Judul Buku : Kemi,Cinta Kebebasan Yang Tersesat
Penulis : Adian Husaini
Penerbit : Gema Insani
Tahun : Terbitan kedua 1432 H/2011
Tebal : 316 Halaman
Dr Adian Husaini MA dikenal sebagai tokoh yang gigih penyebaran berbagai pemikiran destruktif yang merusak aqidah ummat.Beliau selalu berada di gardaterdepan dalam membendung arus liberalisme di tanah air.Salah kontribusi beliau dalam menjawab berbagai syubuhat yang merusak aqidah adalah dengan menulis buku dan atikel-artikel ilmiyah. Diantara buku yang telah beliau susun adalah;Islam Liberal,Sejarah,Konsepsi,Penyimpangan dan Jawabannya,Wajah peradaban barat, Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler Liberal,Hegemoni Kristen –Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi,Membendung Arus Liberalisme (Kumpuan CAP di www.hidayatullah.com), Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam,Muslimah Daripada Liberal dan sebagainya.
Sebenarnya kajian liberalisme,pluralisme dan pemikiran destruktif lainnya termasuk kajian yang cukup berat.Tetapi dalam karya –karya Dr Adian kita akan memahami dan menjawab dengan mudah argumen-argumen kaum liberalis tersebut .Salah satu karya beliau yang beirisi trik-trik praktis untuk menjawab argumen kaum liberal adalah sebuah novel yang berjudul,Kemi ,Cinta kebebsan yang Tersesat.
Novel ini bercerita tentang kisah pergolakan pemikiran seorang santri bernama Kemi yang terjangkiti virus SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme). SEPILIS adalah Virus Pemikiran yang telah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Cerita berawal ketika Kemi meninggalkan ponpes Minhajul Abidin, tempatnya menimba ilmu agama selama bertahun-tahun. Ia keluar pesantren atas ajakan Farsan, kakak kelasnya yang telah bergabung dengan sebuah jaringan yang bergerak dalam menyebarkan paham Sekularisme, pluralisme, dan Liberalisme.
Tokoh lain yang dikisahkan dalam cerita ini adalah Rahmat, seorang santri yang masih merupakan rekan Kemi di pesantren. Rahmat dikenal cerdas dan istiqamah. Kyai Rais mengutusnya untuk menyelamatkan Kemi dan membawanya kembali ke Pesantren. Untuk menjalankan misi tersebut, Rahmat mendaftar sebagai mahasiswa di Institut Damai Sentosa, kampus yang menjadi corong penyebaran paham Sekularisme, pluralisme, liberalisme, multikuralisme, kesetaraan gender, bahkan dekontruksi kitab suci.
Adapula tokoh lain yang bernama Siti, Putri Kyai terkenal yang terjebak dalam pemahaman femisime liberal. Ia terperangkap dalam jejaring kebebasan yang semu. Namun semenjak bertemu dengan Rahmat, ia mengalami pergolakan dalam batinnya. Ia mulai mempertanyakan makna dan hakikat kebebasan yang selama ini diperjuangkannya. Pada saat yang sama, naluri kewanitaannya muncul. Diam-diam ia jatuh cinta kepada Rahmat, bahkan cintanya tak terbendung. Namun, di sisi lain ia tidak kuasa menghapus bayang-bayang dosa dan kesalahan yang terus menghantuinya.
Melalui dialog antartokoh dalam novel ini, Ustadz Adian menyingkap satu persatu argumen para pengusung ide pluralisme dan relativisme. Seperti dalam salah satu fragmen dialog antara toko Kemi dan Rahmat berikut ini:
“Tetapi, coba kita berdiskusi lebih menukik... soal Tuhan, misalnya. Menurut saya, yang penting adalah substansinya. Apalah arti sebuah nama. Tuhan itu satu. Tetapi manusia mempersepsikan dan memanggilnya dengan persepsi dan lingkungan budaya masing-masing. Orang Islam memanggil Allah, orang Yahudi memanggil Yahweh, orang Kristen memanggil Yesus, orang Hindu memanggil Brahman dan sebagainya. Nama Tuhan memang berbeda-beda, tetapi Tuhan tetap satu. ‘Berbeda-beda tetapi tetap satu’. Kata professor John Hick, kamu tahu kan dia, God had many names. Itu judul buka yang ia tulis. Ya kan, Rahmat...?” “Kalau memang masalah nama tidak penting, kenapa kamu tidak berdoa saja, ’’Wahai Yahweh, Wahai Tuhan Yesus?” Menurut saya, kamu sudah cukup keblinger. Harusnya sebagai orang Islam, kamu sudah paham masalah ini. Coba, mau nggak kamu baca syahadat tidak ada Tuhan selain Yahweh... Tidak ada Tuhan selain Dewata Agung. Ayo, ...................” (hal:59-60).
Hal yang sama juga nampak ketika Rahmat menaklukan Profesor Malikan di ruang kuliah (Hal:164-173). Demikian pula ketika santri andalan Kyai Rais tersebut mempermalukan Kyai Dulpikir di ruang seminar (Hal:238-243). Bahkan Kyai tersebut meninggal usai seminar.
Dari novel ini, pembaca dapat belajar cara mudah mematahkan argumentasi pluralisme, liberalisme, relativisme, multikulturalisme dan pemahaman menyimpang lainnya. Buku ini sangat mudah dipahami karena disajikan dengan gaya bercerita dan dialog. Pembaca tidak perlu mengerutkan kening untuk menyerap isi dan pesan dari novel yang mendapatkan pujian dari Taufik Ismail ini.
Oleh karena itu, novel ini penting dibaca para santri, mahasiswa, da’i dan semua pihak yang memiliki kepedulian untuk menjaga keimanan dan keislamannya serta menghendaki terbentenginya aqidah ummat dari berbagai pemahaman dan pemikiran destruktif yang semakin gencar menyerang ummat Islam.(Syams,Bogor 11/11/1432 H)
Penulis : Adian Husaini
Penerbit : Gema Insani
Tahun : Terbitan kedua 1432 H/2011
Tebal : 316 Halaman
Dr Adian Husaini MA dikenal sebagai tokoh yang gigih penyebaran berbagai pemikiran destruktif yang merusak aqidah ummat.Beliau selalu berada di gardaterdepan dalam membendung arus liberalisme di tanah air.Salah kontribusi beliau dalam menjawab berbagai syubuhat yang merusak aqidah adalah dengan menulis buku dan atikel-artikel ilmiyah. Diantara buku yang telah beliau susun adalah;Islam Liberal,Sejarah,Konsepsi,Penyimpangan dan Jawabannya,Wajah peradaban barat, Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekuler Liberal,Hegemoni Kristen –Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi,Membendung Arus Liberalisme (Kumpuan CAP di www.hidayatullah.com), Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam,Muslimah Daripada Liberal dan sebagainya.
Sebenarnya kajian liberalisme,pluralisme dan pemikiran destruktif lainnya termasuk kajian yang cukup berat.Tetapi dalam karya –karya Dr Adian kita akan memahami dan menjawab dengan mudah argumen-argumen kaum liberalis tersebut .Salah satu karya beliau yang beirisi trik-trik praktis untuk menjawab argumen kaum liberal adalah sebuah novel yang berjudul,Kemi ,Cinta kebebsan yang Tersesat.
Novel ini bercerita tentang kisah pergolakan pemikiran seorang santri bernama Kemi yang terjangkiti virus SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme). SEPILIS adalah Virus Pemikiran yang telah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Cerita berawal ketika Kemi meninggalkan ponpes Minhajul Abidin, tempatnya menimba ilmu agama selama bertahun-tahun. Ia keluar pesantren atas ajakan Farsan, kakak kelasnya yang telah bergabung dengan sebuah jaringan yang bergerak dalam menyebarkan paham Sekularisme, pluralisme, dan Liberalisme.
Tokoh lain yang dikisahkan dalam cerita ini adalah Rahmat, seorang santri yang masih merupakan rekan Kemi di pesantren. Rahmat dikenal cerdas dan istiqamah. Kyai Rais mengutusnya untuk menyelamatkan Kemi dan membawanya kembali ke Pesantren. Untuk menjalankan misi tersebut, Rahmat mendaftar sebagai mahasiswa di Institut Damai Sentosa, kampus yang menjadi corong penyebaran paham Sekularisme, pluralisme, liberalisme, multikuralisme, kesetaraan gender, bahkan dekontruksi kitab suci.
Adapula tokoh lain yang bernama Siti, Putri Kyai terkenal yang terjebak dalam pemahaman femisime liberal. Ia terperangkap dalam jejaring kebebasan yang semu. Namun semenjak bertemu dengan Rahmat, ia mengalami pergolakan dalam batinnya. Ia mulai mempertanyakan makna dan hakikat kebebasan yang selama ini diperjuangkannya. Pada saat yang sama, naluri kewanitaannya muncul. Diam-diam ia jatuh cinta kepada Rahmat, bahkan cintanya tak terbendung. Namun, di sisi lain ia tidak kuasa menghapus bayang-bayang dosa dan kesalahan yang terus menghantuinya.
Melalui dialog antartokoh dalam novel ini, Ustadz Adian menyingkap satu persatu argumen para pengusung ide pluralisme dan relativisme. Seperti dalam salah satu fragmen dialog antara toko Kemi dan Rahmat berikut ini:
“Tetapi, coba kita berdiskusi lebih menukik... soal Tuhan, misalnya. Menurut saya, yang penting adalah substansinya. Apalah arti sebuah nama. Tuhan itu satu. Tetapi manusia mempersepsikan dan memanggilnya dengan persepsi dan lingkungan budaya masing-masing. Orang Islam memanggil Allah, orang Yahudi memanggil Yahweh, orang Kristen memanggil Yesus, orang Hindu memanggil Brahman dan sebagainya. Nama Tuhan memang berbeda-beda, tetapi Tuhan tetap satu. ‘Berbeda-beda tetapi tetap satu’. Kata professor John Hick, kamu tahu kan dia, God had many names. Itu judul buka yang ia tulis. Ya kan, Rahmat...?” “Kalau memang masalah nama tidak penting, kenapa kamu tidak berdoa saja, ’’Wahai Yahweh, Wahai Tuhan Yesus?” Menurut saya, kamu sudah cukup keblinger. Harusnya sebagai orang Islam, kamu sudah paham masalah ini. Coba, mau nggak kamu baca syahadat tidak ada Tuhan selain Yahweh... Tidak ada Tuhan selain Dewata Agung. Ayo, ...................” (hal:59-60).
Hal yang sama juga nampak ketika Rahmat menaklukan Profesor Malikan di ruang kuliah (Hal:164-173). Demikian pula ketika santri andalan Kyai Rais tersebut mempermalukan Kyai Dulpikir di ruang seminar (Hal:238-243). Bahkan Kyai tersebut meninggal usai seminar.
Dari novel ini, pembaca dapat belajar cara mudah mematahkan argumentasi pluralisme, liberalisme, relativisme, multikulturalisme dan pemahaman menyimpang lainnya. Buku ini sangat mudah dipahami karena disajikan dengan gaya bercerita dan dialog. Pembaca tidak perlu mengerutkan kening untuk menyerap isi dan pesan dari novel yang mendapatkan pujian dari Taufik Ismail ini.
Oleh karena itu, novel ini penting dibaca para santri, mahasiswa, da’i dan semua pihak yang memiliki kepedulian untuk menjaga keimanan dan keislamannya serta menghendaki terbentenginya aqidah ummat dari berbagai pemahaman dan pemikiran destruktif yang semakin gencar menyerang ummat Islam.(Syams,Bogor 11/11/1432 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar