Selasa, 27 Maret 2012

Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender (2)

JURNAL Islamia-Republika-INSISTS, edisi Kamis, 22 Maret 2012, menurunkan laporan khusus sebanyak empat halaman tentang RUU Kesetaraan Gender yang sedang dibahas di DPR. Ada beberapa artikel yang secara tajam menyorot RUU yang sedang dibahas di DPR tersebut. Seperti yang kita bahas dalam CAP ke-330 lalu, kesalahan RUU ini berawal dari definisi “gender” itu sendiri, yang meletakkan gender sebagai produk budaya atau konstruk sosial semata.

Tampak jelas, para penyusun RUU KKG ini kurang atau tidak memahami hakekat Islam sebagai agama wahyu, sehingga ia (mereka) memandang semua agama sebagai bagian dari budaya. Agama dipandang sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Semua ajaran agama – termasuk yang mengatur kedudukan dan hubungan laki-laki-perempuan – dipandang sebagai produk budaya, yang bisa diubah-ubah, mengikuti perubahan zaman, dan perubahan sosial-budaya.
Inilah sebenarnya cara pandang liberal terhadap agama. Yakni, menempatkan agama sebagai objek perubahan. Sungguh kasihan, jika seorang sudah terkena virus liberal semacam ini. Sebab, ia tidak akan mempunyai satu pegangan yang pasti dalam hidupnya, selain hawa nafsu-nya sendiri. Ayat-ayat al-Quran dan hadits yang sudah dipahami secara pasti – seperti konsep Islam, bahwa suami adalah pemimpin dalam keluarga – digugat dan dipaksa untuk berubah, mengikuti konsep keluarga dalam tradisi Barat modern yang meletakkan suami dan istri dalam posisi setara dalam segala hal.

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia-Republika itu, Warsito – alumnus Magister Pemikiran Islam—Universitas Muhammadiyah Surakarta – mengupas perbedaan keluarga antara Islam dan Barat. Islam memandang keluarga sebagai suatu ikatan yang positif antara laki-laki dan perempuan. Ikatan pernikahan dalam Islam menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga antara kedua makhluk itu melakukan kerjasama untuk memenuhi kewajiban mereka. Dalam kondisi seperti ini, secara otomatis hak-hak mereka terpenuhi.

Sebaliknya, di Barat, diterapkan model ‘pernikahan sederajat’ yang tidak mengakui adanya pemimpin maupun yang dipimpin dalam rumah tangga. Karena itu, di sana tidak dijumpai konsep wali, sebagaimana dalam pernikahan Islam. Dalam model ini, hubungan antara suami dan istri adalah hubungan kemitraan. Pembagian kerja dalam keluarga ditetapkan berdasarkan kesepakatan sebelum nikah. Inilah yang diusulkan sebagian kaum feminis, suatu bentuk ‘kawin kontrak’ (marriage contract). Dalam konsep ini, suami tidak dianggap sebagai kepala keluarga dan kewajiban mencari nafkah dilakukan bersama-sama.

Menurut Warsito, Islam menetapkan adanya struktur dalam keluarga sebagaimana struktur di masyarakat. Seorang suami menjadi pemimpin keluarga yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi semua anggota keluarga. Beban kewajiban suami ini sebanding lurus dengan amanah kekuasaan yang diembannya, sebagai pemimpin. Perbedaan peran dalam setiap anggota keluarga menimbulkan sikap saling membutuhkan sehingga tercipta keserasian. Selain itu, ketaatan istri dan anak selalu diikat dengan ketaatan kepada Allah, sehingga tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Ketaatan semacam ini membawa pada ketenangan, karena didasari pada keyakinan akan ibadah kepada Allah Ta'ala.

Masalahnya, lanjut Warsito, kaum feminis liberal memandang, ibu rumah tangga merupakan penjara bagi seorang perempuan untuk mengembangkan diri. Mereka menggambarkan ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tertinggal, menjadi makhluk inferior, dan menderita. Untuk itu para perempuan lebih suka melakukan aborsi daripada menjadi seorang ibu. Menurut data Centers for Disease Control (CDC), jumlah aborsi antara tahun 2000-2005 mencapai angka 850.000. Data ini merupakan aborsi yang dilakukan secara legal padahal aborsi yang dilakukan secara illegal juga berjumlah besar.

Besarnya jumlah aborsi dan keengganan wanita menjadi ibu menjadikan Barat mengalami krisis generasi. Salah satu tokoh yang membahas masalah ini adalah George M. Barrow. Dia menulis buku yang berjudul Aging the Individual and Society. Dalam buku itu, disebutkan dua alasan yang menyebabkan barat mengalami krisis generasi. Pertama, tingginya angka harapan hidup dan kedua menurunnya angka kelahiran. (Georgia M. Barrow, Aging the Individual and Society, Amerika: West Publishing Company, tt. hal. 15)

Pendapat feminis ini berbeda dengan ajaran Islam. Islam telah mendudukkan ibu dalam posisi yang mulia dalam struktur keluarga. Perintah untuk menghormati kedua orang tua, Allah kaitkan dengan perjuangan seorang ibu yang dengan segenap kasih sayang dan kekuatannya melahirkan dan mendidik anak. Meskipun pemimpin dalam keluarga adalah seorang suami atau ayah, tetapi ibu adalah orang yang paling utama untuk dihormati dan disayangi. Ibu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu.

Kehidupan bebas yang terlalu menekankan pada hak-hak anak di Barat membolehkan seorang anak menuntut emansipasi ke pengadilan. yaitu kebebasan anak secara mutlak dimana orang tua tidak boleh melarang maupun memerintah. Selain emansipasi, anak juga memiliki kebebasan melakukan hubungan seksual di luar nikah ketika menginjak usia dewasa. Kehidupan bebas dan tidak adanya ikatan antara orang tua dan anak menyebabkan nasib wanita tua begitu malang. Dia ditinggal oleh pasangan mereka karena tidak menarik lagi secara seksual, di saat yang sama anak-anak sibuk dengan kebutuhan diri mereka sendiri. Keadaan yang menyedihkan ini bisa dilihat dipanti-panti jompo yang kini menyebar di berbagai belahan dunia. (M. Sa’id Ramadhan al-Buthi, Perempuan antara kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam, 2002:15)

Kini, lihat konsep anak dalam Islam! Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban-kewajiban terhadap orang tua mereka. Tugas-tugas mereka antara lain; mentaati kedua orang tua selama tidak memerintahkan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah; mereka harus mendahulukan permintaan ibu daripada ayah. Selain itu, mereka harus mendo’akan kedua orang tua baik ketika mereka masih hidup atau sudah meninggal dunia serta memperlakukan orang tua dengan penuh kasih sayang.

Pola kehidupan yang saling melengkapi ini bisa terwujud dengan adanya konsep perbedaan kewajiban dan hak antara anggota keluarga dalam Islam. Konsep ini sangat indah, bagi orang-orang yang mau berpikir dan mengakui dirinya adalah ciptaan dan hamba Allah Ta'ala.

Demikian paparan Warsito, yang menulis tesis masternya di S2-UMS tentang perbandingan konsep keluarga dalam Islam dan peradaban Barat modern. Paparan ini penting untuk kita pahami, agar kita tidak salah pandang, menganggap seolah-olah konsep yang datang dari Barat bersifat universal, sehingga harus diglobalkan dan dipaksakan ke umat Islam. Karena itu, seorang Muslim yang memahami ajaran agamanya pasti tidak mudah terjerumus dan silau melihat konsep keluarga di Barat yang sebenarnya telah menjerusmuskan mereka ke lingkaran ketidakpastian tentang nilai dan masa depan keluarga – bahkan agama mereka sendiri.

Berlebihan dan zalim

Sebagian pegiat KKG di Indonesia bahkan sudah berpikir dan melangkah lebih jauh. Jurnal Perempuan (Maret 2008), memperjuangkan legalisasi perkawinan sesama jenis perempuan (lesbianisme), karena lesbian dianggap sebagai bentuk kesetaraan laki-laki dan perempuan yang tertinggi. Salah satu tuntutan para pegiat KKG dan lesbianisme adalah agar perkawinan sesama jenis juga mendapatkan legalitas di Indonesia. ”Pasal 23 Kovenan Hak Sipil dan Politik juga secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut hanya berlaku atas kelompok heteroseksual,” tulis Jurnal yang mencantumkan semboyan ”untuk pencerahan dan kesetaraan”.

Seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul ”Etika Lesbian” di Jurnal Perempuan ini menulis: ”Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral.” Lebih jauh, ia menulis tentang keindahan hubungan pasangan sesama perempuan: ”Cinta antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki. Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori ”laki-laki” dan kategori ”perempuan”, atau adanya pembagian peran dalam bercinta.

Dengan demikian, tidak ada konsep ”other” (lian) karena penyatuan tubuh perempuan dengan perempuan merupakan penyatuan yang kedua-keduanya menjadi subyek dan berperan menuruti kehendak masing-masing. Dengan melihat kehidupan lesbian, kita menemukan perempuan sebagai subyek dan memiliki komunitas yang tidak ditekan oleh kebiasaan-kebiasaan heteroseksual yang memaksa perempuan berlaku tertentu dan laki-laki berlaku tertentu pula.”

Jika RUU KKG ini disahkan dalam bentuknya seperti ini, akan terjadi suatu bentuk penindasan atau kezaliman terhadap kaum Muslim, yang mentaati ajaran agamanya. Sebab, pasal 67 RUU KKG menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu.”

Lalu, pasal 70 RUU KKG merumuskan adanya hukuman pidana bagi pelanggar UU KKG: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama …. (….) tahun dan pidana denda paling banyak Rp … (….).”

Jadi, jika RUU KKG ini disahkan dalam bentuk seperti ini, bersiap-siaplah orang-orang Muslim akan dijebloskan ke penjara, karena mentaati ajaran agamanya. Dia, misalnya, bisa dipidana gara-gara melarang perempuan menjadi khatib jumat; membatasi wali dan saksi nikah hanya untuk kaum laki-laki; melarang anak perempuannya menikah dengan laki-laki non-Muslim; membeda-bedakan pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan; membedakan jumlah kambing yang disembelih untuk aqiqah anak laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.

Sebab, memang pada pasal 2 RUU KKG, sama sekali tidak dimasukkan asas agama. Yang ada hanya asas: Kemanusiaan, persamaan substantif, non-diskriminatif, manfaat, partisipatif, dan transparansi dan akuntabilitas.

Kita berdoa, mudah-mudahan orang Muslim, khususnya yang di legislatif dan pemerintahan, sadar benar akan kekeliruan RUU KKG ini. Tentu, kita semua tidak ingin menyamai prestasi Iblis; makhluk Allah yang hanya mau mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapi menolak diatur oleh-Nya. Wallahu a’lam bil-shawab. (Ust Dr Adian Husaini/http://www.hidayatullah.com/read/21930/28/03/2012/mengapa-kita-menolak-ruu-kesetaraan-gender-%282%29.html)

Minggu, 25 Maret 2012

Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender (1)

HARIAN Republika (Jumat, 16/3/2012), memberitakan, bahwa Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah mulai dibahas secara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. Apakah kita – sebagai Muslim – harus menerima atau menolak RUU KKG tersebut?

Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 -- selanjutnya kita sebut RUU KKG – maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai Muslim dan sebagai orang Indonesia – menolak RUU KKG ini.

Pertama, definisi “gender” dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1)

Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.

Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga sudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun minad din bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum.

Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya. Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dari Allah SWT ini sangat riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepada tindakan pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja ini satu bentuk keangkuhan, karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum. (QS at-Taubah: 31).

Jadi, cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan (gender) sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, sifat syariat Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir dan diutus untuk seluruh manusia sampai akhir zaman – adalah universal dan final. Zina haram, sampai kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan pun. Begitu juga suap adalah haram. Babi haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti ini bersifat lintas zaman dan lintas budaya.

Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad saw memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya – dalam hal-hal yang baik – maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuan Arab abad ke-7 saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal; bukan tergantung budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana saja dan kapan saja, perempuan memang sama. Sudah ribuan tahun perempuan hidup di bumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, dan juga mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warna kulit dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda-beda. Karena sifatnya yang universal, maka konsep syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal.

Memang, tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yang masuk. Misalnya, konsep Islam tentang perkawinan pada intinya di belahan dunia mana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon istri, saksi, wali dan ijab qabul.

Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa kita lihat dalam pelaksaan berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah di Indonesia.

Alasan kedua untuk menolak RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiat kesetaraan gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat – termasuk konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karena bersifat universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakar pada ”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasi Kristen abad pertengahan.

Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat ekstrim. Dulu mereka menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Dulu, mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagi pelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum homo dan lesbi untuk menikah dan bahkan memimpin geraja.

Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasan dan kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan telah berujung kepada problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah survei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih sedikit dari pada jumlah yang mati.

Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai makhluk individual. Sementara Islam meletakkan perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalam Islam ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan; bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk pernyerahan tanggung jawab kepada suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karena itu jangan heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif menyoal konsep perwalian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam, yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelai laki-laki).

Simaklah bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep ”kesetaraan gender” seperti tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang dibahas saat ini: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2).

Renungkanlah konsep semacam ini. Betapa individualistiknya. Laki-laki dan perempuan harus disamakan dalam semua bidang kehidupan. Lalu, didefinsikan juga:

“Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” (pasal 1:4).

Jika RUU Gender ini akan menjadi Undang-undang dan memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka akan menimbulkan penindasan yang sangat kejam kepada umat Muslim – atau agama lain – yang menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbeda dengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika, orang Muslim yang menerapkan hukum waris Islam; membagi harta waris dengan pola 2:1 untuk laki-laki dan perempuan akan bisa dijatuhi hukuman pidana karena melakukan diskriminasi gender. Jika ada orang tua menolak mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan dijatuhi hukuman pula. Bagaimana jika kita membeda-bedakan jumlah kambing untuk aqidah antara anak laki-laki dan perempuan?

Alasan ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradaban sekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusan selesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan” hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah adil jika laki-laki boleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah tidak adil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluar rumah tanpa izin istri.

Bagi mereka, tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan di shaf depan. Dan sebagainya. Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini, maka pikiran itu yang perlu diluruskan terlebih dulu. Biasanya ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasulullah saw tidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu pun akan ditafsirkan dalam perspektif gender. Sebenarnya, perempuan yang kena paham ini patut dikasihani, karena mereka telah salah paham. Mereka hanya melihat aspek dunia. Hanya melihat aspek hak, dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan akhirat.

Padahal, dalam perspektif Islam, justru Allah memberi karunia yang tinggi kepada perempuan. Mereka dibebani tanggung jawab duniawi yang lebih kecil ketimbang laki-laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa masuk sorga, sama dengan laki-laki. Perempuan tidak perlu capek-capek jadi khatib Jumat, menjadi saksi dalam berbagai kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki-laki berjejalan di kereta-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah bagi keluarga. Dan sebagainya.

Sementara itu, kaum laki-laki mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat. Kekuasaan yang besar juga sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat. Jika dilihat dalam perspektif akhirat, maka suami yang memiliki istri lebih dari satu tentu tanggung jawabnya lebih berat, sebab dia harus menyiapkan laporan yang lebih banyak kepada Allah. Adalah keliru jika orang memandang bahwa menjadi kepala negara itu enak. Di dunia saja belum tentu enak, apalagi di akhirat. Sangat berat tanggung jawabnya.

”Dimensi akhirat” inilah yang hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”. Termasuk dalam RUU Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari RUU ini sangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia semata. Jika dimensi akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampak timpang. Sebagai contoh, para aktivis gender sering mempersoalkan masalah ”double burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir.

Disamping bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai urusan rumah tangga. Si perempuan akan sangat tertekan jiwanya, jika ia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan balasan di akhirat. Sebaliknya, si perempuan akan merasa bahagia saat dia menyadari bahwa tindakannya adalah satu bentuk ibadah kepada Allah Ta'ala.

Karena itu, jika Allah tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah dalam berbagai hal, bukan berarti Allah merendahkan martabat perempuan. Tapi, justru itulah satu bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan. Dengan berorientasi pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadi indah. Termasuk keridhaan menerima pembagian peran yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Pada akhirnya, dalam menilai suatu konsep – seperti konsep Kesetaraan Gender – seorang harus memilih untuk menempatkan dirinya: apakah dia rela menerima Allah Ta'ala sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya untuk mengatur hidupnya? Seorang Muslim, pasti tidak mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui keberadaan Allah Ta'ala sebagai Tuhan, tetapi menolak diatur oleh Allah Ta'ala. Seolah-olah, manusia semacam ini berkata kepada Allah Ta'ala: ”Ya Allah, benar Engkau memang Tuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur hidup saya! Karena saya tidak perlu segala macam aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya sendiri!” Na’dzubillahi min-dzalika.

****

Tidak bisa dipungkiri, penyebaran paham ”kesetaraan gender” saat ini telah menjadi program unggulan dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyak organisasi Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untuk menggarap perempuan-perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan gender ini. Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahan publik, dalam semua bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah-olah mereka akan bahagia jika mampu bersaing dengan laki-laki.

Kedepan, tuntutan semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidang kehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index (HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun ke berbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankan kegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi dalam pembagunan”. Tentu, konsep semacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yang juga sudah dipengaruhi Islam.

Daripada bergelimang ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidak mengajukan saja ”RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu kepada nilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? Dari tiga naskah akademik yang saya baca, tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk mengajukan RUU Kesetaraan Gender ini. RUU ini cenderung membesar-besarkan masalah, dan lebih menambah masalah baru. Belum lagi jika RUU ini melanggar aturan Allah Ta'ala, pasti akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT.

Tugas kita hanya mengingatkan! Wallahu a’lam bil-shawab. (CAP Adian Husaini/ http://www.hidayatullah.com)

Jumat, 23 Maret 2012

Gaya Hidup Islami dan Jahili

Ada dua hal yang umumnya dicari oleh manusia dalam hidup ini. Yang pertama ialah kebaikan (al-khair), dan yang kedua ialah kebahagiaan (as-sa’adah). Hanya saja masing-masing orang mempunyai pandangan yang berbeda ketika memahami hakikat keduanya. Perbedaan inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia. Dalam pandangan Islam gaya hidup tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu: gaya hidup Islami, dan gaya hidup jahili.

Gaya hidup Islami mempunyai landasan yang mutlak dan kuat, yaitu Tauhid. Inilah gaya hidup orang yang beriman. Adapun gaya hidup jahili, landasannya bersifat relatif dan rapuh, yaitu syirik. Inilah gaya hidup orang kafir. Setiap Muslim sudah menjadi keharusan baginya untuk memilih gaya hidup Islami dalam menjalani hidup dan kehidupan-nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah berikut ini:
Artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108).

Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa bergaya hidup Islami hukumnya wajib atas setiap Muslim, dan gaya hidup jahili adalah haram baginya. Hanya saja dalam kenyataan justru membuat kita sangat prihatin dan sangat menyesal, sebab justru gaya hidup jahili (yang diharamkan) itulah yang melingkupi sebagian besar umat Islam. Fenomena ini persis seperti yang pernah disinyalir oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَفَارِسَ وَالرُّوْمِ. فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَـئِكَ. (رواه البخاري عن أبي هريرة، صحيح).
Artinya: “Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengikuti jejak umat beberapa abad sebelumnya, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta”. Ada orang yang bertanya, “Ya Rasulullah, mengikuti orang Persia dan Romawi?” Jawab Beliau, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z, shahih).

Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَتَتَّبِعَنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. قَالَ: فَمَنْ. (رواه البخاري عن أبي سعيد الخدري، صحيح).
Artinya: “Sesungguhnya kamu akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu mengikuti mereka”. Kami bertanya,”Ya Rasulullah, orang Yahudi dan Nasrani?” Jawab Nabi, “Siapa lagi?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri z, shahih).

Hadits tersebut menggambarkan suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian Islamnya karena jiwa mereka telah terisi oleh jenis kepribadian yang lain. Mereka kehilangan gaya hidup yang hakiki karena telah mengadopsi gaya hidup jenis lain. Kiranya tak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari kehilangan kepribadian dan gaya hidup Islami. Sebab apalah artinya mengaku sebagai orang Islam kalau gaya hidup tak lagi Islami malah persis seperti orang kafir? Inilah bencana kepribadian yang paling besar.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. (رواه أبو داود وأحمد عن ابن عباس)
Artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu hasan).

Menurut hadits tersebut orang yang gaya hidupnya menyerupai umat yang lain (tasyabbuh) hakikatnya telah menjadi seperti mereka. Lalu dalam hal apakah tasyabbuh itu?

Al-Munawi berkata: “Menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian mereka, berlaku/berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat mereka”.
Tentu saja lingkup pembicaraan tentang tasyabbuh itu masih cukup luas, satu di antara berbagai bentuk tasyabbuh yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian Muslimah. Mungkin kita boleh bersenang hati bila melihat berbagai mode busana Muslimah telah mulai bersaing dengan mode-mode busana jahiliyah. Hanya saja masih sering kita menjumpai busana Muslimah yang tidak memenuhi standar seperti yang dikehendaki syari’at.

Busana-busana itu masih mengadopsi mode ekspose aurat sebagai ciri pakaian jahiliyah. Adapun yang lebih memprihatinkan lagi adalah busana wanita kita pada umumnya, yang mayoritas beragama Islam ini, nyaris tak kita jumpai mode pakaian umum tersebut yang tidak mengekspose aurat. Kalau tidak memper-tontonkan aurat karena terbuka, maka ekspose itu dengan menonjolkan keketatan pakaian. Bahkan malah ada yang lengkap dengan dua bentuk itu; mempertontonkan dan menonjolkan aurat. Belum lagi kejahilan ini secara otomatis dilengkapi dengan tingkah laku yang -kata mereka- selaras dengan mode pakaian itu. Na’udzubillahi min dzalik.

Marilah kita takut pada ancaman akhirat dalam masalah ini. Tentu kita tidak ingin ada dari keluarga kita yang disiksa di Neraka. Ingatlah, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا؛ قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَتُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا. (رواه مسلم عن أبي هريرة، صحيح).
Artinya: “Dua golongan ahli Neraka yang aku belum melihat mereka (di masaku ini) yaitu suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuk itu. (Yang kedua ialah) kaum wanita yang berpakaian (tapi kenyataan-nya) telanjang (karena mengekspose aurat), jalannya berlenggak-lenggok (berpenampilan menggoda), kepala mereka seolah-olah punuk unta yang bergoyang. Mereka itu tak akan masuk Surga bahkan tak mendapatkan baunya, padahal baunya Surga itu tercium dari jarak sedemikian jauh”. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah, shahih).
Jika tasyabbuh dari aspek busana wanita saja sudah sangat memporak-porandakan kepribadian umat, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam. Sebab di luar sana sudah nyaris seluruh aspek kehidupan umat bertasyabbuh kepada orang-orang kafir yang jelas-jelas bergaya hidup jahili.
Sebagai penutup, mari kita memperhatikan, merenungi dan mentaati salah satu ayat dari firman Allah yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim: 6).

Jangan Asal Gaya

Dalam sebuah perkuliahan, seorang dosen bertanya secara retoris kepada mahasiswanya. “Kamu tahu apa arti tulisan di kaosmu?”. Sang mahasiswa segera mengecek tulisan di bagian depan kaosnya dan menjawab setelah berfikir beberapa saat. “Hmm..persetan dengan donat?”. “Secara harfiah, tulisan ‘Fuck with donut’ dalam kaos anda artinya bersetubuh dengan donat!” ujar sang dosen. Selanjutnya si mahasiswa tertunduk kala ditanya apakah masih merasa nyaman memakai kaos dengan tulisan tadi. Berfikirlah sekali lagi.

Hingga sekarang, sesuatu yang Barat masih dipandang maju/modern, civilize dan sentral. Karena atribut-atribut ini banyak orang menjadikan Barat pusat segala hal. Bagi negara dan masyarakat dunia ketiga, misalnya, acuan perkembangan dan kemajuan banyak menggunakan Barat sebagai parameter. Bukan hanya itu, generasi muda di negara tersebut pun menjadikan Barat sebagai acuan dalam segala hal. Khusus sebagian kalangan, dengan cara yang condong inferior atau berperasaan rendah diri, mereka mengikuti dan meniru Barat dengan membabi buta.

Mari kita amati sekeliling. Dalam berpakaian misalnya: baju minim dan ketat, tulisan provokatif dan karakter serta simbol dalam kaos yang merujuk pada kepercayaan/ideologi tertentu. Sebuah merek produk denim terkenal mengeluarkan produk “dry jeans” dan belakangan jadi gengsi tersendiri . Bahan celana atau rok ini sangat ‘jigrak’ dan kasar. Lupakan thaharah. Meski sudah terkena najis dan bertahun-tahun Anda pakai, Anda dilarang mencuci pakaian ini. Produsennya berkata, celana ini lebih tegas ‘mendefinisikan’ siapa Anda.

Kemudian dalam hal pemikiran. Konsep-konsep seperti bebas nilai, sekularisme, kontekstualisme, multikulturalisme dan masih banyak lagi secara arbitrer (sembarang) disematkan dalam banyak ranah. Gagasan pelestarian alam yang diimpor dari Barat, misalnya, terdengar lebih agung. Ironisnya, di saat yang sama, banyak orang dalam setiap obrolan selalu saja meninggalkan sampah puntung rokok dan gelas minuman.

Ada satu kata kunci yang hendak disampaikan dalam tulisan ini. Identitas. Kala Ummat Islam menguasai peradaban, bukan hanya pemikiran, bahkan kebiasaan memanjangkan jenggot pun diikuti oleh para pemikir barat di masa itu. Di saat posisi terbalik, haruskan Ummat Islam melakukan hal serupa? Tanpa harus menegasikan segala sesuatu yang Barat, kita wajib menyaring lebih bijaksana gaya hidup dan berfikir mana yang patut kita tiru. Jangan minder dan berbanggalah menjadi muslim!. Tunjukan identitas Islam kita sejelas-jelasnya. Ana muslimun qabla kulli syai’in. Saya adalah muslim, sebelum memeroleh segala (atribut) apapun. (Abdulrauf al Haris)

Karena Anak Perlu Sentuhan Jiwa

MENGESANKAN. Saya menerima naskah buku "Human Touch" dalam sebuah paket sangat tebal. Semula saya mengira paket tersebut berisi sejumlah buku yang telah terbit. Tetapi ternyata paket seukuran satu kardus 5 rim kertas HVS tersebut berisi naskah 1 judul buku yang sedang dipersiapkan penerbitannya. Istri saya terperangah, tetapi dengan segera ia antusias membaca naskah tersebut. Tak percuma buku ini ditulis sedemikian tebal. Selain kaya informasi, buku ini juga memiliki pijakan nash yang sangat kuat. Inilah kelebihan yang jarang dimiliki oleh buku-buku parenting Islami. Biasanya, jika buku tersebut memiliki pijakan nash yang kuat, ia kehilangan aktualitasnya. Bukan berarti nash yang shahih tidak bersifat aplikatif karena sesungguhnya nash itu memang untuk diterapkan, tetapi sangat jarang penulis yang mampu menariknya dalam kehidupan terkini.

Alih-alih, kadang perbincangan tentang teori maupun isu aktual terkesan hanya sebagai penguat saja sehingga dien ini terkesan minder di hadapan teori-teori terkini. Padahal seharusnya dien ini merupakan penakar bagi segala sesuatu yang datangnya kemudian, baik itu teori, teknik maupun isu terkini. Sering pula kita dapati buku-buku yang bermaksud menunjukkan ketinggian dien ini, tetapi terjebak pada sikap jumud atau sebaliknya: terlalu akomodatif terhadap hal-hal baru.Yang lebih parah, buku-buku yang judul dan kemasannya tampak Islami tidak jarang menjadikan nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah Ash-Shahihah hanya sebagai pembenar. Yang ditulis sebenarnya murni berdasarkan pendekatan yang dipilihnya, tetapi dicari-carikan nash yang tampak bersesuaian sebagai dalil. Padahal sangat berbeda dalil dengan dalih.

Buku jenis terakhir ini kadang lahir dari mereka yang awam dalam masalah dien, tetapi tidak menyadari keawamannya sehingga membuatnya sangat berani melangkah. Kadang muncul dari mereka yang sangat bersemangat dalam agama, sebegitu bersemangatnya sehingga ia kehilangan kejernihan untuk menimbang dengan baik dan hati-hati apa yang baru muncul menurut takaran dien. Kadang pula buku sejenis itu ditulis oleh mereka yang sepenuhnya sadar bahwa dirinya tidak memiliki kepatutan dalam masalah dien, tetapi ia mengabaikan hal tersebut demi meraih dunia yang secuil. Na’udzubillahi min dzaalik.

Adapun saya, termasuk bagian yang pertama. Sesungguhnya saya masih sangat awam dalam masalah dien. Kebodohan saya terutama sangat terasa manakala belajar lebih jauh di waktu-waktu berikutnya kepada orang-orang yang memang memiliki kepatutan untuk berbicara tentang dien. Inilah yang menyebabkan saya gamang ketika harus memberi kata pengantar untuk buku ini. Disamping itu, buku ini mengesankan buat saya sehingga cukup menenggelamkan saya dan menggoda diri saya untuk menulis tema-tema parenting dengan berpijak pada pembahasan yang ada di buku ini. Kadang saya tergoda untuk menulis lebih cair sesuai konteks masyarakat Indonesia sehingga terasa lebih hidup. Tetapi saya mengurungkan diri sejenak. Itu godaan yang membuat kata pengantar buku ini tak kunjung selesai.

Cakupan tema buku ini sangat luas. Sebegitu luasnya sehingga terasa sekali betapa nyaris tak ada ruang yang tersisa dalam kehidupan kita ini kecuali ada bagian yang patut kita manfaatkan dengan sungguh-sungguh untuk mendidik anak kita. Secara garis besar, penulisnya –Dr. Muhammad Muhammad Badri—telah memilah menjadi beberapa bab dalam dua jilid tebal. Saya sangat berharap agar terjemahan buku ini dapat diterbitkan dalam dua atau tiga edisi sebagai ikhtiar untuk memaksimalkan manfaatnya. Selain penerbitan sesuai edisi aslinya, yakni dua jilid tebal, buku ini sebaiknya juga terbit dalam kemasan yang lebih ringkas sehingga memudahkan orang untuk membaca dimana saja. Ini serupa dengan langkah yang saya tempuh pada buku saya trilogy "Kupinang Engkau dengan Hamdalah". Selain terbit dalam tiga jilid terpisah, yakni "Kupinang Engkau dengan Hamdalah", "Mencapai Pernikahan Barakah" dan "Disebabkan Oleh Cinta", trilogi tersebut juga terbit dalam satu jilid utuh berjudul "Kado Pernikahan untuk Istriku". Langkah ini memudahkan bagi para pembaca dengan kebutuhan berbeda-beda untuk mengambil manfaat dari buku tersebut.

Kembali berbincang tentang buku Human Touch karya Dr. Muhammad Muhammad Badri. Ada nasehat penting di jilid 2 buku ini. Kata Dr. Muhammad Muhammad Badri, “Cintailah anak-anak Anda dengan cinta yang nyata; tunjukkan kesalahan mereka dengan lembut dan santun; bersabarlah dalam menghadapi perilaku mereka; bersikaplah sesekali seakan-akan Anda mengabaikan kesalahan mereka; jadikanlah diri Anda sebagai teladan bagi mereka; gunakanlah cara dan metode yang tepat dalam melakukan itu. Gunakan bahasa cinta dan kasih-sayang.”

Ungkapan ringkas ini mengingatkan kepada kita, yakni keharusan mencintai anak-anak dengan cinta yang nyata. Banyak orangtua datang konsultasi kepada saya bermula dari tidak adanya perasaan dicintai pada diri anak. Orangtua merasa sudah tidak kurang-kurang dalam mengasuh anak, tetapi anak merasa orangtua tak peduli kepadanya. Orangtua merasa mencintai anaknya, tetapi anak tak melihat dan merasakan cinta itu secara nyata. Meski tak sedikit orangtua yang harus disadarkan betapa mereka belum mencintai anaknya dengan sungguh-sungguh. Masalahnya, bagaimana menunjukkan kepada anak agar mereka tak menganggap kita hanya bicara, melainkan lebih penting lagi mereka merasakan dan yakin bahwa kita mencintai mereka? Inilah sisi menarik buku Human Touch.

Ungkapan ringkas yang saya kutip tadi menarik untuk kita renungkan. Sebagai kata bijak, nasehat Dr. Muhammad Muhammad Badri tersebut sangat mengena. Tetapi jika kita buka lagi lembaran-lembaran sebelumnya maupun sesudahnya dari buku ini, nasehat tersebut sesungguhnya merupakan ringkasan. Melalui buku ini, ia mengajak kepada kita memahami cara dan sekaligus menuntun kita untuk mampu menggunakan metode yang tepat dalam mencintai anak secara nyata, meluruskan kesalahan dengan lembut dan santun dan mengendalikan diri agar mampu menghadapi berbagai kesalahan perilaku anak seraya meluruskannya dengan cara yang tepat.

Cinta kepada anak akan melahirkan penerimaan yang tulus terhadap mereka. Ini merupakan bekal sebagai orangtua agar dapat berlapang dada menerima mereka. Tetapi ini sekaigus dapat menggelincirkan kita untuk membiarkan kesalahan mereka. Betapa banyak anak yang akhirnya harusnya menghadapi masalah besar dalam kehidupannya bersebab hilangnya ketegasan orangtua. Mereka tidak tega mengambil tindakan karena rasa cintanya kepada anak dibiarkan menguasai tanpa kendali. Atau sebaliknya, karena ingin bersikap tegas, maka hilanglah kelembutan dalam bertutur dan bersikap. Alih-alih mau meluruskan kesalahan anak, kita justru bersikap sangat kasar. Na’udzubillahi min dzaalik. Semoga Allah Ta’ala ampuni saya atas bertumpuknya kesalahan dalam mengasuh anak-anak yang Allah Ta’ala amanahkan kepada saya. Semoga Allah Ta’ala ampuni kita semua.

Meluruskan Kesalahan Anak

Tentang meluruskan kesalahan anak, Dr. Muhammad Muhammad Badri mengingatkan, “Kita memulai dengan member tahu anak sisi-sisi negatif perilaku itu, lalu mengajaknya berdiskusi sewaktu ia tenang, santai dan antusias. Kita memulai dialog dengan pujian terhadap budi pekertinya yang pantas dipuji.”

“Ketika mereka berbuat salah,” kata Dr. Muhammad Muhammad Badri, “kita beri mereka kesempatan untuk mendengar tentang perbuatan mereka dengan tenang dan mencerahkan. Sebab, mungkin saja mereka tidak mengetahui dampak negatif dari kesalahan mereka, ataupun dampak positif dari tindakan yang benarm lantaran kita belum pernah member tahunya. Semestinya, kita mencela diri kita sendiri; itu baru adil namanya.”

Inilah yang perlu kita renungkan. Betapa mudah mencela anak, dan betapa sulit mencela diri sendiri. Padahal awalnya diri sendiri. Di buku ini, terasa sekali betapa pentingnya membenahi diri sendiri sebagai bekal untuk mengasuh dan mendidik anak, termasuk dalam meluruskan kesalahan maupun menumbuhkan ketaatan anak kepada orangtua. Begitu pun tatkala kita ingin memotivasi anak.

Mari kita simak bagian lain buku ini. Bacalah dengan seksama nasehat indah berikut ini, “Tentu saja untuk dapat member motivasi yang baik kepada anaknya, seorang ibu harus terlebih dulu mengetahui cara mengendalikan dirinya sendiri agar motivasi yang disampaikan kepada anak tidak berubah menjadi pelampiasan marah. Lagi pula, ketika memberi semangat atau dorongan kepada anak, seorang ibu harus menyadari sepenuhnya akan masa depan si anak karena setiap umpatan dan amarah yang ditumpahkan kepada anak hanya menumbuhsuburkan sikap membangkang, keras kepala, nakal, dengkiri, dan sebagainya. Bukan hanya itu, amarah orangtua juga mengubur kecenderungan anak untuk bersikap berani dan kreatif. Bahkan terkadang akibat amarah orangtua terhadap anak jauh lebih pahit dari yang kita bayangkan.”

Kemampuan memotivasi anak dengan motivasi yang benar; motivasi yang semakin menguatkan keyakinannya kepada Allah Ta’ala dan terbebas dari kesyirikan, sangat penting untuk kita miliki bukan hanya untuk memacu mereka agar bersungguh-sungguh dalam kebaikan. Motivasi juga perlu kita berikan untuk menguatkan hati mereka menerima kritik. Kata Dr. Muhammad Muhammad Badri, “Ketika menyampaikan kritik kepada anak, hendaklah Anda menyandingkannya dengan pemberian motivasi sambil terus menanamkan harapan ketika datang masa sulit.”

“Contohnya,” katanya lebih lanjut, “adalah penting untuk meyakinkan anak bahwa nilai yang buruk dalam ujian tidak identik dengan kegagalan atau kekalahan yang tidak terampuni. Nilai buruk hanyalah sebuah pertanda buruk sehingga ia harus dihadapi dengan upaya sungguh-sungguh untuk meraih nilai yang lebih baik.”

Selain motivasi, kita juga perlu memberi mereka inspirasi. Salah satu cara menginspirasi yang baik adalah menuturkan kisah kepada mereka. Melalui cara ini, kita berusaha menanamkan nilai-nilai kepada mereka. Kita mengajarkan din al-Islam ini melalui cerita, menyampaikan pertanyaan yang mengena, mengilustrasikan dengan gambar atau diagram dan berbagai cara lain yang memiliki pijakan syar’i. Nah, inilah yang perlu kita pelajari dari buku ini.

Pembahasan lain yang rasanya tak boleh kita lewatkan dari buku Human Touch adalah bagian II jilid 2 yang bertajuk: Jika Anda Ingin Dipatuhi. Sebagaimana tercermin dari judulnya, bagian ini mengajak kita menggali apa saja yang kita perhatikan agar anak-anak patuh kepada kita. Kita perlu bersungguh-sungguh mempelajari bagian ini, bukan terutama agar kita dapat menjadi orangtua efektif. Ada hal lebih penting lagi, yakni bagaimana mengantarkan anak dan menjaga mereka agar berada di jalan yang benar; jalan yang Allah Ta’ala ridhai dan tidak menjatuhkan mereka dalam kedurhakaan sehingga Allah Ta’ala murka kepada mereka.

Terakhir, tampaknya sepele tapi sungguh ia merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini adalah do’a. Sebaik apa pun kita mendidik anak, ada yang tak dapat kita abaikan, yakni ketulusan dan kesungguhan memohon pertolongan, penjagaan dan perlindungan Allah ‘Azza wa Jalla dari segala keburukan, yang tampak maupun tak tampak. Sungguh, tiada daya dan upaya selain semata-mata karena Allah Tuhan Seru Sekalian Alam. Sungguh, Dia yang menggenggam hati manusia sebagaimana Dia mengggenggam seluruh yang ada di alam semesta ini.

Seyakin apa pun kita terhadap upaya kita, kita tetap tidak sanggup menggenggam hidup kita sendiri. Lebih-lebih kehidupan anak-anak kita, cucu kita dan keturunan kita berikutnya. Maka kepada Allah ‘Azza wa Jalla kita sungkurkan kening, mengakui kehinaan diri dan memohon dengan penuh pinta kepada-Nya.

Demikianlah. Semoga buku ini menjadi kebaikan bagi yang menulis,menerjemah, menerbitkan maupun yang membaca. Semoga Allah Ta’ala jadikan kita dan keturunan kita seluruhnya termasuk golongan orang-orang beriman; golongan yang Allah Ta’ala berikan sebaik-baik perlindungan di Yaumil-Qiyamah. Allahumma amin. (Ust Mohammad Fauzil Adhim/http://www.hidayatullah.com/read/21847/23/03/2012/karena-anak-perlu-sentuhan-jiwa.html)

Kamis, 22 Maret 2012

Konsep Keluarga Islam: Lebih Indah

Cendekiawan Muslim terkenal, Dr. Lamya’ al-Faruqi, mengkritisi gagasan ‘kesetaraan’ dalam segala hal yang kini digembar-gemborkan di mana-mana. Islam, menurutnya, memiliki konsep yang berbeda tentang laki-laki dan perempuan. Islam mendudukan perempuan setara dengan laki-laki tetapi dengan tetap mengakui adanya perbedaan di antara dua makhluk ini. Konsep persamaan dan perbedaan dalam Islam mengakui adanya dua jenis kelamin (dual sex) dalam masyarakat dimana setiap jenis dibebani tanggung jawab yang berbeda.

Konsep masyarakat seperti ini menjamin berfungsinya masyarakat secara sehat. Laki-laki dibebani tanggung jawab bersifat ekonomi sedang perempuan dibebani tanggung jawab di bidang lain. Sedangkan konsep Barat menciptakan masyarakat unisex. Yaitu masyarakat yang mendewakan peran laki-laki serta merendahkan peran perempuan, sehingga perempuan dipaksa untuk menyerupai laki-laki. Di dunia pekerjaan, mereka harus melakukan segala hal untuk memenuhi kehidupan mereka, meskipun harus menghinakan diri. (Lamya’ Al-Faruqi, ‘Ailah, Masa Depan Kaum Wanita, 1997: 93).

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, para tokoh feminis liberal menyebarkan ajaran yang menyerang institusi keluarga dengan melontarkan pernyataan yang cukup bombastis. Brigitte Berger dan Peter Berger dalam buku mereka ‘The War over of Family: Capturing the Midle Ground’, mengungkap sejumlah pernyataan para tokoh feminis: “ibu rumah tangga adalah perbudakan perempuan” (housewife is women’s slavery), “heteroseksual adalah perkosaan” (heterosexual is rape), “pro-choice”, “menentang pernikahan” (against marriage). (Dikutip dari Dadang S. Anshori, Engkos Kosasih, dan Farida Sarimaya (edit), Membincangkan Feminisme, 1997:170.

Selanjutnya, para feminis radikal, liberal, dan Marxis merumuskan sebuah keluarga yang ideal. Kata mereka, keluarga ideal haruslah keluarga tanpa kelas dan mengangkat semangat kesetaraan. Mereka juga mengusulkan penghapusan dua sumber penindasan yaitu, peran wanita dalam rumah tangga (domestic) dan sistem patriaki yang menempatkan laki-laki pada posisi yang menguntungkan. Untuk menguatkan opini mereka, dibuatlah buku pelajaran sekolah yang menampilkan gambaran perempuan yang menerbangkan pesawat, sedang anak laki-laki digambarkan sedang mengepel lantai. Selain itu, gambaran perempuan yang mandiri dan tidak membutuhkan laki-laki disebarkan lewat rubik koran yang mendukung ibu tunggal. (Danelle Crittenden, Wanita Salah Langkah? Menggugat Mitos-Mitos Kebebasan Wanita Modern, 2002: 40.)

Islam memandang keluarga sebagai suatu ikatan yang positif antara laki-laki dan perempuan. Ikatan pernikahan dalam Islam menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga antara kedua makhluk itu melakukan kerjasama untuk memenuhi kewajiban mereka. Dalam kondisi seperti ini, secara otomatis hak-hak mereka terpenuhi. Di Barat, model ‘pernikahan sederajat’ tidak mengakui adanya pemimpin maupun bawahan dalam rumah tangga. Dalam model ini, hubungan antara suami dan istri adalah hubungan kemitraan. Pembagian kerja dalam keluarga ditetapkan berdasarkan kesepakatan sebelum nikah. Inilah yang diusulkan sebagian kaum feminis, suatu bentuk ‘kawin kontrak’ (marriage contract). Dalam konsep ini, suami tidak dianggap sebagai kepala keluarga dan kewajiban mencari nafkah dilakukan bersama-sama.

Islam menetapkan adanya struktur dalam keluarga sebagaimana struktur di masyarakat. Seorang suami menjadi pemimpin keluarga yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi semua anggota keluarga. Beban kewajiban suami ini sebanding lurus dengan amanah kekuasaan yang diembannya, sebagai pemimpin. Perbedaan peran dalam setiap anggota keluarga menimbulkan sikap saling membutuhkan sehingga tercipta keserasian. Selain itu, ketaatan istri dan anak selalu diikat dengan ketaatan kepada Allah, sehingga tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Ketaatan semacam ini membawa pada ketenangan, karena didasari pada keyakinan akan ibadah kepada Allah SWT.

Tapi, kaum feminis liberal memandang, ibu rumah tangga merupakan penjara bagi seorang perempuan untuk mengembangkan diri. Mereka menggambarkan ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tertinggal, menjadi makhluk inferior, dan menderita. Untuk itu para perempuan lebih suka melakukan aborsi daripada menjadi seorang ibu. Menurut data Centers for Disease Control (CDC), jumlah aborsi antara tahun 2000-2005 mencapai angka 850.000. Data ini merupakan aborsi yang dilakukan secara legal padahal aborsi yang dilakukan secara illegal juga berjumlah besar.

Besarnya jumlah aborsi dan keengganan wanita menjadi ibu menjadikan Barat mengalami krisis generasi. Salah satu tokoh yang membahas masalah ini adalah George M. Barrow. Dia menulis buku yang berjudul Aging the Individual and Society. Dalam buku itu, disebutkan dua alasan yang menyebabkan barat mengalami krisis generasi. Pertama, tingginya angka harapan hidup dan kedua menurunnya angka kelahiran. (Georgia M. Barrow, Aging the Individual and Society, Amerika: West Publishing Company, tt. hal. 15)

Pendapat feminis ini berbeda dengan ajaran Islam. Islam telah mendudukkan ibu dalam posisi yang mulia dalam struktur keluarga. Perintah untuk menghormati kedua orang tua, Allah kaitkan dengan perjuangan seorang ibu yang dengan segenap kasih sayang dan kekuatannya melahirkan dan mendidik anak. Meskipun pemimpin dalam keluarga adalah seorang suami atau ayah, tetapi ibu adalah orang yang paling utama untuk dihormati dan disayangi. Ibu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu.

Kehidupan bebas yang terlalu menekankan pada hak-hak anak di Barat membolehkan seorang anak menuntut emansipasi ke pengadilan, yaitu kebebasan anak secara mutlak dimana orang tua tidak boleh melarang maupun memerintah. Selain emansipasi, anak juga memiliki kebebasan melakukan hubungan seksual di luar nikah ketika menginjak usia dewasa. Kehidupan bebas dan tidak adanya ikatan antara orang tua dan anak menyebabkan nasib wanita tua begitu malang. Dia ditinggal oleh pasangan mereka karena tidak menarik lagi secara seksual, di saat yang sama anak-anak sibuk dengan kebutuhan diri mereka sendiri. Keadaan yang menyedihkan ini bisa dilihat dipanti-panti jompo yang kini menyebar di berbagai belahan dunia. (M. Sa’id Ramadhan al-Buthi, Perempuan antara kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam, 2002:15)
Kini, lihat konsep anak dalam Islam! Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban-kewajiban terhadap orang tua mereka.

Tugas-tugas mereka antara lain; mentaati kedua orang tua selama tidak memerintahkan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah; mereka harus mendahulukan permintaan ibu daripada ayah. Selain itu, mereka harus mendo’akan kedua orang tua baik ketika mereka masih hidup atau sudah meninggal dunia serta memperlakukan orang tua dengan penuh kasih sayang.

Pola kehidupan yang saling melengkapi ini bisa terwujud dengan adanya konsep perbedaan kewajiban dan hak antara anggota keluarga dalam Islam. Konsep ini sangat indah, bagi orang-orang yang mau berpikir dan mengakui dirinya adalah ciptaan dan hamba Allah Subhanallah Wa Ta'ala. (***)
(Dikutip dari tulisan Ust Warsito di Jurnal ISLAMIA Republika/http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=312:konsep-keluarga-islam-lebih-indah)

Rabu, 21 Maret 2012

Gender

Tidak adil” dan “tertindas” adalah dua bekal gerakan feminism dan kesetaraan gender. Wanita diseluruh dunia ini dianggap tertindas dan diperlakukan secara tidak adil. Wajah peradaban umat manusia memang diwarnai oleh dua kata tersebut. Tapi masing-masing peradaban memiliki solusi masing-masing.
Islam lahir disaat peradaban jahiliyah tidak dan salah menghargai wanita. Anak wanita yang tidak dikehendaki harus dikubur hidup-hidup. Tapi wanita saat itu juga berhak menikah dengan 90 orang suami. Keperkasaan Hindun, otak pembunuhan Hamzah, sahabat Nabi, adalah bukti keperkasaan wanita.

Itulah sebabnya tidak ada alasan bagi Islam untuk menyamakan hak laki dan wanita secara mutlak 50-50. Misi Islam tidak hanya membela wanita tertindas tapi juga mendudukkan wanita pada tempatnya. Meletakkan sesuatu pada tempatnya, dalam Islam, disifati sebagai adil. Islam justru meneguhkan hubungan laki dan wanita dengan merujuk pada watak dasar biologis dan implikasi sosialnya.

Barat lahir disaat wanita ditindas dan diperlakukan secara tidak adil. Sebutan feminis, konon memiliki akar kata fe-minus. Fe artinya iman, minus artinya kurang. Feminus artinya kurang iman. Terlepas dari sebutan itu, yang pasti nasib wanita di Barat sungguh buruk. Mayoritas korban inquisisi adalah wanita. Wanita dianggap setengah manusia. Contoh kasus penindasan tidak sulit untuk ditelusur lebih lanjut.

Dari negara-negara Barat solusi tidak lahir dari ajaran agama. Solusinya datang dari tuntutan masyarakat wanita, berbentuk gerakan feminisme. Mulanya hanya ingin memberantas penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan. Tapi, tidak puas dengan itu, para feminis di London tahun 1977 merubah strategi. Mungkin mengikuti teori Michael Foucault, feminism bisa menghemoni dunia dengan menjual wacana gender (gender discourse). Persis seperti Amerika memberantas teroris. Biaya meliberalkan pikiran umat Islam lebih murah dibanding biaya menangkap teroris.

Nalarnya cemerlang, penindasan dipicu oleh pembedaan dan pembedaan disebabkan oleh konstruk sosial, bukan faktor biologis. Jadi, target wacana gender adalah merubah konstruk sosial yang membeda-bedakan dua makhluk yang berbeda itu.

Konon, gender juga membela laki-laki yang tertindas, tapi ketika wacana ini masuk PBB tahun 1975 konsepnya berjudul Women in Development (WID). Sidang-sidang di Kopenhagen (1980), Nairobi (1985), dan Beijing (1995) malah meningkat menjadi Convention for Eliminating Discrimination Against Women (CEDAW), bukan CEDAM. Namun, ketika dijual ke pasar internasional programnya diperhalus menjadi Gender and Development. Dan ketika menjadi matrik pembangunan menjadi Gender Development Index (GDI). Suatu Negara tidak bisa disebut maju jika peran serta wanita rendah. Untuk mengukur peran politik dan social lain wanita dibuatlah neraca Gender Empowerment Measure.

Indonesia, tak ketinggalan segera ikut arus. Pemerintah lalu membuat Inpres No.9/2000 tentang pengarus utamaan Gender dalam pembangunan. Kini bahkan sudah akan menjadi undang-undang. Padahal enam Peraturan Pemerintah, empat Peraturan dan satu Instruksi Menteri serta satu kebijakan Kementerian tidak berjalan. Tidak semua wanita menginginkan kesetaraan.

Memang preseden historis gerakan ini memang hanya di Barat. Gerakan seperti ini tidak pernah ada dalam sejarah Islam. Tapi, wacana ini tiba-tiba menjadi universal dan menjelma menjadi gerakan internasional dan wajib diikuti oleh umat Islam. Bahkan ketika wacana kesetaraan gender ini disorotkan kepada agama-agama semua agama seperti diam. Semua agama bias gender. Nyatanya memang dalam Islam tidak ada Nabi wanita, dalam Katholik tidak pernah ada Paus wanita. Juga sami dalam Hindu, Bhiksu dalam Buddha adalah laki-laki.

Ketika Negara-negara di dunia diukur prosentase kesetaraan gendernya, tidak ada satu negarapun yang dapat mencapainya secara sempurna. Jika pun tercapai tidak menjadi indikasi bahwa Negara itu maju. Keterlibatan wanita di negara Cuba dibanding Jepang terbukti lebih tinggi, tapi tidak terbukti Jepang lebih mundur. Bahkan Indonesia lebih besar dari Jepang atau sama, tapi tidak ada pengaruh pada kemajuan.

Di Indonesia wanita-wanita di kampung dianggap tertindas karena mereka mengerjakan kerja laki-laki. Tapi di Pakistan, khususnya di kawasan utara, wanita tidak boleh bekerja dan hanya tinggal dirumah. Ini pun dianggap tertindas.

Masyarakat Islam secara konseptual maupun historis tidak menjunjung konsep kesetaraan 50-50. Dihadapan Tuhan memang sama, tapi Tuhan tidak menyamakan cara bagaimana kedua makhluk berlainan jenis kelamin ini menempuh surgaNya. Meski tidak berarti peran wanita dalam Islam dikalahkan oleh laki-laki, Islam mengatur peranaan sosial wanita dari aspek yang paling mendasar yiatu biologis. Sebab dalam konsep Islam aspek biologis terkait erat dengan aspek psikologis dan bahkan saling mempengaruhi.

Bahkan, seperti dikutip Ratna Megawangi, Time edisi 8 Maret 1999 memuat artikel berjudul The Real Truth About Women Bodies. Ide pokoknya wanita secara alamiyah, biologis dan genetik memang berbeda. Tidak mudah merubah factor ini dalam kehidupan social wanita. Maka dari itu perjuangan meraih kesetaraan gender bukan hanya tidak mungkin tapi juga tidak realistis.

Jika demikian adanya, kita berhak bertanya. Apakah gerakan pengarus utamaan gender benar-benar untuk membela kepentingan wanita sesuai aspirasi dan kodratnya? Ataukah hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan tren kultural dan ideologis dunia yang kini dibawah hegemoni Barat? Pendek kata apakah wanita benar-benar memerlukan kesetaraan?

Bagi Muslim apa yanag salah pada gerakan ini? Salahnya ketika merubah konstruk sosial, agama tidak diperdulikan. Tafsir-tafsir para pemikir liberal bersifat sepihak, tendensius dan melawan arus para mufassir yang otoritatif dalam tradisi ulama Islam. Jika para anggota DPR meluluskan undang-undang ini tanpa mempertimbangkan dampak keagamaan maka Undang-undang itu dijamin sedang menabur angin dan segera menuai badai. Wallahu a’lam. (Dicopas dari tulisan Ust Hamid Fahmi Zarkasyi,PhD di http://insistnet.com)