Kajian ini berisi kritik atas manhaj pelaku dakwah yang mudah mengafirkan (takfir) kelompok lain yang berbeda pendapat dengannya. Padahal perbedaan itu masih di wilayah ijtihadiy sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan, dan perbedaan itu sah menurut para ulama. Sikap berlebih-lebihan dalam masalah takfir (mengafirkan orang, mengeluarkan kaum muslimin dari agama Islam dan memerangi mereka), bila dibiarkan akan mengganggu hubungan persaudaraan (ukhuwah) di antara kaum muslimin. Dan hal tersebut selain menyebabkan kegagalan misi dakwah, juga menimbulkan citra yang buruk bagi pelaku dakwah dan umat Islam secara keseluruhan.
Berkaitan takfir, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid dalam bukunya Dar’ul Fitnah ’an Ahli Sunnah memberikan beberapa rambu dan peringatan sebagai berikut:
1. Takfir adalah hukum syari’at yang tidak boleh didasarkan pada ra’yu (akal) semata, karena masalah ini termasuk masalah syar’i, bukan masalah aqliyah. Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa takfir merupakan hak Allah semata, dan tidak ada seorang pun di antara hamba-hamba-Nya yang berhak menentukannya. Maka orang kafir adalah orang yang dikafirkan Allah dan rasul-Nya, bukan yang lain. Demikian juga menghukumi seseorang sebagai orang adil, darahnya terjaga dan termasuk orang yang berbahagia di dunia dan akhirat merupakan masalah syar’i, oleh karena itu ra’yu tidak boleh masuk ke dalamnya. Hukum untuk menentukan itu adalah hak milik Allah dan Rasul-Nya.
2. Untuk menghukumi sesuatu sebagai riddah dan kufr harus ada sebab-sebab adanya hukum riddah dan kufr yaitu perkara-perkara yang membatalkan keislaman dan keimanan, baik berupa keyakinan, perkataan, perbuatan, keraguan, atau meninggalkan suatu perbuatan, yang menurut dalil yang jelas dan keterangan yang terang dari al-Kitab, sunnah dan ijma’ bahwa hal ini merupakan pembatal-pembatal iman yang mu’tabar. Maka dalil yang dlaif (lemah) tidak cukup untuk dijadikan sandaran, demikian juga dalil yang masih samar. Dan tidak boleh mengambil pendapat seorang pun jika pendapatnya itu tidak didasari dalil yang jelas dan shahih. Para ulama telah menjelaskan sebab-sebab kekufuran di dalam kitab-kitab akidah, dan dalam sub bab hukum orang murtad dalam kitab-kitab fikih. Sebagaimana adanya faktor-faktor yang harus ada untuk menentukan hukum riddah dan kekufuran, maka dia juga memiliki beberapa syarat dan penghalang. Syaratnya adalah harus ada penegakan hujjah risalah yang dapat menghilangkan syubhat, dan tidak adanya penghalang-penghalang seperti takwil, kebodohan, kesalahan dan paksaan. Pada sebagian syarat tersebut ada perinciannya yang cukup panjang.
3. Harus dibedakan antara takfir mutlak dan takfir mu’ayyan. Takfir mutlak adalah tindakan mengafirkan secara umum terhadap orang yang melakukan salah satu pembatal keislaman. Sesungguhnya keyakinan, perkataan, perbuatan, keraguan ataupun meninggalkan satu perbuatan itu jika termasuk kekufuran, maka perkataan yang mutlak itu adalah dengan mengafirkan orang yang melakukan perbuatan itu atau mengucapkan perkataan tersebut dan seterusnya. Tanpa menentukan orang per orangnya. Adapun takfir mu’ayyan adalah jika ada orang yang mengucapkan perkataan itu atau melakukan perbuatan kufur, maka sebelum menghukumi bahwa orang itu kafir harus dilihat terlebih dahulu terpenuhinya syarat-syaratnya dan tidak adanya penghalang. Dia dihukumi sebagai kafir dan murtad, lalu diminta untuk bertaubat, maka jika dia bertaubat, dia bebas. Dan jika tidak mau bertaubat, dia dibunuh menurut ketentuan syari’at.
4. Pendapat yang benar adalah tidak mengafirkan setiap orang yang menyelisihi ahlussunnah wal jama’ah karena penyimpangannya. Tetapi hukumnya didudukkan sesuai dengan jenis penyimpangannya, apakah termasuk kekufuran, bid’ah, fasik atau maksiat.
Demikianlah pendapat ahlussunnah wal jama’ah, yaitu tidak mengafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki ilmu, iman, sikap adil, dan kasih sayang kepada sesama makhluk. Ini berbeda dengan ahlul hawa’, yang kebanyakan mereka mengafirkan orang yang menyelisihi mereka.
5. Sebagaimana iman itu bercabang-cabang dan tingkatannya berbeda-beda (yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaa haillallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu itu termasuk salah satu cabang iman), maka demikian juga dengan kekufuran, yang merupakan lawan dari iman, dia juga bercabang-cabang dan tingkatannya berbeda-beda. Yang paling buruk adalah kekufuran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, seperti kufur kepada Allah dan mendustakan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. Ada juga yang disebut kufur duna kufrin (kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama). Dan ada pula sebagian perbuatan maksiat yang dinamai dengan kekufuran.
Oleh karena itu, para ulama tafsir, para pensyarah hadits dan para penulis ilmu bahasa Arab dan kata-kata yang memiliki lebih dari satu makna mengingatkan, bahwa lafazh kufur yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah itu memiliki beberapa makna: ada yang termasuk kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari agama, kufr duna kufrin, kufur nikmat, bebas dari tuduhan, juhud (ingkar) dan menutupi (sesuai dengan asal maknanya menurut bahasa). Berdasarkan hal ini, maka jika ada seorang hamba yang melakukan salah satu cabang kekufuran, dia tidak serta merta menjadi kafir secara mutlak yang mengeluarkannya dari agama, sehingga dia melakukan pokok kekufuran, yang berupa salah satu pembatal keislaman, baik yang berupa keyakinan, perkataan ataupun perbuatan yang keterangannya bersumber dari Allah dan rasul-Nya, bukan dari yang lain. Maka yang wajib dilakukan adalah meletakkan nash-nash sesuai pada tempatnya, dan menafsirkannya sesuai dengan yang dimaksud nash tersebut berdasarkan penjelasan para ulama amilin yang ilmunya mendalam. Kekeliruan dalam masalah ini sering terjadi dalam tataran praktik dan penafsiran nash, maka hendaknya orang yang ingin adil pada dirinya menyadari bahwa ini merupakan perkara yang pelik dan rinci, dan hendaknya dia berhenti pada batas-batasnya dan menyerahkan ilmu kepada orang yang menguasainya.
6. Menetapkan hukum kafir itu bukan merupakan hak setiap orang, namun penetapan hukum ini diserahkan kepada para ulama yang memahami ilmu syar’i secara mendalam dan mendapat pengakuan dalam hal ilmu, kebaikan dan keutamaannya.
7. Adanya peringatan keras dan larangan berburuk sangka kepada seorang muslim, apalagi mencacinya dan mengafirkannya, menghukuminya sebagai orang murtad dan tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan dalam masalah itu tanpa didasari hujjah dan penjelasan dari al-Qur’an dan sunnah[1]
Para ulama sangat hati-hati ketika memberikan status kafir kepada kelompok-kelompok sesat. Hal itu bukan lain karena besarnya akibat yang muncul dari status kafir. Berikut beberapa pendapat ulama tentang hal tersebut:
Imam Al-Khatabi, dalam kitab Ma’alim as-Sunan-nya, ketika mensyarahi hadits perpecahan umat, mengatakan:”Di dalam hadits tersebut ada dilalah yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok itu semua tidak keluar dari agama, karena Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam telah menjadikan mereka semua bagian dari umatnya.”
DR. Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa semua golongan ahli sunnah, baik itu mazhab Asy’ari, Maturidi, Hambali, Mutakallimin, Ahli hadits, para ulama fiqih maupun sufi, tak satupun yang mengafirkan golongan-golongan yang mereka pandang sebagai pelaku bid’ah. Mereka tidak mengafirkan golongan Khawarij dan Muktazilah serta golongan lainnya. Mereka tidak menganggap golongan yang melakukan bid’ah itu keluar dari Islam. Mereka hanya memberikan hukum bahwa golongan tersebut adalah golongan pembuat bid’ah saja, tidak lebih.[2]
Sedang pendapat Syaikh Islam Taqiyuddin As-Subki tentang ahli bid’ah (dalam hal akidah) tertuang dalam kitab Al-Yawaqit wa al-Jawahir, karya Asy-Sya’rani. Imam As-Subki berkata:
"Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa keberanian mengafirkan orang-orang yang beriman adalah sesuatu yang amat serius. Setiap orang yang menyimpan keimanan dalam kalbunya, akan merasa sangat takut melontarkan ucapan pengkafiran terhadap para ahli bid'ah itu, sementara telah mengikrarkan kalimat La ilaha illa Allah Muhammad Rasul Allah. Sungguh, pengkafiran adalah perkara yang amat serius dan sangat berbahaya. Maka demi menjaga adab dan sikap lurus, setiap orang Mukmin hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan mengafirkan siapa pun dari para ahli bid'ah itu, kecuali apabila mereka secara terang-terangan berlawanan dengan nash-nash yang jelas dan pasti dan yang tidak mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan."[3]
Muhammad Abdul Hadi Al-Mishri, mengutip dari Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, Ahli Sunnah wa al-Jama’ah berpendapat bahwa bid’ah yang menentang Sunnah ada yang terjadi dalam perkara-perkara yang samar, dan ada juga yang terjadi berkenaan dengan perkara-perkara prinsip yang besar. Oleh sebab itu, pelaku-pelaku bid’ah bersama pendukungnya mempunyai tingkat penyimpangan yang berbeda-beda terhadap Sunnah. Sebagian mereka berselisih dalam soal lafazh dan asma. Sebagian lagi berselisih dalam soal makna dan hakikat segala sesuatu.[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (salah seorang ulama bermadzhab hambali) di dalam Majmu’atur Rasail wa al-Masail juz 5 halaman 199 dan 201, mengatakan bahwa tidak boleh mengafirkan seorang muslim dengan alasan dosa yang telah dilakukannya atau kesalahan yang pernah ia lakukan, seperti dalam masalah-masalah yang memang terjadi perbedaan diantara ahli kiblat (umat Islam). Orang-orang Khawarij yang diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk memerangi mereka, dan amirul mukminin Ali bin Abi Thalib pun telah berperang dengan mereka serta telah terjadi kesepakatan di antara para imam di antara kaum muslimin mulai zaman shahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya untuk memerangi mereka, namun Shahabat Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash dan para shahabat lainnya tidak menganggap mereka kafir. Mereka tetap sebagai muslim, tetapi harus diperangi. Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib tidak memerangi mereka kecuali setelah mereka menumpahkan darah terlebih dahulu dan merampas harta kaum muslimin. Jadi Amirul mukminin memerangi mereka dalam rangka untuk menumpas kedzaliman mereka, dan bukan karena mereka termasuk orang-orang kafir. Karenanya istri-istri mereka tidak dijadikan sebagai tawanan perang, demikian juga harta-harta mereka juga tidak dijadikan sebagai rampasan perang (ghanimah).
Jikalau orang Khawarij yang telah ditetapkan oleh nash dan ijma’ sebagai kelompok yang sesat dan harus diperangi tidak dianggap sebagai kelompok yang kafir, lalu bagaimana dengan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat, yaitu kelompok yang tidak mengetahui sesuatu yang benar terhadap beberapa hal, yang orang sebelum mereka (yang lebih memahami tentang agama ini) juga salah dalam hal itu? Maka tidak diperbolehkan (la yahillu) saling mengafirkan di antara mereka, karena barangkali mereka sendiri yang lebih banyak berbuat bid’ah dibanding kelompok yang mereka kafirkan. Secara umum bisa dikatakan bahwa mereka semua adalah orang-orang yang tidak tahu hakekat sebenarnya tentang masalah yang diperselisihkan.
Darah, harta, dan harga diri kaum muslimin hukum asalnya adalah haram bagi kaum muslimin yang lain. Hukum itu tidak bisa berubah menjadi halal kecuali atas izin Allah dan rasul-Nya. Ketika ada seorang muslim yang dianggap (muta-awwal) harus diperangi atau dihukumi kafir, tidak otomatis dia menjadi kafir sebab anggapan itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada Hatib bin Abi Balta’ah,”Wahai Rasulullah, biarkanlah saya memenggal leher munafik ini.” Rasulullah saw menjawab,”Dia adalah termasuk ahli Badr (orang yang ikut perang Badar). Tahukah kamu bagaimana sikap Allah kepada Ahli Badr? Allah berfirman,’Berbuatlah semau kalian, karena kalian sudah diampuni.’ Dan kisah ini terdapat dalam Shahihain.
