Bentuk-Bentuk Serangan Terhadap Al-Qur’an (2)
Dr. Ugi Suharto
Pemikiran Goldziher yang disambut baik oleh Puin itu tidak lain dari membangkitkan kembali kesesatan lama Ibnu Miqsam -seorang sarjana yang meninggal pada tahun 354 Hijriah- yang telah lama terkubur. Ibnu Miqsam inilah yang pernah mengeluarkan pendapat bahwa setiap bacaan yang sesuai dengan tulisan (rasm) mushaf dan mempunyai sisi kesesuaian dengan tata bahasa Arab, bacaan itu boleh dipakai dalam salat, walaupun bacaan itu tidak diriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam. Seorang ulama Islam, Abu Tahir b. Umar, menceritakan kisah orang ini dalam Ibnu al-Jazari, Ghayat al-Nihayah fi Tabaqat al-Qurra’, ed. G. Bergstraesser, 2 jil. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1982; cet. Pertama 1933), 2: 124-125.
Telah muncul seorang terkemuka di zaman kita yang mengklaim bahwa setiap bacaan yang mempunyai sisi kesesuaian dengan tata bahasa Arab, huruf al-Qur’an, dan sesuai dengan mushaf, maka bacaan itu dibolehkan di dalam atau di luar salat. Orang ini telah membuat bid‘ah yang sesat dari jalan yang benar. Maka kasus ini dibawa kepada Sultan dan orang ini diminta untuk bertaubat di hadapan para fuqaha dan ulama al-Qur’an, lalu kemudian dia mengemukakan taubatnya.
Goldziher tentu tahu permasalahan ini berdasarkan referensi yang dipakainya. Sayang sekali Goldziher yang kita kenali adalah seorang Orientalis yang sangat keras penentangannya terhadap Islam dan sumber-sumbernya. Kini giliran Puin pula yang melanjutkan pemikirannya dan mengklaim bahwa qira’ah yang ditemukan dalam manuskrip Sana’a itu mempunyai nilai yang tinggi, karena semata-mata hal itu bersumber dari manuskrip lama tanpa mempertimbangkan jalan periwayatannya. Penemuannya ini bagaikan tenaga baru baginya untuk melanjutkan penyerangan terhadap sumber utama umat Islam ini.
Kaum Muslimin tidak akan tersesat oleh tipu daya Puin selagi mana mereka berpegang teguh dengan tradisi yang dipertahankan oleh para ulama Islam yang muktabar. Mushaf Utsmani, teks tulisannya (rasm), bacaannya (qira’ah), susunan ayat dan surahnya, serta kandungan ayat dan surahnya adalah dipersetujui oleh semua Sahabat. Bahkan dalam perselisihan politik yang membawa peperangan antara pasukan Muawiyah (r.a.) dan pasukan Saidina ali b. Abi Talib (r.a.), dalam peristiwa Siffin, ketika seorang dari pasukan Muawiyah mengangkat mushaf Utsmani untuk berdamai, Saidina Ali tidak membantah mushaf al-Qur’an itu. Walaupun mereka berbeda dari segi mazhab politik, tetapi mereka masih bersatu dalam perkara dasar agama Islam seperti kesepakatan mereka menerima Mushaf Utsmani.
Puin sendiri mengakui bahwa usahanya itu tidak membuahkan apa-apa yang baru terhadap kajian al-Qur’an yang telah dirintis oleh para Orietalis sebelumnya seperti Nöldeke, Bergsträsser, Pretzl, Deim, Neuwirts, dan Gätje. Oleh karena itu, ia berkata dalam bukunya: “My observations do not claim to be either new or unexpected,” walaupun begitu ia sempat juga menyisipkan sedikit harapan dari kajiannya, dengan katanya “except for the last paragraph which discusses the different arrangements of the Surahs.” Apa yang dikatakannya “baru” dan “diluar-dugaan” mengenai susunan surah-surah Mushaf Utsmani itupun sebenarnya adalah isu lama dan telah diberi komentar oleh Alford T. Welch di atas. Penemuan manuskrip al-Qur’an yang tidak lengkap dan mempunyai susunan surah-surah yang berbeda dengan Mushaf Utsmani menunjukkan itu bukanlah al-Qur’an yang dipersetujui oleh para Sahabat, dan juga tidak akan dipersetujui oleh para ulama Islam kini. Fakta bahwa tidak ada para penyumbang dana yang ingin melanjutkan projek penerbitan mushaf “Puin” itu, membuktikan bahwa beban sejarah dan tanggung jawab intelektual itu tidak akan terpikul oleh Puin seorang diri. Ia berkata:
Unfortunately, the priorities of neither the German sponsor of the restoration project (Ministry of Foreign Affairs) nor of the Yemeni antiquities’ administration seem to favour the idea.
Kembali kepada bentuk-bentuk serangan terhadap Mushaf Utsmani, bentuk serangan ketiga adalah melalui serangan pemikiran dan intelektual. Serangan ini tidak lagi mempergunakan alternatif kepada Mushaf Utsmani seperti upaya mereka melalui jalan riwayat ataupun manuskrip, tetapi sekedar menanamkan perasaan ragu dalam jiwa kaum Muslimin akan kewibawaan al-Qur’an yang diwakili oleh Mushaf Utsmani. Mereka menginginkan agar sikap kaum Muslimin terhadap al-Qur’an itu sedikit demi sedikit berubah sehingga sama dengan sikap orang-orang Kristen terhadap Bible, ataupun sikap orang-orang Yahudi terhadap Pentateuch, yang tidak menganggap kitab-kitab itu aseli dari Nabi mereka. Hal ini bergantung kepada kekuatan pemikiran dan intelektual para ulama kita pada hari ini pula. Apabila mereka mampu berhujah dengan para Orientalis ini maka keimanan masyarakat awam kaum Muslimin akan tetap terpelihara. Tetapi apabila mereka terpengaruh oleh “bisikan” pemikiran golongan yang “mendatangkan waswas dalam dada manusia” (Surah an-Nas: 5), maka orang awam akan mengikut juga.
Salah seorang dari mereka telah diwaswaskan oleh bisikan itu adalah pemikir Mesir yang bernama Nasr Hamid Abu Zayd dengan karyanya “Mafhum al-Nass.” Orang yang dianggap murtad oleh pemerintah Mesir ini telah disambut hangat oleh para pengkaji Barat dan diberikan tempat terhormat di University of Leiden, Belanda. Begitulah cara Orientalis memikat hati orang-orang yang bisa bersama dengan mereka. Nasr Abu Zayd masih lagi bebas dan aktif melakukan kajian-kajian al-Qur’an-nya dan bersama-sama dengan Mohammed Arkoun kini menjadi anggota lembaga penasehat proyek serta penyumbang artikel dalam Encyclopaedia of the Qur’an yang berpusat di Leiden, yang edisi pertamanya telah terbit, masih dengan entry A-D, pada tahun 2001. Prof. A’zami mengatakan bahwa kedua-dua orang ini dianggap sebagai ahlul bida‘ (heretics) oleh umat Islam.
Serangan penafsiran juga dilakukan melalui gagasan hermeneutika al-Qur’an yang merelatifkan tafsir yang sudah qat‘i. Hermeneutika yang sejatinya merupakan metodologi pentafsiran Bible, kini oleh orang-orang Islam sendiri ingin diterapkan pada al-Qur’an. Walaupun pada mulanya berangkat dari tafsir, tetapi hermeneutika akan berakhir dengan mempermasalahkan teks al-Qur’an itu sendiri. Orang yang terpengaruh dengan hermeneutika, paling kurang, akan menganggap bahwa al-Qur’an adalah perkataan Allah dan perkataan Nabi Muhammad sekaligus. Padahal ijma‘ umat Islam adalah al-Qur’an itu Kalamullah. Titik. Apabila kita mengatakan al-Qur’an adalah kata-kata Allah dan juga kata-kata Nabi Muhammad, kita sebenarnya mundur lagi kebelakang. Kita mulai deconstruct al-Qur’an. Dan kita sendiri yang menghancurkannya, sehingga sama nasibnya dengan kitab-kitab suci yang lain. Hal ini tidak menguntungkan sama sekali kepada umat Islam. Saya sudah membahas isu ini dalam makalah seminar yang diselerenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tahun lalu. Bagi saya al-Qur’an itu tidak memerlukan hermeneutika seperti kitab-kitab yang lain yang mempunyai masalah keaselian kitab mereka. Jadi harus kita tegaskan bahwa kita tidak mempunyai masalah dengan keaselian al-Qur’an sama sekali.
Mungkin ada manfaatnya kita kemukakan lagi pandangan Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah, dalam bukunya “Pelajaran Agama Islam” yang pernah menulis mengenai keaselian al-Qur’an dan pengalamannya dengan orientalis:
“Dalam perjalanan saya ke Amerika pada bulan Oktober 1952, sampailah saya menziarahi Yale University di New Haven (Connecticut, U.S.A.). Di sana orang sedang merayakan dan mensykuri selesainya satu pekerjaan besar yang telah dikerjakan selama 15 tahun, dan panitianya terdiri dari 40 gereja. Yaitu menyalin kitab Bible bahasa Inggeris dari salinan yang lama, yaitu dizaman pemerintahan King James di tahun 1612.
Maka sejak tahun itu 1612 itu bahasa Inggeris sudah sangat jauh perkembangannya. Sebab itu haruslah disesuaikan bahwa salinannya yang lama itu dengan bahasa sekarang ini. 15 tahun bekerja 40 gereja membentuk panitia. Di dalam menentukan pemilihan satu-satu bahasa, kadang-kadang memakan waktu berbulan-bulan. Kalau terjadi perselisihan, kadang-kadang terpaksalah diambil hukum system! Padahal haruslah diakui bahwasanya system suara itu, tidaklah selalu berjalan menurut garis benar dan salah. Tetapi yang nyata ialah menurut garis menang dan kalah. Suara terbanyaklah yang menang!
Dan Yale University di dalam sejarah terkenal bahwa dia termasuk University yang besar jasanya di dalam mempertahankan agama Kristen dan penyiarannya.
Pada waktu itu saya dihantarkan oleh seorang professor muda, Prof. Hendon. Beliaulah yang membawa saya berkeliling melihat-lihat pameran kitab-kitab suci yang ditulis 200 tahun yang lalu, 600 tahun yang lalu, 800 tahun dan seterusnya. Ketika kami membicarakan soal penyalinan itu beliau berkata, “Beruntunglan Tuan orang Islam! Sebab tuan mempunyai Qur’an yang tidak usah diperkomitekan dan dipanitiakan, sebab tuan mempunyai bahasa suci yagn aseli dan tetap. Bahkan bahasa Arab yang terpakai setiap harilah yang harus disesuaikan kepada Qur’an, bukan Qur’an yang harus disesuaikan kepada perkembangan bahasa.”
Kini setelah satu generasi dari zaman Hamka, para orientalis al-Qur’an semakin gencar menggempur al-Qur’an. Dulu pun memang sudah begitu, dan Hamka tahu akan hal itu:
“Sudah lebih 300 tahun, timbullah penyelidik-penyelidik ilmu ketimuran di Eropa (Orientslisten). Segala pusaka Timur mereka pelajari dengan seksama. Sebahagian terbesar daripada mereka, tidaklah terlepas daripada pengaruh agama yang mereka anut. Dengan dasar ilmu pengetahuan, mencari hakikat kebenaran, mereka mencari kalau-kalau ada yang dapat “ditikam” pada Qur’an itu.”
Tetapi kini serangan terhadap Qur’an semakin gencar, karena bukan saja datang dari kalangan orientalis sendiri, tetapi juga dari kalangan orang-orang muslim ahlul bida‘ yang menjadi corong-corong orientalis di negeri-negeri Islam. Hari ini yang lebih aneh adalah orang yang mengajar ‘Ulum al-Qur’an di Universitas Islam yang mau mengedit dan menyunting al-Qur’an, kalangan pimpinan organisasi Islam yang mau meruntuhkan tafsir qat‘i seperti pada isu “al-hajju asyhurun ma‘lumat” baru-baru ini, ataupun tokoh Islam yang mengatakan semua agama sama dan lain-lain maqalat yang menyimpang dari usul Islam yang telah disepakati.
Kini para cendekiawan Islam yang sejati mestilah melipat gandakan usaha ilmiah mereka untuk berhadapan dengan tantangan baru ini. Persilatan ilmiah mengenai al-Qur’an dan tafsirnya belum berakhir. Yang jelas Mushaf Utsmani pada hari ini tetap utuh dan tidak goyah, karena ia mempunyai kedudukan yang luhur dan mempunyai para pembelanya di setiap zaman, seperti kata Abu Ubayd di dalam tulisan saya yang lalu. Pertempuran ilmiah kini lebih kepada pemikiran dan tafsir al-Qur’an, walaupun riwayat dan manuskrip masih lagi digunakan. Meskipun begitu para ulama kita yang berwibawa tetap mempunyai jurus-jurus yang handal dalam menafsirkan al-Qur’an. Kaum Muslimin hanya akan kecundang apabila kita sendiri meninggalkan jurus-jurus itu. Pedang-pedang mereka yang kita pusakai juga mestilah kita tajamkan kembali. Jurus dan pedang baru buatan kita sendiri pada hari ini nampaknya masih kaku dan tumpul juga walaupun telah kita latih dan asah berkali-kali. Oleh karena itu, jangan kita buang warisan mereka, karena warisan mereka adalah warisan pewaris Nabi, dan melalui mereka pula Allah menjaga al-Qur’an ini. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Surat al-Hijr: 9) (DR Ugi Suharto/http://www.inpasonline.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar