untuk menjadikan kegagalan (yang belum tentu menimpanya) sebagai hal yang wajar terjadi, ia justru nakal. Dalam hal ini, kenakalan terjadi untuk“menghindari kegagalan”.

Salah satu kunci untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengetahui secara tepat apa yang menjadikan anak melakukan kenakalan. Ada empat sebab, tetapi hanya ada satu yang benar-benar mendorong anak bertingkah tidak patut; apakah untuk mencari perhatian, kekuasaan, balas dendam atau menghindari kegagalan. Mengetahui sebabnya dengan pasti memudahkan kita mengambil langkah penanganan.

Alaa kulli haal, kitalah yang bertanggung-jawab mengantarkan anak-anak memasuki masa remaja dengan orientasi hidup yang jelas, tujuan hidup yang kuat serta orientasi belajar yang mantap. Jika anak-anak menampakkan gejala melakukan kenakalan, kita perlu berbenah agar anak tak salah arah.

Terakhir…. Ada satu pertanyaan serius. Anak-anak kita telah tampak kehebatannya saat usia TK atau SD kelas bawah. Mereka sudah pandai membaca dan terampil berhitung, di saat teman-temannya yang di Jepang dan berbagai negara lain bahkan belum mampu mengeja. Tetapi, mengapa para remaja di Jepang mencapai kegilaannya belajar setelah memasuki SLTA dan terutama saat kuliah? Sementara anak-anak di negeri kita yang semata wayang ini justru memperoleh kemerdekaan sebesar-besarnya setelah lulus SLTA. Sekolah menjadi penjara, sehingga kelulusan mereka rayakan dengan hura-hura! (Sumber: Tulisan Ustad Mohammad Fauzil Adhim motivator dan penulis buku-buku parenting/www.hidayatullah.com)

Minggu, 13 Oktober 2013

Anak Shaleh, Jalan Surga Orangtua


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ ِباللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
 
Allahu akbar, Allahu akbar la ilaha illaLlahu Allahu akbar walillahilhamd
Kaum muslimin yang berbahagia!
Hari ini, kita kembali menjadi saksi betapa luasnya kasih-sayang Allah Azza wa Jalla kepada kita semua. Pagi hari ini, kita kembali merasakan betapa besarnya rahmat dan ampunanNya untuk kita semua.
Dosa demi dosa kita kerjakan nyaris sepanjang hari. Perintah demi perintahNya hampir kita abaikan setiap saat. Tapi lihatlah, Allah Azza wa Jalla yang Maha Pengasih itu tidak pernah bosan memberikan kesempatan demi kesempatan kepada kita untuk bertaubat dan kembali padaNya. Allah Azza wa Jalla yang Maha Penyayang itu tidak pernah menutup pintu ampunanNya yang luas.
Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illaLlahu Allahu akbar walillahilhmad
Kaum muslimin yang berbahagia!
Hari Raya Idul Adha adalah kisah tentang sebuah keluarga mulia yang diabadikan oleh Allah Azza wa Jalla untuk peradaban manusia. Itulah kisah keluarga Ibrahim ‘alaihissalam. Melalui kisah keluarga Ibrahim ‘alaihissalam itu, Allah Ta’ala ingin menunjukkan kepada kita betapa pentingnya posisi keluarga dalam membangun sebuah peradaban yang besar. Sebuah masyarakat yang bahagia dan sejahtera, tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat.
Sebuah masyarakat tidak akan bisa menjadi bahagia dan sejahtera jika masyarakat itu gagal dalam membangun keluarga-keluarga kecil yang ada di dalamnya.
Dan jika kita berbicara tentang keluarga, maka itu artinya kita juga akan berbicara tentang salah satu unsur terpenting keluarga yang bernama: Anak. Dalam kisah keluarga Ibrahim ‘alaihissalam, sang anak itu “diperankan” oleh sosok Isma’il ‘alaihissalam.
Inilah sosok anak teladan sepanjang zaman yang kemudian diangkat menjadi seorang nabi oleh Allah Azza wa Jalla. Bahkan yang luar biasanya adalah melalui keturunan Isma’il ‘alaihissalam inilah kemudian lahir sosok nabi dan rasul paling mulia sepanjang sejarah manusia bahkan alam semesta, yaitu: Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Allahu akbar, Allahu akbar, La ilaha illaLlahu Allahu akbar walillahil hamd…
Kaum muslimin rahimakumullah!
Saya kira hampir semua dari kita mengikuti bagaimana anak-anak remaja kita yang bergabung dalam geng-geng motor mulai berani melakukan tindakan-tindakan anarkis yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Kita semua juga nyaris menyaksikan setiap hari di sudut-sudut jalan raya, bagaimana anak-anak kita dieksploitasi dan diperalat menjadi anak jalanan, mengemis dan meminta-minta sambil mengisap lem dari balik bajunya yang lusuh dan kotor.
Saya kira kita juga tahu hasil-hasil survey mutakhir yang menunjukkan bagaimana jumlah ABG yang hamil di luar nikah terus meningkat dalam jumlah yang sangat memprihatinkan.
Dan itu semua barulah segelintir masalah dan problem anak-anak kita di masa kini… Wallahul musta’an.
Allahu akbar Allahu akbar La ilaha illaLlah Allahu akbar walillahilhamd…
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah!
Harus kita akui dengan jujur bahwa salah satu penyebab utama terjadinya ini semua adalah orangtua itu sendiri. Tidak sedikit Orangtua yang terjebak dalam dua sikap ekstrem yang saling bertolak belakang: sikap yang memanjakan terlalu berlebihan dan sikap pengabaian yang menelantarkan anak-anak.
Ada orangtua yang menganggap bahwa kasih sayang kepada anak harus ditunjukkan dengan pemberian dan pemenuhan segala keinginannya. Bahkan ada juga orangtua yang memanjakan anak dengan segala fasilitas untuk mengangkat gengsinya sendiri sebagai orangtua!
Pada sisi yang lain, tidak sedikit orangtua yang tidak peduli dengan anak-anaknya. Atau menunjukkan kepedulian dengan melakukan kekerasan demi kekerasan kepada anak.
Karena itu, di hari yang penuh berkah ini, marilah kita berhenti sejenak, membuka hati untuk sejenak belajar dari ayahanda para nabi dan rasul, Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam. Belajar tentang betapa pentingnya nilai keluarga kita, tentang betapa pentingnya nilai seorang anak bagi orangtuanya di dunia dan akhirat.
Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar la ilaha illaLlahu Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd…
Para ayah dan bunda yang dimuliakan Allah!
Pelajaran pertama dari kisah Ibrahim ‘alaihissalam adalah bahwa untuk mendapatkan anak yang shaleh, maka orangtua terlebih dahulu berusaha menjadi orang yang shaleh. Karena siap menjadi orangtua artinya siap menjadi teladan untuk keluarga, bukan sekedar memberi makan dan mencukupi kebutuhan anak.
Keberhasilan Ibrahim ‘alaihissalam mendapatkan karunia anak shaleh seperti Isma’il ‘alaihissalam adalah karena beliau sendiri berhasil mendidik dan membentuk dirinya menjadi seorang hamba yang shaleh. Allah Azza wa Jalla menegaskan:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
“Sungguh telah ada untuk kalian teladan yang baik dalam diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.” (al-Mumtahanah: 4)
Pujian Allah Azza wa Jalla untuk Ibrahim ‘alaihissalam ini tentu saja didapatkannya setelah ia berusaha dan berusaha menjadi sosok pribadi yang dicintai oleh Allah Azza wa Jalla.
Pertanyaannya sekarang untuk kita semua adalah: siapakah di antara kita yang sejak awal menjadi orangtua sudah berusaha untuk belajar dan berusaha menjadi orangtua yang shaleh? Apakah kesibukan kita menshalehkan pribadi kita sudah menyamai kesibukan kita mengurus rezki dan urusan dunia lainnya?
Prof. DR. Abdul Karim Bakkar, seorang pakar pembinaan anak dan keluarga menegaskan: “Tarbiyah dan pembinaan keluarga yang kita capai itu adalah gambaran tentang bagaimana pembinaan pribadi kita sendiri!”
Allahu akbar, Allahu akbar, La ilaha illaLlahu Allahu akbar, Allahu akbar walillahilhamd
Ma’asyiral muslimin rahimahukumullah!
Pelajaran kedua dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah jika ingin memiliki anak yang shaleh, maka bersungguh-sungguhlah meminta dan mencita-citakannya dari Allah Azza wa Jalla. Allah Ta’ala mengabadikan doa-doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tentang itu di dalam al-Qur’an:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Tuhanku, karuniakanlah untukku (seorang anak) yang termasuk orang-orang shaleh.” (al-Shaffat: 100)
رَبِّ  اجْعَلْنِى  مُقِيمَ الصَّلَوٰةِ  وَمِن  ذُرِّيَّتِى رَبَّنَا  وَتَقَبَّلْ  دُعَآءِ  
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku orang yang menegakkan shalat, juga dari keturunanku. Ya Tuhan kami, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)
Kaum muslimin yang berbahagia!
Mungkin banyak di antara kita yang sekedar “mau” memiliki anak yang shaleh. Tapi siapa di antara kita yang sungguh-sungguh berdoa memintanya kepada Allah dengan kelopak mata yang berderai air mata? Siapa di antara kita yang secara konsisten menyelipkan doa-doa terbaiknya untuk keluarga dan anak-anaknya?
Allahu akbar, Allahu akbar La ilaha illaLlahu Allahu akbar wa lillahilhamd…
Jika kita memang sungguh-sungguh bercita-cita mendapatkan anak shaleh, maka kita harus berpikir dan berusaha sungguh-sungguh pula mencari jalannya, sama bahkan lebih dari saat kita bercita-cita ingin mempunyai penghasilan yang besar, rumah tinggal impian dan kendaraan idaman kita. Berikut ini beberapa hal yang sungguh-sungguh harus kita jalankan untuk mewujudkan impian “anak shaleh” tersebut:
Pertama, konsisten mencari rezki yang halal untuk keluarga:
Dalam pandangan Islam, apa yang dikonsumsi oleh tubuh manusia akan berpengaruh terhadap perilakunya. Karena itu, Islam mewajibkan kepada setiap orangtua untuk memberikan hanya makanan halal yang diperoleh melalui harta yang halal kepada anak-anak mereka. Bahkan nafkah yang halal untuk keluarga akan dinilai sebagai sedekah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا أَنْفَقَ عَلَى أَهْلِهِ كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Sesungguhnya seorang muslim itu jika ia memberi nafkah kepada keluarganya, maka itu akan menjadi sedekah untuknya.” (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh al-Albani)
Usaha memberikan nafkah yang halal tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi orangtua. Dan untuk itu, kita harus selalu mengingat peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tantangan tersebut. Beliau bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak lagi peduli apa yang ia kumpulkan; apakah dari yang halal atau dari yang haram?” (HR. al-Bukhari)
Apakah kita termasuk yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini? Orang yang tidak peduli dari mana mengais dan membawa pulang nafkah untuk keluarga; apakah itu dari hasil suap, korupsi dan manipulasi seperti yang sekarang ini sedang menjadi trend sebagian pejabat di negeri ini?! Semoga saja tidak, karena nafkah yang tidak halal yang tumbuh menjadi daging dalam tubuh. Dan Rasulullah telah berpesan:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنَ السُّحْتِ، النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Tidak akan masuk surga daging tumbuh dari harta haram, karena neraka lebih pantas untuknya.” (HR. al-Tirmidzi dengan sanad yang shahih)
Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illaLlahu Allahu akbar walillahilhamd…
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah!
Yang kedua, memberikan kasih sayang kepada anak tapi tidak memanjakannya:
Pada hari ini, seiring dengan perkembangan teknologi yang nyaris tak terbendung, kita sudah tidak aneh lagi melihat anak-anak yang dibekali oleh para orangtua dengan peralatan-peralatan komunikasi yang bisa apa saja, termasuk mengakses tayangan-tayangan pornografi.
Di samping dampak lain seperti kecanduan game dan semacamnya yang semakin merenggangkan hubungan komunikasi antara anak dan orangtua. Ini adalah satu contoh kasus di mana mungkin saja kita menganggap itu sebagai bukti kasih sayang kita kepada mereka.
Namun marilah memikirkan dengan jernih bahwa bukti cinta dan sayang kita yang sesungguhnya kepada mereka adalah dengan berusaha menyelamatkan mereka dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah diri dan keluarga kalian dari api nerakan yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (al-Tahrim: 6)
Apakah Anda rela membiarkan anak-anak Anda terpanggang di dalam kobaran api neraka? Apakah kita rela membiarkan anak-anak yang kita sayangi itu menjadi bahan bakar neraka Allah? Na’udzu billah min dzalik.
Kaum muslimin rahimakumullah!
Para ayah dan bunda yang berbahagia!
Selanjutnya yang ketiga adalah terus belajar dan belajar menjadi orangtua yang shaleh dan cakap:
Apakah kita sudah mengetahui semua panduan dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik anak?
Apakah kita sudah memahami bagaimana menghadapi karakter anak kita yang berbeda-beda itu?
Kita tidak dilarang mempelajari konsep pendidikan anak dari siapa saja, tapi selalu ingat bahwa konsep pendidikan dan pembinaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang terbaik dan yang wajib untuk kita jalankan. Tentu saja kita tidak lupa untuk meneladani jejak para sahabat Nabi dan Ahlul bait beliau secara benar, dan tidak berlebih-lebihan.
Cobalah kita renungkan betapa banyaknya hal yang harus kita pelajari sebagai orangtua. Karenanya sesibuk apapun urusan dunia kita, kita harus menyediakan waktu untuk belajar menjadi orangtua yang shaleh dan cakap.  Itulah harga yang harus kita bayar untuk menyelamatkan keluarga kita dari kobaran api neraka yang membara.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, La ilaha illaLlahu Allahu akbar walillahil hamd…
Kaum muslimin yang berbahagia!
Mengapa kita harus benar-benar serius merancang kehadiran anak shaleh di dalam rumah tangga kita? Menjawab pertanyaan itu, marilah merenungkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang insan meninggal dunia, akan terputuslah seluruh amalnya kecuali dari 3 hal: dari sedekah jariyah, atau dari ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang berdoa untuknya.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh al-Albani)
Melalui hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa anak yang shaleh adalah investasi yang tak ternilai harganya. Anak yang shaleh adalah pelita yang tak padam meski kita telah terkubur dalam liang lahat. Anak yang shaleh adalah sumber pahala yang tak putus meski tubuh kita telah hancur berkalang tanah.
Sebaliknya, anak-anak yang tidak shaleh kelak akan menjadi sumber bencana bagi kehidupan kita para orangtua di akhirat, wal ‘iyadzu biLlah.
Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd…
Kaum muslimin yang berbahagia!
Namun jika kita merasa gagal setelah mengerahkan upaya sungguh-sungguh untuk menghadirkan sosok anak shaleh dalam rumah kita, janganlah kita berputus asa kepada Allah Azza wa Jalla. Dalam kondisi putus asa seperti itu, kita harus belajar dari kesabaran dan keteguhan Nabi Nuh ‘alaihissalam yang terus mengajak anaknya ikut bersamanya, meski kemudian anaknya memilih untuk durhaka kepada Allah Ta’ala hingga akhir hayatnya.
Kesabaran juga hal paling mendasar yang harus kita miliki dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Maraknya kasus perceraian adalah bukti bahwa banyak orangtua yang egois memikirkan dirinya sendiri dan lupa bahwa anak-anak sangat membutuhkan sebuah keluarga yang utuh. Karenanya, bersabarlah karena Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar.
Selanjutnya kepada para pemilik dan pelaku media, ingatlah bahwa media-media yang Anda miliki dan kelola telah terbukti sebagai alat paling efektif  menyampaikan kebaikan dan keburukan. Ingatlah, jika Anda mencari nafkah dengan cara menyebarkan nilai-nilai kebatilan melalui media, maka itu akan menjadi nafkah haram untuk diri dan keluarga Anda.
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah!
Sebelum mengakhiri khutbah ini, marilah sejenak kita menyimak panduan singkat menunaikan ibadah kurban kita hari ini hingga 3 hari ke depan.
Hewan yang dapat dikurbankan adalah domba yang genap berusia 6 bulan, kambing yang genap setahun, sapi yang genap 2 tahun. Syaratnya, hewan kurban tidak boleh memiliki cacat atau penyakit yang bisa berpengaruh pada dagingnya, jumlah maupun rasanya, misalnya: kepicakan pada mata, kepincangan pada kaki dan penyakit pada kulit, kuku atau mulut.
Seekor domba atau kambing hanya mencukupi untuk kurban satu orang saja, sedangkan seekor sapi boleh berserikat untuk tujuh orang, kecuali berserikat pahala maka boleh pada semua jenis tanpa batas. Sebaiknya pemilik kurban yang menyembelih sendiri hewan kurbannya, tetapi bisa diwakilkan kepada penjagal, dengan syarat seorang muslim yang menjaga shalatnya, mengetahui hukum-hukum menyembelih dan upahnya tidak diambilkan dari salah satu bagian hewan kurban itu sendiri, kulit atau daging, meskipun dia juga bisa mendapat bagian dari hewan kurban sebagai sedekah atau hadiah.
Waktu penyembelihan hewan kurban adalah seusai pelaksanaan shalat Idul Adha hingga tiga hari tasyriq setelahnya. Pembagian hewan kurban yang telah disembelih dapat dibagi tiga bagian, sepertiga buat pemiliknya, sepertiga buat hadiah dan sepertiga buat sedekah kepada fakir miskin. Pahala yang kita peroleh sangat bergantung pada keikhlasan niat kita dalam menunaikan ibadah kurban ini.
Allahu akbar, Allahu akbar, La ilaha illaLlahu Allahu akbar walillahil hamd…
Di penghujung khutbah ini, marilah sejenak kita menundukkan jiwa dan hati untuk menyampaikan doa-doa kita kepada Sang Maha mendengar, Allah Azza wa Jalla. Semoga doa-doa itu terhantarkan ke sisi Allah Ta’ala bersama dengan ibadah kurban yang kita tunaikan hari ini.
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسوله الأمين و على آله وصحبه والتابعين،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَحْمَدُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُحْمَد وَنَشْكُرُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُشْكَر وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ فَإِنَّكَ أَنْتَ أَهْلُ الْمَجْدِ وَالثَّناَءِ ،
رَبَّناَ ظَلَمْناَ أَنْفُسَناَ ظُلْماً كَثِيْراَ وَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لَناَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْناَ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَحِيْم
Ya Allah, Engkaulah Tuhan yang menciptakan kami, Engkaulah satu-satuNya yang berhak untuk kami sembah…Hari ini kami datang mengetuk pintu ampunanMu. Hari ini kami hadir bersimpuh dengan peluh-peluh dosa yang melekat di tubuh kami yang lemah ini. Ya Allah, betapa kami sering lupa bahwa kehidupan dunia ini sangat singkat, hingga kami pun jatuh dan jatuh lagi dalam kedurhakaan terhadap perintahMu. Ya Allah, ampunilah kami, ampunilah kami, ampunilah kami. Ya Allah, jika Engkau menutup pintu ampunanMu yang agung, kepada siapa lagi kami harus mencari ampunan…
Ya Allah, ya Rabbana, dari bumi khatulistiwa ini, perkenankan doa kami untuk saudara-saudara muslim kami yang terjajah dan tertindas di berbagai belahan bumiMu. Ya Rabbana, berikan keteguhan dan kesabaran kepada saudara-saudara kami di Syiria, Mesir, Palestina, Irak, Myanmar dan di manapun mereka yang tertindas… Kerahkan bala tentaraMu di alam semesta ini untuk meluluhlantakkan para penindas mereka sehancur-hancurnya… Lindungilah kehormatan mereka… Jadikan mereka yang gugur sebagai syuhada’ yang selalu hidup di sisiMu… Segerakan pertolonganMu untuk mereka, Ya Rabbal ‘alamin…
Ya Allah, ya Rabbana, di sisa-sisa hidup kami ini, berikanlah kekuatan kepada kami untuk selalu berbakti dan menjadi anak yang shaleh untuk ayah-bunda kami. Jika mereka masih hidup, izinkanlah kami untuk berkhidmat dan melayani mereka dengan sebaik-baiknya di sisa-sisa usia mereka… Jika ayah-bunda kami telah tiada, maka izinkanlah kami untuk menjadi sisa-sisa kebaikan mereka yang terus-menerus menjadi ladang kebaikan penerang alam kubur mereka… Ya Allah, ampuni, ampuni, ampuni durhaka kami kepada ayah-bunda kami…
Ya Allah, ya Rabbana, berikan kami kekuatan dan kemampuan untuk menjadi orangtua yang terbaik untuk putra-putri kami… Hanya Engkau satu-satuNya yang dapat memberikan kekuatan untuk mendidik mereka dengan sebaik-baiknya… Ya Allah, jadikan anak-anak kami sebagai penyejuk hati kami, yang selalu mendoakan kami saat kami sendiri dalam kegelapan alam kubur… Ya Allah, karuniakan kepada kami anak-anak yang mencintai al-Qur’an dan Sunnah NabiMu…
Ya Allah, selamatkan negeri ini dari pemimpin-pemimpin yang zhalim… Selamatkan negeri ini dari kerakusan para koruptor yang tidak bertanggung jawab… Karuniakan untuk kami para pemimpin yang adil dan mencintai SyariatMu… Izinkan kami untuk menikmati indahnya negeri ini di bawah naungan SyariatMu yang Maha Adil…
Ya Allah, Zat Yang Maha Mengabulkan doa kabulkanlah doa kami, penuhilah permintaan kami, kamilah hamba-Mu yang lemah, harapan kami hanya kepadaMu, Engkau Maha Mendengar, Engkaulah Penguasa satu-satunya Yang Haq, Engkaulah sebaik-baik Pemberi yang diharap.

رَبَّناَ لاَ تُزِغْ قُلُوْبَناَ بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَناَ وَهَبْ لَناَ مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ .
********
* Naskah Khutbah Seragam Idul Adha 1434 H dikeluarkan oleh Dewan Syariah DPP Wahdah Islamiyah

Jumat, 04 Oktober 2013

3 Amalan Terafdhal

Serial Arbau’una Haditsan Fi Birril walidain
Hadits I

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم : أي العمل أحب إلى الله ؟ قال : " الصلاة على وقتها " . قلت : ثم أي ؟ قال : " بر الوالدين " . قلت : ثم أي ؟ قال : " الجهاد في سبيل الله "      متفق عليه


Dari ‘Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ‘Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?’ Beliau bersabda, “Shalat –tepat- pada waktunya”. Aku [Ibn Mas’ud] bertanya, ‘kemudian apa?’ Beliau menjawab, “Birrul walidain”. Aku bertanya, ‘kemudian apa?’ Beliau berkata, “jihad fi sabilillah”. (Muttafaq ‘alaihi).

Pelajaran Hadits:
1.    Hadist ini menunjukan bahwa birrul walidain termasuk amalan paling afdhal setelah shalat fardhu yang merupakan rukun islam yang paling agung. Al-birr artinya berbuat baik kepada keduanya melalui perkataan, perbuatan, dan harta sesuai kemampuan.
2.    Birrul walidain didahulukan daripada jihad fi sabilillah, selama jihad belum menjadi fardhu ‘ain kepada setiap Muslim dengan masuknya musuh ke dalamnegeri Islam. Jika musuh telah menyerang negeri Islam dan jihad menjadi fardhu ‘ain kepada semua kaum Muslimin dalam negeri itu, maka jihad lebih dikedepankan dari birrul walidain.
3.    Anjuran untuk birrul walidain, dan bahwa ia merupakan amalan paling afdhal yang seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah.
(Sumber: Arbau’una Haditsan Fi Birril walidain, Karya Nashir ibn Hamid al-Suhaji)

Jumat, 27 September 2013

Shalat Dulu Atau Makan Dulu?

? : Ketika makanan sudah dihidangkan, bolehkah kita mengakhirkan shalat untuk makan terelebih dahulu?

Jawaban:
Dianjurkan bagi seorang Muslim, jika hidangan sudah tersedia maka dahulukan makan baru kemudian shalat. Tujuannya supaya ketika shalat, hati bisa khusyuk. Abdullah  bin Umar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا وضع عشاء أحدكم وأقيمت الصلاة فابدءوا بالعشاء, ولايعجل حتى يفرغ منه
Jika makan malam diantara kamu sudah tersedia, sedangkan shalat sudah ditegakkan maka makanlah dahulu  dan jangan tergesa-gesa sampai engkau menyelesaikannya”. (HR. Bukhari dan Muslim). (Tanya Jawab Ringan dan Aktual Seputar Shalat, Yang Sepele & Membingungkan tapi Anda Enggan Bertanya,Karya Ustad. Dr. Ahmad Zain An-Najah, Aqwam, hlm.125)

Selasa, 17 September 2013

Shalat Istikharah

Salah satu tabiat manusia adalah selalu ragu ketika dihadapkan pada dua pilihan. Bahkan saat berhadapan dengan satu pilihan pun masih ragu untuk meneruskan pilihan tersebut atau tidak. Sebabnya adalah karena manusia tidak memiliki kemampuan untuk melihat keghaiban di masa yang akan datang. Sebagian orang justru mencari jalan keluar untuk memastikan pilihannya kepada para dukung, tukang ramal, dan semacamnya. Padahal hal ini bertentangan dengan aqidah Islam. Karena tidak ada yang mengetahui peristiwa hari esok kecuali Allah.

Oleh karena itu dalam Islam disyariatkan shalat Istikharah. Istikharah dilakukan untuk memastikan pilihan kita atau meminta dipilihkan oleh Allah saat dihadapkan pada dua pilihan yang kita tidak ketahui  mana yang terbaik dari dua pilihan tersebut. Berkaitan dengan ini Syekh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul mengatakan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan kepada umatnya agar mereka memohon pengetahuan kepada Allah Ta’ala dalam segala urusan yang mereka alami dalam kehidupan dan suapaya mereka memohon kebaikan di dalamnya. Yaitu dengan mengajarkan kepada mereka shalat istikharah sebagai pengganti dari apa yang biasa dilakukan pada masa jahiliyah beruapa ramal-meramal, memohon kepada berhala, dan melihat peruntungan. (Meneladanai Shalat-shalat Sunnah Rasulullah, hlm.125)

Bekaitan dengan hukum, kaifiyat, dan hal lain tentang Istikharah dapat ditemukan dalam hadits Shahih yang diriwayatkan oleh jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Jabir menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan istikharah kepada kami dalam segala urusan, sebagaimana beliau mengajari kami surat dari Al-Qur’an. Beliau bersabda; Jika salah seorang diantara kalian bertekad untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah ia shalat dua raka’at di luar shalat wajib, kemudian hendaklah ia mengucapkan:

اللهم إني أستخيرك بعلمك وأستقدرك بقدرتك وأسالك من فضلك العظيم، فإنك تقدر ولا أقدر وتعلم ولا أعلم وأنت علام الغيوب. اللهم إن كنت تعلم أن هذا الأمر خير لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري - أو قال عاجل أمري و آجله - فاقدره لي ويسره لي ثم بارك لي فيه. وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شر لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري - أو قال في عاجل أمري وآجله - فاصرفه عني واصرفني عنه، واقدر لي الخير حيث كان ثم أرضني به. قال ويسمي حاجته

Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan meminta keputusan dengan kekuasaan-Mu, Aku meminta karunia-Mu yang sangat agung, Karena sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa dan memiliki kuasa samasekali, Engkaulah yang mengetahui dan aku tidaklah tahu apa-apa, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara ghaib. Ya Allah sekiranya Engkau mengetahui bahwa perkara ini (lalu menyebutkan masalahnya) adalah baik bagiku,  dalam agamaku dan kehidupanku serta kesudahan urusanku”, atau mengucapkan; “Baik dalam waktu dekat maupun akan datang-, maka tetapkanlah ia bagiku  dan mudahkanlah ia untukku lalu berkatilah. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa perkara itu buruk bagiku untuk agamaku dan kehidupanku dan kesudahan urusanku, atau mengucapkan; “baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah ia dariku, lalu Putuskanlah yang baik bagiku perkara yang lebih baik darinya, apapun yang terjadi, lalu ridlailah ia untukku”. Beliau bersabda;”Hendaklah ia menyebutkan keperluannya”. (HR. Bukhari)

Dari hadits tersebut terdapat beberapa pelajaran terkait shalat Istikharah.

1.    Disyariatkan dalam Segala Urusan
Selama ini kita terbiasa menunaikan shalat Istikharah untuk urusan-urusan tertentu saja, seperti urusan jodoh, memilih tempat sekolah atau kuliah, dan pekerjaan. Padahal Shalat Istikarah disunnahkan dalam segala urusan, sebagaimana yang secara jelas disampaikaan oleh nash (teks) hadits  shahih ini. Hal ini bermakna pula bahwa shalat istikharah mencakup urusan-urusan besar maupun kecil. Sebab, berapa banyak masalah yang dianggap kecil berubah menjadi sumber masalah. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa mengerjakan kewajiban  dan perkara sunnah serta meninggalkan yang diharamkan dan dimakruhkan tidak memerlukan shalat Istikharah.

2.    Jumlah Raka’at Shalat Istikharah
Di dalam hadits tersebut terdapat pelajaran bahwa shalat istikharah terdiri atas dua raka’at selain shalat wajib. Frasa ‘selain shalat wajib’ menyiratkan pesan bahwa, istikharah juga dapat dilakukan bersamaan dengan sahalat sunnah lainnya, seperti shalat sunnah rawatib. Misalnya, seseorang mengerjakan shalat sunnah rawatib atau shalat sunnah yang lain, lalu setelah shalat ia membaca do’a istikharah seperti dalam hadits tersebut. Karena yang dimaksud dengan shalat istikharah adalah dikerjakannya shalat yang disertai dengan bacaan do’a setelahnya atau pada saat shalat dikerjakan. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa Istikaharah yang akan disertakan bersama shalat sunnah rawatib tersebut harus dniyatkan sejak awal. Adapun jika keinginan beristikharah muncul setelah Shalat, maka hal itu tidak boleh.

3.    Tidak dilakukan Pada Saat Ragu
Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa beristikhaarah tatkala ragu dan dihadapkan pada dua pilihan atau lebih. Lalu kita shalat dan \meminta dipilihkan oleh Allah. Cara seperti ini kurang tepat, karena dalam hadits tersebut Nabi mengatakan, “Idza hamma ahadukum bil amri, Jika salah seorang dari kalian berniat akan melakukan sesuatu”. Hamma, artinya berkehendak, menyukai, dan berniat akan.Oleh karena itu Imam Bukhari selalu beristikharah sebelum menghukumi keshahihan suatu hadits.

Lalu bagaimana jika seseorang merasa ragu dan ingin melarikan keraguannya tersebut kepada istikharah? Jika ia ingin istikharah, maka hendaknya sebelum istikharah ia memilih salah satu dari dua hal yang meragukan tersebut lalu memohon petunjuk dalam menentukan pilihan tersebut (melalui istikharah). Setelah istikharah, dia biarkan semuanya berjalan apa adanya. Jika baik, semoga Allah menetapkan pilihannya tersebut dan memberikan kemudahan dalam melakukannya, serta memberkahinya. Sebaliknya, jika pilihan tersebut buruk, maka semoga Allah memalingkan dirinya dari hal itu lalu menetapkan untuknya yang lebih baik dengan idzin- Nya.

Hal ini menunjukan pentingan memadukan istikharah dan musyawarah. Maksudnya,  tatkala seseorang sedang ragu, tak ada salahnya dia bermusyawarah dengan orang lain, meminta masukan dari saudara atau teman. Lalu hasil musyawarah situ dibawa ke dalam istikharah. Ibn Taimiyah rahimahullah mengatakan "Tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah dengan sesama makhluk dan beristikharah kepada Allah"

4.    Tidak Ada Bacaan Surat Khusus
Dalam hadits tersebut terkandung pengertian, tidak ada penetapan bacaan surat atau ayat khusus dalam shalat Istikarah. Artinya boleh membaca surah  atau ayat apa saja setelah membaca al-Fatihah. Hal ini berbeda dengan shalat  yang lain seperti shalat witir (disunnahkan membaca surah Al-a’la, al-Kafirun, dan al-Ikhash), shalat sunnah qabliyah subuh (surah al-Kafirun dan al-Ikhlash), dan sahalat ‘Ied (Surah al-A’la dan al-Ghasyiyah).

5.    Jawaban Istikharah
Dalam hadist tersebut terkandung pengertian bahwa jawaban Istikharah terlihat dengan dimudahkannya urusan yang diminta dalam Istikharah. Selain itu para Ulama menasihatkan, agar seseorang  melakukan apa yang tampak sesuai keyakinannya. Hendaknya ia memutuskan pilihan yang diyakininya dengan pasti, baik itu disenangi oleh hatinya atau tidak.
Sebagian orang menanti jawaban istikharah melalui mimpi, atau melalui membuka Quran secara acak lalu mencoba mencari jawabannya melalui ayat yang tak sengaja terbuka, atau dengan butiran-butiran tasbih dan lain-lain. Semua ini tidak mempunyai landasan dalil dan hadist.

6.    Do’a Dipanjatkan Ba’da Salam
Hadits tersebut menunjukan bahwa do’a Istikharah dipanjatkan setelah salam, sebab, dalam hadist Jabir di atas dikatakan; “Jika salah seorang diantara kalian bertekad untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah ia shalat dua raka’at di luar shalat wajib, kemudian hendaklah ia mengucapkan; . . . (do’a istikharah). Dzahir hadits tersebut menunjukan bahwa do’a diucapkan setelah shalat.

7.    Beberapa Catatan Tambahan tentang istikharah:
a.    Biasakan beristikahrah dalam segala urusan
b.    Selalulah berhusnudzan kepada Allah. Yakinlah bahwa yang terbaik adalah apa yang ditakdirkan oleh Allah. Percayalah bahwa ketika anda beristikharah maka Allah akan menuntun dan mengarahkan kepada kebaikan.
c.    Tidak boleh beristikharah dalam shalat fardhu.
d.    Jika anda dalam kondisi tidak boleh shalat (seperti sedang haidh bagi wanita) dan anda butuh istikharah, maka bersabarlah sampai masa haidh berlalu. Tetapi, jika perkara yang membutuhkan istikharah sangat penting dan mendesak, maka cukuplah anda membaca do’a istikahrah tanpa melakukan shalat. Karena wanita haidh tidak boleh shalat, tetapi boleh membaca do’a dan wirid.
e.    Boleh membaca do’a istikaharah sebelum atau setelah salam.
f.    Jika anda tidak hafal do’a istikharah, maka berusahalah untuk menghafalnya terlebih dahulu. Tetapi jika perkara yang membutuhkan istikharah sangat mendesak, maka boleh membacanya melalui catatan di secarik ketas. Dalam kondisi seperti ini sebaiknya do’a dibaca setelah salam.
g.    Jika belum jelas pilihan yang terbaik, maka boleh mengulangi istikaharah (Menurut Syekh al-Utsaimin sampai tiga kali).
h.    Jangan menambah dan mengurangi lafadz do’a yan terdapat dalam hadits.
i.    Jangan jadikan hawa nafsumu menghakimi dan menghukumi hasil istikharah.
Wallahu a’lam (Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Remaja Islam Al-Firdaus edisi 12)
Bahan Bacaan :
1.    Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Meneladani Shalat-shalat Sunnah Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam.
2.    http://www.saaid.net/bahoth/41.htm

Sabtu, 14 September 2013

Karena Amal inilah, orang biasa-biasa ini masuk surga... subhanallah.

Anas bin Malik ra berkata: "Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: "Akan datang kepada kalian saat ini seorang dari penghuni surga". Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari kaum Anshor, bekas air wudhunya masih menetes di janggutnya, sambil menenteng kedua sandalnya dengan tangan kirinya. Keesokan harinya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti kemarin. Lalu muncul orang tersebut seperti kemarinnya. Pada hari ketiga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti itu pula, lalu muncul lagi orang tersebut persis seperti keadaannya pada hari sebelumnya.

Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit, Abdullah bin Amru radhiyallahu 'anhuma mengikuti orang itu lalu berkata kepadanya, :"Aku dimarahi oleh ayahku, lalu aku bersumpah tidak akan masuk kepadanya selama tiga hari. Jika engkau izinkan, maka aku akan tinggal di rumahmu". Orang itu menjawab: "Ya, boleh". Kemudian Abdullah radhiyallahu 'anhu bermalam bersamanya selama tiga malam berturut-turut. Anehnya ia tidak melihat orang tersebut shalat malam sedikitpun hingga datang waktu fajar. Hanya saja Abdullah berkata: "Akan tetapi aku tidak pernah mendengar orang itu berbicara kecuali yang baik-baik saja".

Setelah berlalu tiga malam dan hampir saja aku meremehkan amal-amalnya, aku pun berkata: "Wahai hamba Allah, sebenarnya antara aku dan ayahku tidak ada masalah, akan tetapi aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang engkau selama tiga kali, "Akan muncul kepada kalian sekarang ini salah seorang dari penghuni surga". Lalu engkaulah yang muncul selama tiga kali itu. Olehnya, aku ingin tinggal di rumahmu untuk melihat amalmu agar aku dapat mencontohnya. Sayangnya aku tidak melihat engkau melakukan suatu amal yang besar, maka apa sebenarnya yang membuat Rasulullah bersabda seperti itu?". Ia berkata: "Amalanku seperti apa yang engkau lihat". Ketika aku berpaling darinya, ia memanggilku dan berkata: "Amalku seperti apa yang engkau lihat, hanya saja aku tidak pernah menyimpan dalam hatiku kebencian terhadap seorang pun dari kaum muslimin dan aku tidak pernah mendengki seorang pun atas nikmat yang Allah berikan kepadanya". Maka Abdullah radhiyallahu 'anhu  berkata: "Nah inilah yang menyampaikanmu kepada surga tersebut'. (HR. Imam Ahmad, Nasai; dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al Albani).

Yah, amalannya biasa-biasa saja, namun ia tidak pernah menaruh dengki dalam hatinya. Tidak pernah matanya terpejam di malam hari melainkan setelah menghalalkan segala kesalahan kaum muslimin kepadanya, radhiallahu anhu. (Ustad Rapung Samuddin, Lc, MA dalam status facebooknya)

Jumat, 13 September 2013

Adab Kepada Allah (1)


a.    Ikhlas kepada Allah dalam melakukan amalan. Allah Ta'ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ [٩٨:٥]
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS al Bayyinah:5)

b.    Takut dan Waspada dari terjatuh kepada kesyirikan .Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ [٦:٨٨]
“. . . Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.   (QS Al-An’am : 88)

c.    Beribadah kepada –Nya dan menegakkan perintah-perintah-Nya sebagaimana yang Dia perintahkan.

d.   Mensyukuri nikmatnya kepadamu, Allah Ta’ala berfirman;
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ [١٤:٧]
Dan ingatlah tatkala Rabbmu memaklumkan,  sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (ni’mat) kepadamu, tetapi jika kamu Syirik niscaya Adzabku sangat pedih”. (QS Ibrahim: 7).
e.    Mengagungkan dan memuliakan-Nya serta mengagungkan Syai’r-syair-Nya Allah Ta’ala berfirman –sebagai celaan kepada orang-orang yang tidak mengagungkan Allah-:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِه
Mereka tidak mengagungkan Allah Sebagaimana mestinya …… “ (QS  Al-An’am : 91).
(Bersambung insya Allah)