Di masa lalu, umat ini pernah menghasilkan banyak ulama, pemimpin besar, syuhada dan sastrawan. Ketika itu, Barat hanya bisa menghasilkan penyamun, penyeru kejahatan, penyelundup narkotika dan penjagal manusia. Lalu keadaan berubah. Jadilah umat ini menghasilkan artis serta penyanyi. Jadilah Barat menghasilkan inovator, penemu, dokter serta insinyur.
Lalu, apa yang telah diperbuat seni terhadap kita? Dan apa pula yang telah kita lakukan bersama-sama seni? Keadaan umat ini telah berubah, sehingga menjadi terbelakang, padahal dulunya pernah memimpin dunia. Umat ini menjadi berada pada titik nadir, padahal dulunya pernah berada pada puncak tertinggi. Umat ini menjadi bawahan, padahal dulunya pemimpin. Seorang penyair berkata, “Begitu banyak “tangan“ yang mengatur kita Padahal dulu kita yang mengaturnya Ada bangsa yang menguasai kita Padahal dulu kita yang menguasainya.” Dalam hal ini, ada beberapa hal ikhwal seputar para artis: Mereka mengistilahkan salah satunya sebagai “artis yang lagi naik daun”, padahal mereka sedang menurun. Mereka mengistilahkannya “sang bintang”, bintang yang sedang berkilau, padahal sebenarnya ia tanpa cahaya.
Berbagai media informasi menghidupi mereka dan manyalakan cahanya pagi sore. Ketika itu, media informasi memadamkan cahaya para ulama, para
penuntut ilmu dan dai-dai. Lalu apa yang dibawa seni untuk umat ini? Wahai kaum Muslimin, wahai para cendekiawan, wahai para pemikir! Apakah seni telah mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan, kelaparan, bid’ah dan khurafat dari dunia Islam? Apakah seni telah mengajarkan orang-orang yang tak berilmu, baik di kota-kota maupun di desa-desa? Apakah mereka telah memberi makan orang-orang yang kelaparan itu, memberikan pakaian kepada orang-orang yang masih telanjang itu, serta memberikan minuman orang-orang yang kehausan itu? Apakah jutaan orang yang menghabiskan waktu dan biaya secara sia-sia telah memberikan andil dalam pembangunan masjid-masjid, sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit?
Apakah seni bisa mengembalikan Palestina kepada kita, sementara beribu-ribu orang Islam berebutan mengelilingi sang artis pria masa kini dan sang artis wanita nomor wahid? Apakah seni bisa mengembalikan Andalusia (Spanyol)? Apakah seni telah mengisinya dengan berbagai perangkat modern yang semuanya justru diimpor dari musuh kita?
Berbagai media informasi setiap hari selalu berkata, “Kabar gembira dengan munculnya sang artis yang karirnya sedang menanjak, yang datang membawa
cahaya baru dengan seni dan suaranya yang merdu. “ Suara yang merdu itu Allahlah yang menciptakannya.
Allah Iberfirman, artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(QS. At-Tin: 4).
Mujahid menafsirkan, “Yaitu suara yang indah.”Allahlah yang memberikan suara indah itu. Apakah diberikan-Nya untuk orang-orang yang bercinta dan para penyanyi? Tidak! Tetapi diberikannya untuk sebuah hikmah. Suara itu seperti kekuatan tubuh, kekuatan ingatan, harta dan anak. Apabila tidak digunakan untuk menaati Allah, maka tidak terdapat kebaikan di dalamnya. Kelak seorang hamba akan dihisab (dihitung amal perbuatannya) berkaitan dengan hal itu.
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
{لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ}
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melantunkan al-Qur’an dengan suara indah.”(HR. Bukhari).
Maksudnya, menggunakan suara indahnya untuk membaca al-Qur’an dengan tartil (pelan-pelan dan memperhatikan tajwidnya). Abu Musa tindah suaranya. Suaranya bisa begitu menawan hati. Lalu,apakah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyuruhnya untuk melantunkan beberapa kumpulan syair cinta picisan dan komedi? Tidak, namun Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjadikan Abu Musa sebagai qari’ (pembaca Al Qur’an).
Pada suatu malam, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berjalan, lalu mendengar suara Abu Musa.Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam cukup lama berdiri mendengarkannya. Beliau bersabda,
“Wahai Abu Musa, kamu benar-benar telah dikaruniai salah satu tembang keluarga Dawud. Kalaulah kamu melihatku kemarin sedang mendengarkan suaramu.“ Kata Abu
Musa, “Wahai Rasulullah, engkau benar-benar mendengarkan bacaanku?“ Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, “Benar, demi Rabb yang diriku berada dalam
tangan-Nya “ Abu Musa berkata, “Demi Allah Subhanahu Wata'alaang tidak ada Rabb selain Dia, Wahai Rasulullah, kalaulah aku tahu engkau mendengarkanku, pasti suaraku benar-benar kuhias untukmu.“
Artinya, kuperbagus, kuperindah dan kujadikan lebih mengagumkan. Karenanya, suara yang bagus itu digunakan untuk membaca Kitabullah. Dengan suara itu, al-Qur’an itu dibaca secara tartil. Hanya untuk Kitabullah, bukan untuk yang lain.
Selanjutnya, Anda bisa menjawab pertanyaan ini, “Apa pentingnya artis dalam kehidupan ini? Kalau insinyur, kita tahu jerih payahnya. Begitu juga
halnya dokter, karyawan, pedagang, petani dan juga tentara. Pokoknya, selain artis. Adapun artis, kita tidak pernah tahu manfaat pekerjaannya kecuali untuk
merusak masyarakat, menghancurkan akhlak, menggelitik perasaan, membangkitkan nafsu, membuat orang suka berbuat nista, menodai kehormatan, mendekatkan kepada zina, serta melalaikan generasi harapan umat ini.
Seperti inilah tugas para artis dalam kehidupan ini. Lantas, siapa yang bertanggung jawab terhadap munculnya generasi artis yang terlena, terbuai, tidak mengetahui agama dan tugasnya dalam kehidupan ini? Apakah ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam mencetak generasi demikian? Demi Allah, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam diutus hanya untuk mengokohkan negeri-negeri tauhid dan menyebarkan kemuliaan di dunia ini.
Darah kaum Muslimin di Palestina, di Afganistan dan setiap negeri Allah tumpah, sementara musik dan nyanyian di negeri-negeri lainnya dimainkan dan disanjung. Benarkah hal seperti ini? Seorang penyair berkata, “Darah orang-orang shalat di mihrab mengalir Kaum Muslimin tidak menghalangi Tak ada berita Bila yang kalah jiwa berbangga dengan piramid-piramid kita, piramid-piramid kita adalah Salman atau Umar Piramid-piramid kita dibangun Thaha (Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam ) Penyangga-penyangganya wahyu dari Ar-Rahman Bukan tanah, bukan batu.”
Inilah piramid-piramid kita, inilah seni kita, inilah bintang-bintang kita: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali—ridhwanullahi ‘alihim ‘ajmain—Ibnu Taimiyah, as-Syafi’i, Malik, Ahmad serta Ibnul Qayyim. Sedangkan orang-orang yang terjerumus tadi bukanlah bintang-bintang umat Islam. Mereka hanyalah kuli kenistaan dan perusak di negeri Islam. Anda bisa menemukan sebagian mereka ada yang telah mencapai usia delapan puluh tahun dan masih bernyanyi.
Sementara, banyak di antara ulama dan orang-orang shaleh sudah memakai kain kafan di usia mereka yang ke enam puluh. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa yang diberikan Allah usia sampai enam puluh tahun, maka hendaklah orang itu memakai kain kafan dan bersiap-siap masuk kubur.”
Karenanya, orang yang paling pantas dihormati adalah orang-orang yang mempersembahkan ilmu pengetahuan dan memberi kontribusi bagi manusia. Mereka menyejahterkan manusia lewat kesungguhannya, mempertahankan kemaslahatan manusia, serta berusaha mewujudkan perdamaian hakiki di muka bumi. Mereka juga menolak berbagai kriminalitas dan kenistaan dari kehidupan umat ini. Mereka inilah orang-orang yang lebih pantas dihormati dan dimuliakan. Bukan orang-orang yang terjerumus, bukan golongan-golongan yang berbuat sia-sia, bukan pula ribuan orang yang berada di auditorium menyanjung para artis dan bertepuk tangan untuk mereka.
Ribuan orang itu menyia-nyiakan malam dan shalat, tidak menghadiri pengajian dan ceramah-ceramah agama. Tidak shalat Jumat, apalagi shalat berjamaah. Mereka pun turut membesarkan para artis. Inilah artis. Masihkah kita menjadikan mereka sebagai idola ?
Sumber :Al-Fikrah edisi 06 Tahun XII/16 Shafar 1432 H
Sabtu, 22 Januari 2011
Minggu, 16 Januari 2011
K E B A N G K I T A N I S L A M ?
Oleh: Adian Husaini
PADA 22 Desember 2010 lalu, saya diminta menjadi pembahas dalam sebuah seminar tentang peradaban Islam di Jakarta Islamic Centre. Diantara pembicara ada Prof. Dr. Azyumardi Azra, mantan rektor UIN Jakarta. Dalam uraiannya, Prof Azyumardi menyatakan, bahwa peluang kebangkitan Islam lebih besar akan terjadi di Asia Tenggara ketimbang di Timur Tengah. Berbagai alasan dikemukakannya.
Pada sesi pembahasan saya menyampaikan bahwa soal kebangkitan Islam sebenarnya sudah banyak dipaparkan dalam al-Quran. Misalnya, dalam al-Quran Surat Al-Maidah ayat 54. Disitu disebutkan ciri-ciri satu kaum yang dijanjikan Allah yang akan meraih kemenangan: mereka dicintai Allah dan mereka mencintai Allah; mereka saling mengasihi sesama mukmin; mereka memiliki sikap ‘izzah terhadap orang-orang kafir; mereka berjihad di jalan Allah; dan mereka tidak takut dengan celaan orang-orang yang memang suka mencela. Kaum seperti inilah yang harus mampu dibentuk oleh umat Islam, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Hanya saja, saat bicara tentang kebangkitan Islam, maka yang perlu didefinisikan terlebih dahulu adalah apa yang sebenarnya disebut dengan “bangkit”. Sebab, jangan-jangan, makna kata “bangkit” itu sendiri sudah kabur di benak banyak kaum Muslimin. Seperti kaburnya makna kata “kemajuan”, “pembangunan”, “kebebasan”, dan sebagainya.
Misalnya, negara-negara Barat membuat definsi yang materialistis terhadap makna “kemajuan”. Mereka membagi negara-negara di dunia menjadi negara maju, negara sedang berkembang dan negara terbelakang. Tentu saja, ukuran-ukuran yang digunakan adalah ukuran kemajuan materi. Faktor akhlak tidak masuk dalam definisi “kemajuan” atau “pembangunan” tersebut. Jadi, jika dikatakan suatu negara sudah maju, maka yang dimaksudkan adalah kemajuan materi, khususnya dalam ekonomi, sains dan teknologi. Padahal, secara akhlak, negara itu sebenarnya hancur-hancuran.
Kita, kaum Muslimin, yang masih memiliki keimanan dan menjaga akhlak mulia, sudah selayaknya tidak merasa hina dan rendah martabat saat berhadapan dengan dunia Barat yang serba gemerlap dalam dunia materi. Kita sungguh kasihan kepada sebagian pejabat kita yang rela begadang, bersorak-sorai, menghambur-hamburkan uang hanya untuk menyambut pergantian Tahun Baru dalam tradisi Barat. Mestinya, jika mereka Muslim, mereka mengajak rakyatnya untuk beribadah, mensyukuri setiap tambahan nikmat umur yang mereka terima dari Allah SWT.
Jika kita memiliki kebanggaan akan nilai-nilai dan akhlak kita, maka kita justru akan bersikap sebaliknya. Kita kasihan pada orang-orang sekular – di mana pun -- yang tidak tahu lagi kemana hidup mereka harus diarahkan. Hidup mereka hanya ditujukan untuk memuaskan syahwat, tidak beda jauh dengan peri hidup binatang. Mereka tidak ingat lagi perjanjian azali dengan Allah, saat berada di alam arwah, bahwa mereka pernah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka, dan mereka adalah hamba Allah. (QS 7:172).
Maka, ketika negara kita diminta mengejar kemajuan, kita melihat, yang lebih difokuskan adalah kemajuan materi, bukan kemajuan akhlak. Padahal, dalam UU Sisdiknas disebutkan, tujuan pendidikan nasional juga mencakup persoalan akhlak. Juga, sesuai lagu “Indonesia Raya”, kita harus membangun jiwa, baru membangun badan/raga. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” begitu katanya. Tapi, apakah setiap tahun, ada laporan pemerintah kita tentang keberhasilan atau kegagalan membangun jiwa?
Bagi kita, umat Muslim, jika ingin membangun atau membangkitkan sebuah peradaban, maka yang seharusnya dibangun adalah manusia-manusia yang beradab. Membangun peradaban bukan sekedar bercita-cita merebut kekuasaan. Sebab, untuk sekedar berkuasa yang diperlukan adalah kekuatan, dan tidak harus selalu berbasis pada keilmuan. Bangsa Mongol pernah berhasil merebut kekuasaan di Baghdad, 1215, meskipun mereka sangat rendah ingkat peradabannya. Pasukan Salib pernah menaklukkan kaum Muslimin yang jauh lebih tinggi tingkat peradabannya.
Sekarang pun, kita menyaksikan, banyak orang di dunia bisa merebut kekuasaan, dengan mengandalkan modal kecantikan, popularitas, dan banyaknya anak buah, meskipun tingkat keilmuan dan akhlaknya sangat rendah. Jika seorang atau satu kelompok berperadaban rendah tetapi kuat secara fisik dan materi berhasil merebut kekuasaan, maka bisa menimbulkan kerusakan.
Jadi, sekali lagi, dalam merumuskan kebangkitan Islam, yang perlu digariskan adalah makna kebangkitan itu sendiri! Bangkit dalam hal apa? Barulah setelah itu dirumuskan, bagaimana cara bangkitnya! Sejarah Islam menunjukkan, bahwa kebangkitan umat Islam sebagai sebuah peradaban terjadi saat umat berhasil menghidupkan tradisi ilmu dan menanamkan jiwa cinta pengorbanan. Dua aspek ini pun sebenarnya bukan khas Islam. Peradaban lain juga harus menempuh jalan yang sama untuk bisa bangkit, yakni membangun tradisi ilmu dan menanamkan semangat pengorbanan.
Kita bisa menyimak kisah-kisah hebat berikut ini, seputar semangat pengorbanan:
Alkisah, Imam at-Thabari menceritakan, usai penaklukan kota Madain, datanglah seorang laki-laki kepada para petugas pengumpul harta rampasan perang. Ia membawa sejumlah harta yang mencengangkan. Petugas bertanya kepadanya, “Apakah kamu mengambil sebagian untukmu?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak, demi Allah!” Jika bukan karena Allah, pastilah harta ini sudah aku gelapkan untukku.” Penasaran dengan jawaban itu, para petugas bertanya lagi, “Siapa nama kamu?” Dijawab si laki-laki, “Tidak, kalian tidak perlu tahu namaku agar kalian dan orang-orang lain tak memujiku. Aku sudah cukup bersyukur kepada Allah dan puas dengan ganjaran-Nya itu.” Setelah diselidiki, diketahuilah, laki-laki itu bernama Amir bin Abdi Qais.
Sebelum terjadi perang Qadisiah, Panglima Perang Sa’ad bin Abi Waqash mengirimkan utusan bernama Rabi’ bin Amir untuk menemui Jenderal Rustum, panglima Perang Persia. Rabi’ masuk ke tenda Rustum yang bergelimang kemewahan dengan tetap memegang tombak dan menuntun kudanya. Ketika Rustum bertanya, “Apa tujuan kalian?” Dengan tegas Rabi’ menjawab, “Allah telah mengutus kami untuk membebaskan orang-orang yang dikehendaki-Nya dari penyembahan sesama manusia menuju penyembahan Allah semata, dan membebaskan manusia dari kesempitan menuju kelapangan hidup di dunia, dan dari penindasan berbagai agama yang sesat menuju agama Islam yang menuh keadilan.”
Kita ingat sebuah cerita terkenal, ketika Ja’far bin Abdul Muthalib dan kawan-kawan sedang berada di Habsyah, sejumlah pemuka Quraish juga mengejar mereka. Raja Najasyi diprovokasi untuk mengusir kaum Muslim itu. Kepada Najasyi dan para pendeta Kristen, Amr bin Ash dan Amarah menyatakan, bahwa orang-orang Islam tidak akan mau bersujud kepada Raja. Ketika kaum Muslim dipanggil menghadap Raja, mereka diperintahkan, “Bersujudlah kalian kepada Raja!”. Dengan tegas Ja’far menjawab, “Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah semata.”
Sejumlah cerita tentang kezuhudan dan kegigihan generasi-generasi awal Islam itu diungkap oleh Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dalam bukunya, “Maa Dzaa Khasiral ‘Aalam bi-inkhithaathil Muslimin." (Terjemah versi Indonesia oleh M. Ruslan Shiddieq, Islam Membangun Peradaban Dunia, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1988). Melalui bukunya, Ali an-Nadwi memang ingin menggugah kaum Muslim, bahwa kebangkitan dan kemenangan kaum Muslim hanya akan bisa diraih jika umat Islam memiliki keimanan yang kokoh, dan tidak goyah dengan berbagai godaan dunia.
Dalam risalahnya yang terkenal, Limaadza Taakkharal Muslimun wa-Limaadza Taqaddama Ghairuhum, Syekh Amir Syakib Arsalan juga mengungkap sejumlah perbandingan, mengapa kaum Muslimin bisa dikalahkan oleh bangsa-bangsa Barat di berbagai lini kehidupan. Salah satu sikap yang menonjol adalah rendahnya sikap rela berkorban kaum Muslim dalam perjuangan. Sebagai contoh, ia mengungkapkan kesetiaan bangsa Inggris terhadap barang-barang produksinya dan toko-tokonya sendiri, walaupun harganya lebih mahal. “Aku pernah mendengar bahwa bangsa Inggris yang ada di daerah jajahannya, mereka tidak suka membeli barang-barang yang diperlukan terutama barang-barang yang berharga, melainkan mereka mesti membeli (pesan) dari negara mereka sendiri…”.
Lebih jauh tentang sebab-sebab kemunduran umat Islam di awal abad ke-20, diuraikan dengan sangat tajam oleh Amir Syakib Arsalan dalam risalah yang ditulisnya menjawab pertanyaan Syekh Muhammad Basyuni Imran, Imam Kerajaan Sambas, dengan perantaraan Muhammad Rasyid Ridha. Moenawwar Chalil menerjemahkan buku ini tahun 1954 dengan judul Mengapa Kaum Muslim Mundur. (Jakarta: Bulan Bintang, 1954).
Hilangnya semangat berkorban – jiwa, raga, harta, dan sebagainya – di tengah umat Islam bersamaan dengan munculnya sikap cinta dunia (hubbud-dunya). Sikap ini muncul karena ilmu yang salah, yang melihat dunia sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang kehidupan akhirat. Kapan saja sikap ini muncul, maka umat Islam tidak akan pernah mengenyam kejayaan. Rasulullah saw sudah mengingatkan, umat Islam akan menjadi sampah (buih), ketika sudah terjangkit penyakit “al-wahnu” (hubbud-dunya dan takut mati) dalam diri mereka.
Kecintaan akan pengorbanan tidak mungkin muncul dalam diri seseorang atau masyarakat, jika tidak didahului dengan tumbuhnya tradisi ilmu yang benar di tengah masyarakat. Bisa dikatakan, tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang “gila ilmu”.
Bukan hanya itu, tradisi ilmu Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw telah melahirkan manusia-manusia unggulan dalam satu ”generasi shahaby” yang belum mampu dicapai oleh peradaban manapun, hingga kini. Rasulullah saw berhasil mengubah ”masyarakat ummiy” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi masyarakat yang cinta ilmu dan tradisi tulis. Tradisi ilmu Islam saat itu pun mampu mengubah masyarakat yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari ”tradisi teler” hanya dalam tempo beberapa tahun saja.
Memang, peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus kepada ibadah.
Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam justru mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Meskipun begitu, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam juga memperingatkan dengan keras: ”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.”
Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu ’anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya. Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima jabatan Qadhi negara.
Tradisi ilmu yang tinggi disertai dengan tertatanamnya kecintaan akan pengorbanan untuk meraih cita-cita luhur itulah yang harus diwujudkan di tengah umat Islam, jika umat Islam ingin meraih satu kebangkitan sebagai sebuah peradaban. Dicopas dari http://www.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/15076?task=view
Sabtu, 15 Januari 2011
PENDIDIKAN SEBAGAI ASAS KEBANGKITAN SEBUAH PERADABAN
Oleh :Samsuddin La Hanufi
“(Generasi) akhir Ummat ini takkan membaik, melainkan dengan (mengikuti) konsep dan metode yang menjadikan ummat (terdahulu) baik”(Al Imam Malik bin Anas rahimahullah)
Pendidikan memiliki peran yang sangat signifikan dalam membangun sebuah peradaban. Bahkan dapat dikatakan, pendidikan merupakan pilar utama dalam upaya membangun peradaban yang bermartabat. Oleh sebab itu,sejarah mencatat bahwa tidak satupun peradaban yang pernah memimpin dunia melainkan diawali dengan ilmu pengetahuan.
Peradaban Barat yang saat ini menghegemoni dunia misalnya. Abad XI dikenal sebagai zaman kegelapan bagi Barat. Sebab saat itu dunia Barat berada dibawa cengkeraman kekuasaan gereja.
Namun setelah itu mereka bangkit dan berhasil melepaskan diri dari teokrasi gereja. Selanjutnya Barat memasuki babak baru dalam sejarah peradabannya yang dikenal dengan istilah zaman renaisance.
Renaisance atau kebangkitan itu sendiri bermula dari tradisi ilmu pengetahuan yang berhasil mereka bangun. Sejak itulah bermunculan cerdik pandai dan ilmuwan di Barat, seperti Charles Darwin, Galileo Galilei, Marie Curie dan lain sebagainya.
Kini, peradaban Barat masih menghegemoni dunia, salah satunya karena mereka memberikan perhatian yang serius terhadap ilmu.Budaya ilmu tertanam di Masyarakat Barat. Mereka memberikan perhatian yang serius terhadap ilmu. Hal ini terbukti dengan banyaknya pusat-pusat kajian keilmuan yang ada di Barat.
Demikian pula dengan Yahudi. Mereka terkenal sebagai bangsa yang memiliki tradisi ilmu. Dikabarkan bahwa di Israel oplah koran setiap hari melebihi jumlah penduduk. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa masyarakat Yahudi Israel adalah memiliki minat baca yang luar biasa. Sementara membaca merupakan sarana utama untuk memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan.
Lalu bagaimana dengan Islam?
Islam pernah memimpin peradaban dunia selama lebih kurang 800 tahun.Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa ditutupi. Ketika dunia barat sedang berada dalam zaman kegelapan, Islam telah memimpin peradaban Ummat Manusia sejak beratus-ratus tahun lamanya.
Islam memimpin peradaban dunia juga berawal dari tradisi dan budaya ilmu. Bangsa ‘Arab yang merupakan tempat awal datangnya Islam sebelumnya adalah bangsa yang tidak dikenal .Mereka hidup dalam kegelapan yang disebut zaman jahiliyah. Jahiliyah sendiri berasal dari kata Jahil yang berarti “bodoh”. Bahkan Al Qur’an menyebut mereka sebagai orang-orang yang berada dalam kesesatan yang nyata .
Akan tetapi bangsa yang berada dalam kesesatan yang nyata itu bangkit menjadi bangsa yang bermartabat dan mampu membangun peradaban.Kebangkitan itu berawal dari datangnya seorang Nabi dengan membawa Risalah Islam yang menjunjung tinggi budaya Ilmu.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an Surah Ali Imran :164.
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya Membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan pendidikan dan mendorong umatnya untuk terus belajar. Banyak hadits-hadits beliau yang berisi motivasi dan anjuran untuk memuntut ilmu. Bahkan beliau mewajibkan kepada Ummatnya untuk mempelajari ilmu, sebagaimana dalam hadits :
طلب العلم فريضة على كلّ مسلم
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim (ah)”.
Beliau juga membuat beberapa kebijakan yang menjadi pilar pendidikan umat. Misalnya, pada perang Badr kaum muslimin berhasil menawan sejumlah kaum musyrikin. Ada beberapa usulan yang dikemukakan oleh para sahabat terkait sikap dan perlakuan terhadap para tawanan itu. Salah satu usulan yang disetujui oleh beliau adalah dengan membayar tebusan atau mengajar baca tulis kepada anak-anak kaum Muslimin. Sikap ini merupakan kebijakan yang sangat strategis karena dapat mempercepat proses terjadinya transformasi ilmu pengetahuan di kalangan masyarakat Muslimin.
Di samping itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam juga terlibat secara langsung dalam kegiatan pendidikan .Beliau membacakan Ayat-ayat al Quran,mengajarkan Al Kitab dan As Sunnah serta mentazkiyah (mensucikan) hati para sahabat dengan ilmu yang beliau ajarkan. Dan ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak bersama mereka, para sahabat senior menyampaikan pelajaran yang telah mereka dengar lebih dulu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Umar bin Khathab radhiyallaahu ’anhu misalnya,beliau memilki tetangga yang menjadi partner dalam menuntut ilmu kepada Rasulullah. Jika Umar menghadiri majelis ilmu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tetangga beliau tidak sempat hadir, maka beliau menyampaikan hadits yang ia dengar kepada tetangga tersebut. Demikian pula sebaliknya .
Pendidikan yang dijalankan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terbukti berhasil membangun peradaban dunia yang mulia dan bermartabat. Dalam waktu singkat masyarakat Islam ketika itu mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya terbatas pada pemahaman, penghayatan, pengamalan ajaran islam yang bersifat ukhrawi, tetapi juga teraplikasi pada aspek kehidupan duniawi. Kejayaan peradaban Islam pada masa-masa selanjutnya , juga tidak terlepas dari tradisi ilmu yang telah tertanam di kalangan masyarakat Muslim.
Fakta sejarah ini bukan sekadar untuk menghibur diri dengan kejayaan masa lalu. Tetapi hendaknya dijadikan sebagai bahan pelajaran bahwa peradaban Ummat dan Bangsa ini akan kembali mengulangi kejayaannya bila menempuh jalan yang sama yaitu “Membangun Tradisi Ilmu”.
Pernyataan Imam Malik menarik untuk direnungkan:
لن يصلح آخر هذه الأمة إلاّ بما صلح به أوّلها
“(Generasi) akhir Ummat ini takkan membaik, kecuali dengan (mengikuti) konsep dan metode yang menjadikan ummat terdahulu baik.”
Wallaahu a’lam bish Shawab.
(Syamsuddin La Hanufi lahir di Dopi Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara.Mahasiswa Jurusan Al Qur'an Medinah International University, Ketua Departemen Da’wah dan Pendidikan DPC Wahdah Islamiyah Makassar)
Dimuat di Eramuslim.com
Kamis, 13 Januari 2011
Bersatu Melayani Ummat
"Wahdah Muna Khitan 53 Anak"
Muna, Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Ummat ,Dewan Pimpinan Cabang Wahdah Islamiyah Kabupaten Muna (DPC-WI MUNA) gelar khitanan massal.Ketua Panitia Salehaman Shut menjelaskan,kegiatan ini dimaksudkan untuk mengoptimakan gerak da’wah dari aktivitas yang sifatnya ajakan menjadi aktivitas yang sifatnya pelayanan (khidmah).
Kegiatan yang diikuti oleh 53 anak tersebut dilaksanakan pada tanggal 5 Shafar 1432 H yang bertepatan dengan tanggal 9 Januari 2010 M.Adapun tempat kegiatan yang telah menjadi program kerja rutin DPC WI Muna itu adalah Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ibnu Abbas Kabupaten Muna.
Dalam menjalankan kegiatan ini DPC WI bekerjasama dengan lembaga lain yang terkait. Lembaga yang menjadi mitra Wahdah Muna dalam acara ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kab.Muna dan PPNI Komisariat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kab.Muna.
Kegiatan yang mengangkat tema “ Bersatu Melayani Ummat “ Ini dibuka secara resmi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab Muna) yang diwakili oleh Asisten I Bupati.Sedianya yang akan membuka adalah Bupati Muna DR LM Baharuddin Mkes.Namun berhubung beliau harus menghadiri rapat mendadak di Jakarta ,maka beliau mengamanahkan kepada asisten I untuk menyampaikan sambutan dalam acara ini.
Dalam sambutannya Asisten I menyampaikan apresiasi Pemkab Muna terhadap aktivitas Wahdah Islamiyah Muna.”Pemkab Muna mengapresiasi upaya WI Muna dalam mebina masyarakat dalam mebina Ummat .Terlebih lagi dalam kegiatan ini WI telah bekerjasama dengan organisasi profesi “,ujarnya.(Syms)
Minggu, 02 Januari 2011
ISLAM DI AZERBAIJAN
Dua tahun belakangan ini pemerintah Azerbaijan menutup semua masjid Sunni di negara itu. Misalnya saja pemerintah menutup Masjid Turki yang ada di ibukota. Mereka juga menutup masjid-masjid lainnya di pinggiran kota. Di sekolah, jilbab juga dilarang. Ratusan orang Muslim dipenjarakan dan disiksa.
Bagaimana sebenarnya Islam di Azerbaijan? Menurut Pew pada tahun 2009, sekitar 99,2 persen penduduk Azerbaijan adalah Muslim. Ketaatan agama di antara pemeluknya memang bervariasi dan identitas Muslim cenderung lebih didasarkan pada budaya dan etnis bukan agama, namun sejak tahun 2003, dilaporkan banyaknya imam di masjid-masjid.
Sejarah dan perkembangan Islam di Azerbaijan
Islam tiba di Azerbaijan seiring dengan kedatangan bangsa Arab pada abad ketujuh, secara bertahap menggantikan Kristen dan sekte kafir Azerbaijan. Karena pengaruh dari Iran, banyak orang Azerbaijan yang sebenarnya penganut Syiah. Penegakan Syiah sebagai agama negara membawa pertarungan dengan kaum Sunni yang berkuasa.
Pada abad kesembilan belas, banyak Sunni Muslim beremigrasi dari Azerbaijan yang dikontrol Rusia. Dengan demikian, pada akhir abad kesembilan belas, penduduk Syiah menjadi mayoritas di Azerbaijan. Antagonisme antara Sunni dan Syiah berkurang pada akhir abad kesembilan belas.
Ada pula komunitas Yahudi kecil di Azerbaijan. Ada tiga sinagog di Baku dan beberapa di propinsi lainnya.
Walaupun mayoritas Islam, namun seperti negara berpenduduk Muslim lainnya, Azerbaijan adalah negara sekuler. Sebuah survey memperkirakan bahwa yang ateis di negara ini mendekati 7 persen.
Sebelum Soviet berkuasa, sekitar 2000 masjid aktif di Azerbaijan. Kebanyakan masjid ditutup pada 1930-an, dan beberapa diizinkan untuk tetap buka selama Perang Dunia II.
Pada tahun 1980 hanya dua masjid besar dan lima lebih kecil di Baku. Menurut sumber Soviet, selama tahun 1970-an, sekitar 1.000 rumah akhrinya digunakan sebagai tempat salat secara sembunyi-sembunyi. Selama Perang Dunia II, pemerintah Soviet mendirikan Dewan Muslim Spiritual Transkaukasia di Baku sebagai badan Islam di Kaukasus, namun pada dasarnya menghidupkan kembali tsaris Dewan Muslim Gerejawi abad kesembilan belas.
Dimulai pada periode akhir Gorbachev, dan terutama setelah kemerdekaan, jumlah masjid meningkat secara dramatis. Politisi sekuler di Azerbaijan telah menyuarakan keprihatinan mengenai kebangkitan Islam politik, tetapi yang lain berpendapat bahwa Islam di Azerbaijan adalah fenomena multifaset; Islam hanya memainkan peran yang sangat terbatas dalam bidang politik dan hanya sebagian kecil dari penduduk mendukung gagasan untuk mendirikan pemerintah Islam. Hal ini disebabkan tradisi panjang sekularisme di Azerbaijan.
Namun, menurut beberapa analis, pada jangka panjang, jika politisi tidak mampu meningkatkan kondisi kehidupan sebagian besar rakyat, rakyat Azerbaijan akan memilih Islam sebagai jalan pemerintahannya. (sa/islamicawakening/wikipedia/http://www.eramuslim.com/)
Bagaimana sebenarnya Islam di Azerbaijan? Menurut Pew pada tahun 2009, sekitar 99,2 persen penduduk Azerbaijan adalah Muslim. Ketaatan agama di antara pemeluknya memang bervariasi dan identitas Muslim cenderung lebih didasarkan pada budaya dan etnis bukan agama, namun sejak tahun 2003, dilaporkan banyaknya imam di masjid-masjid.
Sejarah dan perkembangan Islam di Azerbaijan
Islam tiba di Azerbaijan seiring dengan kedatangan bangsa Arab pada abad ketujuh, secara bertahap menggantikan Kristen dan sekte kafir Azerbaijan. Karena pengaruh dari Iran, banyak orang Azerbaijan yang sebenarnya penganut Syiah. Penegakan Syiah sebagai agama negara membawa pertarungan dengan kaum Sunni yang berkuasa.
Pada abad kesembilan belas, banyak Sunni Muslim beremigrasi dari Azerbaijan yang dikontrol Rusia. Dengan demikian, pada akhir abad kesembilan belas, penduduk Syiah menjadi mayoritas di Azerbaijan. Antagonisme antara Sunni dan Syiah berkurang pada akhir abad kesembilan belas.
Ada pula komunitas Yahudi kecil di Azerbaijan. Ada tiga sinagog di Baku dan beberapa di propinsi lainnya.
Walaupun mayoritas Islam, namun seperti negara berpenduduk Muslim lainnya, Azerbaijan adalah negara sekuler. Sebuah survey memperkirakan bahwa yang ateis di negara ini mendekati 7 persen.
Sebelum Soviet berkuasa, sekitar 2000 masjid aktif di Azerbaijan. Kebanyakan masjid ditutup pada 1930-an, dan beberapa diizinkan untuk tetap buka selama Perang Dunia II.
Pada tahun 1980 hanya dua masjid besar dan lima lebih kecil di Baku. Menurut sumber Soviet, selama tahun 1970-an, sekitar 1.000 rumah akhrinya digunakan sebagai tempat salat secara sembunyi-sembunyi. Selama Perang Dunia II, pemerintah Soviet mendirikan Dewan Muslim Spiritual Transkaukasia di Baku sebagai badan Islam di Kaukasus, namun pada dasarnya menghidupkan kembali tsaris Dewan Muslim Gerejawi abad kesembilan belas.
Dimulai pada periode akhir Gorbachev, dan terutama setelah kemerdekaan, jumlah masjid meningkat secara dramatis. Politisi sekuler di Azerbaijan telah menyuarakan keprihatinan mengenai kebangkitan Islam politik, tetapi yang lain berpendapat bahwa Islam di Azerbaijan adalah fenomena multifaset; Islam hanya memainkan peran yang sangat terbatas dalam bidang politik dan hanya sebagian kecil dari penduduk mendukung gagasan untuk mendirikan pemerintah Islam. Hal ini disebabkan tradisi panjang sekularisme di Azerbaijan.
Namun, menurut beberapa analis, pada jangka panjang, jika politisi tidak mampu meningkatkan kondisi kehidupan sebagian besar rakyat, rakyat Azerbaijan akan memilih Islam sebagai jalan pemerintahannya. (sa/islamicawakening/wikipedia/http://www.eramuslim.com/)
Langganan:
Postingan (Atom)