Kamis, 28 Februari 2013

Seperti Inilah Para Ulama, Mereka Saling Mengisi dan Melengkapi

Tak ada gading yang tak retak. Yah, itulah kira-kira permisalan yang tepat bagi kitab Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam al-Ghzali rahimahullah. Disamping kemasyhuran dan faidah yang terkandung pada kitab ini bagi kaum muslimin, sayang di dalamnya terdapat banyak hadits lemah, sangat lemah bahkan palsu.

Harus diakui, Imam al-Ghazali adalah seorang ulama pemuka umat yang dihormati. Jasa dan sumbangsihnya dalam berbagai cabang ilmu agama tidak dapat dipungkiri. Beliau adalah ahli fikir dan ushul yang tersohor. Kendati dalam bidang hadits, beliau bukanlah ahli di dalamnya, sebagaimana dinyatakan para pakar hadits. Makanya, mengkritik hadits-hadits lemah dan palsu dalam kitab beliau, tidak berarti merendahkan kedudukan al-Ghazali, karena kebenaran dan keselamatan agama berada di atas segalanya.

Simaklah pernyataan al-Hafidz al-Dzahabi kala menjelaskan kekeliruan yang ada dalam kitab al-Ihya’: “Aku katakan: Al-Ghazali adalah imam yang besar, namun bukanlah menjadi syarat seorang alim itu tidak melakukan kekeliruan’’. (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar Alam al-Nubala 19/339, al-Maktabah al-Syamilah).

Bahkan Imam besar dalam Mazhab Syafi’i yang selalu membela al-Ghazali, Imam Tajuddin al-Subki pun mengakui hal ini dalam “Thabaqat”-nya: “Adapun apa yang dianggap cela pada kitab al-Ihya' berupa kelemahan sebagian hadits-hadistnya, maka itu kerana al-Ghazali dikenal bukanlah seorang pakar dalam bidang hadits’’. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’yyah al-Kubra, 6/249, al-Maktabah al-Syamilah).

Nah, inilah beberapa komentar ulama mu’tabar tentang kitab Ihya’ Ulumuddin:

Pertama: Imam al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan: “Ketika berada di Damsyik dan Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang kitabnya Ihya' Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang luar biasa, mengandung banyak ilmu yang berkaitan dengan syari’at, dan bercampur dengan kehalusan tasawuf serta amalan hati. Namun sayang, di dalamnya banyak hadits yang gharib, mungkar dan bahkan palsu’’. (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/214, al-Maktabah al-Syamilah).

Kedua: Imam Ibnul Jauzi berkata: “Kemudian datang Abu Hamid al-Ghazali menulis untuk mereka (golongan sufi) kitab al-Ihya' berdasarkan pegangan mereka. Dia memenuhi bukunya itu dengan hadits-hadits batil yang dia tidak ketahui kebatilannya’’. (Lihat: Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hlm 149, al-Maktabah al-Syamilah).

Ketiga: Imam al-Hafidz al-Dzahabi mengomentari: “Adapun kitab al-Ihya’ di dalamnya terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil. Padanya terkandung kebaikan yang melimpah, andai saja tidak ada padanya adab, cara dan zuhud yang diambil daripada ahli falsafah dan golongan sufi yang menyeleweng. Kami memohon daripada Allah ilmu yang bermanfaat". (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar ‘Alam al-Nubala’, 19/339, Beirut: Dar al-Risalah, al-Maktabah al-Syamilah).

Keempat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Abu Hamid (Al-Ghazali) tidak memiliki pengalaman (kepasitas) dalam atsar-atsar Nabi serta riwayat-riwayat salaf sebagaimana dimiliki oleh ahli-ahli yang mengetahui perkara itu yang sanggup membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih. Olehnya, al-Ghazali menyebut dalam kitab-kitabnya hadis dan athar yang palsu dan dusta, dimana kalau ia mengetahuinya tentu dia tidak akan menyebutnya” (Lihat: Ibn Taimiyyah, Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql, 3/370, al-Maktabah al-Syamilah).

Itulah Imam al-Ghazali dan kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Tapi kebesaran dan kesohoran beliau di dunia Islam, tidak menjadikan beliau tutup mata terhadap kekurangannya dalam bidang ilmu hadits tersebut. Beliau mengakuinya, hingga di akhir-akhir hayatnya, sebagaimana diceritakan oleh muridnya, Abul Hasan Abdul Ghafir al-Farisy, bahwa beliau mulai melakukan kajian-kajian terhadap hadits-hadits Nabi saw, duduk mendengar pelajaran dari ahli ilmu, serta mendalami kitab Shahih Bukhari dan Shohih Muslim. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, 4/111, dan al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala, 19/325-326). Terbukti, saat ditemukan, beliau wafat sambil memeluk “Shahih al-Bukhari”. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh al-Aql wa al-Naql, 1/162).

Sebagai penutup, semoga Allah merahmati al-Hafidz Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi atas kerja keras dan upaya beliau melakukan pendalaman dan takhrij (penjelasan) bagi hadits-hadits dalam kitab al-Ihya’, kemudian beliau namakan takhrijnya tersebut “Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar”, yang dicetak bersamaan dengan kitab Ihya’ Ulumuddin tersebut. Rahimahumullah Jami'an. Wallahu A'lam. (Sumber: Notes Ustad Rapung Samudin, Lc, MA di fb beliau pada hari Kamis 28/02/2013 /https://www.facebook.com/rappung.samuddin/posts/579214295424324)

Rabu, 27 Februari 2013

Meng INSPIRASI atau Menyalahkan


Seorang anak perempuan kecil kehilangan bandul kalung bermata safir biru. Ia tidak paham semahal apa permata itu, namun ia tahu batu mulia tersebut sangat berharga. Disingkapnya selimut dan seprei tempat tidurnya. Ia mencari di setiap sudut kamarnya, tetapi perhiasan itu tidak juga tampak. Dengan rasa khawatir anak tersebut bercerita pada ibunya. Ia kaget dengan kata-kata yang diucapkan ibunya.

“Sudah, tidak apa-apa. Kalau sebuah benda hilang, artinya itu bukan milikmu lagi. Tidak perlu risau,” ujar sang Bunda. Alih-alih marah atau ceramah panjang-lebar tentang betapa mahalnya permata tersebut atau menyalahkan kecerobohannya, kata-kata si ibu malah begitu menenangkan hati si anak.

“Kalau Allah berkehendak, nanti akan balik lagi. Tapi jika tidak, ya sudah bukan milikmu lagi, Sayang!” ujar ibunya. Si anak yang tadinya nyaris tenggelam dalam perasaan bersalah, kini malah tumbuh sebuah keyakinan bahwa semua milik Allah dan suatu saat akan diambil-Nya kembali.

Beberapa hari kemudian bandul kalung bermata batu safir itu ditemukan menggantung di sapu. Si anak perempuan begitu kaget, ia tidak menyangka benda berharga itu akan kembali padanya. “Berarti safir biru ini masih milikku,” ujarnya gembira.

Bertahun-tahun kemudian, gadis kecil itu sudah dewasa. Ketika seorang lelaki yang berjanji akan menikahinya pergi entah ke mana, ia berkata pada dirinya, “Dia berarti bukan milikku.” Begitu pula saat ia sudah berumah tangga, saat hartanya hilang, pembantu rumah tangganya pergi, atau guru di sekolah miliknya keluar, ia tak risau. Kata-kata dan sikap ikhlas yang ditunjukkan ibunya saat batu mulianya hilang begitu membekas di hatinya dan memuliakan cara berpikir dan bersikapnya.

Kisah lain terjadi. Seorang anak kehilangan sepeda barunya. Ayahnya memarahinya bahkan menghukumnya. Si anak kemudian sering melawan ayahnya sehingga dianggap bermasalah. Kepada psikolog yang menanganinya, anak tesebut bercerita bahwa kenakalannya berawal dari tragedi sepeda. “Sesungguhnya akulah yang paling marah, sedih, dan merasa kehilangan karena sepeda yang sudah lama kuinginkan akhirnya hilang. Namun ayah sama sekali tak memahami perasaanku, yang ada di pikiran ayah bahwa aku anak ceroboh, tidak kasihan pada ayah yang sudah banting-tulang,” ujarnya. Perasaan kehilangan saja sudah menjadi hukuman, ditambah lagi hukuman fisik dan kata-kata menyakitkan membuat si anak berontak.

Dikisahkan Anas Ibn Malik bahwa suatu kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk suatu keperluan. Di tengah jalan ada anak-anak sedang bermain, lalu ia pun bergabung. Saat asyik bermain, tiba-tiba Rasulullah memegang pundaknya. Lalu, sambil tersenyum berkata, “Hei Unais, kerjakan perintahku!” Alih-alih marah, Nabi Muhammad malah memanggil dengan nama kesayangannya ‘Unais’. Sejarah kemudian mencatat, Anas sebagai Sahabat yang meriwayatkan 2.286 Hadits. Anas berkata, “Lima belas tahun melayani Nabi, belum pernah sekali pun beliau membentak, baik di dalam maupun di luar rumah.”

Saat anak menghilangkan barang , merusak, atau melakukan kesalahan lainnya, Anda dapat memilih sikap antara menyalahkannya atau menginspirasinya. Bagaimana kemudian perilaku anak, bergantung pada respon Anda sebagai orangtua. (Sumber: Ida S.Widayanti, Penulis buku Mendidik Karakter dengan Karakter, Majalah Hidayatullah Edisi Juli 2012).

Selasa, 26 Februari 2013

Menikah Dengan Niat Cerai

Ada sebuah kasus, seorang laki-laki Mesir yang sudah mempunyai istri dan anak  pergi ke Negara Arab Saudi untuk bekerja selama dua tahun. Untuk menghindari perzinaan, akhirnya dia menikah dengan wanita yang berasal dari Pilipina yang kebetulan juga mempunyai kontrak kerja di Negara tersebut. Laki-laki Mesir tersebut ketika menikah, ada niat dalam dirinya, jika telah selesai kontrak kerjanya di Arab Saudi, maka istrinya yang dari Pilipina tersebut akan diceraikan, boleh jadi istrinya yang dari Pilipina tersebut mengetahui niat tersebut, boleh jadi juga dia tidak mengetahuinya.
Bagaimana hukum pernikahan tersebut menurut pandangan Islam ?

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah dengan niat cerai, sebagaimana dalam kasus di atas  :

Pendapat Pertama menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Berkata Imam Al – Zurqani dari madzhab Maliki di dalam Syarh al Muwatho’ : “Dan mereka sepakat bahwasanya siapa yang menikah secara mutlak, sedangkan dia berniat untuk tidak bersamanya ( istrinya) kecuali sebatas waktu yang dia niatkan, maka hal itu dibolehkan dan bukan merupakan nikah mut’ah. “

Berkata Imam Nawawi dari madzhab Syafi’i di dalam Syarh Shohih Muslim ( 9/182 ) : “ Berkata al Qadhi : “  Mereka sepakat bahwa seseorang yang menikah dengan akad nikah mutlak ( akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya ), tetapi di dalam hatinya ada niat untuk tidak bersama istrinya kecuali dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan niatnya, maka nikah tersebut sah, dan bukan termasuk nikah mut’ah.”

Berkata Ibnu Qudamah dari madzhab Hambali  di dalam  Al Mughni  (  7/537 ) : “ Jika seseorang menikahi perempuan tanpa ada syarat, hanyasaja di dalam hatinya ada niat untuk menceraikan setelah satu bulan , atau menceraikannya jika dia telah menyelesaikan pekerjaannya di kota ini, maka jika seperti itu, maka pernikahannya tetap sah menurut pendapat mayoritas ulama, kecuali Al Auza’i yang mengatakan bahwa hal tersebut termasuk nikah mut’ah. Tetapi pendapat yang benar bahwa hal tersebut tidaklah apa-apa, dan niat tersebut tidak berpengaruh”.

Mereka beralasan bahwa pernikahan tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya, sehingga secara lahir hukumnya sah. Adapun hati dan niat diserahkan urusannya kepada Allah swt, selama itu tidak tertulis di dalam akad nikah. Karena, barangkali calon suami ada niat untuk menceraikannya, tapi ternyata setelah menikah dia senang dan merasa cocok dengan istrinya tersebut, atau karena pertimbangan lain, sehingga dia tidak jadi menceraikannya.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya haram. Ini adalah pendapat madzhab Ahmad dalam riwayat yang masyhur dan pendapat Imam Auza’i, serta al-Majma’ al-Fiqh al-Islami, Rabithah al-Ulama al-Islami pada pertemuannya yang ke- 18 yang diadakan di Mekkah pada tanggal 10-14 Rabi’ul Awal 1427 H / 8-12 April 2006 M.

Maksud dari haram disini adalah tidak boleh dilakukan, tetapi jika seseorang tetap melakukannya, maka ia berdosa, karena di dalamnya mengandung unsur penipuan, tetapi walaupun begitu pernikahan tersebut tetap sah, sedang niatnya batil dan niat tersebut harus diurungkan.
Mereka beralasan bahwa tujuan pernikahan adalah mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan ketentraman, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mau berfikir.” ( Qs Ar Rum : 31 )
Menikah dengan niat cerai telah menyalahi tujuan dari pernikahan sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas.

Selain itu, bahwa pada dasarnya kehormatan ( kemaluan ) seorang wanita adalah haram, kecuali  melalui pernikahaan yang sah prosesnya dan benar maksudnya. Di dalam pernikahan yang ada niat untuk menceraikan istrinya adalah pernikahan yang  maksudnya sudah tidak benar dahulu, sehingga menjadi tidak boleh. Ini sesuai dengan hukum nikah muhalil, yaitu pernikahan dengan maksud hanya ingin menghalalkan wanita yang telah diceraikan suaminya tiga kali, dan suami ingin kembali lagi kepada istri  tersebut, tetapi syaratnya dia harus dinikahi oleh lelaki lain dan keduanya telah melakukan hubungan suami istri, setelah itu istri itu diceraikan, agar suami yang pertama bisa menikahinya kembali. Pernikahan semacam ini hukumnya haram, karena niatnya tidak benar, yaitu hanya sekedar untuk menghalalkan wanita tersebut. Kalau nikah muhalil diharamkan, maka begitu juga halnya dengan menikah dengan niat cerai. Niat dalam masalah ini sangat berpengaruh di dalam pernikahan, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“ Sesungguhnya perbuatan itu tergantung kepada niatnya “ ( HR Bukhari )
Pendapat ketiga menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh tapi makruh. Ini pendapat Abul Khair al Imrani dan Ibnu Taimiyah, sebagaimana di dalam (Majmu’ Fatawa : 32/107-108),  tetapi di tempat lain Ibnu Taimiyah berpendapat boleh (  Majmu’ Fatawa : 32/ 147)
Berkata Abu al al Khoir al Imran yang wafat pada tahun 558 H, di dalam bukunya al Bayan, (Dar al Minhaj): 9/ 279: “Jika ia menikahinya dan berniat di dalam hatinya akan hal tersebut ( yaitu ingin menceraikannya), kemudian ia menikahinya dengan pernikahan mutlak, maka hal tersebut makruh, tetapi tetap sah. “  (Bisa dirujuk pula dalam Mujib al Muthi’i, Takmilah al- Majmu’: 17/ 352 )
Kalau dikatakan nikah ini seperti nikah mut’ah, maka penyamaan seperti ini tidak benar, karena keduanya ada perbedaan yang sangat menyolok diantaranya :
1.    Nikah Mut’ah menyebutkan syarat tersebut di dalam akad pernikahan, sedang nikah ini ( nikah dengan niat talak ) tidak disebutkan.
2.    Nikah Mut’ah tidak ada perceraian dan tidak ada masa iddah, jika masanya habis, pernikahan tersebut dengan sendirinya bubar. Sedang dalam nikah ini ada perceraian dan ada iddahnya juga, sebagaimana pernikahan pada umumnya.
3.    Nikah Mut’ah jika masa kontraknya habis, maka pernikahan tersebut harus dibubarkan. Kalau keduanya ingin melangsungkan pernikahannya lagi, harus dengan akad baru. Sedang dalam pernikahan dengan niat cerai, bisa jadi tidak terjadi perceraian sebagaimana diniatkan, bahkan mungkin berlangsung terus sebagaimana pernikahan pada umumnya.

Kesimpulan dari keterangan di atas, bahwa menikah dengan niat cerai hukumnya boleh menurut pendapat mayoritas ulama, tetapi makruh, maka sebaiknya ditinggalkan. Maksud dari boleh dan sah di sini adalah bahwa hasil dari pernikahan tersebut diakui oleh Islam, yaitu  anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah anak yang sah dan dinisbatkan kepada orang tuanya, suami diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, jika salah satu dari kedua orangtuanya meninggal dunia, maka anak-anaknya berhak mendapatkan warisan darinya, dan hal-hal lainnya.
Dan ini berlaku bagi orang-orang yang sedang dalam perjalan keluar negri atau tempat yang jauh dalam suatu tugas atau berdagang atau belajar ilmu, sedangkan dia takut untuk terjerumus di dalam maksiat atau perzinaan. Dalam keadaan seperti ini, mayoritas ulama memberikan jalan keluar yaitu membolehkan menikah dengan niat cerai jika telah menyelesaikan tugasnya. Dan ini lebih baik dari pada terjerumus di dalam maksiat atau perzinaan. Walaupun demikian, para ulama menganjurkan untuk  menikah sebagaimana biasanya, tanpa harus berniat untuk menceraikannya, karena tanpa itupun, dibolehkan baginya untuk menceraikan istrinya. Kenapa harus mempersulit diri sendiri dengan menyertakan niat cerai dan menjerumuskan diri pada hal-hal yang para ulama masih berselisih tentang  hukumnya.

Nikah Kontrak di Puncak
Adapun kasus yang terjadi di puncak Bogor, atau tepatnya di daerah Cisarua, yaitu banyaknya perempuan Indonesia yang melakukan pernikahan dengan sebagian orang asing yang berasal dari Timur Tengah  dengan nikah kontrak, bukanlah termasuk dalam pembahasan kita. Karena pernikahan tersebut hanyalah untuk membungkus tindakan tercela mereka untuk melampiaskan syahwat seksual dan syahwat materi.  Dalam nikah kontrak tersebut, tidak ada sama sekali terdetik di dalam hati kedua mempelai tersebut untuk tinggal dan hidup bersama pasangannya dalam waktu yang panjang atau selama-lamanya. Bahkan keduanya sudah mengetahui bahwa pernikahan yang berlangsung tersebut hanyalah bersifat sementara antara satu minggu sampai satu bulan saja.

Setelah sampai batas waktu yang mereka sepakati bersama, maka mereka berpisah, mungkin dengan cara suaminya menceraikan istrinya atau sekedar berpisah begitu saja. Dengan pernikahan tersebut seorang  laki-laki bisa melampiaskan syahwat seksualnya sesuka hatinya, dan sebaliknya seorang wanita bisa melampiaskan syahwat materinya dengan mendapatkan harta yang melimpah dari laki-laki tersebut. Oleh karenanya, kadang kita dapatkan seorang wanita bisa menikah dalam satu tahun dengan sepuluh  laki-laki, atau seperti yang diungkap oleh salah satu sumber yang dipercaya bahwa seorang laki-laki yang masih sangat muda sudah melakukan pernikahan dengan 100 wanita lebih dengan cara nikah kontrak sepert ini.

Sampai sekarang belum kita dengar satu ulamapun yang membolehkan pernikahan kontrak seperti yang terjadi di Cisarua ini, karena kerusakan yang ditimbulkan darinya sangat banyak dan dahsyat serta membahayakan generasi Islam. Wallahu A’lam. (Ust.Dr. Ahmad Zain an-Najah,www.ahmadzain.com).

Sabtu, 02 Februari 2013

Shalahuddin al-Ayyubi dan Pembebasan al-Aqsha

Pengantar

Masjid Al Aqsha yang terletak di kota al-Quds termasuk salah satu situs  suci kaum Muslimin, karena ia merupakan kiblat pertama dalam Islam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  dan para sahabatnya menjadikannya sebagai qiblat mereka dalam jangka waktu sekian lama sampai kemudian Allah memerintahkannya untuk berpindah kiblat ke arah Masjidil Haram. Ia juga  menjadi masjid kedua yang dibangun setelah Masjidil Haram dan masjid ketiga yang terpenting dan utama setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Shalat di dalamnya memiliki pahala 500 kalilipat dari shalat di masjid lain selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits   "Shalat di Masjidil Haram pahalanya adalah seperti shalat seratus ribu kali, dan shalat di masjidku ini (Masjid An-Nabawi) pahalanya seperti shalat seribu kali, dan shalat di Masjid Al Aqsha pahalanya seperti shalat lima ratus kali."

Al Aqsha juga merupakan salah satu dari tiga masjid yang dianjurkan untuk di kunjungi sebagaimana disebutkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Imam  Bukhari-Muslim yang artinya: Janganlah kalian bersusah payah untuk melakukan perjalanan kecuali kepada tiga masjid, yaitu Masjidil Haram (di Mekkah), Masjidku ini (An-Nabawi di Madinah), dan Masjidil Aqsha di Palestina.

 Masjid Al-Aqsha juga merupakan tempat yang diberkahi oleh Allah. Meskipun pada dasarnya semua masjid adalah tempat yang berberkah, namun khusus masjid al-Aqsha  Allah Ta’ala menegaskan dalam firmanNya dengan kalimat `Yang Kami berkahi di dalamnya'. Ini merupakan isyarat yang agung agar agar kaum Muslimin tahu betapa tingginya nilai masjid ini. Sekaligus peringatan Masjid Al-Aqsha, Al Quds, dan Palestina seluruhnya adalah milik ummat Islam.

Dalam catatan sejarah, Al Quds dan Palestina berada dibawah kepemimpinan kaum Muslimin selama hampir 1.300-an tahun. Kemudian dirampas oleh kaum Salib dan berada dibawah kekuasaan mereka selama hampir 100 tahun. Lalu berhasil direbut kembali oleh panglima Sholahuddin Al Ayyubi.

Tulisaan ini berusaha untuk mengkaji rahasia faktor keberhasilan Sholahuddin al-Ayyubi dalam merebut kembali kota suci kaum Muslimin ‘al- Aqsha’ setelah sebelumnya berada dalam cengkraman orang-orang Salibis.

Sekilas Tentang Shalahuddin al-Ayyubi
Shalahuddin bernama lengkap Shalahuddin Yusuf bi Ayyub. Beliau lahir pada tahun 532 H/ 1137 M di Trikit, sebuah kota tua dekat Baghdad. Ia  berasal dari keluarga mulia dan terpandang berkebangsaan Kurdi. Keluarga ini menguasai Mesir dan Syam yang dikenal dengan Daulah Ayubiyah. Ayahnya yang bernama Ayub bin Syadzi memiliki hubungan kekerabatan dengan salah seorang komandan militer Daulah Saljukiyah Mujahiduddin Bahruz.
Al-Ayyubi  hidup antara tahun 532 -589 H. Masa itu dikenal sebagai masa kelam Islam. Sebab pada masa itu Islam sebagai kekuatan moral dan gerakan spritual berada dalam posisi yang paling rendah. Rezim penguasa yang otokratis, berbagai macam peperangan dahsyat yang meluluhlantakkan, dan kemewahan serta kemegahan yang tidak terkendali dari luar turut berpengaruh besar terhadap kondisi sosial dan religius kehidupan saat itu.

Sebelum lahirnya Al-Ayyubi konflik agama dan politik  serta pertentangan antara Eropa dan  dunia Islam terjadi. Sebagai kelanjutannya, terjadi pembasmian sedikit demi sedikit sepanjang periode 300 tahun. Stabilitas politik, perluasan wilayah , kemegahan duniawi, dan kedaulatan, serta kekuasan Muslim yang tidak tertandingi (pada masa sebelumnya –ed-) sebagaimana fenomena material lainnya, hanya bagaikan orang yang menumpang sementara waktu.
Dalam sejarah, Shalahuddin al Ayyubi  tercatat sebagai salah satu putra terbaik yang dimiliki oleh Ummat Islam. Nama beliau tidak dapat dipisahkan dari perjuangan pembebasan Masjidil aqsa di Palestina. Karena beliaulah panglima perang Islam yang membebaskan Baitul Mqadis setelah dikuasai oleh para salibis .

Faktor Keberhasilah Shalahuddin dalama Merebut al-Aqsha
Apa sebenarnya rahasia kemenangan dan kesuksesan Shalahuddin al Ayyubi dalam menghadapi kaum salib dan membebaskan Baitul Maqdis atau al-Aqsha? Kemenangan yang diaraih oleh Shalahuddin bukanlah karunia yang didapatkan tanpa sebab. DR.Syekh  Nashih Ulwan dalam bukunya menyebutkan lima aspek yang menjadi rahasia dan sebab kemenangan Shalahuddin dalam merebut Masjidil Aqsha :
1.    Takwa Kepada Allah dan  Menjauhi maksiat.
2.    Persiapan matang dan perhatian maksimal terhadap langkah pembebasan.
3.    Kesatuan politik Negara-Negara Islam dibawah satu pemerintahan.
4.    Berperang dengan mengagungkan kalimat Allah.
5.    (Meyakini), Pembebasan merupakan ketetapan Islam dan Muslim.

Namun, dibalik faktor-faktor di atas  masih terdapat faktor lain yaitu  aktivitas i’dad (persiapan) dan tajdid (pembaharuan) yang dijalani oleh Shalahuddin rahimahullah. Masih menurut Syekh Nashih Ulawan, ada lima bidang kehidupan Ummat Islam yang diperbaharui dan di-recoveri oleh Shalahuddin Al ayyubi rahimahullah, yaitu; (1) Sarana fisik, (2) Pendidikan. (3) Ekonomi, (4) Sosial,dan (5) Aqidah.

Jadi, penyebab keberhasilan Shalahuddin dalam merebut kembali Baitulmaqdis dari pasukan salib merupakan kombinasi dan akumulasi dari berbagai factor. Namun faktor yang paling dominan adalah Al-Ishlah Al-Ta’limiy wa al Tarbawiy (Pembaharuan dalam bidang Pendidikan). Sebab, sejarah telah mencatat bahwa faktor keterpurukan kaum Muslimin dan ketidak berdayaan mereka dalam menghadapi serangan pasukan salib adalah kerusakan ilmu. Kerusakan ilmu tersebut melahirkan ulama-ulama dan penguasa yang rusak pula. Akibat kerusakan ilmu muncul penguasa yang tidak peduli terhadap urusan kaum Muslimin. Rusaknya ilmu ketika itu juga melahirkan ulama-ulama su’ yang hanya menjilat kepada penguasa dan tidak memiliki ghirah untuk membebaskan tanah suci kaum Muslimin yang dikuasai oleh para salibis.

Akan tetapi,sebagian sejarawan Arab dan Islam masa kini, ketika  melihat sejarah kepahlawan Shalahuddin al Ayyubi rahimahullah, mereka langsung melompat ke fase (perjuangan) militer (Jihad ‘askariy) yang beliau pimpin bersama para sahabatnya untuk membebaskan Baitul Maqdis. Mereka melupakan jihad  lain yang menjadi muqaddimah (prakondisi) bagi terwujudnya kemenangan yang besar (fathun ‘adziym). Jihad lain yang dimaksud adalah Al Jihad At Tarbawiy (Pembinan dan pendidikan) yang  oleh  Nashih Ulwan disebut Al-Ishlah Al-Ta’limiy. Jihad Tarbawiy tersebut  dilakukan oleh Shalahuddin bersama para pengikutnya sebagai counter/perlawanan terhadap rezim Ubaidiyah yang menguasai Mesir pada masa itu dengan kekuatan dan Thugyan.”

Inilah fakta sejarah yang sering dilupakan, sesungguhnya perjuangan (jihad) yang dilakukan Shalahuddin al Ayyubi tidak terbatas pada jihad 'askari. Sebelum menggelorakan semangat jihad kaum Muslimin untuk merebut Masjidil Aqsa, beliau terlebih dahulu berjihad di bidang pendidikan (jihad tarbawiy). Melalui jihad Tarbawiy, beliau mendidik masyarakat Muslim di atas prinsip-prinsip Islam. Melalui jihad tarbawiy tersebut beliau mengkondisikan ummat Islam untuk siap berjuang bersama-sama dalam kancah jihad 'askariy.

Jadi, Shalahuddin selain berjuang dengan kekuatan militer,beliau juga membangun kekuatan lain sebagai penopang keuatan militer tersebut. Beliau menjadikan pendidikan sebagai sarana  medidik generasi Islam untuk cinta Islam,rela berjuang demi Islam. Beliau membangun lembaga-lembaga pendidikan seperti Masjid, Kuttaab, Madrasah dan sebagainya. Dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut kemudian lahir para mujahid yang berjuang bersamanya dalam mengusir tentara salibis dan membebaskan Baitul maqsis setelah lepas dari genggaman Ummat Islam.

Akan tetapi, kebanyakan sejarawan Arab dan Islam masa kini, ketika mereka melihat sejarah kepahlawan Shalahuddin al Ayyubi rahimahullah, mereka langsung melompat ke fase (perjuangan) militer (Jihad ‘askariy) yang beliau pimpin bersama para sahabatnya untuk membebaskan Baitul Maqdis. Mereka melupakan jihad lain yang menjadi muqaddimah (prakondisi) bagi terwujudnya kemenangan yang besar (fathun ‘adziym). Jihad lain yang dimaksud adalah Al Jihad At Tarbawiy (Pembinan dan pengkaderan) yang beliau tempuh sebagai counter/perlawanan terhadap rezim Ubaidiyah yang menguasai Mesir pada masa itu dengan kekuatan dan Thugyan.”

Sesungguhnya perjuangan (jihad) yang dilakukan Shalahuddin al Ayyubi tidak terbatas pada jihad 'askari. Sebelum menggelorakan semangat jihad kaum Muslimin untuk merebut Masjidil Aqsa, beliau terlebih dahulu berjihad di bidang pendidikan (jihad tarbawiy). Melalui jihad Tarbawiy, beliau mendidik masyarakat Muslim saat itu di atas prinsip-prinsip Islam. Melalui jihad tarbawiy tersebut beliau mengkondisikan ummat Islam untuk siap berjuang bersama-sama dalam kancah jihad 'askariy.

Sebagian aktivis Islam yang merindukan tegaknya Islam (semua kaum Muslimin harus merindukan hal ini), hanya memandang perjuangan Shalahuddin dari sisi militer. Sehingga mereka hendak memaksakan untuk menggiring kaum Muslimin pada medan perjuangan yang hampir mustahil mereka mau terlibat. Mereka hendak melibatkan masyarakat Islam dalam kancah jihad ‘askariy, sementara mereka belum mengkonsidisikan masyarkat untuk hal itu.

Singkatnya, sebelum melakukan Jihad 'Askari, Shalahuddin terlebih dahulu melakukan jihad tarbawiy. Ini yang kurang disadari oleh sebagian aktivis pejuang Islam hari ini. Apa saja bentuk-bentuk jihad tarbawiy yang digagas Shalahuddin al Ayyubiy? (bersambung insya Allah).

Bahan Bacaan diantaranya:
1. Shalaahuddin Al Ayyuubiy Bathal Hiththiyn Wa Muharrir Al Quds Min Ash      Shalabiyyiyn,karangan  Dr  ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan (Mesir: Darussalam tanpa tahun).
2. Ghazali’s Philosophy of Education, (terj) karangan Shafique Ali Khan. Sape’i (Bandung CV Pustaka Setia)  cet.I
3. Majalah al-Furqan( terbitan Jam’iyyah Ihyautturats Kuwait), dll.
   
 

Kerusakan Remaja Tanggung Jawab Siapa?

Usia atau masa remaja / muda adalah usia yang penuh dengan kekuatan, Allah Ta’ala berfirman,

“Allah yang menciptakan kalian dalam kelemahan kemudian menjadikan setelah kelemahan itu kekuatan.” (QS Ar-Rum : 54)

Yang dimaksud kekuatan dalam ayat ini adalah masa remaja / muda. Kekuatan ini adalah kekuatan yang berbentuk maknawi dan berbentuk kekuatan badan. Kekuatan ini mau tidak mau harus ditularkan dan disalurkan. Maka barangsiapa yang diberi taufiq oleh Allah Ta’ala dari kalangan pemuda, dia akan meletakkan kekuatan ini dalam hal yang bisa memberikan manfaat untuk agamanya, dunianya dan akhiratnya. Adapun yang tidak diberi taufiq oleh Allah ta’ala maka dia akan meletakkan kekuatan ini untuk perkara yang akan menghancurkan dirinya, sehingga kekuatan itu menjadi seperti api yang membakarnya. Oleh karena itu pemuda itu memiliki kekuatan semangat, kekuatan mengejar sesuatu, emosional yang cepat, kecemburuan yang kuat dan rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Demikian juga pemuda memiliki sikap menerima segala sesuatu yang sangat kuat dengan penuh keadilan dan keinginan. Sehingga kekuatan itu bisa diarahkan pada kebaikan dan bisa diarahkan kepada yang tidak baik.

Maka ini benar-benar terjadi pada diri seorang pemuda. Dan orang yang memperhatikan akan dakwah seruan yang ada pada masa ini (yang mengajak kepada kebaikan ataupun pada kejelekan) semua seruan itu banyak terarah (sasarannya) kepada para pemuda, dikarenakan mereka memiliki sifat yang kita sebutkan di atas (emosional yang tinggi, rasa ingin tahu yang tinggi dll).

Maka seorang pemuda jika mendapatkan taufiq dalam menyalurkan kekuatannya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka ini merupakan taufiq yang hanya diberikan oleh Allah Ta’ala secara khusus kepada yang Dia kehendaki. Padahal masa muda adalah masa yang penuh dengan kerusakan, akan diancam dengan berbagai penyimpangan dan kerusakan. Barang siapa mendapatkan taufiq untuk menyalurkan kekuatan mudanya untuk memberikan manfaat yang baik untuk dirinya dan untuk memperbaiki dirinya, dalam melaksanakan agama Allah Ta’ala, maka ini adalah taufiq dari Allah Ta’ala yang hanya diberikan kepada yang Dia kehendaki.

Sedikit sekali kita temukan pemuda yang menjalankan hal itu. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda hadits Abu Hurairah (muttafaq ‘alaih) “Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah subhanahu wata’ala pada saat yang tidak ada naungan kecuali naunganNya. (Diantara mereka adalah) seorang pemuda yang hidup dalam beribadah kepada Allah”. Hal itu dikarenakan dirinya terdidik untuk beribadah dan tumbuh dalam keadaan seperti itu, demikian juga akalnya dan hatinya terbentuk untuk suka beribadah. Dalam suatu ungkapan disebutkan, “siapa yang terdidik dan terbentuk diatas sesuatu dan dia terus menerus seperti itu serta terliputi sesuatu itu maka dia akan menyandang sesuatu itu”.

Datang dalam hadits Uqbah bin Amir diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Rasulullah ‘alaihi shalatu wa salam bersabda “Sesungguhnya Rabbmu sangat heran terhadap pemuda yang tidak memiliki shabwah”. Artinya dia tidak memiliki sesuatu yang menjerumuskan dia kepada hawa nafsu, kelalaian dan kesia-siaan.

Jika seorang pemuda mendapatkan taufiq untuk suka kepada ilmu syar’i, suka menuntut ilmu kemudian suka beramal shalih, selamat dari fitnah yang menimpa kalangan pemuda, maka dia wajib untuk memuji dan bersyukur kepada Allah Ta’ala yang telah meberikan kemudahan kepada dirinya. Jika Allah subhanahu wata’ala Ta’ala menjadikan adanya orang untuk membimbingmu dan menasehatimu serta menolongmu dalam kebaikan dan ilmu maka itu adalah taufiq dari Allah untukmu yang hanya diberikan kepada yang Dia kehendaki.

Kalau kita melihat kondisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, kebanyakan yang menerima dakwah beliau adalah para pemuda. Shahabat beliau kebanyakannya adalah para pemuda. Lihatlah sekumpulan pemuda tersebut (para shahabat) mereka menjadi makhluq yang paling utama setelah para nabi dan rasul dikarenakan mereka menerima al-haq dan dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.

Namun kalau kita memperhatikan juga maka kita akan temukan bahwa golongan yang paling banyak menerima kerusakan dan kejelekan adalah para pemuda. Maka dari sini kita mengetahui bahwa pemuda itu butuh perhatian dan bimbingan, jika tidak maka mereka akan menjadi korban fitnah. Betapa banyak para pemuda terjatuh untuk ikut-ikutan dalam pengeboman dan peledakan dengan alasan melawan kebathilan, meskipun kata “melawan kebathilan” adalah kata yang baik tapi telah digunakan untuk kebatilan itu sendiri.

Maka para pemuda itu sangat butuh kepada yang mengarahkannya, yang memperhatikannya, dan bimbingan dari ahlul ilmi jika tidak mereka akan menjadi korban fitnah dan kerusakan. Jika mereka terus menerus berada dalam ilmu serta menuntut ilmu, mau menerima arahan dan bimbingan maka itu semua bentuk kebaikan pemuda itu. Sebagian salaf berkata: “Sesungguhnya merupakan ni’mat Allah Ta’ala bagi para pemuda adalah adanya taufiq untuk mengikuti sunnah dari awal masanya dan dia berteman dengan seorang sunny sehingga orang tersebut mebimbingnya kepada sunnah”. Oleh karena itu Abdullah bin wahb berkata: “Kalau bukanlah karena bershahabat dengan Malik dan Al-Laits niscaya aku telah tersesat”.
Dari penjelasan di atas tentunya kita memaklumi kenapa kebanyakan upaya untuk melemahkan kaum muslimin oleh kaum kafir ditujukan kepada kaum pemuda.

Orang Tua tak Boleh Lepas Tangan

Jika kita melihat fenomena kenakalan remaja di depan mata kita, maka kata yang mungkin terbenak di dalam hati kita dimana orang tua mereka? Apakah mereka terlalu sibuk sehingga menelantarkan anaknya yang katanya sangat dicintainya?

Jika anak-anak tumbuh menjadi shalih dan shalihah, tentu akan membawa keuntungan dunia dan akhirat bagi orangtuanya. Sebaliknya, jika orangtua lalai dalam mengajar dan mendidik, keberadaannya kakan membawa bencana dunia dan akhirat. Banyak orangtua percaya, uang bisa “menyulap” akhlak anak. Mereka memposisikan sekolah seperti pabrik atau penitipan sepeda. Padahal seorang anak adalah manusia. Sering pula orangtua menyangka, nilai akademis selalu sejajar dengan perilaku baik dan akidah yang lurus. Banyak kasus di negeri ini orang-orang bertindah ceroboh, melakukan korupsi dan melakukan kejahatan bahkan dari orang-orang terdidik dan pandai.

Sesungguhnya tugas pendidikan ada pada keluarga dan sekolah. Namun pertanggujawabannya di akhirat, di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap para orangtua. Hendaknya para orangtua tampil menjadi teladan bagi buah hatinya, lalu mengajari ilmu yang membawa kemanfaatan dunia dan akhirat, serta tidak mendoakan yang buruk kepada mereka (anak-anak).

Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban.”

Jaga Generasi Kita


Pada tanggal 14 Februari ini sebagaimana tiap tahunnya kaum kuffar kembali menggaungkan perayaan kekufuran mereka yang disebut dengan valentine day. Jangan biarkan putra dan putri kita terseret dalam perayaan semacam ini, apalagi jika kita tahu kerusakan yang bisa saja terjadi seperti mulai dari paganisme, kesyirikan, ritual Nashrani, perzinaan dan pemborosan.

Perlu diketahui pula bahwa Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh pemuka Islam melainkan juga oleh agama lainnya. Sebagaimana berita yang kami peroleh dari internet bahwa hari Valentine juga diingkari di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Alasannya, karena hari valentine dapat merusak tatanan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. Sebagai umat muslim seharusnya kita lebih didepan dalam menentang perayaan tersebut.

Sekali lagi jaga Anak-anak kita dari gempuran yang memang bertujuan merusak mereka. Mudah-mudahan kita semua selamat di dunia dan di akhirat untuk mengantarkan anak-anak kita ketika kelak dihadapkan pada mahkamah Allah Azza wa Jalla.[]

dari berbagai sumber, Sebelumnya dimuat di http://wahdahmakassar.org.