Senin, 24 September 2012

NIKAH MUT’AH=ZINA KONTRAK


Mungkin para pembaca pernah membaca dan mendengar berita tentang seorang wanita berpenampilan islami mengidap penyakit Gonore? Gonore adalah penyakit kelamin yang   biasa menimpa orang  yang terbiasa gonta-ganti pasangan dalam hubungan sex.  Dokter yang didatangi oleh wanita tersebut  mengungkap, wanita tersebut adalah pengikut aliran syi’ah yang menghalalkan nikah mut’ah (kawin kontrak). Apa itu  Mut’ah (kawin kontrak)?  Dan bagaimana pandangan Islam tentang mut’ah? Simak ulasannya berikut ini.

 Nikah mut’ah adalah seseorang laki-laki menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu. Pernikahan ini berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut tanpa adanya perceraian, juga tidak ada kewajiban nafkah dan tempat tinggal serta tidak ada waris-mewarisi diantara keduanya apabila salah satunya meninggal sebelum berakhirnya masa pernikahan. Pernikahan ini juga tidak mensyaratkan adanya saksi, tidak disyaratkan adanya ijin dari bapak atau wali, dan status wanitanya sama dengan wanita sewaan atau budak.

Hukum Nikah Mut’ah.

Nikah mut’ah dihalalkan pada  masa jahiliyah dan  pada  awal Islam, lalu diharamkan pada perang Khaibar. Tetapi kalangan Syi’ah mengklaim bahwa yang mengharamkannya adalah Umar bin Khathab bukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sehingga para penganut syi’ah meyakini mut’ah sebagai sesuatu yang halal. Padahal yang benar adalah bahwa nikah mut’ah telah diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Khaibar. Umar bin Khathab hanya meriwayatkan, Rasulullah telah mengharamkannya. Umar mengatakan, “Pada hari Khaibar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengharamkan keledai peliharaan dan nikah mut’ah”.

Pengharaman nikah mut’ah oleh Rasulullah tidak hanya diriwayatkan oleh Umar, tetapi diriwayatkan pula oleh Sahabat yang lain termasuk Ali bin Abi Thalib yang dianggap Imam oleh orang-orang Syi’ah. Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma,”Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang nikah mut’ah dan melarang makan keledai jinak pada waktu perang Khaibar” (HR Muslim).
Mut’ah; Aneh binti Ajaib
Mut’ah adalah ajaran yang aneh binti ajaib, bertentangan dengan dalil naqli dan aqli. Mut’ah bertentangan dengan konsep nikah dalam syari’at Islam. Berikut beberapa kejanggalan dalam zina berkedok nikah ini yang merujuk kepada buku-buku referensi syi’ah seperti; Al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, dan Wasailusy Syi’ah).

1.    Tidak ada Batasan Jumlah Istri
Dalam Islam seorang pria diperbolehkan menikahi lebih dari satu wanita, maksimal sampai empat (berdasarkan QS An Nisa:2). Tetapi dalam nikah mut’ah ala Syi’ah seseorang dibolehkan menikahi lebih empat wanita. Bahkan meskipun seseorang telah menikahi empat wanita secara permanen ia boleh menikahi wanita lain secara mut’ah (kontrak). Sebab dalam pandangan Syi’ah wanita yang dinikahi secara mut’ah adalah wanita yang dikontrak. Sehingga dibolehkan mengumpulkan seribu wanita atau lebih. Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, “Aku bertanya tentang mut’ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri?” Jawabnya, “Menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan.” (Al-Kafi, Jilid: 5, Hal. 452).

2.    Mahar Nikah Mut’ah
Untuk mempermudah pemeluknya melakukan mut’ah, Agama Syi’ah memberikan kemudahan dalam persoalan upah (mahar) nikah mut’ah. Dalam nikah mut’ah cukup membayar satu dirham ,segenggam makanan, atau seteguk air. Dari Abu Bashir dia berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut’ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut’ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum, atau kurma.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal. 457). Semua tergantung kesepakatan antara dua belah pihak. Sangat cocok bagi mereka yang berkantong terbatas, bisa memberikan mahar dengan mentraktir makan siang di  warung Soto  atau nasi uduk  pun jadi.

3.    Bila Ingin Memperaharui Kontrak (Mut’ah) Maka Harus Menambah Upah
Syi’ah  benar-benar memperlakukan wanita yang dipersistri secara mut’ah sebagai komoditi. Jika masa kontrak telah selesai dan suami hendak melanjutkan kontrak maka dia harus menambah upah diluar upah yang diserahkan pada awal akad. Sebab, masa nikah mut’ah (kontrak) telah habis dan telah ditutup lembaran kontrak wanita tadi , dan akan dimulai kontrak baru. Seorang tokoh Syi’ah bernama Abu Ja’far mengatakan: “Bila telah habis masa nikah mut’ah, maka otomatis keduanya akan berpisah tanpa talak. Bila ia mau, maka boleh menambah maharnya, baik sedikit maupun banyak”. (Man Laa Yahdhuruhu al Faqih 2/500

4.    Boleh Nikah Mut’ah dengan Seorang Wanita Berkali-kali

Dalam Islam seorang suami tidak boleh kembali kepada istri yang telah dicerainya sebanyak empat kali kecuali bila istri telah menikah dengan pria lain kemudian dicerai kembali. Akan tetapi  hal ini tidak berlaku dalam nikah mut’ah. Menurut agama Syi’ah seorang laki-laki boleh nikah mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali, meski mecapai hitungan seribu kali  dan dilakukan bersamaan  dengan wanita lainnya. Musa bin Ja’far (tokoh Syi’ah) pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang  wanita secara mut’ah, berapa kali ia boleh mengulangi nikah dengan wanita tadi? Ia menjawab, ‘Sesuka hatimu’ (Wasaailusy Syi’ah,16/480).

5.    Keutamaan Nikah Mut’ah?

Para penganut Syi’ah tidak hanya menghalalkan nikah mut’ah. Lebih dari itu mereka menganggap mut’ah sebagai sebuah kemuliaan. Mereka memotivasi untuk melakukan mut’ah dengan membuat hadits-hadits palsu. Mereka berani berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Ulama Syi’ah, Sayyid Fathullah Al Kasyani meriwayatkan dalam tafsir Manhaj Ash Shadiqin, Nabi bersabda:” Barangsiapa yang melakukan mut’ah satu kali, maka ia seperti derajat Husain ‘alaihissalam. Barangsiapa melakukan mut’ah dua kali maka ia seperti derajat Hasan ‘alaihissalam. Barangsiapa yang melakukan mut’ah tiga kali, maka derajatnya seperti  derajat Ali bin Abi Thalib, dan barangsiapa melakukan mut’ah empat kali maka derajatnya seperti derajatku.

Ini  merupakan kedustaan atas nama Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam dan  juga pelecehan terhadap kedudukan Rasulullah,Ali, dan anak keturunannya. Apakah seorang laki-laki jahat dapat mencapai derajat seperti Husain hanya dengan sekali mut’ah? Atau jika ia mut’ah dua,tiga, tau empat kali, apakah derajatnya   akan menyamai derajat Hasan, Ali, dan Nabi Muhammad? Apakah kedudukan Nabi Muhamad dan sahabatnya sehina ini?

Sesungguhnya kedudukan Hasan dan  Husain beserta ayahnya (Ali) dan kakeknya (Nabi)  sangat mulia dan tinggi. Derajat mereka tidak akan dicapai oleh siapapun, sehebat apapun kwalitas keimanannya. Akan tetapi di kalangan syi’ah kedudukan yang mulia tersebut dapat diraih dengan cara nista; zina berkedok agama bernama mut’ah atau zina kontrak.
 Seorang mantan syi’ah bernama Sayyid Husain Al Musawi menceritakan, “Semangat untuk mendapatkan pahala, maka para Ulama kota ilmu Najaf, seluruh wilayah Husainiyat dan wilayah-wilayah lain para ima melakukan mut’ah dengan banyak wanita khususnya Sayyid Shadr, Barwajardi, Syairazi,Qazwani, Thabthabai dan Sayid Madani serta para pemuda belia, Abu Harits Al Yasiri dan yang lainnya, mereka semua melakukan nikah mut’ah setiap hari dengan harapan mendapatkan pahala dan berdapingan dengan Nabi di sorga”.

6.    Tidak Ada Hak Waris Bagi Istri Yang Dimut’ah.
Dalam  pernikahan permanen yang sesuai syari’at Islam bila salah seorang dari pasangan suami-istri meninggal maka keduanya akan saling mewarisi. Namun dalam agama Syi’ah istri yang dinikahi secara mut’ah tidak mendapatkan hak waris dari pria yang me-mut’ah-inya. Abu Ja’far (tokoh Syi’ah) menyebutkan: “Tidak ada hak waris antara keduanya bilamana salah seorang dari keduanya meninggal dalam rentang waktu nikah mut’ah”. (Man Laa Yahdhuruhu al Faqih 2/150). Jadi  dalam mut’ah meskipun seorang wanita bersuamikan pria tajir kaya raya, ia tidak akan medapatkan harta warisan dari pria yang memut’ahinya. Karena memang ia hanya wanita kontarakan, bukan istri beneran.

Sebenarnya masih ada beberapa kejanggalan lain dalam nikah mut’ah (Seperti; Boleh menikah dengan wanita bersuami, Boleh nikah mut’ah dengan para pelacur, Boleh saling pinjam meminjam istri, Tidak ada hak waris dalam nikah Mut’ah, dll). Namun  dicukupkan sampai di ini. Para pembaca dapat membaca penjelasan secara terperinci pada buku “Katanya Nikah, Ternyata Zina” karya Syekh Muhammad Malullah. 
Sumber Bacaan:
1.    Mengapa Saya Keluar dari Syi’ah karya Sayyid Husain al Musawi (mantan pengikut Syi’ah), Pustaka Al Kautsar Jakarta.
2.     Katanya Nikah  Ternyata Zina, Membedah Kejanggalan Ajaran Nikah Mut’ah ala Syi’ah, karya Syekh Muhammad Malullah, Penerbit; Multazam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar