Begitulah jika fitnah telah merebak. Ahli hikmah pun tak bisa berbuat banyak, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan Arab. Olehnya, syari’at menekankan untuk senantiasa menjauhkan diri dan menghindar dari fitnah tersebut. Sebab, jangankan harga diri, nyawa bahkan agama akan tergadaikan. Ah, tidak usah melihat wajah fitnah menakutkan hari ini. Itu merupakan perkara wajar, sebab sejalan dengan kondisi iman dan agama kaum muslimin yang makin menipis. Tapi lihatlah pada generasi terbaik umat ini. Dengan kondisi iman laksana bukit uhud, tokoh fitnah itu pun tak segan menyambangi mereka. Menumpahkan darah mereka. Mengoyak harga diri dan kehormatan mereka. Duhai Rabb, selamatkan kami dari ancaman fitnah itu. Jangan Engkau perhadapkan jiwa kami yang lemah ini terhadap fitnah itu. Apalagi terhadap fitnah terbesar di penghujung zaman. Yah, fitnah Dajjal al-Kadzzab, yang selalu kami pinta di setiap penghujung shalat.
Nah, diantara fitnah menyakitkan yang harus ditelan umat ini sepanjang sejarah, adalah fitnah peristiwa Perang Jamal antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Aisyah bersama Thalhah dan Zubair radhiallahu anhum jami'an, yang meletus setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anha. Padahal hakikat sebenarnya tidak seperti yang banyak dihembuskan oleh musuh-musuh Islam. Bahwa Aisyah radhiyallaahu ‘nha keluar bukan untuk maksud perang, namun untuk tujuan mendamaikan kaum muslimin akibat fitnah yang terjadi seputar pembunuhan Utsman bin Affan radhiyillaahu ‘anhu.
Nah, diantara fitnah menyakitkan yang harus ditelan umat ini sepanjang sejarah, adalah fitnah peristiwa Perang Jamal antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Aisyah bersama Thalhah dan Zubair radhiallahu anhum jami'an, yang meletus setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anha. Padahal hakikat sebenarnya tidak seperti yang banyak dihembuskan oleh musuh-musuh Islam. Bahwa Aisyah radhiyallaahu ‘nha keluar bukan untuk maksud perang, namun untuk tujuan mendamaikan kaum muslimin akibat fitnah yang terjadi seputar pembunuhan Utsman bin Affan radhiyillaahu ‘anhu.
Duhai, begitu indah apa yang digoreskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Minhaj al-Sunnah 2/185, dimana beliau berkata: “Sesungguhnya Aisyah radhiyallaahu ‘anha tidak keluar untuk perang. Akan tetapi tujuan keluarnya adalah mendamaikan kaum muslimin. Ia berasumsi, bahwa keluarnya tersebut akan membawa kemashlahatan bagi umat. Namun kemudian yang tampak padanya setelah itu, seandainya ia tidak keluar maka itu yang lebih baik baginya. Olehnya, setiap teringat peristiwa keluarnya (ke Bashrah) beliau menangis hingga membasahi kerudungnya. Demikian pula halnya kaum muslimin yang yang terlanjur terlibat, mereka semua menyesal karena terkait dalam perang itu. Thalhah, Zubair dan Ali semuanya menyesali peristiwa tersebut.
Dan peristiwa perang jamal tersebut, pada awalnya sama sekali bukan untuk maksud berperang. Namun sayangnya perang meletus di luar kehendak mereka. Sebab, ketika itu Ali, Thalhah dan al-Zubair telah saling surat-menyurat dan mencari kesepakatan demi mashlahat kaum muslimin. Bahwasanya jika telah terjadi kata sepakat, mereka akan bekerjasama mencari tukang-tukang fitnah yang membunuh Utsman. Disamping itu, Ali sendiri tidak ridha akan pembunuhan Utsman dan tidak pula membantu membunuhnya, sebagimana yang beliau ucapkan dalam sumpahnya: "Demi Allah, saya tidak membunuh Utsman dan tidak berkomplot untuk membunuhnya". Dan Ali itu orang jujur dan benar sumpahnya.
Nah, dalam kondisi ini orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman khawatir kalau Ali bersepakat dengan mereka untuk menangkap para pembunuh Utsman. Mereka pun bermuslihat dan melancarkan serangan (dengan melepaskan anak panah dan lembing) ke arah pasukan Thalhah dan al-Zubair. Sementara Thalhah dan al-Zubair terperanjat dan menyangka bahwa Ali telah mengkhianati mereka, maka keduanya membela diri. Keadaan Ali bin Abi Thalib pun demikian, beliau mengira keduanya telah mengkhianatinya, lalu ia pun membalas untuk membela diri. Maka terjadilah fitnah bukan atas kehendak dan kemauan mereka. Adapun Aisyah ra saat itu beliau sedang di atas kendaraan, tidak ikut berperang dan tidak pula memerintahkan perang. Demikianlah yang dikemukakan oleh para ahli ma'rifat tentang sejarah. (Terkutip dalam Asyraatu al-Sa'ah, Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, hal: 102, Daar Ibni al-Jauziy, cetakan ke-XV, tahun 1422 H). By. RSMD. (Sumber: Notes Ustad Rapung Samuddin, Lc, MA http://www.facebook.com/rappung.samuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar