Kamis, 28 November 2013

MENGAJARKAN AQIDAH DENGAN METODE RABBANI (1)

Mentauhidkan Allah dalam ibadah adalah tujuan utama diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Terj. QS. adz-Dzaariyaat: 56).

Oleh karena itu da’wah tauhid merupakan tujuan dasar diutusnya para nabi dan rasul. Firman Allah: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut  itu."(terj. QS. an-Nahl: 36).

Selain itu Tauhid juga merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan AllahAzza wa Jalla kepada umat Islam. Karena Dialah sumber kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat.

Di samping itu Tauhid juga merupakan sebab 'ishmah/perlindungan di dunia. Dengannya jiwa dan harta seorang muslim dilindungi, sekaligus menjadi bukti'aqd/ikatan Islam padanya. Inilah makna sabda Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam:Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaha illallah,siapa saja mengucapkanLaa ilaha illallahterpeliharalah darah dan hartanya; terkecuali kalau ada sesuatu hak Islam. Dan hisabnya diserahkan kepada Allah." 
Dan di akhirat, tauhid menjadi penyelamat dari api neraka. Firman AllahAzza wa Jalla: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (terj.QS. al-Maidah: 72)

Sebuah ibadah dan ketaatan hanya diterima jika dilakukan dengan ikhlas hanya karena Allah semata. Firman AllahAzza wa Jalla: “Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya”. (terj. QS. al-Kahfi: 110)

Allah juga befirman:"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi."(QS. 39:65)

Ilmu agama yang pertama kali wajib disampaikan kepada manusia adalah tauhid. Ketika mengutus Mu'adz Ibn Jabal ke Yaman, Rasulullah berwasiat kepadanya:"Wahai Mu'adz, sesungguhnya kau akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah perkara yang pertama kali kau serukan adalah beribadah kepada Allah. Bila mereka telah beriman, maka sampaikanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam."

Tauhid juga perkara terakhir yang wajib dipertahankan, bila seseorang ingin meninggalkan dunia dengan selamat. Sabda Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam:"Siapa saja yang ucapan terakhirnya dari dunia adalah Laa Ilaaha Ilallaah, pastilah ia masuk surga."

Oleh karena kebahagiaan kaum mukmin di dunia dan akhirat tergantung pada tauhid kepada Allah, maka ia menjadi kewajiban pertama yang harus diajarkan kepadamukallaf, dan hanya dengannyalah hatinya dapat hidup, selanjutnya hendaklah tauhid dijadikan konsep hidup sehari-hari. Inilah tanggung jawab ulama dan du'at, yang dapat disampaikan melalui majelis ilmu, khutbah, karya tulis, dan beraneka ragam sarana dakwah lainnya.

Tingkat pemahaman dan kecerdasan masing-masing orang berbeda. Karenanya, hendaklah para da'i mengajarkan tauhid kepada kaum awam dengan metoderabbani. Metode ini telah dijelaskan oleh Ibn Abbas radhiyallahu 'anhmua saat menafsirkan firman Allah: Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya."(terj. QS. Ali Imran: 79)  Beliau berkata:"Rabbani adalah seorang yang mengajari manusia mulai dari ilmu mendasar, baru kemudian yang lebih tinggi."

Yang dimaksud dengan dasar ilmu adalah kaidah-kaidah universal yang jelas dan pasti. Seorang da'i harus memulai dengan kaidah-kaidah ini sebelum masuk kepada masalah parsial yang lebih rumit.
Tidaklah bijaksana jika seorang da'i memulai pengajaran materi akidah kepada masyarakat awam dengan definisi, istilah-istilah ushul, perbedaan antara sekte-sekta dalam masalah aqidah, seperti iman kepada qadha dan qadar, asma' dan shifat, dsb. Metode ini kurang tepat, sebab:

1. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh kita berbicara kepada manusia sesuai kadar nalarnya. Masyarakat awam bisanya datang ke masjid karena ingin mendengarkan mutiara nasehat penyejuk jiwa. Adapun masalah-masalah seperti di atas biarlah menjadi spesialisasi penuntut ilmu.

2. Mayoritas kaum muslim lebih membutuhkan bimbingan yang dapat menghidupkan kembali cahaya hati yang telah redup, daripada mempelajari istilah-istilah ilmiah.
Maka hendaklah seorang alim atau da'i membedakan antara metode penyampaian kepadathalib al-ilmidengan metode penyampaian kepada masyarakat awam.

Seorang da'i harus menyadari bahwatazkiyatun nafsharus dimulai dengan menambah tinggi volume iman di hati, sehingga dapat mengalahkan kekuatan nafsu yang terpendam di dalamnya. Dan inilah visi utama mayoritas da'i. Selain itu hendaklah ia berdakwah dengan topik-topik paralel dan kontiniu, yang kesemuanya bertujuan merangkul objek dakwah menuju pengetahuan tentang AllahTa'aladan tunduk sepenuhnya kepada-Nya. Dengan demikian mereka akan siap menjadikan syari'at Allah sebagai konsep hidup yang komprehensif. (http://www.albayan.co.uk/id/article.aspx?id=171). Bersambung insya Allah.

Selasa, 26 November 2013

Kenapa Tarbiyah Lewat Halaqah-halaqah Al-Qur’an? (2)

Pada tulisan sebelumnya (http://wahdahmuna.blogspot.com/2013/11/kenapa-tarbiyah-lewat-halaqah-halaqah.html), telah diuraikan tentang bahwa, [1] tarbiyah dengan al-Qur’an Merupakan Metode Rabbani yang Allah Pilih untuk dijalankan oleh  Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam dalam Al-Qur’an 3: 164), dan [2] Tarbiyah dengan al-Qur’an merupakan implementasi Bacaan yang Sebenar-benarnya (haqqa tilawatiho) terhadap Al-Qur’an (2: 121).

Ketiga, Diskripsi Negatif Al-Qur’an terhadap Penghapal Al-Qur’an namun Tidak Memahami atau Mengamalkannya

Syariat mencela penghapal Al-Qur’an yang melalaikan hukum-hukumnya serta mengabaikan pengamalannya. Dalam sebuah ayat, Al-Qur’an mengingatkan bahwa sikap tersebut adalah sikap orang-orang Yahudi.

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْـحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِـمِينَ

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”(QS. al-Jumu’ah/62: 5).

Imam al-Qurthubi menulis:“Ayat ini mengandung peringatan Allah Ta’ala terhadap orang yang menghapal Al-Qur’an agar mempelajari maknanya dan mengajarkannya, agar dia terbebas dari celaan yang menimpa kaum itu.”(al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz XVIII, h. 62).

Dari Samurah ibn Jundubradhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang mimpi yang beliau lihat, beliau bersabda,“Adapun manusia yang dipukul kepalanya dengan batu adalah orang yang membaca Al-Qur’an tapi menolaknya, dan dia tertidur hingga tidak melaksanakan shalat wajib.”(HR. Bukhari, no. 7047). Dalam redaksi lain disebutkan,“Yang aku lihat dipukul kepalanya adalah manusia yang Allah ajarkan Al-Qur’an kepadanya kemudian dia tidur di waktu malam dan tidak mengamalkannya di waktu siang.”(HR. Bukhari, no. 1386).

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala mencela manusia-manusia yang tidak mentadabburi Al-Qur’an.

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”(QS. Muhammad/47: 24).

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إلَّا أَمَانِيَّ وَإنْ هُمْ إلَّا يَظُنُّونَ

“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Alkitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.”(QS. al-Baqarah/2: 78).

Dalam tafsir disebutkan bahwa yang mereka ketahui dari Alkitab hanya bacaannya semata. (Lihat: Ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz I, h. 166). Intinya, mereka tidak mengetahui dan mengamalkan kandungannya.  Fudhayl ibn Iyadh berkata,“Al-Qur’an diturunkan semata agar diimplementasikan kandungannya, namun manusia menjadikan membaca Al-Qur’an sebagai pekerjaan.”(Al-Ajurri,Akhlaq Hamalah al-Qur’an, h. 37).
Banyak lagi ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang mencela bacaan dan hapalan Al-Qur’an semata tanpa pemahaman dan pengamalan. Orang yang membaca Al-Qur’an tidak akan mendapatkan keutamaan bila hapalannya tidak disertai dengan pemahaman dan pengamalan.
Hasan al-Bashri berkata,“Sesungguhnya Al-Qur’an ini dibaca oleh budak dan anak-anak. Mereka tidak paham artinya. Mentadabburi ayat-ayatnya hanya terwujud dengan mengamalkannya, bukan dengan menghapal sambil mengacuhkan ajarannya. Sampai-sampai ada orang yang mengatakan bahwa aku telah membaca Al-Qur’an tanpa satu huruf pun yang luput. Padahal, demi Allah, dia telah meluputkan semuanya! Al-Qur’an tidak tampak pada akhlak dan pengamalannya. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa aku membaca satu surah dalam satu nafas. Demi Allah, mereka bukanlah qurra’ sejati, bukan ulama, bukan ahli hikmah, bukan ahli wara’! Sejak kapan qurra’ seperti mereka!? Semoga Allah tidak memperbanyak manusia-manusia seperti mereka.”(Ibn al-Mubarak,al-Zuhd, h. 276).
Ibn Umar berkata,“Orang yang utama dari sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dahulu dari generasi awal umat ini hanya menghapal satu dua surah, namun mereka diberi karunia mengamalkan Al-Qur’an. Sesunggunya akhir dari umat ini akan membaca Al-Qur’an, di antara mereka anak-anak dan orang buta, namun tidak diberi karunia untuk mengamalkannya.”(Al-Qurthubi,al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I, h. 39).

Sudah seharusnyalah guru-guru Al-Qur’an mengajarkan bacaan dan kandungan Al-Qur’an. Bila tidak, pengajaran Al-Qur’an hanya akan melahirkan murid-murid yang mampu membaca namun tidak mengamalkannya. Sehingga guru-guru itu tercela dan kelak mendapat dosa juga.

Keempat, Halaqah Al-Qur’an merupakan Forum Tarbiyah yang Paling Baik
Forum tarbiyah merupakan salah satu faktor penting dalam proses tarbiyah. Di dalamnya, peserta tarbiyah berinteraksi dengan sejawatnya, memperoleh nilai-nilai tarbiyah, dan memperbaiki kekurangannya. Di dalamnya, seorang murabbi menanamkan, menumbuhkan, dan melestarikan nilai-nilai. Dalam forum tarbiyah inilah peserta tarbiyah memenuhi kebutuhannya: ruhiyah, jasad, akal, sosial, dan pemikiran. Dia mengembangkan kreasi, berpartisipasi, dan berinisiatif di sana.

Perbandingan sederhana di antara forum tarbiyah dari segi efektifitasnya menunjukkan bahwa halaqah Al-Qur’an termasuk forum tarbiyah yang sukses kalau bukan yang paling sukses. Alasannya, halaqah Al-Qur’an mengandung potensi tarbiyah yang dapat membantu guru dalam menjalankan tugasnya dengan baik.

Potensi halaqah Al-Qur’an tersebut dapat diuraikan ke beberapa segi: psikologi forum, mesjid, baitullah, kesucian tempat, tempat tamu-tamu Allah berkumpul.
Dari Jubair ibn Muth’im radhiyallahu anhu bahwa seseorang berkata,“Wahai Rasulullah, tempat apakah yang Allah paling cintai dan tempat apakah yang Allah paling benci?” “Aku tidak tahu sampai aku bertanya kepada Jibril,”jawab Rasulullah. Maka Jibril datang dan menginformasikan bahwa sebaik-baik tempat di sisi Allah adalah mesjid-mesjid dan seburuk-buruk tempat di sisi Allah adalah pasar-pasar. (al-Albani,Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 325).

Dalam hadits lain, dari Salman al-Farisi radhiyallahu anhu berkata,“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang berwudhu dan menuju mesjid maka dia adalah tamu Allah Ta’ala, dan Yang Dikunjungi berhak untuk memuliakan tamu-Nya.”(Lihat:ibid, no. 322).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alahi wasallam bersabda,“Tidaklah seseorang tinggal di mesjid-mesjid kecuali Allah akan ceria (tabasybasya) kepadanya sebagaimana orang-orang yang telah ditinggalkan kepada orang yang pergi kemudian datang kepada mereka.”(Lihat:ibid, 327).

Dari sahabat yang sama, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“. . . dan tidaklah sebuah kaum berkumpul di rumah dari rumah-rumah Allah, di sana mereka membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun ketenangan kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat melingkupi mereka, dan Allah menyebut mereka kepada makhluk yang ada di sisi-Nya.”(HR. Muslim, no. 2699).

Nash-nash di atas dan banyak lagi yang senada dengannya terkait keutamaan mesjid dan duduk di dalamnya menunjukkan dampak positif bagi murid halaqah Al-Qur’an. Karena dia mendapatkan ketenangan jiwa, kegembiraan, dan kebahagiaan yang merupakan berkah dari aktivitas mereka di masjid dan dalam komunitas pebelajar Al-Qur’an.

Nilai-nilai spiritual yang didapatkan oleh murid dalam mesjid ini dia rasakan sementara dia juga dalam keadaan suci dan membaca Kalamullah. Kondisi yang menjadikannya siap untuk menerima arahan yang terkait dengan Al-Qur’an yang dia baca.

Murid yang sedang dalam kondisi takut dan tidak stabil tidak mungkin untuk menerima arahan atau meningkatkan diri menuju kesempurnaan. Oleh karena itu, mesjid yangmenyelenggarakan pendidikan Al-Qur’an menjadi sumber ketenangan dan kesempatan bagi pendidik untuk meningkatkan kapasitas murid-murid lewat penjelasan tentang kandungan Al-Qur’an dan adab-adabnya.

Dalam sejarah kita belajar bahwa sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alahi wasallam, para tabi’un, ulama, panglima-panglima perang, para pendidik umat adalah pelopor-pelopor yang lahir dari rahim mesjid. Dari mesjidlah mereka sebelumnya belajar dan terdidik. Dan tidak mungkin generasi akhir umat ini bisa baik kecuali dengancara yang dengannya generasi awal umat ini berjaya dengannya.

Segi lain potensi halaqah Al-Qur’an adalah kesukarelaan. Sebagian besar murid yang belajar di halaqah Al-Qur’an karena sukarela, tanpa tekanan atau keterpaksaan. Segi lainnya adalah kebutuhan psikologis murid, sehingga biasanya murid telah dalam kondisi siap dengan arahan-arahan dari gurunya. (sumber:http://www.albayan.co.uk/id/article.aspx?id=210#.UoZdzz7WbNg.facebook). Bersambung insya Allah.

Selasa, 19 November 2013

4 Metode Salaf dalam Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (2)

2.    Belajar dan Mengajarkan Iman Sebelum Al-Qur’an
Maksuduya, terlebih dahulu menanamkan dalam hati-hati mereka pengagungan kepada Allah, serta pengagungan terhadap perintah dan larangan-Nya. Sehingga mudah bagi mereka menerima dan merespon hukum-hukum syariat. Ini merupakan aspek paling uatama dalam menghidupkan tarbiyah Qur’aniyah dalam jiwa setiap orang.

Manhaj inilah yang diterapkan al-Qur’an sendiri dalam membina para sahabat di awal-awal islam. Dimana ayat-ayat al-Qur’an yang pertama-tama turun dalam ayat-ayat Makkiyah menanamkan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Sehingga tumbuh dalam hati mereka iman yang shahih, pengagungan terhadap al-Qur’an. Pada puncaknya hal itu mengondisikan jiwa mereka untuk menerima taujihat (arahan-arahan) al-Qur’an secepatnya.

Salah seorang sahabat nabi yang merupakan salah satu murid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jundub ibn ‘Abdillah mengatakan, “kami bersama nabi shallallahu ‘alaiahi wa sallam, saat kami pemuda, kami belajar iman sebelum al-Qur’an. Lalu kami belajar al-Qur’an, sehingga iman kami bertambah. (Sunan Ibnu Majah, 1/74, no.64, dan Imam Tarikh al-Kabir, 2/221, Sunanul Kubro , 2/49, no. 5498, Mu’jam al-Kabir, 2/225 no. 1656, dan dishahihkan oleh Syekh al-Bani dalam Shahih Sunan Ibn Majah, 1/16, no.52)

Seperti itulah nabi memulai dengan menamkan keimanan dalam hati-hati mereka. Sehingga ketika iman telah merasuk dalam hati, mereka telah siap untuk menerima al-Qur’an, siap diarahkan dan dibimbing oleh al-Qur’an. Maka pada puncaknya, iman mereka makin bertambah.sehingga mudah menerima pesan-pesan dan arahan-arahan al-Qur’an.

3.    Memosisikan al-Qur’an Sebagai Surat ‘’Risalah” dari Allah
Para salaf rahimahumullah menempatkan al-Qur’an sebagai surat dari Allah yang ditujukan kepada mereka untuk diamalkan. Oleh karena itu mereka selalu membaca dan mengamalkannya siang dan malam. Imam Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian memandang al-Qur’an sebagai surat dari Tuhan mereka, oleh karena itu mereka mentadaburinya pada malam hari dan mengamalkannya pada siang hari”.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa, “Diantara kami –ada- yang mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an, ia tidak melewati ayat-ayat tersebut hingga ia mengetahui ma’nanya dan mengamalkannya”.  Artinya ia tidak berpindah ke ayat berikutnya, sebelum memahami makna kesepuluh ayat tersebut dan mengamalkan kandungannya. Ibu Mas’ud juga berkata, “Seorang pengemban al-Qur’an hendaknya dikenali [dengan shalatnya] pada waktu malamnya saat orang-orang sedang tidur, [dengan puasanya] pada siang hari saat orang-orang sedang makan, dengan sedihnya saat orang-orang bergembira ria, dengan tangisannya saat orang tertawa, dengan diamnya saat orang-orang berbicara dan dengan khusyu’nya saat orang-orang angkuh."

Manhaj inilah yang telah berhasil menelorkan generasi awal Islam. Andaikan kita bertalaqqi al-Qur’an seperti geerasi awal mengambilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita jadikan sebagi metode dalam membina generasi muda Islam hari ini, maka kita akan meyaksikan pengaruh dan warna al-Qur’an pada jiwa dan perilaku kaum Muslimin.


4.    Membaca al-Qur’an dengan Tartil dan Perlahan-lahan Serta Membacanya dalam Shalat Malam.
Hal ini nampak dalam kehidupan para salaf, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah, ‘’Aku pernah safar bersama ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Makkah ke Madinah. Beliau melakukan qiyamullail dengan membaca al-Qur’an huruf demi huruf.kemudian beliau menangis hingga terdengar isak tangis beliau” (Mukhtashar Qiyamul Lail, hlm.131).

Beliau juga mengingatkan agar kita janganlah membaca al-Qur’an dengan cepat, “janganlah kalian membaca al-Qur’an dengan cepat seperti membca sya’ir dan prosa. Berhentilah sejenak pada keajaiban-keajaibannya, gerakkan hati dengan ‘ajaib-ajaib tersebut. Janganlah yang menjadi target kamu (sampai) pada akhir surat”, tegasnya.

Membaca dengan tartil dan perlahan-lahan yang disertai tadabbur (perenungan) lebih merasuk ke dalam jiwa. Apatah lagi jika dilakukan dalam shalat atau diwaktu malam, sebagaimana dikatakan oleh Syekh  asy-Syinqithiy rahimahullah, “Tidak ada yang dapat meneguhkan al-Qur’an dalam dada, serta  memudahkan menghafal dan memahaminya, kecuali dengan membacanya dalam shalat di tengah malam (Muqaddimah Adhwaul Bayan, 1 /4).  Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk membaca al-Qur’an secara tartil dalam shalat malam. Karena menurut Ibnu Abbas hal itu lebih memudahkan untuk memahami al-Qur’an (ajdaru an yafqaha al-Qur’an).

Singkatnya, al-Qur’anmerupakan sumber inspirasi dan energi kehidupan para salaf. Mereka mementingkannya melebihi kepentingan mereka terhadap makanan dan minuman. Sebab mereka sadar, bahwa kehidupan yang hakiki danya dapat diraih dengan mengikuti petunjuk al-Qur’an. Oleh karena itu, jika ingin menikmati lezatnya al-Qur’an mari mengikuti manhaj dan metode mereka dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Ja’alanallahu waiyyakum min ashabil Qur’an. Wallahu a’lam bis Shawab. (diadaptasi dari Manhajus Salaf fi Talaqqil Qur’an wa Tadabburihi dalam Tsalatsuna Majlisan fit Tadabbur; Majalis Imaaniyah wa ‘Ilmiyyah, hlm.43-50)

Jumat, 15 November 2013

4 Metode Salaf dalam Berinteraksi Dengan Al-Qur’an (1)

Imam Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

" إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواماً ويضع به آخرين "

“Sesunggunya Allah memuliakan dan menghinakan suatu kaum dengan al-Qur’an.” (Terj. HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi). Lafadz ini terdapat dalam Shahih Muslim.Sedangkan dalam lafadz ad-Darimi berbunyi; 

" إن الله يرفع بهذا القرآن..."

Sesungguhnya Allah memuliakan dengan al-Qur’an ini (HR.Ad-Darimi)

Maksudnya kemuliaan dan kehinaan suatu, kaum, bangsa, dan ummat sangat ditentukan oleh kadar perlakuan mereka terhadap al-Qur’an. Jika mereka memuliakan al-Qur’an maka Allah memuliakan mereka. Sebaliknya jika mereka mengetepikan al-Qur’an, maka kehinaan akan Allah timpakan kepada mereka.

Tentu saja manusia paling mulia yang dimulikan oleh Allah lantaran perlakuan mulia mereka terhadap al-Qur’an –setelah Rasulullah- adalah generasi awal ummat ini. Mereka yang biasa dikenal dengan sebutan salafus Saleh digelari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik Islam. Nabi mengatakan dalam sabdanya:

خير الناس قرني، ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

 “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian yang setelah mereka (para tabi’in), lalu yang setelah mereka (tabi’ tabi’in)”. (Terj. HR. Bukhari dan Muslim).

Dan tidak dapat dipungkiri bahwa, salah satu sebab  kemuliaan dan kejayaan  mereka adalah lantaran berpegang teguh dengan al-Qur’anul Karim. Oleh karena itu, bagi yang ingin mengikuti jejak mereka hendaknya mengenali manhaj dan metode mereka dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Syekh Dr. Muhammad ibn Abdillah Rabi’ah hafidzahullah mengatakan bahwa, “Siapapun yang mengamati kehidupan para salaf, akan menemukan bahwa mereka memiliki manhaj tertentu dalam berinteraksi dengan kitab suci yang agung ini (al-Qur’an)”. Selanjutnya ,  dosen di Universitas Qasim Saudi Arabia anggota ini menyebutkan empat metode para salaf dalam berinteraksi dengan al-Qur’an:

1.    Mengenali Keagungan dan Maksud diturunkannya Al-Qur’an

Hal itu dimaksudkan untuk menumbuhkan kecintaan dan pengagungan terhadap al-Qur’an. Sebab kecintaan, pengagungan, dan keimanan  terhadapnya dapat menumbuhkan husnut ta’amul (interaksi yang baik) dengan al-Qur’an. Karena barang siapa yang mengetahui nilai sesuatu maka ia kan memperhatikannya. Sikap seperti ini dapat kita saksikan pada kehidupan para generasi awal Islam. Perkataan dan perbuatan mereka mencerminkan kecintaan, pengagungan, dan keimanan terhadap al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya mari simak perkataan Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut ini.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah ma’dubah (jamuan)-Nya Allah, maka pelajarilah (nikmatilah) jamuan-Nya semampu kalian. Al-Qur’an ini adalah tali Allah yang Dia perintahkan untuk –berpegang- dengan nya. Ia adalah cahaya Allah yang terang, obat penawar yang sangat bermanfaat, serta pelindung bagi yang berlindung dengannya.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, Allah menjamin orang yang membaca al-Qur’an tidak akan sesat di dunia dan tidak akan sengsara di akhirat. Lalu beliau membaca firman Allah;

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. “(QS. Thaha:123). (Mustadrak, Imam Hakim, 2/413, no.3438). Yang dimaksud dengan membaca adalah mengikuti petunjuknya sebagaimana diterangkan dalam ayat tersebut.

Saat ini kita sangat butuh untuk membina hati-hati kita untuk mencintai dan mengagungkan al-Qur’an. Karena sikap pengagungan, kecintaan yang tulus, dan keimanan terhadap al-Qur’an telah berkurang pada sebagian kalangan. Hal ini menyebabkan lemahnya interaksi kita dengan al-Qur’an. Solusinya adalah menanamkaan pengagungan dan kecintaan terhadap al-Qur’an dalam hati-hati kita dan membangun kesadaran tentang perlunya merealisasikan tujuan diturunkannya al-Qur’an. (Bersambung Insya Allah)

Kenapa Tarbiyah Lewat Halaqah-halaqah Al-Qur’an? (1)

Ada satu ungkapan yang cukup akrab dalam dunia pendidikan kita, yakni, at-thariqatu ahammu minal maaddah. Cara lebih penting dari materi. Maksudnya keberhasilan suatu proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh efektifitas metode yang dipakai. Sebaik apapun materinya, jika tidak disampaikan dengan cara yang baik, maka tidak akan seefektif jika disampaikan dengan metode yang lebih baik. Sebaliknya materi yang biasa-biasa saja bisa lebih baik jika disampaikan dengan metode yang baik. Tentu saja yang terbaik adalah materi yang baik disampaikan dengan metode yang baik pula.  Dalam konteks pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) materi terbaik adalah al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah sumber ilmu tertinggi. Selain itu al-Qur’an juga memuat metode pendidikan terbaik. Karena pada prinsipinya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah sebagai pengajar (mu’allim) yang mengajarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu mentarbiyah dengan al-Qur’an adalah sebuah keharusan. Kita mesti menjadikan al-Qur’an sebagai sumber dan metode dalam bertarabiyah. Berikut ini adalah silsilah “Kenapa Tarbiyah Lewat Halaqah-halaqah Al-Qur’an?, yang kami kutip dari website: http://www.albayan.co.uk/id/.

Pertama, Merupakan Metode Rabbani yang Allah Pilih buat Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam dalam Al-Qur’an, AllahTa’ala berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْـمُؤْمِنِينَ إذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّـمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْـحِكْمَةَ وَإن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ

 “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada kaum mukmin ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”(QS. Aali ‘Imran/3: 164).

Ayat ini menunjukkan bahwa misi Nabi tidak terbatas pada membacakan Kitabullah agar dihapal oleh sahabat-sahabatnya, tetapi juga menjelaskan arti dan hukum-hukum yang dikandungnya. Sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggabungkan antara perhatian terhadap teks dan hapalan/bacaan dengan perhatian terhadap pendidikan/penyucian jiwa dan pengajaran.

Dengan kata lain, proses pendidikan yang hanya menekankan pada hapalan tanpa pengajaran arti dan penyucian jiwa adalah pendidikan yang timpang. Prinsip ini diketahui betul oleh para sahabat Nabi. Imam Abu Abdirrahman al-Sulami, ulama yang belajar langsung Al-Qur’an kepada Ibn Mas’ud berkata:“Kami belajar Al-Qur’an dari kaum yang mengatakan kepada kami bahwa mereka dahulu jika belajar sepuluh ayat, mereka tidak akan melangkah ke sepuluh ayat berikutnya hingga mereka tuntas mempelajari kandungannya: kami belajar Al-Qur’an dan pengamalannya sekaligus.”(Al-Dzahabi,Siyar A’lam al-Nubala, Juz IV, h. 269).

Bisa jadi inilah rahasia di balik turunnya Al-Qur’an secara bertahap sesuai dengan momentum dan kronologis peristiwa. Tujuannya, menciptakan pengaruh ke dalam hati manusia yang menerima dan menghapalnya. Pengaruh yang tertancap dalam sehingga mampu mengubah sikap dan perilaku serta mendidik jiwa. Setiap kali ayat turun, sahabat-sahabat menghapal, memahami arti, dan menjalankan ajarannya.

Mari kira visualisasikan kembali kondisi sahabat-sahabat Nabi yang pulang dari perjanjian Hudaibiyah. Mereka kecewa karena terhalang melakukan umrah di Masjidil Haram. Sebelum mereka nyaris mencukur rambut dan menyembelih onta mereka, mata mereka memandang kota Mekkah. Hati mereka terbakar oleh kerinduan untuk bertemu Ka’bah dan merasakan indahnya kemenangan yang besar. Di momen yang mengharu-biru itu, turunlah firman Allah yang berbunyi:

لِيُدْخِلَ الْـمُؤْمِنِينَ وَالْـمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِندَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًا

“Supaya Dia memasukkan kaum mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.”(QS. al-Fath/48: 5).

Dalam konteks ini, Al-Qur’an memanfaatkan kondisi kejiwaan sahabat-sahabat Nabi yang galau untuk mengintrodusir konsep kemenangan hakiki di sisi Allah. Pemahaman bahwa masuk Surga dan ampunan dosa merupakan keuntungan yang jauh lebih besar daripada kemenangan melawan kaum kafir. Dan hal itu hanya terwujud lewat keimanan dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Akhirnya, sahabat-sahabat Nabi meninggalkan Hudaibiyah dengan membawa pemahaman yang baru yang lebih menguatkan mereka terhadap Islam. Pemahaman yang mendorong seorang Umar ibn Khattabradhiyallahu anhuuntuk melakkukan amal shalih yang dia harapkan bisa menghapus kesalahannya karena menggugat keputusan Rasulullahshallallahu alaihi wasallamdi Hudaibiyah.
Metode Nabi dalam mengajarkan Al-Qur’an adalah gabungan antarata’lim/mengajar,tazkiyah/menyucikan jiwa, dantilawah/membaca. Inilah metode yang memberi kesan dan telah AllahTa’alapilih buat Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam.

Kedua, Merupakan Implementasi Bacaan yang Sebenar-benarnya terhadap Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman:

{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ أُوْلَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ}

“Orang-orang yang telah Kami berikan Alkitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya.”(QS. al-Baqarah/2: 121).

Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu berujar,“Demi yang jiwaku di tangan-Nya, bacaan yang sebenar-benarnya terhadap Al-Qur’an adalah menghalalkan yang dia halalkan dan mengharamkan yang dia haramkan, membacanya sebagaimana Allah turunkan, tidak menyelewengkan maknanya, dan tidak menyalahtafsirkan sehingga keluar dari maknanya.”
Mujahid berkata,“Yaitu mengikutinya dengan sebenar-benarnya.”(Ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz I, h. 226).

Keterangan ayat ini menunjukkan bahwa keutamaan sejati bukan terhadap manusia yang membaca serta menghapalnya saja, tapi menjalankan dan mengamalkan ajarannya. Inilah pembacaan yang sebenar-benarnya terhadap Al-Qur’an.

Senada dengan ini, pernyataan Ibn Taimiyah bahwa ungkapan “tilawah” seperti dalam firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 121 mencakup pengamalan terhadap Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan Ibn Mas’ud dan selainnya di muka. (Lihat: Ibn Taimiyah,Majmu’ Fatawa, Juz VII, h. 167).

Dari sini dapat dipahami bahwa pengajaran Al-Qur’an yang semata membaca dan menghapal tanpa mempelajari hukum dan adab-adab yang dikandungnya merupakan kelemahan.  Pengajaran Al-Qur’an yang paripurna hanya terwujud dengan melengkapi hapalan Al-Qur’an dengan pelajaran mengamalkan isinya.

Mari kita simak hadits berikut. Dari Nawwas ibn Sam’anradhiyallahu anhu,“Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Pada hari Kiamat, Al-Qur’an dan Ahl al-Qur’an yang dahulu (di Dunia) mengamalkan isinya akan didatangkan, dia diantar oleh surah al-Baqarah dan Aali Imran.”(HR. Muslim, no. 805).

Bila demikian ganjaran bagiAhl al-Qur’anyang mengamalkan isinya, bagaimana dengan guru-guru Al-Qur’an yang mendidik murid-muridnya agar mengamalkan Al-Qur’an? Bagaimana dengan guru-guru yang telah menelorkan jumlah murid yang banyak? Di zaman ini, kita membutuhkan halaqah-halaqah yang melahirkan manusia-manusia yang membaca Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya serta tunduk kepada hukum halal dan haramnya. Manusia-manusia model ini hanya bisa lahir lewat tarbiyah imaniyah yang dilakukan oleh guru-guru Al-Qur’an. Bersambung insya Allah. (sumber:http://www.albayan.co.uk/id/article.aspx?id=210#.UoZdzz7WbNg.facebook)

Senin, 11 November 2013

Shiyam (Puasa) ‘Asyuro

Saat ini kita sedang berada di bulan suci dan mulia. Yakni bulan suci  Muharram. Bulan ini merupakan satu dari empat bulan yang disucikan dan dimuliakan oleh Allah [QS:9:36]. Bulan ini disebut pula dengan syahrullah (bulan-Nya Allah. Sebagai Muslim yang beriman kita harus memuliakan bulan ini. Diantara bentuk penuliaan terhadap bulan ini adalah dengan meninggalkan segala bentuk kedzaliman (dosa dan maksiat).

Selain itu amalan lain yang juga dianjurkan pada bulan ini adalah puasa sunnah. Karena puasa pada bulan Muharram merupakan puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah haditsnya bahwa:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم (رواه مسلم)

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bula Allah (yaitu) Muharram, , , ”. (terj. H.R. Muslim).

Imam al-Qari berkata, “dzahirnya, yang dimaksud adalah berpuasa pada sepanjang bulan Muharram”. Sedangkan Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, “Jika dikatakan bahwa puasa paling afdhal setelah Ramadhan adalah adalah puasa pada bulan Muharram? Lalu bagaimana dengan memperbanyak puasa sya’ban melebihi puasa di bulan Sya’ban? Maka jawabannya adalah, “Mungkin beliau tidak mengetahui keutamaan puasa Muharram melainkan di akhir hayat beliau sebelum beliau sempat melakukannya, atau beliau ditimpa sakit atau sedang safar sehingga tidak sempat memperbanyak puasa, atau karena faktor lain”.

Imam Ibnu Rajab berkata, “Shiyam tathawwu’ ada dua macam, yakni; [pertama] shiyam tathawu’ mutlak. Puasa sunnah mutlak yang paling afdhal adalah puasa Muharram. Sebagaimana shalat sunnah mutlak yang paling afdhal adalah qiyamullail (shalat malam). [Kedua] Shiyam yang menyertai shiyam Ramadhan seperti puasa sya’aban dan enam hari di bulan syawal. Ini tidak termasuk puasa sunnah mutlak. Karena termasuk jenis puasa yang menyertai puasa Ramadhan. Ini lebih afdhal dari puasa tathawwu’ mutlak. Syekh Soleh al-Munajjid mengomentari pendapat Ibn Rajab di atas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan. Sehingga hadits ini dibawa kepada ma’na anjuran memperbanyak shiyam pada bulan Muharram. Bukan berpuasa sebulan penuh.

Selain itu di bulan ini ada  hari ‘Asyuro yang ditekankan untuk berpuasa pada hari tersebut. Sehingga bagi yang tidak sempat memperbanyak puasa pada bulan Muharram ini, jangan sampai melewatkan puasa di hari yang satu ini. Karena puasa ini memiliki fadhilah yang sangat utama, yakni menghapus dosa selama setahun. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda, “Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits lain dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata: "Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Keutamaan Puasa‘Asyuro
Sebelum menguraikan keutamaan puasa ‘asyuro, akan diuraikan terlebih dahulu sekilas tentang keutamaan hari ‘asyuro itu sendiri. Hari ‘asyuro (10 maharram) merupakan hari mulia. Sebelumnya orang-orang Yahudi juga memuliakan bulan ini, karena menurut mereka ini adalah hari yang mulia karena pada hari tersebut Allah menyelamtakan nabi Musa dari kejaran Fir’aun bersama balatentaranya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut. Beliau bertanya, “hari apa ini sehingga kalian berpuasa pada hari ini?” Mereka menjawab, ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan nabi Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai tanda syukur kepada Allah. maka kamipun berpuasa. Rasulullah bersabada, “kami lebih berhak atas Musa dari kalian”. Lalu Rasulullah berpuasa dan menyuruh para sahabat untuk turut berpuasa.
Puasa ‘asyuro memiliki beberapa keutamaan, diantaranya;
Pertama, Puasa ‘asyuro merupakan puasa sunnah paling afdhal setelah ramadhan. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi yang telah disebutkan di atas.
Kedua, Menghapus dosa setahun sebelumnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi pernah ditanya tentang keutamaan puasa ‘asyuro, beliau menjawab, “Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (ter.H.R. Bukhari dan Muslim). Tentu saja yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil.
Ketiga, Puasa ‘asyuro sangat diperhatikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma seperti disebutkan di atas.

Tingkatan Puasa ‘Asyuro
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitab Zaadul Ma’aad –berdasarkan riwayat-riwayat yang ada- menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan puasa ‘asyuro:
a. Urutan pertama, dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11)
b. Urutan kedua, puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits
b. Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja.

Puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11) dikuatkan para para ulama dengan dua alasan sebagai berikut:
1. Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10)
2.  Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).

Adapun puasa tanggal 9 dan 10, dinyatakan jelas dalam hadis pada akhir hidup beliau sudah merencanakan untuk berpuasa pada tahun depannya. Hanya saja beliau meninggal sebelum melaksanakannya. Beliau juga memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi. 

Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja, sebagian ulama memakruhkannya, meskipun pendapat ini tidak dikuatkan sebagian ulama yang lain.  Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan puasa,sekalipun itu hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah, dan tetunya kita berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin. Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr ditanya tentang pendapat sebagian ulama yang memakruhkan berpuasa sehari saja (10 Muharram). Beliau menjawab: "Tidak diragukan lagi bahwa berpuasa sehari sebelumnya lebih afdhal sebab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Jika aku mendapati tahun yang akan datang, maka aku akan berpuasa pada hari ke sembilan". Namun jika ia hanya mampu melaksanakan puasa Asyura secara sendiri (tidak didahului dengan puasa pada tanggal 9) maka tidak mengapa. Tapi mendahulukannya dengan puasa sehari jauh lebih afdhal karena Rasulullah shallahu alaihi wasallam sangat berkeinginan untuk melakukannya." Wallahu ta'ala a'lam"



Keutamaan Bulan Muharram

Hari ini kita memasuki bulan Muharram 1435 H. Bulan  yang merupakan bulan pertama dalam Kalender Hijriyah ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bulan sial. Sehingga diantara mereka ada yang mengindari mengadakan hajatan pada bulan tersebut. Salah satu hajatan yang biasa dihindari untuk diadakan pada bulan itu adalah pernikahan. Ini adalah anggapan yang keliru. Justru Muharram termasuk diantara bulan-bulan yang dimuliakan dan dihormati, bukan bulan  yang mendatangkan sial. Kemulian bulan muharraam dinyatakaan oleh ayat Allah Ta’ala dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah, Rasul-Nya dan para sahabat memuliakan bulan ini.

Bulan Mulia
Bulan Muharram merupakan satu dari empat bulan mulia yang disebut asyhurul hurum Sebagaimana dinyataakaan oleh Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 36:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ [٩:٣٦]

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (terj. Q.S. at Taubah :36).

Yang dimaksud dengan empat bulan haram dalam ayat di atas adalah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Hal ini dijelaskan oleh Nabi dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam bersabda ,“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati: 3 bulan berturut-turut; Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharra  m dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada tsaniah dan Sya’ban.” (terj. HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Al Qodhi Abu Ya'la rahimahullah, penamaan bulan haram [1] diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut sebagaimana hal ini diyakini pula oleh orang jahiliyyah, dan [2] Larangan untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya. (lihat Zadul Maysir, Ibnu Jauziy). Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Ibnu Abbas, Qatadah dan yang lainnya.

Oleh karena Muharram merupakan bulannya Allah yang mulia [syahrullah al-haram], maka kita harus memuliakannya. Sebagaimana dikatakan oleh Qatadah rahimahullah. “Sesungguhnya Allah memilih yang termulia dari makhluq ciptaan-Nya. Dari para Malaikat dan manusia Dia pemilih para utusan [Rasul]-Nya sebagai Malaikat dan manusia termulia. Dari perkataan manusia Dia memilih dzikrullah. Di bumi Dia memilih masjid sebagai tempat termulia. Dari seluruh bulan (asy-syuhur) Dia memilih Ramadhan dan bulan-bulan haram. Dari hari-hari Dia memilih hari jum’at, dan Dia juga memilih malam lailatulqadr sebagai malam paling mulia. Maka muliakanlah yang dimulikan oleh Allah”. Sebab, pemuliaan terhadap yang dimuliakan oleh Allah merupakan alamat ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Waman yu’adzim sya’airallah fiannaha min taqwal qulub”.

Syahrullah
Selain itu bulan ini disebut pula dengan syahrullah [bulan-Nya Allah]. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم (رواه مسلم

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bula Allah (yaitu) Muharram, , , ”. (terj. H.R. Muslim).

 Penyebutan ini memberi makna bahwa bulan ini memiliki keutamaan khusus karena disandarkan pada lafdzul Jalalah (Allah). Menurut Para Ulama penyandingan sesuatu pada lafdzul Jalalah menunjukan tasyrif (pemuliaan), sebagaimana istilah baitullah, Rasulullah, Saifullah dan sebagainya. Menurut Imam Ibnu Rajab al-Hambali  rahimahullah, “Muharram disebut dengan syahrullah (bulan-Nya Allah) karena [1]  untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram, serta [2] untuk menunjukkan otoritas Allah Ta’ala dalam mensucikankan dan memuliakan bulan Muharram”.

Lalu, bagaiman seharusnya memuliakan bulan ini?
Oleh karena Muharram merupakan bulannya Allah yang mulia [syahrullah al-haram], maka kita harus memuliakannya. Tentu memuliakan dan menghormati bulan ini bukan dengan mengkeramatkannya, bukan dengan menganggapnya sebagai bulan sial. Bukan pula dengan menghindari hajatan karena taakut sial dan seterusnya. Tapi kita hendaknya memuliakaan bulan ini sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya. Kita harus memuliakaan bulan ini sebagaimana Rasulullah dan para sahabat mengormatinya. Yakni dengan meninggalkan segala bentuk dosa dan meningkatkan ibadah kepada Allah Ta’ala.

Jangan Berbuat Dzalim di bulan Muharram

Pada bulan-bulan mulia ini –termasuk muharram-, Allah melarang berbuat dzalim. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah memalui kalimat “Fala tadzlimu fihinna anfusakum,”. Maksudnya janganlah kalian mendzalimi diri sendiri pada bulan-bulan tersebut. Karena keharaman dosa pada bulan-bulan itu lebih tegas, dan dosanya lebih berat dari dosa yang dilakukan pada bulan-bulan lain. Hal ini seperti pelipatgandaan dosa yang dilakukan di tanah haram. Sebagaiaman dinyatakan oleh Allah, “Waman yurid fihi bi ilhadin bi dzulmin. . .

Menurut Ibnu Ishak sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, ma’ana kalimat ‘fala tadzzlimu fihinna anfusakum’ adalah janganlah kalian jadikan yang haram menjadi halal dan yang halal menjadi haram sebagaimana dilakukan oleh para ahli syirik. 

 Oleh karena itu hendaknya kita memuliakan dan menyicikan bulan ini dengan meninggalkan segala bentuk kedzaliman. Mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Dan kedzaliman nomor wahid yang harus dihindari dan dijauhi adalah kesyirikan. Sebab, syirik merupakan kedzaliman paling besar, sebagaimana firman Allah dalam surah Luqman ayat 13:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

"sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS Luqman:13)

Sunnah Bepuasa
Amalan yang dianjurkan pada bulan ini adalah puasa sunnah. Karena puasa pada bulan Muharram merupakan puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan. Imam al-Qari berkata, “dzahirnya, yang dimaksud adalah berpuasa pada sepanjang bulan Muharram”. 

Sedangkan Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, “Jika dikatakan bahwa puasa paling afdhal setelah Ramadhan adalah adalah puasa pada bulan Muharram? Lalu bagaimana dengan memperbanyak puasa sya’ban melebihi puasa di bulan Sya’ban? Maka jawabannya adalah, “Mungkin beliau tidak mengetahui keutamaan puasa Muharram melainkan di akhir hayat beliau sebelum beliau sempat melakukannya, atau beliau ditimpa sakit atau sedang safar sehingga tidak sempat memperbanyak puasa, atau karena faktor lain”.

Imam Ibnu Rajab berkata, “Shiyam tathawwu’ ada dua macam, yakni; [pertama] shiyam tathawu’ mutlak. Puasa sunnah mutlak yang paling afdhal adalah puasa Muharram. Sebagaimana shalat sunnah mutlak yang paling afdhal adalah qiyamullail (shalat malam). [Kedua] Shiyam yang menyertai shiyam Ramadhan seperti puasa sya’aban dan enam hari di bulan syawal. Ini tidak termasuk puasa sunnah mutlak. Karena termasuk jenis puasa yang menyertai puasa Ramadhan. Ini lebih afdhal dari puasa tathawwu’ mutlak. Syekh Soleh al-Munajjid mengomentari pendapat Ibn Rajab di atas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan. Sehingga hadits ini dibawa kepada ma’na anjuran memperbanyak shiyam pada bulan Muharram. Bukan berpuasa sebulan penuh.

Selain itu di bulan ini ada  hari ‘Asyuro yang ditekankan untuk berpuasa pada hari tersebut. Sehingga bagi yang tidak sempat memeprbanyak puasa pada bulan Muharram ini, jangan sampai melewatkan puasa di hari yang satu ini. Karena puasa ini memiliki fadhilah yang sangat utama, yakni menghapus dosa selama setahun. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda, “Aku berharap pada Allah dengan puasa Asyura ini dapat menghapus dosa selama setahun sebelumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits lain dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata: "Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari as Syura dan bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)