Bila ada yang bertanya apa salahnya peradaban kita hari ini sehingga kalian begitu bersikeras ingin membangun peradaban yang ‘baru’?? Maka jawabannya peradaban kita hari ini begitu ambruk, jatuh, berantakan, tak terkendali dan tidak manusiawi. Sehingga untuk alas an kehidupan yang lebih baik, harus segera dikembalikan ke peradaban yang kuat, tinggi, teratur, terkendali dan manusiawi.
Realitas hidup yang kita saksikan setiap saat di media-media bahkan di lingkungan kita sebagai bukti itu semua. Penindasan, kesemena-menaan, korupsi, kesenjangan social, manipulasi, legalitas zina, dan yang paling parah kesyirikan yang merajalela.
Arti peradaban
Telah populer dalam kalangan akademis, istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah “budaya”. Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai “seni, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat”. Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah tentang penggabaran yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial serta beragam kegiatan ekonomi dan budaya.
Dari sini telah dapat dipahami bagaimana sebuah perdaban yang unggul itu seharusnya.
Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam potongan haditsnya yang diriwayatkan imam Ahmad dan imam Addaarimiy tentang ketika datang kepada beliau seseorang yang ingin bertanya apa itu kebaikan dan dosa, maka beliau berkata “istafti qalbaka! Bertanyalah pada hatimu!
Pembaca yang budiman, maka sekarang bertanyalah pada hati kita, bagaimana budaya kita? Bagaimana nilai seni, adat istiadat, kebiasaan dan kepercayaan masyarakat kita?
Budaya kita hari ini adalah budaya yang sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan gaya hidup orang kafir. Begitu pula seni, adat istiadat, kebiasaan bahkan pengamalan agama pun ikut-ikutan terpengaruhi.
Realitas hidup yang kami sebutkan di atas sama sekali bukan budaya kita, bukan adat kita, bukan ajaran agama kita. Namun itulah realitas, dan itu itulah peradaban yang hancur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun peradaban
Kini kita harus kembali membuka lembaran sejarah untuk belajar bagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam membangun peradaban Islam. Dan dari sanalah kita harus belajar sebab sebagaimana kata imam Malik –rahimahullah-, la yasluhu hadzihil ‘ummah illa bima sholuhat awwaluhaa. Tidak mungkin bisa baik ummat hari ini, kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi yang awal. Dan masa itu diawali dengan peristiwa hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama generasi-generasi awal Islam menuju kota madinah.
Setidaknya dua pelajaran besar harus kita petik dari peristiwa ini, agar tidak salah langkah dan cita-cita kita terwujud.
Pertama: Memakmurkan Masjid. Tak dapat disangkal, bahwa betapa besar perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan masjid, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar mengoptimalkan fungsi masjid. Bukan hanya untuk melakukan, sholat, mengaji, zikir, I’tikaf dll, akan tetapi disana pulalah pusat dakwah, pusat pendidikan dan pengajaran bahkan di masjid pula terkadang Rasululllah menyelesaikan masalah-masalah bahkan menjadi pusat komando prajurit bila terjadi peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk membangun beradaban yang gemilang maka ummat ini harus digiring untuk senantiasa memakmurkan masjid. Dan sebaliknya bila masjid telah ditinggalkan dan kita sibuk dengan rumah kita, toko kita, kantor kita, untuk segala urusan, maka hati akan saling berjauhan, berpisah-pisah, maka lahirlah nafsi-nafsi yang ujungnya adalah kehidupan manusia yang mirip realitas kita hari ini.
Kedua: Membangun persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) guna tercapainya persatuan Islam (wahdah Islamiyah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diawal hijrahnya, langsung mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar sehingga terjadilah hubungan sosial yang baik, solidaritas yang kuat, perasaan sepenanggungan dan yang lebih hebat, sikap tolong-menolong yang begitu kental.
Kita lihat persaudaraan mereka adalah persaudaraan agama, bukan lagi persaudaraan berdasarkan kesukuan sebagaimana yang berjalan sebelum itu. Melalui semangat persaudaraan Islam ini, maka persatuan Islam (wahdah Islamiyah) begitu kokoh, hasilnya, gelinding peradaban Islam yang mulia pun tak dapat dibendung oleh kekuasaan apapun saat itu.
Disini penting diperhatikan. Sebab realita tak dapat berkata dusta. Hari ini kita melihat kelompok-kelompok Islam sudah mulai berlebih-lebihan dalam mengidentifikasi diri. Hampir bila tidak tampak ukhuwah Islamiyah diantara mereka. Masing-masing merasa jalannya yang paling benar menuju penegakan Islam. Bahkan ada aroma kebanggaan “kullu hisbin bima ladaihim farihum” yang mulai terasa. Ini terlihat dari berbagai perseteruan yang kerap terjadi antara kelompok-kelompok Islam, dibanding usaha riil menuju persatuan (maaf aliran sesat tidak masuk dalam konteks pembicaraan). Sesama gerakan dakwah saling serang dan saling bantah. Aktivitas yang benar-benar menguras tenaga, mematikan potensi, dan melumpuhkan kemajuan.
Karenanya, dalam hal ini, harus ada usaha penyatuan yang khusus untuk mengikis runcingnya bilah perbedaan penyebab perseteruan. Kesatuan ummat Islam untuk sebuah peradaban yang maju akan terwujud cepat bila masing-masing memiliki kesadaran untuk memprioritaskan kesatuan dan lebih banyak mencari persamaan ketimbang perbedaan. Lalu setelah itu bersama-sama menegakkan dien dalam ikatan persatuan yang kokoh. Karena untuk tercapainya iqomatuddien, membutuhkan banyak potensi yang bisa diarahkan pada satu ujung tombak perjuangan.
Membangun peradaban butuh pejuang
Setiap perbuatan yang dilakukan manusia, mengandung konsekuensi dipuji atau dicela. Dipuji oleh satu pihak dan dicela oleh pihak yang lain. Tak ada satupun tindakan yang dipuji oleh semua manusia meskipun itu tindakan yang sangat-sangat baik. Dan satupun juga tindakan yang dibenci oleh semua manusia di dunia, meskipun itu tindakan yang jelas-jelas jahat dan buruk.
Oleh karena itu dalam membangun peradaban Islami dibutuhkan dari ummat ini orang-orang yang bermental pejuang yang tak haus pujian manusia, yang tak gemar memburu ridha manusia meski membuat Allah marah. Dan pula sabar menghadapi tantangan. Karena demikianlah kemenangan dijanjikan dengan kesabaran. “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaran itu dan bersiap-siagalah dan bertaqwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu meraih kemenangan.” (Terjemah QS. Ali Imran : 200)
Perjuangan mewujudkan peradaban Islam, peradaban yang bermartabat, yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya memerlukan waktu yang panjang. Untuk dapat menaklukkan konstantinopel, ummat Islam membutuhkan waktu sekitar 800 tahun. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam wafat sekitar tahun 636 M. semasa hidup beliau pernah mengabarkan bahwa Islam suatu ketika akan menaklukkan Konstantinopel. Ternyata penaklukan Konstantinopel baru terjadi pada tahun 1453 lalu pada tahun 1099 M, kota Yerussalem kembali jatuh ke tangan pasukan salib. Umat Islam baru merebut kembali kota Yerussalaem pada tahun 1187 M. itu artinya, umat Islam harus menunggu waktu selama 88 tahun untuk merebut kembali Yerussalem.
Maka kini para pejuang harus sadar, bahwa perjuangan itu panjang, dibutuhkan pula nafas panjang agar bias tetap eksis di jalan perjuangan. Nafas itu harus terus bersambung dari generasi ke generasi, maka pendahulu harus mengkader generasi penggantinya ager benar-benar nafas perjuangan itu sampai di saat yang Allah tetapkan sebagai era indah dalam kehidupan manusia dibawah panji Islam dengan peradaban hidup yang madani.
Maka seorang muslim pejuang harus terus berjuang betapapun keadaannya lebih sulit dari sebelumnya. Adapun kesulitan-kesulitan tidak selayaknya menghentikan dia untuk berjuang. Bahkan dia harus berjuang lebih gigih dari pada waktu lampau.
Dr. Mohammad Natsir, pada 17 Agustus 1951 menulis sebuah artikel berjudul “Jangan berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” kami kutip dari tulisan Dr. Adian Husaini majalah Islam ar-risalah, Desember 2009 hal. 32 beliau berpesan:
“Dahulu mereka riang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu Negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan berates tahun yang lampau…
Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menunntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat-sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”
(Copy Paste dari tulisan Ust Syahrullah Hamid yang Diterbitkan di Buletin al-Balagh edisi 03 Muharram 1433 H dan http://wimakassar.org/wp/2011/12/16/membangun-peradaban-islam/)
Realitas hidup yang kita saksikan setiap saat di media-media bahkan di lingkungan kita sebagai bukti itu semua. Penindasan, kesemena-menaan, korupsi, kesenjangan social, manipulasi, legalitas zina, dan yang paling parah kesyirikan yang merajalela.
Arti peradaban
Telah populer dalam kalangan akademis, istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah “budaya”. Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai “seni, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat”. Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah tentang penggabaran yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial serta beragam kegiatan ekonomi dan budaya.
Dari sini telah dapat dipahami bagaimana sebuah perdaban yang unggul itu seharusnya.
Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam potongan haditsnya yang diriwayatkan imam Ahmad dan imam Addaarimiy tentang ketika datang kepada beliau seseorang yang ingin bertanya apa itu kebaikan dan dosa, maka beliau berkata “istafti qalbaka! Bertanyalah pada hatimu!
Pembaca yang budiman, maka sekarang bertanyalah pada hati kita, bagaimana budaya kita? Bagaimana nilai seni, adat istiadat, kebiasaan dan kepercayaan masyarakat kita?
Budaya kita hari ini adalah budaya yang sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan gaya hidup orang kafir. Begitu pula seni, adat istiadat, kebiasaan bahkan pengamalan agama pun ikut-ikutan terpengaruhi.
Realitas hidup yang kami sebutkan di atas sama sekali bukan budaya kita, bukan adat kita, bukan ajaran agama kita. Namun itulah realitas, dan itu itulah peradaban yang hancur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun peradaban
Kini kita harus kembali membuka lembaran sejarah untuk belajar bagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam membangun peradaban Islam. Dan dari sanalah kita harus belajar sebab sebagaimana kata imam Malik –rahimahullah-, la yasluhu hadzihil ‘ummah illa bima sholuhat awwaluhaa. Tidak mungkin bisa baik ummat hari ini, kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi yang awal. Dan masa itu diawali dengan peristiwa hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama generasi-generasi awal Islam menuju kota madinah.
Setidaknya dua pelajaran besar harus kita petik dari peristiwa ini, agar tidak salah langkah dan cita-cita kita terwujud.
Pertama: Memakmurkan Masjid. Tak dapat disangkal, bahwa betapa besar perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan masjid, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar mengoptimalkan fungsi masjid. Bukan hanya untuk melakukan, sholat, mengaji, zikir, I’tikaf dll, akan tetapi disana pulalah pusat dakwah, pusat pendidikan dan pengajaran bahkan di masjid pula terkadang Rasululllah menyelesaikan masalah-masalah bahkan menjadi pusat komando prajurit bila terjadi peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk membangun beradaban yang gemilang maka ummat ini harus digiring untuk senantiasa memakmurkan masjid. Dan sebaliknya bila masjid telah ditinggalkan dan kita sibuk dengan rumah kita, toko kita, kantor kita, untuk segala urusan, maka hati akan saling berjauhan, berpisah-pisah, maka lahirlah nafsi-nafsi yang ujungnya adalah kehidupan manusia yang mirip realitas kita hari ini.
Kedua: Membangun persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) guna tercapainya persatuan Islam (wahdah Islamiyah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diawal hijrahnya, langsung mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar sehingga terjadilah hubungan sosial yang baik, solidaritas yang kuat, perasaan sepenanggungan dan yang lebih hebat, sikap tolong-menolong yang begitu kental.
Kita lihat persaudaraan mereka adalah persaudaraan agama, bukan lagi persaudaraan berdasarkan kesukuan sebagaimana yang berjalan sebelum itu. Melalui semangat persaudaraan Islam ini, maka persatuan Islam (wahdah Islamiyah) begitu kokoh, hasilnya, gelinding peradaban Islam yang mulia pun tak dapat dibendung oleh kekuasaan apapun saat itu.
Disini penting diperhatikan. Sebab realita tak dapat berkata dusta. Hari ini kita melihat kelompok-kelompok Islam sudah mulai berlebih-lebihan dalam mengidentifikasi diri. Hampir bila tidak tampak ukhuwah Islamiyah diantara mereka. Masing-masing merasa jalannya yang paling benar menuju penegakan Islam. Bahkan ada aroma kebanggaan “kullu hisbin bima ladaihim farihum” yang mulai terasa. Ini terlihat dari berbagai perseteruan yang kerap terjadi antara kelompok-kelompok Islam, dibanding usaha riil menuju persatuan (maaf aliran sesat tidak masuk dalam konteks pembicaraan). Sesama gerakan dakwah saling serang dan saling bantah. Aktivitas yang benar-benar menguras tenaga, mematikan potensi, dan melumpuhkan kemajuan.
Karenanya, dalam hal ini, harus ada usaha penyatuan yang khusus untuk mengikis runcingnya bilah perbedaan penyebab perseteruan. Kesatuan ummat Islam untuk sebuah peradaban yang maju akan terwujud cepat bila masing-masing memiliki kesadaran untuk memprioritaskan kesatuan dan lebih banyak mencari persamaan ketimbang perbedaan. Lalu setelah itu bersama-sama menegakkan dien dalam ikatan persatuan yang kokoh. Karena untuk tercapainya iqomatuddien, membutuhkan banyak potensi yang bisa diarahkan pada satu ujung tombak perjuangan.
Membangun peradaban butuh pejuang
Setiap perbuatan yang dilakukan manusia, mengandung konsekuensi dipuji atau dicela. Dipuji oleh satu pihak dan dicela oleh pihak yang lain. Tak ada satupun tindakan yang dipuji oleh semua manusia meskipun itu tindakan yang sangat-sangat baik. Dan satupun juga tindakan yang dibenci oleh semua manusia di dunia, meskipun itu tindakan yang jelas-jelas jahat dan buruk.
Oleh karena itu dalam membangun peradaban Islami dibutuhkan dari ummat ini orang-orang yang bermental pejuang yang tak haus pujian manusia, yang tak gemar memburu ridha manusia meski membuat Allah marah. Dan pula sabar menghadapi tantangan. Karena demikianlah kemenangan dijanjikan dengan kesabaran. “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaran itu dan bersiap-siagalah dan bertaqwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu meraih kemenangan.” (Terjemah QS. Ali Imran : 200)
Perjuangan mewujudkan peradaban Islam, peradaban yang bermartabat, yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya memerlukan waktu yang panjang. Untuk dapat menaklukkan konstantinopel, ummat Islam membutuhkan waktu sekitar 800 tahun. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam wafat sekitar tahun 636 M. semasa hidup beliau pernah mengabarkan bahwa Islam suatu ketika akan menaklukkan Konstantinopel. Ternyata penaklukan Konstantinopel baru terjadi pada tahun 1453 lalu pada tahun 1099 M, kota Yerussalem kembali jatuh ke tangan pasukan salib. Umat Islam baru merebut kembali kota Yerussalaem pada tahun 1187 M. itu artinya, umat Islam harus menunggu waktu selama 88 tahun untuk merebut kembali Yerussalem.
Maka kini para pejuang harus sadar, bahwa perjuangan itu panjang, dibutuhkan pula nafas panjang agar bias tetap eksis di jalan perjuangan. Nafas itu harus terus bersambung dari generasi ke generasi, maka pendahulu harus mengkader generasi penggantinya ager benar-benar nafas perjuangan itu sampai di saat yang Allah tetapkan sebagai era indah dalam kehidupan manusia dibawah panji Islam dengan peradaban hidup yang madani.
Maka seorang muslim pejuang harus terus berjuang betapapun keadaannya lebih sulit dari sebelumnya. Adapun kesulitan-kesulitan tidak selayaknya menghentikan dia untuk berjuang. Bahkan dia harus berjuang lebih gigih dari pada waktu lampau.
Dr. Mohammad Natsir, pada 17 Agustus 1951 menulis sebuah artikel berjudul “Jangan berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” kami kutip dari tulisan Dr. Adian Husaini majalah Islam ar-risalah, Desember 2009 hal. 32 beliau berpesan:
“Dahulu mereka riang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu Negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan berates tahun yang lampau…
Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menunntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat-sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”
(Copy Paste dari tulisan Ust Syahrullah Hamid yang Diterbitkan di Buletin al-Balagh edisi 03 Muharram 1433 H dan http://wimakassar.org/wp/2011/12/16/membangun-peradaban-islam/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar