Rabu, 10 April 2013

Memahami Kalimat Cinta Tertinggi

Oleh Ustadz Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc., M.Si.

Kita tak akan pernah mencapai manisnya kisah cinta dengan sang Rabb kecuali bila makna ‘La ilaha illallah’ benar-benar dipahami. Kalimat agung ini, jika saja diucapkan dengan penuh kesadaran dan perasaan, sesungguhnya adalah kalimat yang memiliki makna yang sangat dekat dengan hati kita. Kalimat ini adalah kalimat yang kutub putarannya pada segala kemahasempurnaan. Sebuah pengakuan hakiki akan segala kemahaagungan dan kemuliaan. Ia adalah sebuah ungkapan hati yang tunduk sempurna pada Allah.

Pernahkan kita mencoba memahaminya?

Tidak terhitung berapa banyak kita telah mengucapkan kalimat ini. Tapi di usia kita sekarang ini, pernahkah kita sekali saja menyempatkan diri untuk lebih dalam memasuki makna ‘laa ilaha illallah’ jauh lebih dalam? Mungkin tidak pernah. Paling jauh kita akan mengatakan, “Iya, saya pernah mengetahui artinya. Tiada Tuhan selain Allah kan?”. Dan sudah, hanya sampai di situ. Sehingga wajar saja bila keindahan cinta antara sang makhluk dengan Khaliknya tak kunjung terwujud.

Bila kita telah memahami bahwa pangkal utama hilangnya keindahan itu adalah bermula dari ketidakmengertian kita akan kandungan makna kalimat agung itu, maka sekarang marilah kita mencoba menelusuri secara singkat apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik ‘La ilaha illallah’ itu.

Jika kita memperhatikan secara sekilas saja, maka akan kita temukan dua kata penting dalam kalimat ini. Dua kata yang merupakan ini perputaran semua keindahan Islam ini. Dua kata itu adalah Allah dan Ilah. Kata Ilah bila ditelusuri secara bahasa adalah sebuah kata yang bersifat qabliyah-wijdaniyah, artinya sebuah kata yang memiliki tautan dan kaitan yang sangat kuat dengan hati. Ia adalah kata yang menunjukkan keadaan-keadaan hati seperti cinta dan benci, gembira dan sedih, kerinduan, pengharapan, dan seterusnya. Dalam ungkapan bahasa Arab, bila dikatakan:
أَلِهَ الفَصِيْلُ ___ يَأْلَهُ

Makna itu berarti: anak unta itu meratap dan menangisi ibunya karena rindu. Kata Al-fashiil maknanya adalah seekor anak unta yang baru saja disapih oleh ibunya lalu ia dikurung dalam sebuah kandang dan ibunya meninggalkannya untuk pergi ke padang penggembalaan. Setelah lama menunggu, anak unta itu menangis karenanya. Maka dalam kasus ini, secara bahasa, sang ibu adalah ilah si anak unta itu.

Intinya bahwa Ilah adalah apa yang selalu dirindukan oleh hati, yang selalu membawa jiwa sampai pada tingkatan ketundukan dan kepatuhan pada yang dirindu. Itulah sebabnya ada yang mengatakan kata ini berakar dari al-Walah. Anda tahu apa itu al-Walah? Biarkan Ibn Mandzhur rahimahullah (penulis Lisan al ‘Arab) menjelaskannya: “Kata al-Walah itu maknanya adalah sebuah ‘kegilaan’ yang muncul disebabkan kecintaan yang sangat kuat atau kesedihan yang begitu mendalam.” (Lihat penjelasannya secara terperinci dalam Lisan al-‘Arab materi alif-lam-ha’ dan materi waw-lam-ha’. Lihat pula al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an pada materi yang sama).

Dan kata Allah secara umum memiliki kaitan yang sangat erat dengan kata ilah tersebut. Hanya saja ia tidak lagi digunakan untuk selain Sang Pencipta dan Penguasa Alam semesta satu-satuNya. Ia adalah nama yang menunjukkan dzat ilahiyyah, sebuah nama yang mengumpulkan segala makna kesempurnaan dan kemuliaan mutlak tanpa ada yang menyaingi dan menandingi. Berbeda dengan kata ilah yang bisa digunakan dalam bentuk jamak –yang menunjukkan kenyataan (bukan membenarkan!) bahwa memang banyak ilah yang dicintai manusia selain Allah Ta’ala-, kata Allah tidak digunakan kecuali dalam bentuk tunggal (mufrad). Satu hal yang menunjukkan bahwa nama ini dan Pemiliknya hanya satu, yaitu Allah Ta’ala sendiri sang Rabbul ‘alamin.

Begitulah, akhirnya kita melihat bagaimana kedua kata ini, Ilah dan Allah ternyata memiliki kaitan yang sangat dalam dengan hati. Keduanya secara umum memberikan gambaran adanya hubungan kejiwaan yang dipenuhi dengan cinta. Sehingga ketika seorang mu’min mengatakan ‘La Ilaah illallah’, sesungguhnya (baca: seharusnya!) ia sedang mengungkapkan tautan hatinya pada sang Rabb. Bahwa tidak ada yang ia cintai selain-Nya, tidak ada yang ia takuti selain-Nya dan tidak ada yang berhak untuk ia sembah dan patuhi selain-Nya. Hatinya tidak dipenuhi dengan apapun selain kehendak yang murni pada Allah Ta’ala. Para ulama menyebutnya sebagai al-Ikhlas.

Jika demikian adanya, maka kalimat ini memang bukan kalimat mainan. Ini adalah kalimat yang agung. Dan tidak ada satupun yang mengetahui kejujuran sang pengucapnya, kecuali Allah Ta’ala kemudian sang pensyahadat itu sendiri. Sebab ini adalah tentang hati. Hati yang dipenuhi cinta, atau tidak sama sekali.

Ibn Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan:

“Sesungguhnya cinta sang hamba pada Rabbnya itu berada di atas segala cinta apapun untuk diukur. Tidak dapat dibandingkan dengan kecintaan pada apapun. Dan inilah hakikat sesungguhnya dari ‘La ilaha illallah’.”

Hingga -masih dalam konteks yang sama- beliau menyatakan: “Jika saja masalah cinta ini dihapuskan (dari kalimat La ilaha illallah –pen) maka akan hilanglah semua derajat keimanan dan keihsanan. Akan terhentilah semua jalan-jalan menuju Allah, sebab (cinta itu) adalah ruh untuk setiap jalan, tangga dan amal (menuju Allah). Hubungan rasa cinta dengan amal adalah sama dengan hubungan keikhlasan dengannya. Bahkan cinta adalah hakikat keikhlasan yang sesungguhnya. Lebih dari itu, cinta Islam adalah Islam itu sendiri. Sebab Islam adalah penyerahan diri yang disertai ketundukan, kecintaan dan kepatuhan pada Allah.

Maka barang siapa yang tak memiliki rasa cinta (pada Allah-pen), maka ia tidak memiliki keislaman sedikit pun. Cinta ini adalah hakikat dari pernyataan Syahadat bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah. Karena “Ilah” adalah apa yang dipatuhi para hamba dengan rasa cinta dan rendah diri, dengan rasa takut dan harap, disertai sikap ta’zhim dan patuh…
Maka, -kesimpulannya- al Mahabbah (rasa cinta) itu adalah hakikat dari segalah penghambaan pada Allah.” (Lihat Madarij As Salikin 3/26).

Meluruskan “Cinta” pada Allah

Sampai di sini, mungkin sebagian dari kita lalu teringat akan sebuah ungkapan sebagian para tokoh sufi yang mengatakan: “Ya Allah, jika aku beribadah padaMu karena mengharapkan surgaMu, maka jauhkanlah aku darinya. Bila aku beribadah padaMu karena takut pada nerakaMu, maka masukkanlah aku ke dalamnya.” Untuk sebagian orang kalimat ini nampak begitu mulia. Beribadah tanpa mengharapkan balasan selain apa yang mereka sebut dengan cinta Allah. Mereka menganggap keikhlasan beribadah itu diukur dengan mengharap Surga atau tidak, takut pada neraka atau tidak. Jika Anda tidak mengharapkan apa-apa, maka itu adalah ikhlas. Entah apa yang mereka lakukan dengan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memburu surga dan takut pada neraka… Entah apa yang mereka lakukan dengan do’a-do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meminta surga dan mohon perlindungan dari neraka.

Hakikat cinta pada Allah Azza Wa Jalla tidak akan pernah tegak tanpa dua sayap penghambaan, khauf (takut pada-Nya) dan raja’ (harap pada-Nya). Ayat-ayat Al-Qur’an dan pesan-pesan kenabian terlalu dipenuhi dengan penjelasan akan hal ini. Hanya orang bodoh atau berpura-pura bodoh yang tidak mengetahui ini.

Seorang pecinta yang hakiki pasti akan selalu takut mendapatkan siksa dari Yang dicintainya, di saat sama dimana hatinya dipenuhi harapan untuk mendapatkan karunia terbaik dari Yang dicintainya. Bila mahabbah pada Allah Ta’ala telah ditelanjangi dari khauf dan raja’, maka pengakuan cinta hanya menjelma menjadi sebuah kepalsuan. Allah menggambarkan tentang para manusia pilihan-Nya, para Nabi dan Rasul ‘alaihimu shalatu wa sallam:

    “Sesungguhnya mereka bersegera menuju kebaikan-kebaikan, mereka berdoa pada Kami dengan penuh rasa harap dan takut, dan adalah mereka itu sangat khusyu’ pada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

Dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasul penghulu seluruh manusia, telah menyatakan:

 “Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan paling takwa pada Allah di antara kalian.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Akidah Cinta

Maka dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa akidah ‘La ilaha illallah’ adalah akidah yang ditegakkan di atas cinta. Ia bahkan menjadi ikatan kuat rasa cinta. Karena itulah ia memancarkan cahaya keindahan dan keagungan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan neraka untuk orang-orang yang mengatakan “La ilaha illallah” karena mengharapkan wajah Allah” (Muttafaqun ‘alaihi), kita bertanya, apakah semudah itu?? Hanya dengan satu kalimat. Iya, semudah itu. Tapi ini adalah soal kemana hati kita terarah, terikat dan bergantung sepenuh-penuhnya. Ini adalah soal pautan-pautan cinta. Siapa yang mencintai Allah, niscaya Allah akan menunjukkan padanya jalan untuk menghamba dan taat pada-Nya.

Bukankah ini sebuah makna yang sangat indah dan agung? Ketika kita tidak lagi merasakan ini, maka disitulah titik awal persimpangan yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dari kedalaman Ad-Din yang sesungguhnya. Dari jalan yang lurus, Ash Shiratal Mustaqim.[]

Rujukan:
“Jamaliyyah ad Din Fi Jamaliyyah at Tauhid” oleh DR. Farid al-Anshary,
“Ma’alim Asy Syakhsiyah al-Islamiyah” oleh DR. Umar al-Asyqar.

Sumber : Majalah Islamy, No. 2 tahun 1426 /wahdahmakassar.org/wahdahmuna.blogspot.com

Umrah Bersama, Atau Uangnya Ditabung Untuk Biaya Haji Suami?

Aku dan suamiku mempunyai uang yang cukup untuk menunaikan umrah bersama. Akan tetapi kalau kami tidak menunaikan umrah, akan tersimpan biaya yang cukup sehingga sang suami dapat menunaikan haji pada tahun depan, namun itupun belum pasti. Apakah yang lebih baik menabung uang untuk menunaikan haji tahun depan, atau menunaikan umrah sekarang?

Alhamdulillah.
Yang kami nasehatkan kepada kalian berdua adalah segeralah menunaikan umrah selagi kalian mampu. Hal itu karena beberapa sebab: 

1. Orang mukmin dianjurkan segera menunaikan amal saleh. Allah Ta’ala berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas  langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)
Dan firman Allah Ta’ala lainnya: “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya." (QS. Al-Hadid: 21).
Sebagian salaf mengatakan: “Barangsiapa yang telah dibukakan pintu kebaikan, maka bersegerahlah (melakukan kebaikan itu). Karena dia tidak tahu kapan ditutupnya."

2. Sesungguhnya anda belum yakin akan kemampuan suami anda untuk menunaikan haji pada tahun (depan) dari segi kecukupan harta, bahkan kalau pun biaya telah cukup, mungkin ada perkara lain,  seperti kesibukan atau lainnya yang membuatnya tercegah melakukan haji. Akhirnya  umrahnya tidak terlaksana tanpa alasan atau kemaslahatan yang lebih besar, haji pun tidak dapat tertunaikan.

3.      Sesungguhnya ketika kalian mampu menunaikan umrah, maka ia adalah wajib bagi kalian berdua. Sedangkan haji saat ini tidak wajib bagi kalian –karena belum ada kemampuan-. Bukan sikap bijak bagi seseorang mengakhirkan apa yang telah menjadi kewajiban baginya sekarang untuk meraih -setelah itu- perkara yang belum wajib baginya.
Kalian berdua sekarang diperintahkan berumrah – selagi kalian berdua mampu- dan  tidak diperintahkan untuk berhaji karena tidak mampu. Maka, hendaklah kalian menunaikan umrah untuk merealisasikan perintah Allah:
Maka bertakwalah kepada Allah semampu anda semua.” (QS. At-Taghabun, 16).
Juga berdasarkan sabda Nabi Sallallahu’alahi wa sallam: “Jika kalian diperintahkan suatu perintah, maka lakukanlah sesuai  kemampuan kalian.” (HR. Bukhari, no. 7288, Muslim, no. 1337)

4.      Kemudian anda juga tidak menyebutkan sedikitpun tentang jumlah (harta) yang tersimpan. Apakah ia adalah milik suami anda atau milik anda berdua yang anda simpan bersama?. Kalau sekiranya jumlah (harta) milik anda berdua, maka para ulama rahimahumullah menyebutkan bahwa tidak dibolehkan itsar (mendahulukan) dalam masalah ketaatan wajib. Maka tidak patut anda memberikan harta anda kepada suami anda untuk dia pergi haji kemudian anda tidak menunaikan umrah. 

Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Al-Itsar (mendahulukan orang lain) dalam kebaikan ada dua macam. 
Pertama, kebaikan yang bersifat wajib.  Ini tidak dibolehkan itsar (mendahulukan orang lain). Contohnya, seseorang memiliki air yang cukup untuk wudhu satu orang saja, dan dia dalam kondisi tidak punya wudhu dan teman bersamanya juga tidak punya wudhu. Dalam kondisi ini, tidak diperkenankan baginya  itsar (mendahulukan temannya) dengan air tersebut. Karena, berarti  dia telah meninggalkan kewajiban baginya, yaitu bersuci dengan air. Maka itsar dalam perkara (ibadah) wajib adalah haram...” Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh, Pertemuan ke-35, hal. 22. 
Kami memohon kepada Allah semoga kalian berdua mendapat taufik dan apa yang disenangi dan dan diridai.  Wallahu’alam . (Sumber: http://islamqa.info/id/ref/131681)

Kamis, 04 April 2013

Pemakan Bangkai

Hati-hati memakan bangkai saudara sendiri (ghibah). Apalagi jika dia seorang da’i atau ulama. Sebab “daging mereka itu beracun” (luhumuhum masmumah). Yang demikian lantaran kehormatan mereka itu sangat tinggi dan mulia untuk dicemarkan. Duhai, fenomena sikap lancang sebagian thullabul ilmi yang masih hijau hari ini begitu mengiris hati. Tanpa rasa takut sedikit pun kepada Allah dan pertanggungjawaban di hari kiamat kelak, begitu berani mencabik-cabik kehormatan para ulama. Mengais-ngais kesalahan dan ketergelinciran mereka, lalu diumbar di majelis-majelisnya. Apakah mereka tidak mengambil ibrah dan pelajaran, bahwa dahulu, para pendahulu mereka juga melakukan kelancangan serupa, lalu apa akibatnya?! Aib dan cela mereka pun disingkap oleh Allah Ta’ala di hadapan khalayak. Dan sadarilah, siapa yang lancang mengais aib dan kesalahan saudaranya, maka Allah pun akan mengejar aib dan celanya hingga yang tersembunyi sudut-sudut rumahnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih; wal’iyadzubillah.

Berkaitan dengan hal ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitabnya Jami' al-Ulum wa al-Hikam, berkata tatkala mengomentari hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari 'Uqbah bin 'Amir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang menutupi aib seorang mukmin, niscaya Allah Ta'ala akan menutupi (aib) nya pada hari kiamat", beliau (Ibnu Rajab) berkata: Diriwayatkan dari perkataan sebagian salaf: "Sungguh aku mendapati suatu kaum yang sebenarnya mereka tidak memiliki aib dan cela, namun mereka suka mengungkit aib-aib manusia, maka orang lain pun mengungkap aib-aib mereka. Sebaliknya, aku juga mendapi suatu kaum yang memiliki banyak aib dan kekurangan, namun mereka menahan diri dari (mencari-cari) aib orang lain, maka aib-aib mereka pun terlupakan". (Lihat: Ibnu Rajab al-Hambali, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 1/340 al-Maktabah al-Syamilah).

Demikian pula Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, beliau menumpahkan keheranan beliau terhadap golongan ini. Ungkapan keheranan beliau ini layak menjadi perhatian, sebab sangat nyata melukiskan kondisi sebagian penuntut ilmu di zaman ini: "Merupakan perkara aneh, seorang itu begitu mudah baginya menjaga diri dari makanan haram, berlaku zalim, zina, mencuri, minum khamer, memandang sesuatu yang diharamkan dan sebagainya, namun sulit baginya mengontrol gerakan lisannya. Hingga engkau melihat seorang yang terkenal akan kebaikan agama, sifat zuhud dan ibadah, namun ia berkata-kata dengan kalimat yang memancing murka Allah sementara ia tidak peduali akan hal itu, namun satu kalimat itu cukup menjauhkannya antara timur dan barat. Betapa banyak engkau saksikan seorang yang begitu wara' (menjaga diri) dari perbuatan keji dan zalim, namun lisannya panjang dalam (mencela) kehormatan dan harga diri orang, baik yang masih hidup maupun yeng telah mati, serta tidak ambil peduli terhadap apa yang ia ucapkan". (Lihat: Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, Al-Jawabul Kafiy Liman Saala an ad-Dawaai asy-Syafi, hal 111. al-Maktabah al-Syamilah). Wallahu A’lam. (Oleh: Ustad Rapung Samuddin, Lc, MA/https://www.facebook.com/rappung.samuddin/posts/595287997150287)

Rabu, 03 April 2013

Fitnah

Begitulah jika fitnah telah merebak. Ahli hikmah pun tak bisa berbuat banyak, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan Arab. Olehnya, syari’at menekankan untuk senantiasa menjauhkan diri dan menghindar dari fitnah tersebut. Sebab, jangankan harga diri, nyawa bahkan agama akan tergadaikan. Ah, tidak usah melihat wajah fitnah menakutkan hari ini. Itu merupakan perkara wajar, sebab sejalan dengan kondisi iman dan agama kaum muslimin yang makin menipis. Tapi lihatlah pada generasi terbaik umat ini. Dengan kondisi iman laksana bukit uhud, tokoh fitnah itu pun tak segan menyambangi mereka. Menumpahkan darah mereka. Mengoyak harga diri dan kehormatan mereka. Duhai Rabb, selamatkan kami dari ancaman fitnah itu. Jangan Engkau perhadapkan jiwa kami yang lemah ini terhadap fitnah itu. Apalagi terhadap fitnah terbesar di penghujung zaman. Yah, fitnah Dajjal al-Kadzzab, yang selalu kami pinta di setiap penghujung shalat.

Nah, diantara fitnah menyakitkan yang harus ditelan umat ini sepanjang sejarah, adalah fitnah peristiwa Perang Jamal antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Aisyah bersama Thalhah dan Zubair radhiallahu anhum jami'an, yang meletus setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anha. Padahal hakikat sebenarnya tidak seperti yang banyak dihembuskan oleh musuh-musuh Islam. Bahwa Aisyah radhiyallaahu ‘nha keluar bukan untuk maksud perang, namun untuk tujuan mendamaikan kaum muslimin akibat fitnah yang terjadi seputar pembunuhan Utsman bin Affan radhiyillaahu ‘anhu.

Duhai, begitu indah apa yang digoreskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Minhaj al-Sunnah 2/185, dimana beliau berkata: “Sesungguhnya Aisyah radhiyallaahu ‘anha tidak keluar untuk perang. Akan tetapi tujuan keluarnya adalah mendamaikan kaum muslimin. Ia berasumsi, bahwa keluarnya tersebut akan membawa kemashlahatan bagi umat. Namun kemudian yang tampak padanya setelah itu, seandainya ia tidak keluar maka itu yang lebih baik baginya. Olehnya, setiap teringat peristiwa keluarnya (ke Bashrah) beliau menangis hingga membasahi kerudungnya. Demikian pula halnya kaum muslimin yang yang terlanjur terlibat, mereka semua menyesal karena terkait dalam perang itu. Thalhah, Zubair dan Ali semuanya menyesali peristiwa tersebut.

Dan peristiwa perang jamal tersebut, pada awalnya sama sekali bukan untuk maksud berperang. Namun sayangnya perang meletus di luar kehendak mereka. Sebab, ketika itu Ali, Thalhah dan al-Zubair telah saling surat-menyurat dan mencari kesepakatan demi mashlahat kaum muslimin. Bahwasanya jika telah terjadi kata sepakat, mereka akan bekerjasama mencari tukang-tukang fitnah yang membunuh Utsman. Disamping itu, Ali sendiri tidak ridha akan pembunuhan Utsman dan tidak pula membantu membunuhnya, sebagimana yang beliau ucapkan dalam sumpahnya: "Demi Allah, saya tidak membunuh Utsman dan tidak berkomplot untuk membunuhnya". Dan Ali itu orang jujur dan benar sumpahnya.

Nah, dalam kondisi ini orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman khawatir kalau Ali bersepakat dengan mereka untuk menangkap para pembunuh Utsman. Mereka pun bermuslihat dan melancarkan serangan (dengan melepaskan anak panah dan lembing) ke arah pasukan Thalhah dan al-Zubair. Sementara Thalhah dan al-Zubair terperanjat dan menyangka bahwa Ali telah mengkhianati mereka, maka keduanya membela diri. Keadaan Ali bin Abi Thalib pun demikian, beliau mengira keduanya telah mengkhianatinya, lalu ia pun membalas untuk membela diri. Maka terjadilah fitnah bukan atas kehendak dan kemauan mereka. Adapun Aisyah ra saat itu beliau sedang di atas kendaraan, tidak ikut berperang dan tidak pula memerintahkan perang. Demikianlah yang dikemukakan oleh para ahli ma'rifat tentang sejarah. (Terkutip dalam Asyraatu al-Sa'ah, Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, hal: 102, Daar Ibni al-Jauziy, cetakan ke-XV, tahun 1422 H). By. RSMD. (Sumber: Notes Ustad Rapung Samuddin, Lc, MA http://www.facebook.com/rappung.samuddin)

Kekayaan Hakiki

Ternyata untuk memiliki “kekayaan” seukuran dunia dan segala isinya tidak susah. Yah, tidak terlalu susah bagi mereka yang mau. Cukup mengamalkan beberapa anjuran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dunia beserta segala isinya bisa segera dibawa pulang. Bayangkan, hanya dua rakaat sebelum shalat subuh, kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita telah mendapat dunia dan segala isinya. (lihat Nash Hadits dalam Shahih Muslim, no. 725, dari Aisyah radhiyallahu 'anha). Yang menjadi persoalan di sini, cara pandang kita terhadap “kekayaan” seluas dunia dan segala isinya itu. Kalau dalam memandang itu kita gunakan kacamata materi, mungkin saja kita akan kecewa. Namun jika kacamata hati dan iman yang dipakai, maka kita akan menyaksikan sebuah keajaiban nikmat yang sangat luar biasa dalam diri kita.

Nah, untuk semisal kekayaan ini, mari kita simak kandungan Hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam berikut ini. Dari Ubaidillah bin Muhshan al-Anshary al-Khuthamy radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Siapa diantara kalian di waktu pagi dalam keadaan merasa aman dalam dirinya, sehat pada tubuhnya dan memiliki persiapan makanan untuk hari itu, maka seakan telah diberikan untuknya dunia dan segala isinya”. HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 300, at-Tirmidzi no. 2347, Ibnu Majah, 2/525, dan dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam as-Shahihah, no. 2318.

Ada beberapa hal yang dapat kita petik dari hadits yang mulia ini, diantaranya:

Pertama: Isyarat untuk melatih diri bersikap zuhud terhadap dunia. Sebab zuhud merupakan ibadah hati yang mulia dan sanggup mendatangkan kecintaan Allah dan manusia kepada seorang hamba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berlaku zuhudlah terhadap kehidupan dunia, niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya mereka akan mencintaimu” (HR. Ibnu Majah no 4102 dengan Sanad Hasan).

Kedua: Zuhud tidak berarti kemiskinan. Sebab keduanya memang berbeda. Akan tetapi, zuhud itu meninggalkan godaan dan rayuan dunia, kendati ia memilikinya karena sadar dan paham akan hakikat dunia yang hina ini (Lihat: Ibnu Qudamah, Minhaj al-Qashidin, hal. 409).

Ketiga: Padanya terkandung anjuran untuk selalu mensyukuri nikmat Allah yang ada pada diri kita. Sebab, kadang kala nikmat yang kelihatannya sepele, ternyata begitu agung jika direnungi dengan hati terbuka.

Keempat: Tiga perkara yang merupakan pondasi pokok bagi tegaknya sebuah kehidupan sosial, yakni rasa aman, kesehatan tubuh serta persediaan makanan. Makanya dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah Ta’ala hanya menyebutkan dua pokok dari tiga hal ini, yang menunjukkan bahwa jika kedua pokok ini terpenuhi maka sebuah organisasi negara akan tegak kuat, diantaranya pada surah Qurays ayat: 4 , dan surah al-Baqarah ayat 126.

Kelima: Bahwa siapa yang Allah Ta’ala kumpulkan baginya antara kesehatan badan, rasa aman dalam hati dan kecukupan bahan pangan untuk harinya tersebut serta keselamatan pada keluarganya, maka sungguh Allah telah mengumpulkan baginya seluruh nikmat-nikmat dimana orang yang memiliki dunia ini tidak akan mendapatkan selain dari apa yang disebutkan itu (Lihat: al-Munawi, Faidh al-Qadir, 6/88).

Keenam: Secara logika, memang demikian adanya. Bahwa siapa yang pagi hari dalam keadaan sehat, merasa aman dalam dirinya serta masih memilki bekal makanan hari itu, maka seakan ia memiliki dua dan segala isinya. Silahkan renungkan nikmat sehat yang ada pada tubuh kita. Berapa miliyar jumlah pembuluh darah dan syaraf kita?, berapa banyak sumsum tulang, darah, enzim, hormon, kelenjar, antibiotik dan sebagainya?? Renungkan pula keadaan organ-organ penting dalam tubuh kita, jantung, hati, ginjal, lambung dan sebagainya. Jika Allah kehendaki, satu dari sekian miliyar syaraf atau pembuluh darah atau sumsum tulang kita bermasalah, maka berapa biaya yang harus dikeluarkan??, sungguh, jika kita menghitungnya, maka akan sama atau mendekati dengan harga dunia dan segala isinya itu. Wallahu a’lam. By. RSMD (Sumber: Notes Ustad Rapung Samuddin, Lc, MA/ https://www.facebook.com/rappung.samuddin/posts/594919917187095)