Kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma
Kerancuan kedua, masih seputar kema’suman Ali radhiallahu ’anhu serta vonis kafir terhadap kedua Khalifah; Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma yang menjadi fundamental keimanan para penganut sekte Syiah.
Fakta sejarah mengatakan bahwa ketika kaum muslimin berkonsesnsus untuk menobatkan Abu Bakar radhiallahu ’anhu sebagai pemimpin kaum, Ali radhiallahu ’anhu termasuk salah orang yang membai’at dan berjanji setia kepada beliau. Dengan kata lain, Ali radhiallahu ’anhu merestui, meridhai dan mengakui secara de facto kepemimpinan beliau. Pun begitu setelah Abu Bakar radhiallahu ’anhu mangkat, Ali radhiallahu’anhu ikut ambil bagian dalam bai’at Umar radhiallahu ’anhu.
Pertanyaannya adalah; bagaimana mungkin orang yang ma’sum, terbebas dari kesalahan, bisa merestui kepemimpinan seorang kafir? Sementara Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Dan Allah tidak akan membiarkan orang-orang kafir menjadi penguasa bagi kaum mu’min.”(QS. An-Nisaa' ayat 141)
Jika memang benar mereka berdua kafir, masuk akalkah seorang Ali radhiallahu ’anhu tetap setia kepada mereka berdua, padahal Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam melarang umatnya untuk mematuhi pemimpin yang jelas-jelas kafir? Sebagaimana penuturan Ubadah bin Shamit,
Artinya, “Kami membaiat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam untuk senantiasa patuh dan taat –kepada pemimpin-, baik dikala senang maupun susah, suka maupun duka. Meskipun dia berbuat tidak adil, kami tetap dilarang untuk memberontak.” Beliaupun melanjutkan, “Kecuali jika kalian menyaksikan dengan jelas kekufuran dalam dirinya berdasarkan petunjuk yang datang dari Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari)
Ada dua hipotesa untuk teka-teki di atas:
Pertama, klaim bahwa Ali radhiallahu ’anhu ma’sum (berada pada posisi aman dari dosa-red) hanyalah omong kosong belaka, karena merestui kepemimpinan orang kafir merupakan kesalahan besar.
Kedua, kalau benar Ali radhiallahu ’anhu ma’sum, maka baiat yang beliau lakukan kepada mereka berdua merupakan bukti nyata bahwa tuduhan yang mereka lontarkan terhadap kedua Khalifah tidaklah terbukt, hanya omong kosong.
Konsekuensi dari kedua statemen ini sama dengan konsekuensi pada bab kerancuan pertama. (bersambung, insya Allah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar