G. Sosok Yang Tawadhu
Sahabat Abdurrahman bin Auf juga dikenal
sebagai sosok yang tawadhu atau rendah hati. Kekayaannya yang berlimpah tidak
membuatnya sombong. Syekh Abdurrahman Raf’at Basya menggambarkan kerendahhatian
sahabat yang mulia ini. Beliau berkata: “Walaupun
begitu kaya- rayanya, namun harta kekayaan itu seluruhnya tidak mempengaruhi
jiwanya yang penuh Iman dan Taqwa. Apabila dia berada di tengah-tengah
budaknya, orang tidak adapat membedakan di antara mereka, mana yang majikan dan
mana yang budak”.[1]
Sa’ad bin Hasan At-Tamimi mengatakan: “
‘Abdurrahman bin ‘Auf tidak bisa dibedakan dengan budak-budaknya, lantaran
ketawaduan beliau di dalam berpakaian. Semoga Allah meridhai Abdurrahman bin
‘Auf dan seluruh Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mengetahui
(kebaikan) dan mengamalkaannya. Mereka mengetahui sabda Rasul yang mengatakan:
“Al Badzadzah Minal Iman, Badzadzah adalah bagian dari Iman”[2] .
Badzaadzah artinya pakaian sederhana dan tawadhu. Dalam hadits lain Rasulullah shallaallaahu
‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang meninggalkan pakaian (tertentu)
karena tawadhu kepada Allah , padahal ia sanggup memilki pakaian tersebut, maka
pada hari kiamat kelak Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk
lalu Allah menyuruhnya memilih perhiasan
iman yang ia kehendaki untuk ia pakai. [3].[4]
H. Zuhud Terhadap Kekuasaan
Biasanya harta kekayaan menjadikan pemilikinya
haus terhadap kekuasaan. Sebagian orang kaya berambisi untuk menjadi penguasa
dengan harapan mengeksiskan usaha dan bisnisnya. Sudah lazim terdengar seorang
penguasa yang berlatar belakang pengusaha memanfaatkan jabatan dan kedudukannya
untuk mengembangkan bisnisnya. Sehingga setiap kebijakan dan keputusan yang
dikeluarkan selalu menguntungkan dan mengokohkan bisnis sang penguasa.
Tender-tender proyek diberikan kepada kroni dan
kolega bisnisnya.
Akan tetapi bila kita melihat ‘Abdurrahman bin
‘Auf radhiyallaahu ‘anhu, kita menjumpai
sosok manusia super yang sangat zuhud terhadap kekuasaan. Sebagaimana masyhur
dalam sejarah, sebelum meninggal dunia Amirul Mukminin Umar bin Khathab
rahiyallaahu ‘anhu berwasiat dan menunjuk enam orang Sahabat sebagai Tim Formatur yang akan
menunjuk khalifah sepeninggal beliau.Syekh Abul Khail mengutip sebuah riwayat
yang disampaikan oleh Imam Bukhari, ketika Umar diminta untuk berwasiat
menjelang wafatnya mengatakan, “Aku tidak menemukan orang yang lebih pantas
menempati urusan ini (khalifah) selain beberapa orang yang ketika Rasulullah
meninggal, Beliau ridha terhadap mereka. Lalu Umar menyebut nama-nama mereka
satu persatu, Ali, ‘Utsman, Zubair [bin ‘Awwam], Thalhah [bin ‘Ubaidillah],
Sa’ad [bin Abi Waqqash], dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf [5].
Kalian akan disertai/disaksikan oleh
‘Abdullah bin ‘Umar tetapi ia tidak berhak terhadap perkara ini (khilafah).[6]
Enam orang tersebut kemudian bermusyawarah. Sebelum mereka sampai pada
satu keputusan, Abdurrahman angkat suara, serahkan urusan ini kepada tiga orang
diantara kalian. Lalu masing-masing menunjuk satu orang. Zubair menunjuk ‘Ali . Thalhah menunjuk ‘Utsman, sedangkan Sa’ad menunjuk Abdurrahman bin ‘Auf. Jadilah khilafah hak bagi
tiga orang. Utsman, ‘Ali, dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Kemudian Abdurrahman
mengundurkan diri dan mengusulkan agar mereka memilih satu diantara dua, yaitu
‘Utsman dan ‘Ali. Ali berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersbda bahwa engkau adalh orang yang dipercaya oleh penduduk
langit dan bumi.Akhirnya Abdurrahman memilih ‘Utsman bin ‘Affan sebagai
khalifah menggantikan ‘Umar bin Khathab. Pilihan Abdurrahman disetujui oleh
lima orang dalam tim itu bahkan disetujui oleh kaum Muslimin di kota Madinah.
Fakta di atas menunjukkan bahwa ‘Abdurrahman
bin ‘Auf tidak haus kekuasaan sebagaimana lazimnya orang-orang yang berduit.
Bahkan beliau sangat zuhud terhadap kekuasaan. Ketika namanya disebut oleh
Sa’aad bin Abi Waqqash beliau menjawab:”Demi Allah, daripada aku menerima
jabatan tersebut lebih baik kalian menusukkan pisau di leherku dari satu sisi
hingga tembus sisi yang lain”.[7]
I. Kiprahnya di Dalam Da’wah
Selain dikenal sebagai saudagar yang dermawan
dan militan di medan jihad, Abdurrahman bin ‘Auf juga terlibat langsung dalam aktivitas
da’wah. Beliau tidak hanya mendukung da’wah Islamiyah dengan hartanya, tetapi
beliau menjadi bagian dari sariyah da’wah yang diutus oleh Nabi untuk
menda’wahkan Islam kepada suku-suku di sekitar kota Madinah. Mengenai
keikutsertaan Abdurrahman bin ‘Auf dalam
delegasi da’wah direkam dengan jelas oleh Imam ad Daruquthniy dalam rahimahullah.
Untuk lebih jelasnya kita simak penuturan Abdullah bin Umar rahiyallaahu
‘anhuma berikut ini:
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil
,Abdurrahman bin ‘Auf. Nabi mengatakan kepadanya, bersiaplah! Aku akan mengutusmu sebagai Sariyah kta Nabi.
Selanjutnya Abdurrahman bin Auf keluar bersama rekan-rekannya. Mereka terus berjalan
hingga sampai didaerah Dumatul Jandal. Lalu mereka menda’wahi penduduk daerah
tersebut selama tiga hari. Pada hari ketiga seorang yang bernama al Ashbagh ibn
‘Amr al Kalbi masuk Islam. Sebelumnya ia seorang penganut agama Nasrani, dia
juga merupakan kepala suku daerah tersebut. Abdurrahman kemudian menulis surat
kepada Nabi yang diantarkan oleh seorang pria dari Bani Juhainah bernama Rafi’
bin Mukaits. Setelah Rafi’ sampai kepada
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan keberhasilan
Abdurrahman bin Auf mengislamkan daerah DaumatulJandal. Pada hari itu pula Nabi
membalas surat Abdurrahman bin ‘ Auf. Diantara isinya adalah Nabi
mengsinstruksikan kepada Abdurrahman untuk menikahi Putri al Ashbagh. Lalu
Abdurrahman menikahi putri al Ashbagh
yang bernama Tadhamur. Dari pernikahan ini
Abdurrahman dikaruniai seorang putra bernama Abu Salamah bin
Abdurrahman.[8]
J. Manaqib (Keutamaan) Abdurrahman bin ‘Auf
Abdurrahman bin ‘Auf memiliki
beberapa manqabah (keutamaan) khusus yang tidak dimiliki oleh selainnya. Diantara keutamaan beliau adalah:
1.
1. Satu diantara Sepuluh Shahabat yang dijamin
masuk Sorga
Pada prsinsipnya semua Sahabat Rasulullah
adalah orang-orang yang mendapatkan janji dan jaminan sorga dari Allah Ta’ala,
sebagaimana diterangkan dalam Surah al
Hadid ayat 10.
وَكُلًّا وَعَدَ
اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [٥٧:١٠]
Allah menjanjikan kepada
masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik (Al Husna) . Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat di atas Allah
menjanjikan Al Husna (sorga) kepada seluruh Shahabat Nabi. Adapun yang dimaksud
dengan sepuluh orang yang dijamin masuk sorga (Al ‘Asyarah al Mubasy Syariina
biljannh) Adalah sepuluh sahabat yang pernah disebutkan oleh Rasulullah dalam
satu majelis bahwa mereka adalah penghuni sorga. Maksudnya adalah, peranah daam
suatu forum Rasulullah menyebut nama kesepuluh orang tersebut, diantaranya
adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidziy, bahwa Rasulullah bersabda:”Ada sepuluh orang
akan memasuki sorga, Abu Bakar di sorga, Umar di sorga, Utsman disorga, ‘Ali
disorga [9], Thalhah
di sorga, Az Zubair di sorga, ‘Abdurrahman bin ‘Auf di sorga, Sa’ad bin Abi
Waqqash di sorga, Sa’id bin Zaid di sorga, dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah di
sorga”.[10]
2. 2. Dipercaya di langit dan di
Bumi
Abdurrahman bin ‘Auf
adalah orang yang terperacya dalam pandangan penduduk langit dan penduduk bumi.
Sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam,” Abdurrahman
bin ‘Auf terpercaya di langit dan terpercaya pula di bumi”.
3 3. Faqih dalam Ilmu Agama
Abdurrahman bin ‘Auf juga termasuk sahabat
yang faqih dalam masalah agama. Berkata Ibnu Abbas: Suatu ketika kami
duduk-duduk bersama Umar bin Khattab. Maka Umar berkata, ”apakah engkau pernah
mendegnar hadits dari Rasulullah yang memerintahkan seseorang apabila lupa
dalam shalatnya, dan apa yang dia perbuat?” Aku menjawab,
”Demi Allah, tidak pernah wahai Amirul Mukminin. Apakah engkau pernah
mendengarnya?” Dia menajawab, ”Tidak pernah, demi Allah.” Tatkala kami sedang
demikian, datanglah Abdurrahman bin Auf dan berkata, ”Apa yang sedang kalian
lakukan?” Umar menjawab, ”Aku bertanya kepada Ibnu Abbas,” kemudian ia
menyebutkan pertanyaannya. Abdurrahman berkata, ”aku pernah mendengarkan
tentang hal itu dari Rasulullah.” Apa yang engkau dengar wahai Abdurrahman?”
Maka ia menjawab, ”Aku mendengar Rasulullah bersabda, apabila lupa salah
seorang diantara kalian di dalam shalatnya, sehingga tidak tahu apakah ia
menambah atau mengurangi, apabila ragu satu raka’at atau dua raka’at, maka
jadikanlah satu raka’at, dan apabila ia ragu dua raka’at atau tiga raka’at,
maka jadikanlah dua raka’at, dan apabila ia ragu tiga raka’at atau empat
raka’at, maka jadikanlah tiga raka’at, sehingga keraguannya di dalam menambah,
kemudian sujud dua kali dan dia dalam keadaan duduk sebelum salam, kemudian
salam.”
4. Abdurrahman bin ‘Auf
pernah berfatwa pada masa Rasulullah masih hidup dan Rasulullah pernah shalat
di belakang beliau pada waktu perang tabuk.
Abdurrahman Raf’at Basya mengisahkan hal ini dalam
bukunya Shuwarun Min HayaatishShahaabah. Belia menulis,
Allah memuliakan Abdurrahman dengan dengan kemuliaan yang
belum pernah diperoleh kaum Muslimin seorang jua pun, yaitu ketika waktu shalat
sudah masuk, Rasulullah terlambat hadir. Maka ‘Abdurrahman menjadi Imam shalat
berjamaahbagi kaum Muslimin ketika itu. Setelah hampir selesai raka’at pertama,
Rasulullah tiba lalu beiau shalat di belakang ‘Abdurahmandan mengikutinya
sebagai ma’mum. Apakah lagi yang lebih mulia dan utama daripada menjadi Imam bagi pemimpin umat dan pemimpin
para Nabi, yaitu Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. [11]
K. Wafatnya
Abdurrahman bin ‘Auf meninggal di Madinah pada tahun 31 H[12]
pada usia 75 tahun.[13] Dan
Beliau dimakamkan dipekuburan Baqi’. Oleh karena infaq telah mendarah daging
pada dirinya, maka ketika akan wafat beliau mewasiatkan hartanya dalam jumlah
yang banyak untuk dimanfaatkan di jalan Allah (Sabililla). Penulis kitab Asadul
Ghabah menukil sebuah riwayat yang disampaikan oleh ‘Urwah bin Zubair,
Abdurrahman mewasiatkan 50.000 dinar untuk infaq fi Sabilillah. Disamping itu
beliau juga mewasitkan 400 dinar untuk diberikan kepada setiap veteran perang
Badar yang masih hidup. Jumlah veteran perang Badar yang masih hidup saat ‘Abdurrahman meninggal
sekitar 100 orang. Jadi beliau menginfakkan 40.000 dinar untuk perang Badar.
Beliau juga mewasiatkan 1000 ekor kuda untuk diifakkan di jalan Allah.
Daftar Pustaka
Abul Khail, Muhamad bin Ibrahim Shaleh,
1430/2009, Taarikhu KhulafaairRaasydiin, Riyadh:Darul Fadhilah.
Al
Mubarak Furi, Shafiyyurrahman, 1428/2007, Ar rahiqul Makhtum , Qatar:
IdaaratusySyuunil Islamiyah.
Al Jazariy, Izuddin ibnu Atsir Abul Hasan Ali
bin Muhammad,1424H/2003, Asadul Ghaabah Fiy Ma’rifatis Shahaabah,
Beirut: Darul Kutubul ‘Ilmiyah.
Al Mishriy, Mahmud, 1423 h/2002,Ashhaab al
Rasul, Mesir: Daar al Taqwa.
Asy-Sya’rawiy, Mutawalli, 1421H/2000, Ghazaaturrasuul,Kairo:
Maktabutturaats al Islamiy.
Basya, Abdurrahman Raf’at,2001,Shuwarun Min
Hayaatis Shahaabah, Jakarta: Media da’wah.
Khalid, Khalid
Muhammad (terj) Muhil Dhofir,2007,
Rijal Haularrasul, Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat.
[1] Abdurrahman Shuwarun, hlm.10
[2] HR Ahmad, Ibnu majah dan Hakim dari
Abu Umamah al Haritsi radhiyallahu ‘anhu dan dishahaihkan oleh al-Albani dalam
Shahih al-Jami’ no.2879.
[3] HR Tirmidziy dan Hakim dari Mu’adz
bin Anas dihasankan oleh al-Albaniy dalam Shahih Jami’ no.6145.
[4] Mahmud al Mishriy, AshHaabur Rasul, Mesir: Daruttaqwa,1423 H/2002
M,juz,1 hlm.244.
[5] Keenam orang ini adalah enam dari 10
Shahabat yang dijamin masuk sorga. Sebenarnya ada satu Sahabat yang merupakan
bagian dari 10 sahabat tersebut yang masih hidup. Tetapi tidak disebut dan
tidak dimasukkan oleh Umar sebagai Tim Formatur, Yaitu Sa’id bin Zaid bin ‘Amr
bin Nufail. Menurt analisa Ibn Katsir, ini merupakan bukti ke wara an seorang
Umar. Karena Sa’id adalah keponakannya. Bahkan dalam sebagaian riwayat kata
Ibnu Katsir Umar mengecualikan Sa’id dari enam orang tersebut. Umar berkata
epada Sa’id, anda tidka termasuk bersama mereka.
[6] Muhamad bin Ibrahim Shaleh abul Khail, Taarikhu KhulafaairRaasydiin,
Riyadh:Darul Fadhilah,1430/2009,cet.ke.1,hlm.218-219.
[7] Khalid Muhammad Khalid (terj) Muhil
Dhofir, Rijal Haularrasul, Jakarta: Al I’tishom Cahaya
Umat,2007,cet,ke.1.hlm367.
[9] Dalam sebagaian riwayat/redaksi nama
‘Ali didahulukan oleh Nabi sebelum Utsman. Urutannya; Abu Bakar, Umar, ‘Ali,
‘Utsman... dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar