Kamis, 02 Juni 2011

Membongkar Mitos-mitos Rokok

(I)

31 Mei ditetapkan sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS). Berbagai acara digelar untuk memperingati hari tersebut. Salah satunya adalah aksi damai di Jakarta, kemarin.

Tujuan peringatan HTTS tentu saja mengajak masyarakat menyadari bahaya tembaka atau rokok. Semua orang tidak membantah tentang bahaya tembakau. Tapi anehnya, makin tahun jumlah "ahli hisap" (plesetan untuk para perokok) sepertinya tidak berkurang. Buktinya, mesin pabrik rokok di Indonesia masih terus berputar.

Ada sejumlah mitos yang dibangun oleh para pendukung rokok, sehingga gerakan-gerakan larangan rokok yang diprakarsai berbagai pihak selalu kandas. Mitos-mitos itu misalnya nasib para petani tembakau, bertambahnya jumlah pengangguran, berkurangnya pemasukan negara; bila rokok dilarang.

Nah, tulisan berikut ini mencoba membongkar mitos-mitos tersebut

Kasihan Nasib Petani Tembakau?

Menurut Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia petani tembakau di Indonesia lebih dari 20 juta orang. Maka bayangkanlah bila rokok dilarang, betapa dahsyatnya dampak sosialnya? Bagaimana nasib jutaan orang yang menggantungkan hidupnya pada industri tembakau itu?

Hasil kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) dan Biro Pusat Statistik (BPS) menyimpulkan bahwa jumlah petani tembakau di Indonesia tidaklah signifikan, karena hanya 1,6% (sekitar 684 ribu) dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian atau setara dengan 0,7% dari jumlah seluruh tenaga kerja di Indonesia.

Dari prosentase jumlah petani tembakau yang kecil itu pun, kondisi sosial ekonomi mereka juga kurang menggembirakan. Kualitas kehidupan masyarakat sering diukur dari tingkat pendidikan formalnya. Nah, pendidikan petani tembakau kebanyakan (69%) hanya lulusan SD.

Dilihat dari rumahnya, 58% masih berlantai tanah. Itu artinya mereka standar kehidupan mereka masih memprihatinkan.

Dililhat dari penghasilan, mereka juga kurang memenuhi standar kehidupan yang layak, karena rata-rata upah petani tembakau hanyalah 47% dari rata-rata upah nasional.

Di sisi lain, petani tembakau nyaris tak mempunyai nilai tawar di hadapan industri rokok. Industri rokok adalah satu-satunya pembeli tembakau. Bahkan konon, yang menentukan mutu tembakau adalah pabrik rokok, sementara para petani diam tak berkutik.

Masing-masing pabrik rokok punya tim yang bakal menilai tingkat mutu tembakau. Ada sekitar 40 tingkatan mutu dan harga. Mutu terendah harganya Rp 500 dan tertinggi Rp 25 ribu per kilogram.

Dari data di atas, jelas telah terjadi ‘penjajahan’ terhadap petani tembakau. Bahkan, seandainya petani melakukan perlawanan, misalnya boikot tidak menanam tembakau. Jangan dikira industri rokok bakal gulung tikar. Mereka punya persediaan tembakau melimpah, cukup untuk satu tahun. Andaikan persediaan tak cukup, mereka masih bisa impor seperti sekarang.

Mengatasi ‘penajajahan’ tersebut, tak ada jalan lain, para petani harus beralih ke pekerjaan lain. Dalam hal ini Indonesia bisa belajar kepada Thailand. Negeri tetangga ini cukup sukses mengajak petani opium beralih ke tanaman lain.

Pemerintah Thailand melakukan pendekatan persuasif sekaligus solutif. Dia tak cuma melarang, melainkan memberi penjelasan dan juga fasilitas bagi petani yang mau beralih ke tanaman lain. Fasilitas itu misalnya memberikan subsidi. Tak pelak, lambat laun petani pun bersedia pindah ke jenis tanaman lain yang tak kalah produktif, misal kopi.

Itulah yang sebenarnya harus dilakukan pemerintah Indonesia.

(II)

Kontribusi Rokok Kurang dari 1%

Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Fatwa itu kemudian menyulut kontroversi. Muhammadiyah dan MUI dituding tidak punya kepekaan sosial. Jika rokok diharamkan, bagaimana dengan nasib ratusan ribu buruk pabrik rokok? Bagaimana pula dengan dengan para petani tembakau? Inilah persoalan-persoalan yang mengemuka mengiringi fatwa rokok.

Jika logika itu dijadikan alasan untuk mereduksi pengharaman rokok, kita khawatir industri-industri haram akan bertebaran di bumi pertiwi.

Bayangkan, jika industri minuman keras, narkoba, dan lokalisasi berdiri di Indonesia dan berhasil menyerap jutaan tenaga kerja. Apakah kita lantas kemudian meringankan hukum minuman keras dan bisnis haram lainnya?

Pengambilan hukum harus didasari alasan yang benar. Karena ternyata tidak ada fakta, baik secara akademis atau empiris yang membuktikan bahwa pengendalian tembakau (rokok) mengakibatkan ‘kiamat ekonomi’ bagi suatu negeri. Bahkan perlu diketahui, industri rokok hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

Bandingkan, misalnya dengan sektor jasa konstruksi yang berkontribusi 5,4% atau sektor pertambangan yang berkontribusi 4,6%. Ke depan, daya serap pabrik rokok bakal terus menurun. Itu seiring mekanisasi yang kini dilakukan industri rokok.

Maka sangatlah berlebihan jika menjadikan dampak ekonomi sebagai alasan untuk meringankan hukum rokok menjadi makruh atau mubah. Menurut Ketua Koalisi untuk Indonesia Sehat, Prof Dr Firman Lubis, keuntungan yang diperoleh industri rokok sekitar Rp 13 triliun, sementara kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 42 triliun lebih. Kerugian itu dibayar lewat biaya kesehatan dalam APBN.

Anehnya, menyaksikan begitu banyak rakyat yang teracuni oleh rokok yang jahat itu, pemerintah hanya berdiam diri. Jangan menggadaikan kesehaan anak bangsa, hanya karena takut kehilangan cukai yang nilainya sama sekali tak sebanding dengan biaya kesehatan yang mesti ditanggung.(Bambang S, dari buku "Merokok Haram" /www.hidayatullah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar