Tidak lama setelah Nabi wafat Ummat Islam “mengusir” tentara Romawi dan “menduduki” Syria. Di zaman Umar Ibn Khatab kekaisaran Persia “ditaklukan” dan Palestina “dikuasai”. Pada awal abad VIII Spanyol dibawah kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth “ditundukkan” oleh Thariq bin Ziad. Di Mesidr ummat Muslim yang berada dibawah komando Amr bin al-As “memukul mundur” pasukan Bizantium dan “menguasai” orang-orang Kristen Koptik. Pada abad XV kota Kostantinople, salahsatu bagian dari kekaisaran Romawi “ditaklukan” panglima muda al-Fatih. Di dunia Melayu ummat Islam “mengusir” kepercayaan animisme, dinamisme dan agama-agama kultural lainnya.
Istilah-istilah mengusir, menduduki, menaklukan, menguasai, mendesak dan sebagainya adalah bahasa politik dan bersifat negatif. Tapi apa yang sebenarnya terjadi jauh dari kesan itu. Sebab, ketika Islam masuk Syria orang-orang Kristen merasa selamat dari Romawi dan Yunani. Michael the Elder, Patriach dari Jacobus mengakui “Tuhan telah membangkitkan putera-putera Ismail dari selatan (maksudnya Muslim) untuk menyelamatkan kita dari Romawi”.
Ketika pasukan Muslim dibawah pimpinan Abu Ubaidah mencapai lembah Jordan, penduduk Kristen setempat menulis surat kepadanya. Isinya “kami lebih bersimpati kepada saudara daripada orang-orang Romawi, meskipun seagama dengan kami ... Pemerintah Islam lebih adil dari pemerintah Byzantium”.
Pada waktu Umar memasuki Yerussalem ia menadatangani perjanjian. Diantara isinya:” ... gereja tidak akan berubah menjadi tempat kediaman, tidak akan dirusak, ... salib-salib atau harta mereka tidak akan diganggu ... dan tidak seorangpun dintara mereka akan dianiaya”. Orang tidak pernah konflik dengan ummat Kristen. Justru konflik antar sekte di Gereja Holy Sepulrchre, atau the Chuch of the Resurrection didamaikan oleh Islam.
Abdul Aziz Marwan Gubernur Mesir memberi izin orang-orang Kristen pegawai istana untuk mendirikan gereja di Halwan. Di Andalus Islam, Kristen, Yahudi hidup damai bertahun-tahun. Seorang specialist sastara Iberia di Universitas Yale, Maria Rosa Mencoal dalam karyanya berjudul The Ornament of the Word (2003) berterus terang. Ia menulis “Toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus dan nasib non Muslim lebih baik daripada dibawah Kristen Eropah”.Tapi berakhirnya kekuasaan Islam, berakhir pula toleransi itu.
Jika fakta-fakta ini dicermati, istilah menguasai, menaklukan, mengusir, dan bahkan menjajah tidak layak untuk dipakai. Yang lebih cocok, sesuai dengan namanya,Islam ‘menyelamatkan’ atau ‘membebaskan’ bangsa-bangsa tertindas. Maka tidak heran jika Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam menyatakan:”Kemenangan kaum Muslimin berarti kebebasan beragama (bagi non Muslim), sesuatu yang telah berabad-abad mereka dambakan”. Anehnya Bernard Lewis menganggap toleransi dalam Islam tidak ada asal-usulnya.
Rahmat Islam yang lain ada dalam keseluruhan ajarannya. Syariatnya menjaga jiwa, keturunan, agama, harta dan akal manusia dari kehancuran. Ritual peribadatannya menyentuh aspek jiwa dan raga, aspek sosial dan individual, aspek spritual dan material. Prinsip hidupnya seimbang tidak materialis tidak spritualis, tidak melulu dunia atau melulu akhirat. Sayyid Qutb mensifatinya dengan istilah tawazun. Pengharagaannya pada orang kaya dan orang miskin, pria dan wanita sama meski tidak harus memakai toeri gender dan diklaim sosialistis atau feministis.
Konsep Tuahannya “transenden” artinya jauh dan tak terjangkau. Tidak serupa apapun, karena itu tidak bisa diberhalakan. Tapi juga “immanen”, lebih dekat dari urat nadi kita. Dan yang terpenting Allah dalam Islam bersifat Alim (Maha Tahu). Karena itu wahyu yang diturunkan-Nya sarat dengan perintah berfikir dan mencari ilmu. Dari kitab suci itupula lahir berbagai disiplin ilmu. Ulum Al Qur’an, Tafsir, Hadits, Fiqih, Kalam, Tasawuf, mawarits, Nahwu dan sharaf lahir dari sebab memahami al-Qur’an.
Inilah rahaisianya mengapa Islam menjadi rahmat dunia dengan ilmu. Dengan iman dan ilmu khazanah keilmuan Yanani, Persia, India, Mesir dan sebagainya dihidupkan. Dari India Muslim menemukan angka nol. Asas bagi matematik dan ilmu komputer masa kini. Di Pesria Ibnu Syatir mengembangkan astronomi yang buku-bukunya mengispirasi Coperniscus menemukan teori heliosentrisme. Di Baghdad Ibn Haitham menemukan teori optick.Tanpa teori ini camera tidak akan pernah wujud.
Di zaman Umayyah di Spanyol dan Abbasiyah di Baghdad budaya ilmunay sangat tinggi. Di Cordoba saja terdapat 75 perpustakaan. Lebih ramai dari mall di zaman postmodern. Di Baghdad koleksi seorang Ulama mencapai 400 judul buku. Menjadi ulama lebih bergengsi daripada menjadi pengusaha. Inilah peradaban ilmu.
Tapi ilmu bukan sekadar ilmu, tapi juga menjadi amal alias teknologi.Di Spanyol waktu itu irigasinya tercanggih di dunia. Hasil panennya memberi makan orang Spanyol yang kelaparan dan tertindas. Tatakotanya tidak ada duanya di Eropah. Menurut Tertius Chandler dalam, Four Thousand Years of Urban Growth: An Historical Census populasi Cordoba waktu itu sekitar 500 ribu, mengalahkan Konstantinopel. Kemakmurannya mengalahkan penduduk Eropah. Sains dan teknologi yang lahir karena al-Qur’an dan kecerdasan jiwa-jiwa yang beriman dan betauhid. Itulah “misykat” kehidupan.
Tauhid inilah yang digambarkan dalam al-Qur’an surah Ibrahim (24-25) sebagai “kalimat tayyibah” (kalimat yang baik), dan peradaban ilmunya sebagai “syajarah tayyibah” (pohn yang baik). Pohon itu memberi makan atau menghidupi orang pada setiap musimnya, dengan izin Tuhannya. Tujuannya satu, “agar mereka ingat nikmat Tuhannya”. Tapi begitulah manusia, banyak yang telah memakan buah (rahmat) peradaban Islam dan banyak yang tidak ingat. Allah Maha Besar.(Disalin dari tulisan Dr Hamid Fahmi Zarkasyi (Direktur INSISTS) di Jurnal Pemikiran Islam Republika-ISLAMIA Edisi Kamis,23 Oktober 2011,hlm.26).
Istilah-istilah mengusir, menduduki, menaklukan, menguasai, mendesak dan sebagainya adalah bahasa politik dan bersifat negatif. Tapi apa yang sebenarnya terjadi jauh dari kesan itu. Sebab, ketika Islam masuk Syria orang-orang Kristen merasa selamat dari Romawi dan Yunani. Michael the Elder, Patriach dari Jacobus mengakui “Tuhan telah membangkitkan putera-putera Ismail dari selatan (maksudnya Muslim) untuk menyelamatkan kita dari Romawi”.
Ketika pasukan Muslim dibawah pimpinan Abu Ubaidah mencapai lembah Jordan, penduduk Kristen setempat menulis surat kepadanya. Isinya “kami lebih bersimpati kepada saudara daripada orang-orang Romawi, meskipun seagama dengan kami ... Pemerintah Islam lebih adil dari pemerintah Byzantium”.
Pada waktu Umar memasuki Yerussalem ia menadatangani perjanjian. Diantara isinya:” ... gereja tidak akan berubah menjadi tempat kediaman, tidak akan dirusak, ... salib-salib atau harta mereka tidak akan diganggu ... dan tidak seorangpun dintara mereka akan dianiaya”. Orang tidak pernah konflik dengan ummat Kristen. Justru konflik antar sekte di Gereja Holy Sepulrchre, atau the Chuch of the Resurrection didamaikan oleh Islam.
Abdul Aziz Marwan Gubernur Mesir memberi izin orang-orang Kristen pegawai istana untuk mendirikan gereja di Halwan. Di Andalus Islam, Kristen, Yahudi hidup damai bertahun-tahun. Seorang specialist sastara Iberia di Universitas Yale, Maria Rosa Mencoal dalam karyanya berjudul The Ornament of the Word (2003) berterus terang. Ia menulis “Toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus dan nasib non Muslim lebih baik daripada dibawah Kristen Eropah”.Tapi berakhirnya kekuasaan Islam, berakhir pula toleransi itu.
Jika fakta-fakta ini dicermati, istilah menguasai, menaklukan, mengusir, dan bahkan menjajah tidak layak untuk dipakai. Yang lebih cocok, sesuai dengan namanya,Islam ‘menyelamatkan’ atau ‘membebaskan’ bangsa-bangsa tertindas. Maka tidak heran jika Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam menyatakan:”Kemenangan kaum Muslimin berarti kebebasan beragama (bagi non Muslim), sesuatu yang telah berabad-abad mereka dambakan”. Anehnya Bernard Lewis menganggap toleransi dalam Islam tidak ada asal-usulnya.
Rahmat Islam yang lain ada dalam keseluruhan ajarannya. Syariatnya menjaga jiwa, keturunan, agama, harta dan akal manusia dari kehancuran. Ritual peribadatannya menyentuh aspek jiwa dan raga, aspek sosial dan individual, aspek spritual dan material. Prinsip hidupnya seimbang tidak materialis tidak spritualis, tidak melulu dunia atau melulu akhirat. Sayyid Qutb mensifatinya dengan istilah tawazun. Pengharagaannya pada orang kaya dan orang miskin, pria dan wanita sama meski tidak harus memakai toeri gender dan diklaim sosialistis atau feministis.
Konsep Tuahannya “transenden” artinya jauh dan tak terjangkau. Tidak serupa apapun, karena itu tidak bisa diberhalakan. Tapi juga “immanen”, lebih dekat dari urat nadi kita. Dan yang terpenting Allah dalam Islam bersifat Alim (Maha Tahu). Karena itu wahyu yang diturunkan-Nya sarat dengan perintah berfikir dan mencari ilmu. Dari kitab suci itupula lahir berbagai disiplin ilmu. Ulum Al Qur’an, Tafsir, Hadits, Fiqih, Kalam, Tasawuf, mawarits, Nahwu dan sharaf lahir dari sebab memahami al-Qur’an.
Inilah rahaisianya mengapa Islam menjadi rahmat dunia dengan ilmu. Dengan iman dan ilmu khazanah keilmuan Yanani, Persia, India, Mesir dan sebagainya dihidupkan. Dari India Muslim menemukan angka nol. Asas bagi matematik dan ilmu komputer masa kini. Di Pesria Ibnu Syatir mengembangkan astronomi yang buku-bukunya mengispirasi Coperniscus menemukan teori heliosentrisme. Di Baghdad Ibn Haitham menemukan teori optick.Tanpa teori ini camera tidak akan pernah wujud.
Di zaman Umayyah di Spanyol dan Abbasiyah di Baghdad budaya ilmunay sangat tinggi. Di Cordoba saja terdapat 75 perpustakaan. Lebih ramai dari mall di zaman postmodern. Di Baghdad koleksi seorang Ulama mencapai 400 judul buku. Menjadi ulama lebih bergengsi daripada menjadi pengusaha. Inilah peradaban ilmu.
Tapi ilmu bukan sekadar ilmu, tapi juga menjadi amal alias teknologi.Di Spanyol waktu itu irigasinya tercanggih di dunia. Hasil panennya memberi makan orang Spanyol yang kelaparan dan tertindas. Tatakotanya tidak ada duanya di Eropah. Menurut Tertius Chandler dalam, Four Thousand Years of Urban Growth: An Historical Census populasi Cordoba waktu itu sekitar 500 ribu, mengalahkan Konstantinopel. Kemakmurannya mengalahkan penduduk Eropah. Sains dan teknologi yang lahir karena al-Qur’an dan kecerdasan jiwa-jiwa yang beriman dan betauhid. Itulah “misykat” kehidupan.
Tauhid inilah yang digambarkan dalam al-Qur’an surah Ibrahim (24-25) sebagai “kalimat tayyibah” (kalimat yang baik), dan peradaban ilmunya sebagai “syajarah tayyibah” (pohn yang baik). Pohon itu memberi makan atau menghidupi orang pada setiap musimnya, dengan izin Tuhannya. Tujuannya satu, “agar mereka ingat nikmat Tuhannya”. Tapi begitulah manusia, banyak yang telah memakan buah (rahmat) peradaban Islam dan banyak yang tidak ingat. Allah Maha Besar.(Disalin dari tulisan Dr Hamid Fahmi Zarkasyi (Direktur INSISTS) di Jurnal Pemikiran Islam Republika-ISLAMIA Edisi Kamis,23 Oktober 2011,hlm.26).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar