Cendekiawan Muslim terkenal, Dr. Lamya’ al-Faruqi, mengkritisi gagasan ‘kesetaraan’ dalam segala hal yang kini digembar-gemborkan di mana-mana. Islam, menurutnya, memiliki konsep yang berbeda tentang laki-laki dan perempuan. Islam mendudukan perempuan setara dengan laki-laki tetapi dengan tetap mengakui adanya perbedaan di antara dua makhluk ini. Konsep persamaan dan perbedaan dalam Islam mengakui adanya dua jenis kelamin (dual sex) dalam masyarakat dimana setiap jenis dibebani tanggung jawab yang berbeda.
Konsep masyarakat seperti ini menjamin berfungsinya masyarakat secara sehat. Laki-laki dibebani tanggung jawab bersifat ekonomi sedang perempuan dibebani tanggung jawab di bidang lain. Sedangkan konsep Barat menciptakan masyarakat unisex. Yaitu masyarakat yang mendewakan peran laki-laki serta merendahkan peran perempuan, sehingga perempuan dipaksa untuk menyerupai laki-laki. Di dunia pekerjaan, mereka harus melakukan segala hal untuk memenuhi kehidupan mereka, meskipun harus menghinakan diri. (Lamya’ Al-Faruqi, ‘Ailah, Masa Depan Kaum Wanita, 1997: 93).
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, para tokoh feminis liberal menyebarkan ajaran yang menyerang institusi keluarga dengan melontarkan pernyataan yang cukup bombastis. Brigitte Berger dan Peter Berger dalam buku mereka ‘The War over of Family: Capturing the Midle Ground’, mengungkap sejumlah pernyataan para tokoh feminis: “ibu rumah tangga adalah perbudakan perempuan” (housewife is women’s slavery), “heteroseksual adalah perkosaan” (heterosexual is rape), “pro-choice”, “menentang pernikahan” (against marriage). (Dikutip dari Dadang S. Anshori, Engkos Kosasih, dan Farida Sarimaya (edit), Membincangkan Feminisme, 1997:170.
Selanjutnya, para feminis radikal, liberal, dan Marxis merumuskan sebuah keluarga yang ideal. Kata mereka, keluarga ideal haruslah keluarga tanpa kelas dan mengangkat semangat kesetaraan. Mereka juga mengusulkan penghapusan dua sumber penindasan yaitu, peran wanita dalam rumah tangga (domestic) dan sistem patriaki yang menempatkan laki-laki pada posisi yang menguntungkan. Untuk menguatkan opini mereka, dibuatlah buku pelajaran sekolah yang menampilkan gambaran perempuan yang menerbangkan pesawat, sedang anak laki-laki digambarkan sedang mengepel lantai. Selain itu, gambaran perempuan yang mandiri dan tidak membutuhkan laki-laki disebarkan lewat rubik koran yang mendukung ibu tunggal. (Danelle Crittenden, Wanita Salah Langkah? Menggugat Mitos-Mitos Kebebasan Wanita Modern, 2002: 40.)
Islam memandang keluarga sebagai suatu ikatan yang positif antara laki-laki dan perempuan. Ikatan pernikahan dalam Islam menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga antara kedua makhluk itu melakukan kerjasama untuk memenuhi kewajiban mereka. Dalam kondisi seperti ini, secara otomatis hak-hak mereka terpenuhi. Di Barat, model ‘pernikahan sederajat’ tidak mengakui adanya pemimpin maupun bawahan dalam rumah tangga. Dalam model ini, hubungan antara suami dan istri adalah hubungan kemitraan. Pembagian kerja dalam keluarga ditetapkan berdasarkan kesepakatan sebelum nikah. Inilah yang diusulkan sebagian kaum feminis, suatu bentuk ‘kawin kontrak’ (marriage contract). Dalam konsep ini, suami tidak dianggap sebagai kepala keluarga dan kewajiban mencari nafkah dilakukan bersama-sama.
Islam menetapkan adanya struktur dalam keluarga sebagaimana struktur di masyarakat. Seorang suami menjadi pemimpin keluarga yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi semua anggota keluarga. Beban kewajiban suami ini sebanding lurus dengan amanah kekuasaan yang diembannya, sebagai pemimpin. Perbedaan peran dalam setiap anggota keluarga menimbulkan sikap saling membutuhkan sehingga tercipta keserasian. Selain itu, ketaatan istri dan anak selalu diikat dengan ketaatan kepada Allah, sehingga tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Ketaatan semacam ini membawa pada ketenangan, karena didasari pada keyakinan akan ibadah kepada Allah SWT.
Tapi, kaum feminis liberal memandang, ibu rumah tangga merupakan penjara bagi seorang perempuan untuk mengembangkan diri. Mereka menggambarkan ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tertinggal, menjadi makhluk inferior, dan menderita. Untuk itu para perempuan lebih suka melakukan aborsi daripada menjadi seorang ibu. Menurut data Centers for Disease Control (CDC), jumlah aborsi antara tahun 2000-2005 mencapai angka 850.000. Data ini merupakan aborsi yang dilakukan secara legal padahal aborsi yang dilakukan secara illegal juga berjumlah besar.
Besarnya jumlah aborsi dan keengganan wanita menjadi ibu menjadikan Barat mengalami krisis generasi. Salah satu tokoh yang membahas masalah ini adalah George M. Barrow. Dia menulis buku yang berjudul Aging the Individual and Society. Dalam buku itu, disebutkan dua alasan yang menyebabkan barat mengalami krisis generasi. Pertama, tingginya angka harapan hidup dan kedua menurunnya angka kelahiran. (Georgia M. Barrow, Aging the Individual and Society, Amerika: West Publishing Company, tt. hal. 15)
Pendapat feminis ini berbeda dengan ajaran Islam. Islam telah mendudukkan ibu dalam posisi yang mulia dalam struktur keluarga. Perintah untuk menghormati kedua orang tua, Allah kaitkan dengan perjuangan seorang ibu yang dengan segenap kasih sayang dan kekuatannya melahirkan dan mendidik anak. Meskipun pemimpin dalam keluarga adalah seorang suami atau ayah, tetapi ibu adalah orang yang paling utama untuk dihormati dan disayangi. Ibu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu.
Kehidupan bebas yang terlalu menekankan pada hak-hak anak di Barat membolehkan seorang anak menuntut emansipasi ke pengadilan, yaitu kebebasan anak secara mutlak dimana orang tua tidak boleh melarang maupun memerintah. Selain emansipasi, anak juga memiliki kebebasan melakukan hubungan seksual di luar nikah ketika menginjak usia dewasa. Kehidupan bebas dan tidak adanya ikatan antara orang tua dan anak menyebabkan nasib wanita tua begitu malang. Dia ditinggal oleh pasangan mereka karena tidak menarik lagi secara seksual, di saat yang sama anak-anak sibuk dengan kebutuhan diri mereka sendiri. Keadaan yang menyedihkan ini bisa dilihat dipanti-panti jompo yang kini menyebar di berbagai belahan dunia. (M. Sa’id Ramadhan al-Buthi, Perempuan antara kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam, 2002:15)
Kini, lihat konsep anak dalam Islam! Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban-kewajiban terhadap orang tua mereka.
Tugas-tugas mereka antara lain; mentaati kedua orang tua selama tidak memerintahkan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah; mereka harus mendahulukan permintaan ibu daripada ayah. Selain itu, mereka harus mendo’akan kedua orang tua baik ketika mereka masih hidup atau sudah meninggal dunia serta memperlakukan orang tua dengan penuh kasih sayang.
Pola kehidupan yang saling melengkapi ini bisa terwujud dengan adanya konsep perbedaan kewajiban dan hak antara anggota keluarga dalam Islam. Konsep ini sangat indah, bagi orang-orang yang mau berpikir dan mengakui dirinya adalah ciptaan dan hamba Allah Subhanallah Wa Ta'ala. (***)
(Dikutip dari tulisan Ust Warsito di Jurnal ISLAMIA Republika/http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=312:konsep-keluarga-islam-lebih-indah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar