Ada satu ungkapan yang cukup akrab dalam dunia pendidikan kita, yakni, at-thariqatu ahammu minal maaddah. Cara lebih penting dari materi. Maksudnya keberhasilan suatu proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh efektifitas metode yang dipakai. Sebaik apapun materinya, jika tidak disampaikan dengan cara yang baik, maka tidak akan seefektif jika disampaikan dengan metode yang lebih baik. Sebaliknya materi yang biasa-biasa saja bisa lebih baik jika disampaikan dengan metode yang baik. Tentu saja yang terbaik adalah materi yang baik disampaikan dengan metode yang baik pula. Dalam konteks pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) materi terbaik adalah al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah sumber ilmu tertinggi. Selain itu al-Qur’an juga memuat metode pendidikan terbaik. Karena pada prinsipinya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah sebagai pengajar (mu’allim) yang mengajarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu mentarbiyah dengan al-Qur’an adalah sebuah keharusan. Kita mesti menjadikan al-Qur’an sebagai sumber dan metode dalam bertarabiyah. Berikut ini adalah silsilah “Kenapa Tarbiyah Lewat Halaqah-halaqah Al-Qur’an?, yang kami kutip dari website: http://www.albayan.co.uk/id/.
Pertama, Merupakan Metode Rabbani yang Allah Pilih buat Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam dalam Al-Qur’an, AllahTa’ala berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْـمُؤْمِنِينَ إذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّـمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْـحِكْمَةَ وَإن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada kaum mukmin ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”(QS. Aali ‘Imran/3: 164).
Ayat ini menunjukkan bahwa misi Nabi tidak terbatas pada membacakan Kitabullah agar dihapal oleh sahabat-sahabatnya, tetapi juga menjelaskan arti dan hukum-hukum yang dikandungnya. Sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggabungkan antara perhatian terhadap teks dan hapalan/bacaan dengan perhatian terhadap pendidikan/penyucian jiwa dan pengajaran.
Dengan kata lain, proses pendidikan yang hanya menekankan pada hapalan tanpa pengajaran arti dan penyucian jiwa adalah pendidikan yang timpang. Prinsip ini diketahui betul oleh para sahabat Nabi. Imam Abu Abdirrahman al-Sulami, ulama yang belajar langsung Al-Qur’an kepada Ibn Mas’ud berkata:“Kami belajar Al-Qur’an dari kaum yang mengatakan kepada kami bahwa mereka dahulu jika belajar sepuluh ayat, mereka tidak akan melangkah ke sepuluh ayat berikutnya hingga mereka tuntas mempelajari kandungannya: kami belajar Al-Qur’an dan pengamalannya sekaligus.”(Al-Dzahabi,Siyar A’lam al-Nubala, Juz IV, h. 269).
Bisa jadi inilah rahasia di balik turunnya Al-Qur’an secara bertahap sesuai dengan momentum dan kronologis peristiwa. Tujuannya, menciptakan pengaruh ke dalam hati manusia yang menerima dan menghapalnya. Pengaruh yang tertancap dalam sehingga mampu mengubah sikap dan perilaku serta mendidik jiwa. Setiap kali ayat turun, sahabat-sahabat menghapal, memahami arti, dan menjalankan ajarannya.
Mari kira visualisasikan kembali kondisi sahabat-sahabat Nabi yang pulang dari perjanjian Hudaibiyah. Mereka kecewa karena terhalang melakukan umrah di Masjidil Haram. Sebelum mereka nyaris mencukur rambut dan menyembelih onta mereka, mata mereka memandang kota Mekkah. Hati mereka terbakar oleh kerinduan untuk bertemu Ka’bah dan merasakan indahnya kemenangan yang besar. Di momen yang mengharu-biru itu, turunlah firman Allah yang berbunyi:
لِيُدْخِلَ الْـمُؤْمِنِينَ وَالْـمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِندَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًا
“Supaya Dia memasukkan kaum mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.”(QS. al-Fath/48: 5).
Dalam konteks ini, Al-Qur’an memanfaatkan kondisi kejiwaan sahabat-sahabat Nabi yang galau untuk mengintrodusir konsep kemenangan hakiki di sisi Allah. Pemahaman bahwa masuk Surga dan ampunan dosa merupakan keuntungan yang jauh lebih besar daripada kemenangan melawan kaum kafir. Dan hal itu hanya terwujud lewat keimanan dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Akhirnya, sahabat-sahabat Nabi meninggalkan Hudaibiyah dengan membawa pemahaman yang baru yang lebih menguatkan mereka terhadap Islam. Pemahaman yang mendorong seorang Umar ibn Khattabradhiyallahu anhuuntuk melakkukan amal shalih yang dia harapkan bisa menghapus kesalahannya karena menggugat keputusan Rasulullahshallallahu alaihi wasallamdi Hudaibiyah.
Metode Nabi dalam mengajarkan Al-Qur’an adalah gabungan antarata’lim/mengajar,tazkiyah/menyucikan jiwa, dantilawah/membaca. Inilah metode yang memberi kesan dan telah AllahTa’alapilih buat Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam.
Kedua, Merupakan Implementasi Bacaan yang Sebenar-benarnya terhadap Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman:
{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ أُوْلَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ}
“Orang-orang yang telah Kami berikan Alkitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya.”(QS. al-Baqarah/2: 121).
Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu berujar,“Demi yang jiwaku di tangan-Nya, bacaan yang sebenar-benarnya terhadap Al-Qur’an adalah menghalalkan yang dia halalkan dan mengharamkan yang dia haramkan, membacanya sebagaimana Allah turunkan, tidak menyelewengkan maknanya, dan tidak menyalahtafsirkan sehingga keluar dari maknanya.”
Mujahid berkata,“Yaitu mengikutinya dengan sebenar-benarnya.”(Ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz I, h. 226).
Keterangan ayat ini menunjukkan bahwa keutamaan sejati bukan terhadap manusia yang membaca serta menghapalnya saja, tapi menjalankan dan mengamalkan ajarannya. Inilah pembacaan yang sebenar-benarnya terhadap Al-Qur’an.
Senada dengan ini, pernyataan Ibn Taimiyah bahwa ungkapan “tilawah” seperti dalam firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 121 mencakup pengamalan terhadap Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan Ibn Mas’ud dan selainnya di muka. (Lihat: Ibn Taimiyah,Majmu’ Fatawa, Juz VII, h. 167).
Dari sini dapat dipahami bahwa pengajaran Al-Qur’an yang semata membaca dan menghapal tanpa mempelajari hukum dan adab-adab yang dikandungnya merupakan kelemahan. Pengajaran Al-Qur’an yang paripurna hanya terwujud dengan melengkapi hapalan Al-Qur’an dengan pelajaran mengamalkan isinya.
Mari kita simak hadits berikut. Dari Nawwas ibn Sam’anradhiyallahu anhu,“Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Pada hari Kiamat, Al-Qur’an dan Ahl al-Qur’an yang dahulu (di Dunia) mengamalkan isinya akan didatangkan, dia diantar oleh surah al-Baqarah dan Aali Imran.”(HR. Muslim, no. 805).
Bila demikian ganjaran bagiAhl al-Qur’anyang mengamalkan isinya, bagaimana dengan guru-guru Al-Qur’an yang mendidik murid-muridnya agar mengamalkan Al-Qur’an? Bagaimana dengan guru-guru yang telah menelorkan jumlah murid yang banyak? Di zaman ini, kita membutuhkan halaqah-halaqah yang melahirkan manusia-manusia yang membaca Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya serta tunduk kepada hukum halal dan haramnya. Manusia-manusia model ini hanya bisa lahir lewat tarbiyah imaniyah yang dilakukan oleh guru-guru Al-Qur’an. Bersambung insya Allah. (sumber:http://www.albayan.co.uk/id/article.aspx?id=210#.UoZdzz7WbNg.facebook)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar