Ibnu Taimiyah sebuah contoh, bahwa kebenaran harus terus ditegakkan apapun resikonya. Ketika masyarakat di sekitarnya tenggelam dalam berbagai bid’ah dan khurafat, Ibnu Taimiyah meluruskannya sekalipun berhadapan dengan kekuasaan yang lalu (sering) memenjarakannya.
Sepenuh Perjuangan
Ibnu Taimiyah lahir di Harran pada 22/1/1263 dan berasal dari keluarga ‘santri’. Syihabuddin Abdul Halim –ayah dia- adalah seorang hakim dan khatib. Sementara, kakeknya -Majibuddin Abdus-Salam- adalah ulama yang hafidz dan menguasai beragam ilmu serta memiliki sejumlah karya besar di bidang fiqh dan tafsir.
Sejak kecil Ibnu Taimiyah dibesarkan di tengah-tengah para ulama. Dia punya kesempatan membaca kitab-kitab yang bermanfaat. Seluruh waktunya dipakai belajar. Dia belajar banyak cabang ilmu kepada para ulama, hafidz dan ahli hadits. Dia belajar –antara lain- hadits, ushul fiqih, nahwu, khat (ilmu tulis-menulis Arab), dan matematika.
Memang, tanda-tanda bahwa dia cerdas tampak sejak kecil. Dia dikenal sebagai orang yang mudah hafal dan sukar lupa. Ada kesaksian, bahwa tak sehurufpun dari Al-Qur’an maupun ilmu lain yang dia hafal lalu lupa. Maka, tak heran, bahwa dalam usia sangat muda, dia telah hafal Al-Qur’an.
Ketika umurnya sekitar sepuluh tahun, dia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Sekalipun –ketika itu- berusia sangat muda, Ibnu Taimiyah rajin menghadiri berbagai pertemuan ilmiah. Di sana dia tak canggung duduk bersama hadirin lainnya yang rata-rata telah dewasa. Di forum-forum seperti itu dia aktif berdiskusi, bahkan dengan para ulama. Tak pernah dia kalah saat berdiskusi. Jika menjawab pertanyaan, dia selalu menjawab lebih dari yang dibutuhkan si penanya.
Memelajari hadits sangat berguna baginya. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Tentu saja, karena dia intens belajar hadits –dan apalagi hafal Al-Qur’an-, maka pada saat menjelaskan aneka masalah agama dia tampak luar biasa dalam berhujjah atau berdalil.
Ketika usianya belum dua puluh tahun dia telah mulai memberi fatwa. Ibnu Taimiyah lalu menjadi pusat tempat bertanya tentang banyak masalah, terutama tentang hadits.
Dalam menghadapi berbagai penyimpangan ajaran Islam, dia tegas. Ahli bid’ah dan khurafat adalah musuhnya. Dia berani membersihkan Islam dari ajaran sesat. Itu dilakukannya konsisten di manapun dia berada. Di Mesir, misalnya, dia memerangi bid’ah, khurafat, serta berbagai penyelewengan penafsiran Al-Qur’an dan Hadits.
Di sebuah saat, para pengikut Ibnu Taimiyah ‘bergerak’ melawan pemerintah yang mereka nilai tak kuasa membendung ajaran sesat di wilayahnya. Akibatnya, Ibnu Taimiyah dipenjarakan.
Memang, serangan-serangannya kepada ahli bid’ah dan khurafat menumbuhkan dendam sebagian orang. Berkali-kali dia difitnah karena keberaniannya berpendapat yang bertentangan dengan banyak orang. Berulang-kali pula dia ditahan.
Di dalam penjara dia merasa mendapat banyak kesempatan untuk membaca dan menulis. Misal, pada tahun 728, setelah setahun dipenjara, dia telah menyelesaikan tulisan berupa bantahan kepada pihak yang dinilainya menyimpang.
Ibnu Taimiyah tipe pejuang dakwah yang lengkap. Saat melihat kemunkaran, dia tampil meluruskannya dengan berbagai media. Jika dipandang perlu, dia berangus langsung seperti yang dia tunjukkan saat melihat sejumlah orang berkumpul berjudi dan berpesta minuman keras.
Saat mengusir penjajah Tartar, dia lakukan dengan lisan dan senjata. Dengan lisan dia memompa semangat jihad kaum muslimin termasuk untuk berinfaq sebagai dana perang. Pada saat yang sama, dia pun mengharamkan mereka yang lari dari gelanggang.
Jejak Itu
Kecuali secara fisik -dan termasuk dengan lisan- Ibnu Taimiyah juga memerangi mereka yang menyimpang dengan diplomasi dan pena. Bahkan, dia yakin bahwa pena lebih mempan untuk melawan bid’ah dan khurafat ketimbang dengan senjata. Dia menulis banyak buku, termasuk ketika dia ada di penjara.
Di saat menulis, Ibnu Taimiyah pandai menyusun kerangka tulisan dan indah memilih kata-kata. Tiap hari Ibnu Taimiyah rajin menulis. Aneka tema yang ditulisnya, seperti tafsir, fiqh, atau ilmu ushul. Sekitar empat buah buku kecil yang memuat berbagai pendapatnya di bidang keislaman bisa dibuatnya dalam sehari. Maka, ketika wafat di dalam penjara pada 1328, secara keseluruhan dia mewariskan sekitar lima ratus judul buku karangannya. Majmu' Fatawa yang berisi fatwa-fatwa dalam agama adalah salah satu di antara yang paling masyhur.
Di saat-saat akhir kehidupannya, ruang gerak dia dipersempit. Di dalam penjara, dirampas semua buku, kertas, tinta dan pena miliknya. Situasi itu telah membuatnya terkekang, karena dia tak bisa lagi membaca dan menulis. Berbeda dengan ketika dia masih diperbolehkan membawa ‘benda-benda’ itu.
Tapi, terutama di saat-saat penjara masih memberinya kelonggaran membaca dan menulis, Ibnu Taimiyah tak pernah bersedih. Baginya, ini ketentuan Allah yang tak boleh disesali. Dia merasa, cukup banyak kebaikan yang didapat di dalamnya, misalnya, ada waktu sangat luang untuk belajar dan beribadah.
Atas perjuangan Ibnu Taimiyah dalam menegakkan kebenaran yang dilakukannya secara tegas dan tanpa kompromi, memang banyak yang memusuhinya. Namun, tak sedikit pula yang mendukung dan menyayanginya, dan itu dari beragam kalangan, seperti orang shalih, tentara, pedagang, rakyat awam dan lain-lain. Lihatlah saat Ibnu Taimiyah wafat, dunia Islam berduka. Banyak rakyat di Damaskus, Mesir, serta di lain-lain tempat menangis. Lalu, mereka yang mampu, berduyun-duyun menyalati jenazah Ibnu Taimiyah. Saat iring-iringan jenazah diantar ke pemakaman, panjangnya bisa menandingi seperti saat Imam Ahmad bin Hanbal –guru Ibnu Taimiyah- dikebumikan.
Duhai Ibnu Taimiyah, semoga kami bisa menjejaki langkah-langkahmu![ Dicopy Paste dari M.Anwar Djaelani di http://www.inpasonline.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar