A. LATAR BELAKANG
Sudah menjadi sunnatullah, pertarungan antara kebenaran dan kebathilan senantiasa terjadi. Hal ini telah berlangsung sejak keturunan Adam yang pertama dan terus berlangsung hingga hari kiamat kelak. Ketika cahaya Islam mulai datang menerangi semenanjung Arabia , musuh-musuh Islam berusaha untuk menghalangi pergerakan da’wah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Mereka menempuh bergbagai cara untuk memadamkan cahaya Allah (Islam). Ada beberapa ayat al-Qur’an yang merekam hal ini, diantaranya Surah al-Taubah ayat 32:
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai”.
Dan surah al-Shaf ayat 8 yang artinya:
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya".
Buya Hamka rahimahullah ketika menafsirkan surah al-Taubah ayat 32 mengatakan: “Inilah pula maksud yang terkandung dalam hati orang-orang Yahudi dan Nasrani, terutama kalangan pemuka –pemuka mereka. Mereka ingin, mereka bermaksud dan bertekad hendak memadamkan cahaya Allah.
Menurut as-Suddi: “cahaya Allah ialah Islam”, menurut Adh-Dhahhak: “Cahaya Allah ialah Muhammad sendiri”, Menurut al-Kalbi: “Cahaya Allah ialah al-Qur’an”. Selanjutnya Buya Hamka menulis: “Perhatikan susunan kata dalam ayat memakai Fi’il Mudhari: “Yuriidu-na an yuth-fiu”, Fi’il mudhari mengandung akan zaman sekarang dan zaman selanjutnya. Yang berarti akan terus menerus. Di zaman Nabi s.a.w. selalu timbul dari orang-orang Yahudi di Madinah, walaupn pada mula hijrah telah membuat perjanjian akan bertetangga secara baik. Dan di zaman Rasulullah pula timbul maksud-maksud hendak memadamkan cahaya Allah yang baru timbul di Madinah yaitu dari pihak Utara, tempat orang-orang Rum berkuasa dan Kabilah-kabilah Arab yang berlindung di bawah kuasa bangsa Rum.Sampai-sampai surat Nabi dilemparkan ke tanah dan diinjak-injak dan sampai utusan Nabi dibunuh”. Kemudian Buya melanjutkan: “Kemudian timbul perang salib. 200 tahun bangsa-bangsa Kristen Eropa memerangi pusat-pusat negri Islam, sampai mereka dapat mendirikan Kerajaan Kristen di Jerussalame 90 tahun lamanya.”
Melalui dua ayat di atas Allah menginformasikan kepada hamba-Nya yang Muslim, musuh-musuh Islam akan senantiasa berusaha memadamkan cahaya Islam dengan berbagai metode. Salah satu strategi yang mereka tempuh adalah dengan peperangan fisik (Qital). Hal ini telah diingatkan pula oleh Allah Ta’ala melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 217.
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Oleh karena itu sejarah mencatat, semenjak kedatangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mereka tidak pernah berhenti merancang strategi dan konspirasi untuk memerangi Islam. Salah satu perang yang dilancarkan oleh musuh Islam dari kalangan Nasrani adalah peperangan yang oleh para sejarawan Barat disebut Crusades (perang salib).Perang Salib adalah satu istilah dari angkatan-angkatan perang Eropa Salibis, yang berlangsung selama dua abad, dengan tujuan merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin dan menghentikan langkah Islam yang telah menguasai dunia. Perang ini pertama kalinya dilancarkan pada akhir abad V H/abad XI M, kemudian terus berlangsung selama hampir dua abad dengan beberapa jeda. Perang pertama kemudian berhasil melahirkan beberapa daerah pendudukan pasukan salib di kawasan timur Arab seperti ar-Ruha, Antakya, Baitul Maqdis , dan Tripoli.
Meskipun perang salib telah menimbulkan korban yang tak terhitung dari kedua belah pihak, namun perang ini telah menjadi jembatan penghubung antara peradaban Islam dan Barat. Syaikh al-Malghuts hafidzahullah mengatakan: “Di sepanjang sejarah perang salib, orang-orang Kristen telah banyak berinteraksi dengan kaum Muslimin sedemikian intensif. Dan uniknya, pada kedelapan periode peperangan salib inilah terjadi begitu banyak diskusi dan dialog serius antara ulama Islam dan para agamawan Kristen.
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, terlihat jelas bahwa kajian tentang perang Salib menarik untuk dilakukan. Oleh karena itu melalui makalah ini, penulis akan berusaha mengkaji sejarah Perang Salib yang dikemas dalam rumuskan masalah: Bagaimana sejarah Perang Salib? Untuk menjawab permasalahan ini, penulis akan menguraikan sejarah perang salib dengan perincian sebagai berikut:
1. Faktor-faktor pemicu terjadinya Perang Salib.
2. Tahap-tahap Perang Salib.
3. Dampak Perag Salib.
4. Faktor kekalahan kaum Muslimin pada Perang Salib I
B. SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERANG SALIB
Menurut syaikh al-Malghuts perang salib berawal dari kekalahan pasukan Romawi pada pertempuran Malazgirt (Manzikert) yang terjadi tahun 463 H/1071 M. Pertempuran Malazgirt adalah perang yang dilancarkan oleh Dinasti Seljuk guna menyatukan seluruh dunia Islam di bawah kekuasaan Khalifah Abbasiyah. Rangkaian penaklukan oleh kesultanan Seljuk ini membuat Kaisar Romawi, Armanus naik Pitam. Sang Kaisar kemudian merancang sebuah penyerangan untuk untuk menjaga wilayah kekaisaranya. Tak berapa lama kemudian, pasukan Armanus telah terjun ke dalam berbagai pertempuran. Salah satu peristiwa yang paling penting adalah pertempuran Malazgirt pada tahun 463 H. Pertempuran yang terjadi di Zahwah ini berhasil dimenangkan oleh pasukan Muslim. Bahkan, pasukan Muslim yang dipimpin oleh Sultan Arselan berhasil menawan Armanus. Ketika Armanus dihadapkan kepada kepada Sultan Arselan ia menyangka akan diperlakukan secara tidak hormat. Ia mengira akan dibunuh dan dicaci di seluruh wilayah kekuasaanya. Ternyata Sultan Arselan mengampuninya dengan uang tebusan sebesar 1.500.000 dinar. Bukan hanya itu Arselan juga menyerahkan uang 10.000 dinar kepada Armanus sebagai bekal.Arselan juga membebaskan sekelompok panglima perang Armanus dan sebagian pengikutnya. Bahkan, Arselan mengirimkan seregu pasukan Muslim untuk mengawal sang Kaisar sampai ke negrinya.
Setelah pertempuran Malazgirt ini Dinasti Seljuk-Muslim semakin kuat, sedangkan pihak Romawi semakin lemah untuk berhadapan dengan sebuah negara baru. Segera setelah itu perang salib pun meletus yang faktor-faktor pemicunya akan dijelaskan selanjutnya.
1. FAKTOR AGAMA
Kemenangan kaum Muslimin pada pertempuran Malazgirt berimplikasi pada jatuhnya Baitul Maqdis ke tangan kaum Muslimin. Oleh karean itu para pemimpin Kristen di Eropa menyerukan pembebasan Baitul Maqdis dari Bani Saljuk. Seruan ini sendiri beawal dari adanya informasi provokatif yang disampaikan oleh Peter the Hermit , seorang pendeta asal Prancis yang mendatangi Baitul Maqdis mengaku bahwa dirinya dan beberapa orang peziarah lainnya telah diperlakukan secara tidak layak oleh kaum Muslimin. Dan tatkala Peter sampai di negerinya dia langsung menuju Roma untuk menghadap Paus Urbanus II guna menyampaikan seruannya merebut tempat suci Kristen.Bukan hanya sampai di sana , Peter kemudian menyambangi Jerman, Perancis, Belgia, untuk menyampaikan seruannya kepada khalayak guna merebut “Makam Kristus”.
Sebagai respon terhadap kampanye dan propaganda yang dilakukan oleh Peter, maka pada bulan November 1095 M diadakan Konsili Clermont, Prancis dan dipimpin langsung oleh Paus Urbanus II. Menurut al-Malguts, “konsili inilah yang secara signifikan memberi pengaruh pada upaya pelaksanaan perang salib. Lewat konsili ini pula dilakukan usaha penyatuan dan peredaman konflik antara Gereja Timur (Byzantium) dan Gereja Barat (Latin), yaitu dengan dicabutnya trakat pemisahan yang pernah ditandatangani oleh Kaisar Byzantium. Paus Urbanus juga mengarahkan kalangan penguasa, agamawan, dan para saudagar, Italia yang ikut serta dalam konsili Clermont untuk menyematkan tanda salib dari kain merah kepada para prajurit Kristen. Tepat pada tahun 1097 M perang salib I meletus”.
Jadi tak dapat dipungkiri, faktor pemicu pecahnya perang salib adalah motif agama. Terbukti, para agamawan dibawah koordinasi Paus Urbanus II mendukung sepenuhnya terjadinya perang. Masih menurut temuan al-Malghuts, “Pada saat itu Paus mengeluarkan simbol penebusan dosa yaitu sebuah salib penebusan ke hadapan para prajurit seraya berkata, “ Bawalah salib ini di atas pundak kalian atau di dada kalian. Hendaklah salib ini tersemat di senjata-senjata kalian dan di atas panji-panji perang kalian” Tidak hanya sampai di sana, Paus Urbanus II terus menyambangi berbagai Kota dan negeri untuk menyeru kaum Kristen turut serta dalam perang salib.
Penulis lain yang menganggap motivasi agama sebagai pemicu perang salib adalah Syekh Dr Ahmad Al-Shalabiy. Beliau mengatakan, “Motivasi agama menrupakan sebab utama yang mendorong kaum Salib untuk mengumandangkan perang. Bukti nyata bahwa perang salib dipicu oleh motivasi agama adalah, syi’ar (simbol) perang pasukan salib berupa salib. Mereka meletakkan salib pada senjata-senjata dan peralatan-peralatan khusus yang mereka miliki ketika menuju Baitul Maqdis.”
Motivasi agama sebagai pemicu Perang Salib juga diakui oleh penulis James Reston, Jr dalam pengantar bukunya Warriors of God: Richard the Lionheart and Saladin in the Third Crusade . Belia menulis: “Kegilaan itu dipicu atas nama agama oleh Paus Urban II dari Gereja Kristen pada 1095 untuk mengalihakan perhatian dan energi para baron Eropa dari pertikaian berdarah diantara mereka kepada sebuah misi “mulia’’, yaitu merebut kembali tanah suci dari tangan “orang-orang kafir” .”
2.FAKTOR EKONOMI
Perang Salib juga tidak dapat dilepaskan dari motifasi ekonomi. Para saudagar yang turut andil dalam perang ini bermaksud memperluas jaringan dagang di sepanjang pantai timur dan selatan laut tengah. Ahmad Shalabiy sebagaimana dikutip oleh Prof.Didin Sefuddin Buchori mengatakan, “Para pedagang besar di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada di kota Venesia, Genoa, dan Pisa berambisi untuk merebut sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Oleh karena itu, mereka rela menanggung sebagian dana untuk kepentingan perang dengan maksud apabila pihak sekutu memperoleh kemenangan, kawasan ini akan dijadikan sebagai puast perdagangan mereka”. Sebelumnya hal ini dikemukakan pula oleh K.Hitti. Beliau berpendapat, para saudagar dari Pisa, Venesia, dan Genoa tertarik berperang karena motif komersial . Beliau mengatakan bahwa, " Faktor ekonomi lebih banyak mewarnai motivasi tentara Itali dan pedangangnya yang ikut perang salib. Sehingga tawanan-tawanan perang dipekerjakandi selat Arab dengan upah yang tinggi, bahkan diangkut ke Kostantinopel untuk mendapat hasil yang lebih banyak yang akhirnya para tahanan itu dijual ke Afrika." Selatan.
3. FAKTOR SOSIAL
Pada abad pertengahan masyarakat Eropa terdiri dari tiga kelas sosial: Pertama, Kelompok agamawan yang terdiri dari Uskup dan pendeta ; Kedua, Kelompok prajurit yang meliputi perwira dan ksatria; Ketiga, Kelompok petani yang mencakup petani dan budak. Masyarakat Eropa ketika itu terbelah menjadi kelas-kelas sosial. Pada saat itu kelompok agamawan dan prajurit mendominasi masyarakat, sedangkan kelompok petani menjadi kelompok yang paling tertindas. Mereka terpaksa bersusah payah bekerja guna memenuhi kebutuhan dua kelompok di atas.
Kebanyakan anggota kelompok petani adalah budak dan sahaya yang terikat secara turun- temurun dengan tanah yang mereka garap. Mereka harus menjalani hidup sengsara karena sama sekali tidak memiliki kebebasan pribadi. Semua yang dikumpulkan seorang budak dianggap sebagai hak milik tuannya, karena seorang budak tidak memilki hak milik pribadi. Ketika terjadi perang salib para budak memilki kesempatan untuk melepaskan dari dari beban penderitaan yang mereka hadapi. Mereka diiming-imingi kebebasan jika ikut dalam perang tersebut. Di sisi lain mereka berpikir bahwa pada saat itu tampaknya kematian lebih mereka sukai daripada hidup kelaparan sebagai budak yang hina.
Jadi motivasi sosial tidak dapat dilepasakan dar perang salib. Didin saefuddin Buchori mengatakan: “Peningkatan taraf sosial menjadi salah satu motif yang mendorong orang-orang Eropa (Kristen) untuk berperang. Budak-budak yang bekerja di kebun-kebun mendapat peluang yang tepat untuk memperoleh kemerdekaan melalui perang ini. Siapa yang ikut perang, akan dimerdekakan, akibatnya berduyun-duyun para budak memanggul senjata mengikuti perang salib".
4. FAKTOR POLITIK
Perang salib juga tak dapat dilepaskan dari motivasi politik. Syaikh al-Malghuts mengatakan, “Tak dapat dimungkiri, para raja dan pemimpin yang ikut aktif dalam perang salib itu semata-mata karena tendensi politik, baik sebelum mereka berhasil mencapai Syam dan Palestina maupun setelah mereka berhasil menduduki kedua wilayah tersebut. Umumnya, kekuasan yang bersifat feodal memang selalu berkaitan dengan tanah yang dikuasai. Semakin luas tanah yang dikuasai, semakin tinggi pula kedudukan seorang penguasa di depan masyarakat. Dengan gaya kekuasaan seperti itu, masalah terbesar yang akan dihadapi oleh seorang penguasa adalah hilangnya kekuasaan atau tanah yang dia kuasai. Dengan hilangnya kedua hal itu, dia akan kehilangan posisi dan wibawa”.
Selanjutnya al-Malghuts menulis: “Ketika gerakan Perang Salib terlihat memberi peluang untuk mendapatkan tanah dan kekuasaan, para kesatria dan bangsawan itupun langsung menyambut seruan yang disampaikan Paus. Mereka segera ikut andil dalam gerakan tersebut dengan harapan berhasil mendirikan kekuasaan baru di wilayah Timur, sebagai ganti dari kekuasaan yang luput dari tangan mereka di Barat. Sementara itu para bangsawan dan kesatria yang memilki tanah juga menyadari bahwa dengan ikut andil dalam gerakan salib , mereka dapat menemukan kesempatan emas untuk meraih kemuliaan yang lebih besar dan kewibawaan yang lebih tinggi”.
Fakta di atas memberikan gambaran, faktor politik turut mewarnai dan memicu pecahnya Perang Salib sebagaimana dikatakan oleh Prof.Dr. Didin Saefuddin Buchori. Lebih lanjut beliau mengatakan: “Pengaruh faktor politik ini dapat dilihat dari sikap para pangeran yang memimpin perang tersebut. Mereka berusaha saling mendahului tanpa memperhatikan kesatuan dan persatuan untuk merebut dan menguasai suatu daerah. Akhirnya, setelah beberapa daerah dapat mereka kuasai, berdirilah beberapa kerajaan kecil di Eddesa (Raha), Antokia, dan Baitul Makdis”. ( Bersambung Insya Allah).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Atsir , Ibnu, 1424 H/2003 M, Al-Kamil fiy Al-Tarikh,jilid 10, Beirut: Daar al Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Kilaniy, Majid Irsan.Dr, 1423 H/2002 M, Hakadza Dzahara Jiylu Shalahiddin Wa Hakadza ‘Aadat al-Quds, Dubai: Daar al-Qalam.
Al-Malghuts, Sami bin Abdullah 2009, Atlas Perang Salib Uraian Lengkap Seputar Perang Salib yang Belum Pernah Terungkap, (terj) Jakarta: Penerbit al-Mahira
Al-Shalabiy.‘Ali Muhammad.Dr,1429 H/2008 M, Shalaah al-Diyn Wa Juhuduhu Fiy al-Qadha ‘alaa al-daulah al-Fathimiyah Wa Tahrir al-Masjid al-Aqsho. Beirut: Dar al-Marifah.
Amrullah, Haji Abdul Malik Abdul Karim (HAMKA).Prof.Dr, 2003, Tafsir al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD.
Hitti, Philip K,1970, History of the Arabs, London:McMilan.
Muchtar, A. Latief,1998, Gerakan Kembali Ke Islam, Bandung;PT Remaja Rosda Karya.
Reston, James,Jr, 2008, Warriors of God: Richard the Lionheart and Saladin in the Third Crusade (terj), Tangerang: Lentera Hati.
Saefuddin, Didin, 2000, Sejarah Politik Islam Jakarta: Pustaka Intermasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar