Selasa, 21 Juni 2011

Kerancuan Ajaran Syi’ah (Bagian I)

Pernikahan Ummu Kultsum

Dalam ajaran sekte Syi’ah, sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu merupakan sosok pemimpin tertinggi yang anti salah alias ma’sum, sama halnya dengan para nabi dan rasul. Dalam ajaran sekte Syiah, dikenal pula dua orang “setan” yang merupakan musuh utama bagi mereka, yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma.

Namun, kalau kita membuka kembali lembaran sejarah, kita akan menemukan sebuah peristiwa ganjil yang yang sangat kontradiktif dan bertentangan dengan keyakinan mereka tadi. Peristiwa yang dimaksud adalah pernikahan Umar -radhiallahu’anhu dengan putri tercinta Ali radhiyallahu’anhu yang bernama Ummu Kultsum. Ummu Kultsum sendiri merupakan saudara kandung Hasan dan Husain radhiallahu’anhuma.

Peristiwa pernikahan ini sendiri merupakan fakta yang diakui secara resmi oleh para pemuka sekte syi’ah Al-Kailani dalam bukunya Al-Kafi fl Furu’, Al-Mazindrani dalam bukunya Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjul Balaghah dan masih banyak lagi.

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah; apa faktor yang mendorong Ali radhiyallah‘anhu rela menikahkan putri tercinta beliau dengan musuh terbesar sepanjang zaman? Mengapa seorang sosok pemimpin yang ma’sum tega mencampakan buah hatinya dalam cengkraman seorang yang kafir?

Ada dua kemungkinan yang bisa menjawab pertanyan di atas.

Pertama, keyakinan bahwasanya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu bebas dari kesalahan alias ma’sum tidaklah benar, karena menikahkan seorang putri tercinta dengan orang kafir merupakan kesalahan besar yang tidak dapat di tolerir. Konsekuensinya adalah; pemimpin-pemimpin yang menggantikan beliau juga tidak memiliki sifat ma’sum, karena beliau yang merupakan pemimpin tertinggi tidaklah ma’sum.

Kedua, keyakinan bahwasanya Umar radhiyallahu‘anhu adalah kafir tidaklah benar. Jangankan orang yang ma’sum, orang biasa yang tidak ma’sum saja tidak mungkin rela menikahkan putri kesayangannya dengan orang kafir. Jadi, pernikahan Ummu Kultsum merupakan bukti nyata bahwa Umar radhiyallahu’anhu adalah seorang muslim. Bahkan bukan muslim biasa, melainkan seorang muslim pilihan nan sejati.

Benar-benar membingungkan bukan? Kalau memang keyakinan yang mereka adalah sebuah kebenaran yang datang dari Allah ta’ala, tidak mungkin ada kontradiksi semacam ini. Ini membuktikan bahwa ajaran mereka merupakan produk manusia, bukan bersumber dari wahyu. (Bersambung /www.tanaasuh.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar