“Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Usman sangat dipengaruhi oleh keluarganya, yaitu Ummayah. Bahkan Khalifah Usman lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya, sehingga lambatlaun timbul oposisi terhadap Usman. Pada tahun 655 M, Khalifah Usman mati terbunuh oleh pihak oposisi yang berasal dari orang Islam sendiri.” (hal. 73).
Paparan seperti itu tentu sangat tendensius. Tapi, itulah yang diajarkan kepada siswa dan santri-santri kita yang belajar sejarah melalui buku-buku seperti ini. Tentu saja akan sangat mudah terekam opini buruk terhadap Sayyidina Usman bin Affan pada benak anak-anak kita! Tapi, apakah guru, kepala sekolah, pimpinan pesantren, selama ini begitu banyak yang peduli dengan pengajaran sejarah di SMA semacam ini?
Padahal, Sayyidina Usman r.a. adalah salah satu KhulafaurRasyidin, menantu Rasulullah saw, dan salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga. Beliau adalah orang yang sangat kaya raya dan sangat dermawan. Beliau adalah pemimpin pertama dalam rombongan Hijrah ke Habsyah. Beliau berulangkali berjihad di medan perang. Hidupnya, hartanya, dirinya sudah diserahkan untuk Islam. Adalah sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta sejarah, bahwa Sayyidina Usman digambarkan sebagai pemimpin yang gila kuasa. Kita bertanya, apakah beradab jika menuduh sosok yang begitu mulia dengan tudingan: “lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Bayangkan, jika ada buku sejarah menulis: “Soekarno lebih mendahulukan kepentingan keluarganya dibandingkan kepentingan negaranya?” atau “SBY lebih mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negaranya.”
Apakah keluarga Soekarno atau SBY bisa menerima uraian seperti itu?
Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan yang keliru semacam ini? Tentu saja, orangtua-lah yang paling bertanggung jawab. Bukan hanya guru atau sekolah atau pesantren. Kita berharap, para guru dan orangtua mau peduli dengan isi buku pelajaran yang keliru semacam ini.
*****
“Islamisasi ilmu adalah sebuah keharusan,” tegas Prof. Didin Hafidhuddin, direktur pasca sarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor dalam pembukaan seminar internasional tentang Pendidikan Tinggi di UIKA , 18 Mei 2011 lalu.
Sebagian akademisi masih ada yang meragukan dan salah paham tentang makna “Islamisasi ilmu” dan “Islamisasi pendidikan”. Padahal, tindakan Islamisasi adalah proses yang wajar dari aktivitas seorang Muslim. Sangat wajar jika seorang Muslim melakukan Islamisasi, sebagaimana kaum liberal melakukan liberalisasi, kaum komunis melakukan komunisasi, kaum sekular melakukan sekularisasi.
Islamisasi bukanlah gagasan utopis. Untuk membuktikannya, Program Pasca Sarjana Pendidikan Islam -- UIKA pada 29 Juni 2011, tepat 27 Rajab 1432 H, kembali menggelar seminar bertema Islamisasi Pendidikan. Tapi, kali ini seminar mengambil tema yang lebih membumi, dengan peluncuran buku Sejarah Nasional untuk SMA. Seminar bekerjasama dengan Andalusia Islamic Education & Management Service (AIEMS) dengan mengambil tema “Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Urgensi dan Aplikasinya Pada Kurikulum SMA, bertempat di Aula Gedung Pascasarjana, Universitas Ibn Khaldun Jl. KH Sholeh Iskandar KM 2 Bogor.
Pembicara dalam seminar tersebut ialah Prof. Dr. Didin Hafiduddin (Direktur Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun), Dr. Adian Husaini (Kaprodi Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun), Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum (Penulis buku Sejarah SMA, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia), Mohamad Ishaq, M.Si (Penulis buku Fisika SMA, Kandidat Doktor Ilmu Fisika, Institut Teknologi Bandung), Ir. Budi Handrianto, M.PdI (Peneliti INSISTS), dan Erma Pawitasari, M.Ed (Direktur AIEMS)
Sejarah merupakan hal prinsip dalam kehidupan manusia. Al-Quran begitu banyak bercerita tentang sejarah umat terdahulu, baik dalam ayat-ayat Makkiyah atau Madaniyah. Karena itu, kita sangat bersyukur dan menyambut gembira terbitnya buku Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA: Perspektif Baru, yang diterbitkan atas kerjasama antara Pasca Sarjana UIKA, DDII, dan AIEMS.
Semoga buku ini menjadi langkah awal untuk menarik gerbong Islamisasi Ilmu dan Pendidikan di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah Islam dan pondok-pondok pesantren. Islamisasi ilmu-ilmu pengetahuan, apalagi yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan hal yang sangat mendesak, dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Islamisasi dilakukan untuk mengembalikan ilmu pada tempat dan fungsinya yang utama, yakni untuk menjadikan anak didik menjadi manusia-manusia yang beradab, bukan manusia biadab. Yakni, manusia yang baik (good man), yang mengenal Allah, ikhlas menjadikan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam sebagai uswah hasanah, meletakkan ulama sebagai pewaris Nabi, memahami kedudukan ilmu, mampu meletakkan para pahlawan sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah, serta mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya agar dia menjadi Abdullah dan khalifatullah yang baik.(Diambil dari CAP Adian Huasaini/www.hidayatullah.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar