Sabtu, 18 Juni 2011

Budaya Ilmu

Oleh Dr.Syamsuddin Arif

Istilah ‘budaya ilmu’ dipopulerkan oleh Professor Dr Wan Mohd Nor Wan Daud lewat buku-buku maupun ceramah-ceramahnya selama hampir dua dasawarsa terakhir ini.

Menurutnya, ‘budaya ilmu’ ialah (i) kondisi dimana setiap anggota dan lapisan masyarakat melibatkan diri secara langsung maupun tidak langsung dalam pelbagai kegiatan ilmiah pada setiap kesempatan: gemar membaca, mempelajari, meneliti, mendiskusikan aneka persoalan keilmuan. ‘Budaya ilmu’ terwujud (ii) apabila setiap orang sebagai individu maupun sebagai entitas kolektif (masyarakat, bangsa, umat) membuat segala pilihan, keputusan dan tindakan yang diambilnya atas dasar ilmu, melalui proses investigasi, riset, dan konsultasi. Ciri lain dari ‘budaya ilmu’ adalah (iii) sikap menjunjung tinggi ilmu, situasi dimana ilmu menempati kedudukan tertinggi dalam tata nilai setiap pribadi dan masyarakat pada semua lapisan, yang diejawantahkan dengan penghargaan tinggi kepada setiap individu maupun lembaga yang aktif mencari, meneliti, mengembangkan dan menyebarkan ilmu.1 Inilah yang yang disebut sebagai ‘the learning society’ yang memancarkan ‘the culture of knowledge and learning’.

Asas-asas budaya ilmu dalam pengertian di atas sesungguhnya terperi dalam ajaran Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam. “Wahai Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu” (QS 20:114) adalah doa yang difirmankan Allah Ta'ala kepada beliau. “Apakah sama, mereka yang berilmu dan tak berilmu?” (QS 39:9) dan “Hanya mereka yang berilmu dari kalangan hamba Allah yang gentar kepadaNya” (QS 35:28) merupakan petikan beberapa ayat kitab suci al-Qur’an yang menekankan betapa pentingnya ilmu. Demikian pula banyaknya pesan-pesan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkenaan ilmu dan keilmuan. “Ilmu tidak akan dicabut dari manusia, tetapi orang-orang berilmu akan diambil Allah, maka dengan kepergian mereka hilanglah ilmu. Akibatnya muncul orang-orang jahil tak berilmu yang tampil sebagai tokoh panutan, mereka sesat dan menyesatkan manusia lain pula,” adalah satu dari sejumlah sabda baginda mengenai ilmu.

Maka tak menghairankan jika ilmu menjadi tema sentral peradaban Islam. Hal ini bukannya impian atau khayalan, akan tetapi fakta sejarah yang sangat gamblang. Dalam studinya yang cukup mendalam, seorang pakar filologi dari Yale University menyimpulkan bahwa rahasia kegemilangan peradaban Islam itu terletak pada ilmu. Ilmu merupakan konsep yang sangat menonjol dan paling hebat perannya dalam melahirkan dan membentuk corak dan watak peradaban Islam: ‘one of those concepts that have dominated Islam and given Muslim civilization its distinctive shape and complexion’, tulis Franz Rosenthal. Satu ciri yang tak ditemukan pada peradaban bangsa-bangsa lain di dunia adalah posisi ilmu di dalam Islam sebagai ‘dominant concept’, ‘a unique cultural term’, ‘a powerful and, perhaps, the most effective rallying force’, tegasnya.

Menariknya, beliau menyebutnya sebagai ‘peradaban Islam’ dan bukan peradaban Arab, Persia, Turki, Berber, atau Timur, sebab menurutnya, peradaban tersebut melibatkan dan menaungi pelbagai suku bangsa, etnik maupun agama. Kontributornya tidak hanya Arab dan Muslim, tetapi juga Persia (seperti Ibn Sina dan Imam al-Ghazali), Turki (seperti Imam al-Bukhari dan al Farabi), Nasrani (seperti ..... ), juga Yahudi (semisal Ibn Kammunah dan Musa ibn Maymun).



Pembudayaan Ilmu

Dalam sejarah Islam, pembudayaan ilmu telah dirintis oleh Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam. Beliau memberantas buta-huruf dengan menganjurkan para Sahabat belajar baca-tulis, menyuruh Zayd bin Tsabit belajar bahasa Ibrani (Hebrew) dan Suryani (Syriac) kepada ulama Bani Isra’il (Ahlul Kitab). Beliau juga melantik sejumlah Sahabatnya menjadi juru tulis pencatat wahyu al-Qur’an dan Ĥadis, penulis surat-surat diplomatik dan sebagainya. Beliau sendiri aktif mengajarkan al-Qur’an, memberikan ceramah, nasihat, fatwa dan pengadilan (qadha’).

Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa tiap seminggu sekali Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menyediakan waktu satu hari khusus bagi kaum ibu termasuk istri dan putri-putrinya untuk belajar dan bertanya tentang pelbagai persoalan agama. Bimbingan khas diberikan kepada beberapa orang dewasa (semisal Abu Hurayrah rahdiyallaahu 'anhu) maupun kanak-kanak (sepertil ‘Abdullah bin ‘Abbas ra) dan ahli keluarganya (‘A’isyah binti Abi Bakr radhiyallaahu 'anhu ). Pendek kata, pendidikan, pengajaran, pembahasan dan penyebaran ilmu telah dimulai sejak abad pertama Hijriah. Di satu sisi, ini disebabkan sentuhan ayat-ayat suci al-Qur’an yang menggugah jiwa dan mengobarkan semangat. Di sisi lain, situasi itu memacu perkembangan budaya ilmu di dunia Islam secara pesat luar biasa. Proyek pengumpulan dan pembukuan al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakr dan Khalifah ‘Utsman mustahil terlaksana sekiranya tradisi ilmu di kalangan Sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

belum terwujud. Khalifah Umar ibn al-Khattab yang dikenal sebagai ahli strategi perang dan negarawan ulung sangat menghargai ahli ilmu, sedang Khalifah Ali dikagumi ketajaman nalar dan kedalaman ilmunya, disamping kepahlawanannya. Ada banyak riwayat yang bisa kita simak tentang kegiatan ilmiah para tokoh generasi awal umat Islam. Abu’l-Aswad ad-Du’ali, misalnya, merumuskan ilmu linguistik (tata bahasa, morfologi dan orthografi) atas petunjuk Khalifah ‘Ali ra. Ilmu tafsir diletakkan dasar-dasarnya oleh ‘Abdullah ibn ‘Abbas.

Kegiatan mencatat dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dalam bentuk skroll dilakukan oleh ‘Abdullah ibn ‘Amr (dinamakan as-Shahifah as-Shadiqah). Upaya mendokumentasi dan mengoleksi hadits dilanjutkan oleh generasi sesudah mereka semisal, ‘Urwah ibn az-Zubayr (w. 94 H), Muhammad ibn Syihab az-Zuhri (w. 124 H), Hammam ibn Munabbih (w. 132 H) dan banyak lagi. Kurun kedua hijriah pun menyaksikan lahirnya tokoh-tokoh ilmuwan dengan kepakaran masing-masing. Imam Abu Hanifah (w. 150 H) di Kufah menulis kitab al-Fiqh al-Akbar (mengenai teologi), Imam al-Awza‘i (w. 157 H) di Damaskus mengarang kitab as-Siyar (prinsip-prinsip hubungan internasional), Imam Malik (w. 179 H) di Madinah menyusun kitab al-Muwatta’ (kompilasi hukum Islam), dan Imam as-Syafi‘i (w. 204 H) di Baghdad merumuskan ilmu ushul fiqh (jurisprudensi Islam) dalam kitabnya yang masyhur: al-Risalah. Jika pakar linguistik al-Khalil ibn Ahmad (w. 175 H) menerbitkan kitab al-‘Ayn, kamus pertama di dunia, maka muridnya Sibawayh (w. 177 H) menyusun ilmu tata bahasa dalam al-Kitab.

Di abad berikutnya kita saksikan gerakan penerjemahan buku-buku ilmiah mengenai pelbagai cabang ilmu dari bahasa Yunani (Greek), Suryani (Syriac), Parsi dan Sansekerta ke dalam bahasa Arab.

Tak lama kemudian sampailah umat Islam ke puncak tertinggi peradaban manusia: mereka menjadi penunjuk dan penerang jalan bagi umat lain dalam pendakian ilmiah. Segala pelosok ilmu pengetahuan mereka telusuri, segala persoalan keilmuan mereka tangani, ‘dari persoalan gajah hingga persoalan semut’, dengan pendekatan rasional, empiris, detil, kritis lagi kreatif. Ada yang mempelajari seluk-beluk bahasa seperti, .... , mengupas .... seperti ...
Saintis al-Biruni tidak hanya berhasil mengukur lingkaran bola bumi dan memberikan koordinat wilayah-wilayah penting saat . Studi empirisnya mengenai tradisi agama dan budaya bangsa India yang direkamnya dalam kitab ‘Aja’ib al-Hind (Ust DR Syamsuddin Arif /http://www.inpasonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar