Senin, 28 Januari 2013

Tegar Bersama Kebenaran


اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَه، وَأرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَه

Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan karuniakan kepada kami kemampuan untuk mengikutinya. Ya Allah perlihatkan kepada kami bahwa yang batil itu batil, dan karuniakan kepada kami kemampuan untuk meninggalkannya.”

Do’a tersebut diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Syarh Muntahal Iradat. Ibn Katsir juga menyebutkan doa’ tersebut ketika menafsirkan Surat al-Baqarah ayat 213. Do’a ini meskipun singkat tetapi mencakup makna yang luas. Maknanya adalah seorang Muslim memohon kepada Allah Ta’ala agar diberi taufiq mengenali kebenaran dan diberi kemampuan mengikuti kebenaran tersebut.

Dalam do’a tersebut kita diajari untuk meminta ditunjukan kebenaran dan diberi kemampuan untuk mengamalkannya. Sebab, menjadi pengikut kebenaran, kesulitannya bukan pada mendalaminya secara ilmu atau pengetahuan. Karena itu bisa dipelajari. Kita bisa belajar tentang kebenaran, sedikit demi sedikit. Kita bisa mendalami kebenaran yang diajarkan agama kita atau yang kita rasakan secara jujur melalui fitrah. Tapi yang lebih sulit dalam mengikuti kebenaran bukan pada ketersediaan ilmu yang menjelaskan kebenaran itu, tapi pada kemauan, tekad, dan jiwa kita sendiri. Semua itu harus diawali dari keyakinan untuk mau bersama kebenaran.

Pilihan untuk bersama kebenaran itulah yang sekarang ini tengah asing dan menjadi sesuatu yang langka dalam kehidupan bermasyarakat. Kita bisa menengok, dalam tataran politik, di panggung kekuasaan, dalam interaksi sehari-hari, terlalu banyak orang yang mencampakkan kebenaran. Dalam etika moral, dalam berdagang dan mencari nafkah, terlalu banyak orang-orang yang memilih jalan kebatilan. Terlalu banyak orang yang memilih jalan keburukan dan meninggalkan jalan kebenaran.

Simpul-simpul Kebenaran

Mengikuti kebenaran adalah keniscayaan. Sebab, ia merupakan kunci keselamatan dan kemenangan manusia di dunia dan di akhirat. Akan tetapi kehidupan dunia seringkali mengaburkan kebenaran dan makna kebenaran. Sehingga tidak jarang orang salah memilih dan menilai sesuatu. Lalu bagaimana kita menemukannya? Dari sudut pandang Islam, kita sebenarnya telah dibekali banyak potensi dan sumber pengetahuan yang akan mengantarkan kita kepada kebenaran.

1. Sejalan dengan keinginan Allah dan Rasul-Nya


Boleh jadi setiap orang memiliki standar yang berbeda dalam menilai kebenaran. Tergantung sistem nilai yang dianut dan diyakini setiap mereka. Tetapi bagi kita sebagai Muslim, standar kebenaran sudah jelas yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Sebab, keduanya merupakan himpunan dan kumpulan kebenaran yang datang dari dzat yang Maha Benar, Allah Ta’ala. Tidak boleh ada keraguan terhadapnya. Sehingga apapun yang menurut kita merupakan kebenaran tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan rasul-Nya, maka ia bukanlah kebenaran, melainkan lawan dari kebenaran itu. Fama ba’dalhaqqi illadhalal (Tiada selain kebenaran-dari Allah- melainkan pasti batil).

Allah adalah kebenaran itu sendiri. Maka semua yang datang dari-Nya pasti benar dan tak boleh dibantah.

“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Demikianlah, karena Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah Itulah yang batil; dan Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (Terjemah QS. Luqman: 29-30)

Standar kebenaran harus melandasi semua pikiran, pandangan dan pendapat kita dalam menilai segala sesuatu. Sehingga orang tidak mudah memperdaya kita dengan berbagai macam propaganda dan tipu dayanya. Para Ulama dan Muslihun telah membuktikan bahwa mereka dapat menaklukkan lawan-lawan mereka para pelopor kebathilan dengan argumen yang lebih kuat. Seperti kisah Imam Ahmad ketika menghadapi kelompok sesat yang menyebarkan paham khalqul Qur’an, suatu paham yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukam kalam Allah.

2. Sejalan dengan Fitrah dan suara hati manusia

Terkadang untuk menilai dan mengetahui sesuatu itu benar atau tidak perlu pembuktian dengan dalil. Tetapi cukup dikembalikan kepada suara hati kita. Sebab sebagai manusia kita telah dibekali oleh Allah potensi berupa fitrah yang suci yang tak pernah mengingkari kebenaran. Maka cukuplah ia mengikuti kecenderungan kata hatinya atau fitrahnya.

Contoh sederhana; Seorang awam yang tak tahu hukumnya mencuri, ia tentu pasti tidak tenang ketika mengambil harta orang lain tanpa izin. Ketidaktenangan itu adalah reaksi fitrah dan hati nurani.

Inilah maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang sahabat bertanya tentang kebaikan dan keburukan. Dari Nawwas bin Sam’an al anshari beliau berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan keburukan”, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kebajikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal dalam jiwamu dan engkau tidak suka bila hal itu terlihat oleh manusia (orang lain)” (HR Muslim).

3. Sejalan Dengan Kemaslahatan Manusia

Kebenaran itu adalah maslahat. Ini standar lain yang mengantarkan kita mengenali kebenaran. Secara umum segala seuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia maka ia adalah kebenaran. Dan di dalam Islam maslahat selalu merujuk kepada kebutuhan manusia yang sangat vital yaitu penjagaan kepada lima hal : Agama, Nyawa/jiwa, harta, akal, dan keturunan.

Imam Al Ghazali rahimahullah pernah berkata: “Sesungguhnya mengambil manfaat dan menolak mudharat merupakan tujuan penciptaan makhluk dan kemaslahatan makhluk dalam memperoleh tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat yaitu menjaga apa yang dikehendaki oleh syariat. Dan yang dikehendaki oleh syariat untuk dijaga ada lima; Menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka setiap yang dapat menjamin penjagaan dan pemeliharaan lima perkara pokok ini, disebut maslahat. Dan setiap yang meniadakan atau melanggar kelima hal ini berarti kerusakan atau mafsadat, dan menolak mafsadat itu berarti maslahat.”

4. Kebenaran Bukan Berdasarkan Hawa nafsu dan Orang Banyak

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (Terjemah Qs. al-Mukminun: 71)

Fitrah manusia tidak sekadar mengakui sebuah kebenaran, tetapi ia juga menjadi pendorong dalam diri untuk mengikuti kebenaran itu apa adanya tanpa ada maksud dan kepentingan tertentu yang akan menodai hati fitrah, mengkhianati hati nurani dan mengotori kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak akan pernah berpadu dengan hawa nafsu, selamanya tidak akan sejalan.

Demikian pula dengan banyaknya orang yang menjalani sesuatu, bukan jaminan bahwa ia adalah kebenaran. Banyak orang, dalam kehidupan nyata kerap mempertontonkan diri sebagai pelaku, pengikut dan pelopor kebenaran, menyeru sebanyak-banyaknya orang untuk ikut bersamanya. Padahal nurani yang tak dapat dibohonginya, selalu resah karena tahu bahwa apa yang ia lakukan sekadar untuk meraih kehormatan, jabatan,dan juga harta. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan dengan firman-Nya (yang artinya):

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta [terhadap Allah]. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS: Al-An’am :116-117).

Maka janganlah kita tertipu dan disilaukan oleh kekuatan seseorang dan banyaknya jumlah pengikut mereka, sehingga kita pun merasa perlu berbondong-bondong dan berkumpul di sekitar mereka. Jangan sampai kita menjadi seperti sekumpulan laron yang terperangkap oleh silaunya cahaya lampu, lalu kemudian binasa satu persatu oleh cahaya itu. Tetapi hendaknya kita menjadi kelompok yang senantiasa berpegang teguh kepada kebenaran yang suci yang terbebas dari tujuan dan kepentingan tertentu dil luar kepentingan menegakkan agama Allah dan mencari ridha-Nya.

5. Kebenaran tetap selalu Kokoh, Meski terus dimusuhi
Ciri lain dari kebenaran adalah, bahwa para pengikut dan pengusungnya tetap kokoh meski terus dimusuhi. Mereka senantiasa konsisten menjalaninya meski mendapatkan penolakan dari manusia. Berbagai tantangan yang menghadang tak pernah menyurutkan langkah pejuang kebenaran untuk terus berjuang. Sebab mereka yakin bahwa kesabaran dan keteguhan mereka akan menjadi sebab datangnya pertolongan dan peneguhan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Akan senantiasa ada suatu kelompok dari ummatku yang eksis di atas kebenaran. Mereka tidak dimudharatkan oleh pihak-pihak yang memusuhi mereka. Mereka tetap eksis hingga datang hari kiamat”. (HR Muslim).

Tegar di atas kebenaran telah ditunjukan oleh para nabi dan rasul utusan Allah. Tidak ada satu nabipun yang tidak mendapatkan penolakan permusuhan dari manusia. Bahkan, terkadang permusuhan tersebut berasal dari orang-orang dekat. Sikap yang sama juga dapat kita lihat dari keteguhan para pelanjut risalah Nabi dan Rasul. Waratsatul Anbiya, para pewaris Nabi dari kalangan ulama yang terus berupaya melanjutkan perjuangan Nabi. Mereka pun ditolak dan dimusuhi seperti para Nabi dan Rasul dimusuhi. Namun permusuhan itu tidak menggoyahkan semangat mereka dalam menyebarkan kebenaran. Hal ini menjadi indikasi bahwa apa yang mereka sampaikan adalah kebenaran sejati. Apa yang mereka usung adalah kebenaran yang bersumber dari Dzat yang Maha Benar, Allah Ta’ala.

Allaahumma arinal haqqa haqqan, warzuqnattibaa’ah. Wa arinal bathila bathilan, warzuqnajtinaabah.[] (Syams)

Sumber: http://wahdahmakassar.org/tegar-bersama-kebenaran/#ixzz2JJVHZI6L

Rabu, 23 Januari 2013

Bid’ah Dalam Timbangan Islam

Para pembaca yang di muliakan oleh Allah ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggalkan kita di atas tuntunan yang jelas, tuntunan yang terang berderang, di atas petunjuk yang sempurna. Hal ini telah di tegaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya:
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3)
Ayat yang mulia ini menunjukkan kesempurnaan syariat dan bahwasanya syariat ini telah mencukupi segala keperluan yang dibutuhkan oleh makhluk.

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan nikmat Allah yang paling besar, yaitu ketika Allah menyempurnakan agama bagi manusia sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain islam, tidak membutuhkan seorang nabi pun selain nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah Allah ta’ala mengutus beliau sebagai nabi penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, dinukil dari ‘Ilmu Usul Bida’, Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, 17)
Begitu pula Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.” (HR. Ahmad)

Juga sabdanya,
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقّرِبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُتَاعِدُ عَنِ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. Thabrani)

Sahabat Abu Dzar al-Ghifari berkata:
تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يَذْكُرُ لَنَا عِلْمًا
Rasulullah wafat meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang terbang di udara melainkan beliau telah mengajarkan ilmunya kepada kami.” (HR. Thabrani)
Bahkan hal ini juga dipersaksikan oleh musuh-musuh islam yakni akan kebenaran dan kesempurnaan agama islam ini. Seorang yahudi berkata kepada Salman Al Farisi (dengan nada mengejek): “Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga cara buang hajat!”. Salman menjawab (dengan penuh bangga): “Benar, beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil, dan beliau melarang kami untuk istinja’ dengan menggunakan tangan kanan dan istinja’ dengan kurang dari tiga batu atau istinja’ dengan kotoran atau tulang.” (HR. Muslim)

Begitu pula yang menjadi akidah para ulama ahlussunnah, Imam Malik berkata, “Barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru (bid’ah) di dalam agama ini sedangkan ia menganggap baik perbuatan tersebut maka sungguh ia telah menuduh Nabi Muhammad telah berbuat khianat, karena Allah ta’ala telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3). Maka perkara yang pada hari ayat ini diturunkan bukan agama maka sekarang juga bukan merupakan agama.” (Al-I’tishom, 1/49, dinukil dari ‘Ilmu Usul Bida’, 20)

Maka berdasarkan keterangan di atas, bisa kita ambil kesimpulan betapa sempurnanya syariat islam, sehingga penambahan atau pengurangan atas syariat islam  tanpa dalil dari al-Qur’an atau as-Sunnah menunjukkan pelecehan terhadap syariat, tindakan kriminal agama dari pelakunya yang secara tidak langsung pelakunya menganggap bahwa syariat islam ini belum sempurna, waliya’udzu billah.
Perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam syariat islam dikenal dengan nama bid’ah.

Makna Bid’ah
Secara bahasa, bid’ah berarti segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya, hal ini sebagaimana Firman Allah ta’ala:
مَا كُنتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ
Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (QS. Al Ahqaf: 9)
Yakni, tidaklah aku adalah orang yang pertama kali diutus, namun sebelumku telah di utus beberapa rasul.
Adapun definisi bid’ah secara istilah syar’i adalah sebagaimana di jelaskan oleh Imam Asy-Syatibi, “Bid’ah adalah suatu metode di dalam beragama yang di ada-adakan menyerupai syariat, dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala sedangkan tidak ada padanya dalil syar’i yang shahih dalam asal atau tata cara pelaksanaannya.” (Al I’tisham: 1/37, dinukil dari ‘ilmu Usul Bida’, 24)

Hukum Bid’ah
Setiap bid’ah adalah kesesatan, setiap bid’ah membawa pelakunya kepada perbuatan dosa, perbuatan kesesatan dan menodai syariat islam yang mulia dan sempurna ini. Bukankah sesuatu yang sempurna jika ditambah atau dikurangi akan merusak kesempurnaannya? Bukankah sebuah bola yang sudah bulat sempurna jika kita tambahi atau kurangi malah akan merusak keindahannya??

Perbuatan bid’ah adalah kesesatan walaupun orang-orang menganggap perbuatan tersebut adalah kebaikan, sebagaimana perkataan sahabat Abdullah Ibnu Umar,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Setiap bid’ah adalah kesesatan meskipun manusia menganggap perbuatan tersebut adalah kebaikan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam agama ini tanpa ada tuntunannya maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Bukhari Muslim)
Juga dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Tirmidzi)

Faedah
Bid’ah yang tercela dalam islam adalah perbuatan bid’ah dalam syariat islam, yaitu melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan dengan alasan ibadah padahal tidak ada dalil atas hal tersebut atau dalil yang menjadi sandarannya adalah hadits yang lemah, tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Sehingga apabila ada seseorang melakukan suatu perbuatan yang baru akan tetapi tidak dalam rangka beribadah kepada Allah ta’ala maka perbuatan tersebut bukanlah disebut sebagai bid’ah yang tercela akan tetapi disebut bid’ah secara bahasa, dan perbuatan tersebut boleh.
Misalnya seseorang ingin melaksanakan puasa khusus pada hari selasa saja tanpa hari lainnya, sedangkan puasa adalah ibadah, ia melaksanakan puasa tersebut tanpa ada contohnya dari Rasulullah dan para sahabatnya, maka puasa yang ia lakukan adalah bid’ah yang diharamkan oleh islam. Adapun jika seseorang melakukan perbuatan yang berkaitan dengan dunia seperti membuat kendaraan tipe baru yang belum ada contoh sebelumnya, atau membuat kebiasaan baru, maraton setiap hari Rabu pagi dan seterusnya maka tidak diragukan lagi bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah boleh.
Semoga bermanfaat…
(Abu Sa’id Satria Buana/www.muslim.or.id)



Senin, 21 Januari 2013

Hukum Khitan Wanita

خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِب
”" Lima hal yang termasuk fitroh yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis."
 (HR. Bukhori dan Muslim)

Bagi sebagian masyarakat khitan bagi anak laki-laki adalah sebuah perkara yang sangat wajar. Namun tidak demikian dengan khitan wanita, mereka masih menganggapnya tabu atau menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan, bahkan oleh sebagian kalangan khitan wanita adalah tindakan kriminal yang harus dilarang, seperti yang diserukan oleh gerakan feminisme, LSM-LSM asing, Population Council, PBB, WHO dan lain-lainnya. Larangan khitan wanita juga diputuskan dalam Konferensi Kaum Wanita sedunia di Beijing China (1995).

Di Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa, kaum feminis telah berhasil mendorong pemerintah membuat undang-undang larangan sunat perempuan. Di Belanda, khitan pada perempuan diancam hukuman 12 tahun. Pelarang khitan perempuan juga pernah diterapkan di Negara Mesir yang nota benenya adalah Negara Islam. ( Muhammad Sayyid as-Syanawi, Khitan al-Banat baina as-Syar’I wa at-Thibbi, hal. 92-95 ).

Di Indonesia sendiri khitan wanita juga dilarang secara legal, dengan alasan bahwa Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari ketentuan WHO, dan karena khitan wanita dinilai bertentangan dengan HAM. Padahal mereka orang-orang Barat sengaja melarang khitan wanita dengan tujuan agar para wanita Islam tidak terkendalikan syahwat mereka, sehingga praktek perzinaan meluas dan terjadi di mana-mana, dan ini telah terbukti.

Bagamaimana sebenarnya hukum khitan wanita di dalam Islam, berikut keterangannya :

Pengertian Khitan

Khitan secara bahasa diambil dari kata “khotana“ yang berarti memotong. Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah memotong sedikit kulit ( selaput ) yang menutupi ujung klitoris (preputium clitoris) atau membuang sedikit dari bagian klitoris( kelentit ) atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd.
Hukum Khitan Wanita.

Para ulama sepakat bahwa khitan wanita secara umum ada di dalam Syari’at Islam. (al-Bayan min Al Azhar as-Syarif : 2/ 18 ) Tetapi mereka berbeda pendapat tentang satatus hukumnya, apakah wajib, sunnah, ataupun hanya anjuran dan suatu kehormatan. Hal ini disebabkan dalil-dalil yang menerangkan tentang khitan wanita sangat sedikit dan tidak tegas, sehingga memberikan ruangan bagi para ulama untuk berbeda pendapat. Diantara dalil-dalil tentang khitan wanita adalah sebagai berikut :

Pertama :
Hadist Abu Hurairah ra. bahwasanya Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :ِ
خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِب
Lima hal yang termasuk fitroh yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis." (HR. Bukhori dan Muslim)

Bagi yang mewajibkan khitan wanita mengatakan bahwa arti “fitrah“ dalam hadist di atas perikehidupan yang dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh semua Syari’at, atau bisa disebut agama, sehingga menunjukkan kewajiban. Sebaliknya yang berpendapat sunnah mengatakan bahwa khitan dalam hadist tersebut disebut bersamaan dengan amalan-amalan yang status hukumnya adalah sunnah, seperti memotong kumis, memotong kuku dan seterusnya, sehingga hukumnya-pun menjadi sunnah.

Kedua :
Sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam :
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (Hadist Shohih Riwayat Tirmidzi , Ibnu Majah dan Ahmad ).

Kelompok yang berpendapat wajib mengatakan bahwa hadist di atas menyebut dua khitan yang bertemu, maksudnya adalah kemaluan laki-laki yang dikhitan dan kemaluan perempuan yang dikhitan. Hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa khitan wanita hukumnya wajib. Sedangkan bagi yang berpendapat khitan wanita adalah sunnah mengatakan bahwa hadist tersebut tidak tegas menyatakan kewajiban khitan bagi perempuan. ( Asy Syaukani, Nailul Author : 1/147 )

Ketiga :
Hadist Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu, bahwasanya Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallambersabda kepada kepada Ummu ‘Athiyah :ُ
إذا خفضت فأشمي ولَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
Apabila engkau mengkhitan wanita potonglang sedikit, dan janganlah berlebihan, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”(HR. Abu Daud dan Baihaqi )

Bagi yang mewajibkan khitan wanita, menganggap bahwa hadist di atas derajatnya ‘Hasan “, sedang yang menyatakan sunnah atau kehormatan wanita menyatakan bahwa hadist tersebut lemah.
Keempat :
الختان سنة للرجال و مكرمة للنساء
Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kehormatan bagi wanita. “ ( HR Ahmad dan Baihaqi )

Ini adalah dalil yang digunakan oleh pihak yang mengatakan bahwa khitan wanita bukanlah wajib dan sunnah, akan tetapi kehormatan. Hadist ini dinyatakan lemah karena di dalamnya ada rawi yang bernama Hajaj bin Arthoh.

Dari beberapa hadist di atas, sangat wajar jika para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan wanita. Tapi yang jelas semuanya mengatakan bahwa khitan wanita ada dasarnya di dalam Islam, walaupun harus diakui bahwa sebagian dalilnya masih samar-samar. Perbedaan para ulama di atas di dalam memandang khitan wanita harus disikapi dengan lapang dada, barangkali di dalam perbedaan pendapat tersebut ada hikmahnya, diantaranya :

Bahwa keadaan organ wanita ( klitorisnya ) antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Bagi yang mempunyai klitoris yang besar dan mengganggu aktivitasnya sehari-hari dan mebuatnya tidak pernah tenang karena seringnya kena rangsangan dan dikhawatirkan akan menjeremuskannya ke dalam tindakan yang keji seperti berzina, maka bagi wanita tersebut khitan adalah wajib.

Sedang bagi wanita yang klitoris berukuran sedang dan tertutup dengan selaput kulit, maka khitan baginya sunnah karena akan menjadikannya lebih baik dan lebih dicintai oleh suaminya sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist diatas, sekaligus akan membersihkan kotoran-kotoran yang berada dibalik klistorisnya. Adapun wanita yang mempunyai klitoris kecil dan tidak tertutup dengan kulit, maka khitan baginya adalah kehormatan. (Ridho Abdul Hamid, Imta’ul Khilan bi ar-Raddi ‘ala man Ankara al-Khitan, hal. 21-22 )

Praktek Khitan di Masyarakat Dunia
Di tengah-tengah masyarakat, khitan wanita dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah :
1/ Memotong sedikit kulit ( selaput ) yang menutupi ujung klistoris( preputium clitoris ). Cara ini dianjurkan dalam Islam, karena akan membersihkan kotoran-kotoran putih yang bersembunyi di balik kulit tersebut atau menempel di bagian klistorisnya atau yang sering disebut (smegma), sekaligus akan membuat wanita tidak frigid dan bisa mencapai orgasme ketika melakukan hubungan seks dengan suaminya, karena klistorisnya terbuka.

Bahkan anehnya di sebagian Negara-negara Barat khitan perempuan semacam ini, mulai populer. Di sana klinik-klinik kesehatan seksual secara gencar mengiklankan clitoral hood removal ( membuang kulit penutup klitoris )

2/ Menghilangkan sebagian kecil dari klistoris, jika memang klistorisnya terlalu besar dan menonjol. Ini bertujuan untuk mengurangi hasrat seks wanita yang begitu besar dan membuatnya menjadi lebih tenang dan disenangi oleh suami.

3/ Menghilangkan semua klitoris dan semua bagian dari bibir kemaluan dalam (labium minora). Cara ini sering disebut infibulations. Ini dilarang dalam Islam, karena akan menyiksa wanita dan membuatnya tidak punya hasrat terhadap laik-laki.

Cara ini sering dilakukan di Negara-negara Afrika, begitu juga dipraktekan pada zaman Fir’aun, karena mereka mengira bahwa wanita adalah penggoda laki-laki maka ada anggapan jika bagian klitoris wanita di sunat akan menurunkan kadar libido perempuan dan ini mengakibatkan wanita menjadi frigid karena berkurangnya kadar rangsangan pada klitoris.
4/ Menghilangkan semua klistoris, dan semua bagian dari bibir kemaluan dalam ( labium minora ), begitu juga sepasang bibir kemaluan luar ( labium mayora ). Ini sering disebut clitoridectomy ( pemotongan klitoris penuh ujung pembuluh saraf) Ini juga dilarang dalam Islam, karena menyiksa wanita.

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa 97,6 % khitan di Mesir merujuk kepada model kedua, dan 1,6 % merujuk pada model pertama. Sedang model ketiga/ keempat hanya 4 % saja. ( DR. Maryam Ibrahim Hindi , Misteri dibalik Khitan Wanita, hal 17 dan 101 )

Di Indonesia sendiri praktek khitan pada wanita sering kali salah dalam tekniknya, karena cuma dilakukan secara simbolis dengan sedikit menggores klitoris sampai berdarah, atau menyuntik klitoris, atau bahkan hanya menempelkan kapas yang berwarna kuning pada klistoris, atau sepotong kunyit diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak, bahkan di daerah tertentu di luar Jawa, ada yang menggunakan batu permata yang digosokkan ke bagian tertentu klitoris anak. Itu semua hakekatnya tidak atau belum dikhitan. (Sumber: Tulisan Ust DR.Ahmad Zain An-Najah/http://www.ahmadzain.com/)


Minggu, 20 Januari 2013

Rokok, Tuhan, dan Manusia Beradab

“Ruang Gerak Rokok Kian Terbatas” (Jawa Pos, 10/01/2013). Intinya, telah terbit Peraturan Pemerintah yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dengan cara semakin tegas menekan ’agresivitas’ rokok. Mencemati itu, Prijo Sidipratomo -Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau- berkata, “Walaupun tertatih-tatih, akhirnya kita masuk menjadi negara yang mulai beradab karena sudah punya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengendalian rokok.”

Pertanyaannya, sebegitu sulitkah mengendalikan peredaran rokok? Benarkah ada atau tiadanya rokok terkait dengan peradaban sebuah bangsa?

Rokok dan Tuhan

Bagi pelakunya, aktivitas merokok adalah sesuatu yang tak bisa dihentikan oleh sebuah larangan. Alih-alih sekadar larangan yang hanya berdasarkan norma kemasyarakatan saja, bahkan larangan yang beralaskan agama-pun mereka tak peduli.

Khusus bagi umat Islam, misalnya, keharaman merokok telah ditetapkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Lewat keputusan bernomor 18/MF-DD/IV/1427/2006, DDII menetapkan fatwa bahwa “Merokok hukumnya haram” dan “Kepada para perokok agar berhenti merokok”. Di antara dasar fatwa itu adalah QS An-Nisaa’ 29: “Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” dan  HR Ibnu Majah: “(Kita) tidak boleh menimbulkan bahaya dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain)”.

Tapi, lihatlah! Di masjid mereka merokok, sekalipun jamaah lainnya terganggu kekhusyukan shalatnya atau kesyahduan dzikirnya. Di ruang resepsi -setelah jamuan makan- mereka merokok tanpa memedulikan ekspresi tak suka dari hadirin lainnya. Di angkutan umum, mereka merokok tanpa merasa bersalah jika penumpang lainnya batuk-batuk karenanya. Contoh-contoh semisal itu bisa sangat panjang.

Para perokok telah menuhankan rokok. Benarkah? Dr. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim di buku ‘Kuliah Tauhid’ mendefinisikan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga seseorang rela didominasi olehnya.

Hemat saya, mereka yang merokok di masjid, di ruang resepsi, di angkutan umum pada contoh di atas adalah sebuah sikap yang bisa dibaca bahwa mereka telah didominasi oleh rokok. Bagi mereka rokok adalah sesuatu yang penting dan dipentingkan, sehingga tak masalah jika orang-orang di sekitarnya terganggu karenanya. Padahal, yang ada di sekitarnya itu bisa istrinya, anaknya, orang-tuanya, sahabatnya, atau pihak lainnya.

Tentang betapa sulitnya menghentikan kebiasaan buruk itu karena mereka telah menuhankan rokok, lihatlah kasus Surabaya. Mulai 22/10/09, Perda Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) diberlakukan. Para pelanggar (yaitu anggota masyarakat atau instansi) akan dikenakan sanksi sesuai yang diatur Peraturan Walikota Surabaya No. 25 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Perda KTR dan KTM.

KTR ada lima kawasan: sarana kesehatan, tempat proses belajar-mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. KTM adalah tempat umum (seperti rumah makan, terminal, stasiun, pelabuhan, pasar, supermarket, bioskop, tempat wisata, dan tempat umum lainnya) dan tempat kerja (meliputi tempat kerja pada Instansi Pemerintah -Pemerintah Provinsi Jawa Timur/Pemerintah Kota Surabaya- dan tempat kerja swasta). Dengan Perda itu diharapkan ‘ruang gerak’ para perokok di Surabaya lebih menyempit, tak leluasa mengganggu orang lain.

Hasilnya bagaimana? Bisa dibilang nol besar. Di KTR dan KTM masih sangat mudah ditemui orang merokok dengan leluasa. Para perokok masih tega mengganggu warga masyarakat lainnya yang tak biasa merokok. Para perokok masih menuhankan rokoknya.

Regulasi serupa di Jakarta bernasib sama dengan yang di Surabaya. Dengan demikian, bisa dibayangkan, betapa lebih leluasanya para perokok di daerah lain yang tak memiliki Perda larangan merokok (di kawasan tertentu).

Sungguh, tampaknya di negeri ini rokok telah menjadi Tuhan bagi sebagian orang. Atas fenomena ini, menulis-lah Taufiq Ismail sebuah sajak panjang berjudul “Tuhan Sembilan Senti”. Kata Taufiq, “Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok. Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok. Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.” Pendek kata, “Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,” simpul Taufiq Ismail.

Rokok dan Adab

Negeri ini memberi perhatian yang sangat besar bagi terjaminnya semua warganya untuk mendapatkan pendidikan. Apa pendidikan itu? Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan bertujuan utama membentuk manusia yang beradab. Adab, kata Al-Attas, adalah disiplin ruhani, jasmani, dan akli yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya.

Maka, berpendidikankah para perokok itu yang seenaknya merokok di sembarang tempat? Beradabkah para perokok itu jika yang dikerjakannya menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakadilan di tengah masyarakat? Misalnya, para perokok itu sering berkata bangga bahwa mereka adalah penyumbang cukai yang sangat besar. Tetapi, tampaknya, mereka pura-pura tak melihat bahwa biaya kesehatan yang ditanggung oleh Pemerintah dan masyarakat -menurut data di berbagai negara dan juga Indonesia- tiga kali lipat dari cukai yang didapatkan.

Berpendidikankah mereka, jika atas tulisan yang sangat jelas di setiap bungkus rokok tentang bahaya merokok tak mereka gubris sama sekali? Kita tahu, di masing-masing kemasan rokok selalu ada peringatan keras: "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin".

Jadi, beradabkah para perokok itu? [] (M. Anwar Djaelani/http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1202:rokok-tuhan-dan-manusia-beradab&catid=70:opini&Itemid=104)

Enam Prinsip Pendidikan Karakter Islami

Pendidikan karakter adalah sesuatu yang baik. Dalam Islam, karakter identik dengan akhlaq, yaitu kecenderungan jiwa untuk bersikap/bertindak secara otomatis. Akhlaq yang sesuai ajaran Islam disebut dengan akhlaqul karimah atau akhlaq mulia (Mohamed Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, 1975), yang dapat diperoleh melalui dua jalan. Pertama, bawaan lahir, sebagai karunia dari Allah. Contohnya adalah akhlaq para nabi. Kedua, hasil usaha melalui pendidikan dan penggemblengan jiwa (SM Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The Middle Ages, 1988).

Berdasarkan pengkajian penulis terhadap konsep akhlak Islam yang berlandaskan nash al-Quran dan hadits Nabi serta konsep karakter dalam tradisi empiris-rasional Barat, program pendidikan karakter yang baik seyogyanya memenuhi enam prinsip pendidikan akhlaq, yaitu:

1. Menjadikan Allah Sebagai Tujuan
Perbedaan mendasar antara masyarakat sekular dengan Islam terletak pada cara memandang Tuhan. Masyarakat sekular hanya mengimani “ide ketuhanan” karena ide ini berpengaruh baik bagi perilaku manusia. Mereka tidak ambil pusing apakah yang diimani benar-benar wujud atau sekedar khayalan (Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, 1993). Sebuah penelitian menunjukkan, 80% responden menyatakan bahwa mencuri tetap salah sekalipun diperintahkan Tuhan (Larry Nucci, Handbook of Moral and Character Education, 2008). Kaum secular mengurung agama dalam interpretasi kemanusiaan. Agama versi sekular tidak dapat menjelaskan keajaiban yang dialami Nabi Ibrahim tatkala menerima wahyu untuk menyembelih putranya.

Islam mengimani Allah sebagai Tuhan yang wujud sehingga ketaatan kepadaNya menjadi mutlak. Islam bukanlah agama sekular yang memasung agama dalam dinding kehidupan privat. Agama tidak diakui sekedar diambil manfaatnya. Agama merupakan penuntun kehidupan dunia menuju keridhaan Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” [QS. al-Dzaariyaat 56]

Keridhaan Allah merupakan kunci sukses kehidupan. Ilmu, kecerdasan, maupun rizki hanya mungkin dicapai apabila Allah menganugerahkannya kepada manusia (Zibakalam-Mofrad, 1999; Alavi, 1975). Untuk menggapai keridhaan Allah inilah, manusia wajib menghiasi diri dengan akhlaq mulia (Sherif, 1975).

2. Memperhatikan Perkembangan Akal Rasional
Perilaku manusia dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahamannya tentang hidup (an-Nabhani, 2002). Pendidikan karakter tidak akan membawa kesuksesan apabila murid tidak memahami makna-makna perilaku dalam kehidupannya. Untuk itu, Islam sangat menekankan pendidikan akal. Allah Swt menyebutkan keutamaan orang-orang yang berpikir dan mempunyai ilmu dalam berbagai ayat, salah satunya adalah QS. at-Thariq [86] ayat 5 (yang artinya): Maka hendaklah manusia memperhatikan (sehingga memikirkan konsekuensinya) dari apakah dia diciptakan?

Akal adalah alat utama untuk mencapai keimanan. Akal harus diasah dengan baik sehingga manusia memahami alasan perilaku baiknya. Pada tahap awal pendidikan, anak-anak memerlukan doktrinasi. Orang tua tidak boleh membiarkan mereka memukul teman atau bermain api walaupun mereka belum memahami alasan pelarangan itu. Namun, sejalan dengan usia, akal manusia mulai mempertanyakan alasan rasional. Keingintahuan ini tidak boleh diabaikan. Salah satu cara untuk mengasah akal adalah dengan perumpamaan dan dialog (Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, 1995). Rasulullah Saw sering melakukan dialog dengan para sahabatnya dalam rangka mengasah kemampuan akal mereka. Salah satunya tergambar dalam hadist berikut: “Apakah pendapat kalian, jika sebuah sungai berada di depan pintu salah satu dari kalian, sehingga ia mandi darinya sehari lima kali; apakah akan tersisa kotoran pada badannya?” Para sahabat menyahut, “Tidak sedikit pun kotoran tersisa pada badannya.” Nabi melanjutkan, “Demikianlah seperti shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” [HR. Muslim]

Dialog antara pendidik dan anak didik harus selalu dipelihara. Pendidik harus cerdas sehingga mampu mengimbangi pertanyaan-pertanyaan dari anak didik. Pendidik memberikan kesempatan kepada anak didik untuk memikirkan persoalan yang dihadapi dan mengarahkannya pada solusi Islam.

3. Memperhatikan Perkembangan Kecerdasan Emosi
Perilaku manusia banyak terpengaruh oleh kecenderungan emosinya (Elias dkk, 2008; Narvaez, 2008). Pendidikan karakter yang baik memperhatikan pendidikan emosi, yaitu bagaimana melatih emosi anak agar dapat berperilaku baik. Penelitian menunjukkan bahwa program pendidikan karakter yang efektif harus disertai dengan pendidikan emosi (Elias dkk, 2008; Kessler & Fink, 2008).

Ketika seorang pemuda datang meminta ijin berzina, Rasulullah Shallallaahu 'alaiahi wa sallam tidak menghardik pemuda ini atas kegagalannya memahami larangan zina secara kognitif. Nabi Shallallaahu 'alaiahi wa sallam menyentuh faktor emosinya dengan mengatakan, “Sukakah dirimu jika seseorang menzinai ibumu?” Sang pemuda menjawab, tidak. Maka Nabi mengatakan, “Sama, orang lain juga tidak suka ibunya kamu zinai. Sukakah dirimu jika seseorang menzinai putrimu?” Sang pemuda terkejut dan secara tegas menolaknya. Nabi Shallallaahu 'alaiahi wa sallam melanjutkan, “Sama, orang lain juga tidak suka jika putrinya kamu zinai.” Nabi Shallallaahu 'alaiahi wa sallam memahami gejolak sang pemuda dan memilih menyentuh faktor emosinya. Sang pemuda diarahkan untuk merasakan bahwa apa yang hendak dilakukannya akan menyakiti orang lain.

Pembangunan kecerdasan emosi juga Rasulullah Shallallaahu 'alaiahi wa sallam lakukan melalui upaya meningkatkan kedekatan hamba kepada Allah Ta'ala. Disebutkan dalam sebuah hadits qudsi: “Jika seorang hamba bertaqarrub kepadaKu sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Jika ia mendekatiKu sehasta, Aku medekatinya sedepa. Jika ia mendekatiKu dengan berjalan, maka Aku mendekatinya dengan berlari.” (Shahih Bukhari)

Kecerdasan emosi anak didik harus mendapatkan perhatian. Emosi anak yang ditekan dapat menjadikan anak tumbuh sebagai individu yang masa bodoh (al-Naqib, 1993). Kehebatan akal yang tidak didukung dengan kecerdasan emosi menyebabkan manusia melakukan tindakan spontan yang bertentangan dengan rasional dan nilai-nilai akhlaq.

4. Praktik Melalui Keteladanan dan Pembiasaan
Lingkungan masyarakat yang mempraktikkan akhlaqul karimah merupakan bentuk keteladanan dan pembiasaan terbaik. Penelitian menyebutkan bahwa perilaku anak lebih ditentukan oleh lingkungannya daripada kondisi internal si anak (Leming, 2008). Keteladanan dan pembiasaan merupakan faktor utama dalam mengasah kecerdasan emosi (Narvaez, 2008).

Dalam mendidik karakter umat Islam, Rasulullah Shallallaahu 'alaiahi wa sallam menjadikan dirinya suri teladan terlebih dahulu sebelum menuntut umatnya mempraktikkannya. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh para pendidik. Bahkan, para teladan harus menunjukkan kebaikan yang lebih besar dari apa yang dituntut atas anak-anak sehingga anak-anak menjadi lebih termotivasi dalam menjalankan kebaikan.

Keteladanan Rasululullah Shallallaahu 'alaiahi wa sallam ditegaskan Allah Ta'ala dalam firmanNya di Surat al-Ahzab ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah Shallallaahu 'alaiahi wa sallam selalu berpegang teguh kepada perilaku terpuji sesuai ajaran Islam, sehingga Aisyah ra. menyatakan: “Akhlaq Rasulullah Shallallaahu 'alaiahi wa sallam adalah (sesuai) al-Qur’an.” (HR. Muslim)

Selain memberikan keteladanan, Rasulullah Shallallaahu 'alaiahi wa sallam  menyuruh para orang tua untuk membiasakan anak-anak menjalankan perintah agama sejak kecil, walaupun mereka baru terkena beban agama setelah baligh. Dalam sebuah hadist Nabi Shallallaahu 'alaiahi wa sallam bersabda: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud & al-Hakim)

Rasulullah Shallallaahu 'alaiahi wa sallam memberikan keteladanan sekaligus membiasakan perbuatan baik melalui penerapan Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Larangan zina, misalnya, didukung dengan langkah-langkah untuk menjauhkan manusia dari berzina, seperti larangan untuk berdua-duaan, kewajiban untuk menutup aurat, serta pelaksanaan hukuman bagi pelaku zina.

5. Memperhatikan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Karakter tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Seseorang yang beristri lebih mudah untuk menghalau keinginan berzina daripada mereka yang membujang. Seseorang yang kenyang akan terhindar dari mencuri makanan. Tindakan kriminalitas sering terjadi akibat tekanan kebutuhan.

Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Apabila seseorang tidak mampu mendapatkan pekerjaan sendiri, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan untuknya. Apabila seseorang tidak mampu bekerja (cacat, tua, gila, dsb) maka Islam mewajibkan keluarganya untuk menanggung hidupnya. Apabila keluarganya tidak mampu atau tidak memiliki keluarga, maka Islam mewajibkan negara untuk mengurusi segala keperluannya (Abdul Aziz Al-Badri, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, 1995). Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli warisnya. Dan barangsiapa mati meninggalkan keluarga yang memerlukan santunan, maka akulah penanggungnya.” (HR. Muslim)

Jaminan atas kebutuhan dasar hidup memberikan rasa aman bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat. Masyarakat tidak lagi perlu khawatir biaya sekolah anak cucunya sehingga menumpuk harta melebihi kebutuhannya, bahkan dengan cara-cara tidak halal. Masyarakat lebih rela mengantri apabila ada jaminan bahwa mereka yang mengantri tidak akan kehabisan sembako, tiket, atau kursi. Penumpang pesawat terbang bersedia mengantri dengan tertib karena jatah kursinya sudah terjamin. Penumpang kereta ekonomi tidak mau mengantri karena mereka harus berebut kursi.

6. Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas
Pendidikan karakter seringkali tidak efektif karena ada perbedaan prioritas dalam memandang nilai. Ada seorang siswa laki-laki sekolah menengah trauma ke sekolah akibat digundul secara paksa oleh gurunya. Perbedaan persepsi rambut panjang bahkan pernah berujung menjadi tawuran antara orang tua murid dengan guru.

Islam memiliki konsep prioritas perbuatan, yang terbagi dalam 5 (lima) kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Penilaian moralitas tidak terlepas dari kelima tingkatan prioritas ini. Islam tidak melarang laki-laki berambut panjang, namun mewajibkan merapikan dan menjaga kebersihannya (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1, 2011). Dalilnya adalah kisah Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu. yang memiliki rambut panjang dan menanyakan kebolehannya kepada Nabi. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya untuk merapikan dan menyisirnya setiap hari.

Pendidik wajib mengetahui kedudukan tiap-tiap perbuatan sebelum mengambilnya sebagai aturan kedisiplinan. Dalam wilayah yang sunnah, mubah, dan makruh, apabila ada hal yang ingin dijadikan aturan kedisiplinan, maka pendidik harus mengkomunikasikan dan mengikutsertakan anak-anak dalam membuat keputusan sehingga mereka memaklumi manfaat aturan tersebut bagi kelangsungan komunitas dan menjalankannya secara bersungguh-sungguh.

Demikianlah enam prinsip pendidikan karakter. Keenam prinsip ini harus dipenuhi agar pendidikan karakter dapat mencapai kesuksesan.(Erma Pawitasari (Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor/http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=515:enam-prinsip-pendidikan-karakter-islami&catid=23:pendidikan-islam&Itemid=23)