Contoh lain yaitu pada peristiwa ifiq. Usaid bin Hudlair berkata kepada Sa’ad bin Ubadah,”Kamu itu orang munafik yang mengolok-olok orang-orang munafik.” Akhirnya terjadilah permusuhan di antara mereka. Kemudian Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam mengishlahkan mereka.
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 9-10)
Di ayat di atas, sungguh Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa mereka, meskipun saling berperang dan saling menganiaya, tetap sebagai saudara seiman. Karenanya, Allah memerintahkan untuk ishlah di antara mereka dengan adil.
Imam Asy-Syatibi (salah satu ulama bermadzhab maliky) di dalam kitab Al-I’tishom juga membicarakan tentang para pengikut hawa nafsu (ahlul hawa) dan para pelaku bid’ah (ahlul bid’ah) yang sering mengambil sikap yang berbeda dengan umat Islam, seperti kelompok Khawarij dan lainnya. Beliau berkata,”Umat (para ulamanya) berbeda pendapat tentang status para pelaku bid’ah yang besar (al-bida’ al-’udzma), apakah mereka kafir atau tidak. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat adalah tidak menghukumi mereka sebagai kafir. Dalilnya adalah tindakan ulama salaf terhadap mereka.
Perhatikan sikap ’Ali radliyallahu ’anhu terhadap kelompok Khawarij, ketika beliau memperlakukan mereka---meskipun memerangi mereka---sebagaimana memperlakukan umat Islam. Sesuai dengan firman Allah Ta'ala.
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
Imam Nawawi (salah satu ulama bermadzhab Syafi’iy) di dalam Syarh Muslim berkata,”Ahli kiblat (seorang muslim) tidak menjadi kafir karena suatu dosa yang dilakukannya. Para pengikut hawa nafsu dan bid’ah (seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Rafidlah) juga tidak kafir. Adapun orang yang menentang/menolak terhadap apa –apa (dari agama) yang telah diketahui dengan pasti, maka ia dihukumi murtad dan kafir, kecuali ia baru masuk Islam atau berada di daerah yang sangat jauh/pelosok sehingga tidak ada informasi tentang agama Islam ke daerah tersebut. Demikian juga (dihukumi kafir) orang yang menghalalkan zina, khomr, membunuh atau lainnya yang memang diharamkan secara pasti oleh agama.”[5]
Imam Ghazali (salah seorang ulama bermadzhab syafi’iy sekaligus asy-’ary) setelah membicarakan tentang Mu’tazilah, Musyabbihah dan kelompok-kelompok pembuat bid’ah di dalam agama serta kelompok-kelompok yang salah dalam melakukan ta’wil, beliau berkata,”Yang seyogyanya dilakukan adalah menahan diri untuk mengklaim kafir, selama ditemukan suatu alasan. Karena menghalalkan darah dan harta orang Islam yang sholat menghadap kiblat dan jelas-jelas membaca kalimat laa ilaaha illaah adalah suatu kesalahan. Dan kesalahan membiarkan hidup seribu orang kafir lebih ringan bila dibandingkan kesalahan mengalirkan darah seorang muslim. Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam, berkata, ’Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah. Maka ketika mereka telah mengucapkannya, berarti telah menjaga darah dan harta mereka dari saya.’”[6]
Ibnu Qudamah al-Maqdisy juga menegaskan bahwa ia tidak mengafirkan seorang pun dari ahli qiblat sebab dosanya dan juga tidak mengeluarkannya dari Islam sebab perbuatannya.[7]
Sedang berkaitan dengan hukum kafir terhadap orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, Abu Nashar as-Sajzi mengemukakan dua pendapat berikut:
Pertama, orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, maka dia kafir yang mengeluarkannya dari agama. Inilah pendapat kebanyakan ulama.
Kedua, dia kafir tetapi tidak mengeluarkannya dari agama. Maka dari itu Al-Khaththabi berkata,”Ini mereka katakan dalam rangka untuk menyalahkan orang-orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk itu, dengan kesalahan yang berat. Begitu juga para ulama terakhir dari sahabat-sahabat kami juga berselisih pendapat dalam mengafirkan mereka secara abadi. Sebagian besar mereka mengabadikannya seperti yang dinukil dari sekelompok ulama hadits klasik seperti Abu Hatim, Abu Zar’ah dan lain-lain. Tetapi sebagian lain menolak bahwa mereka kafir selamanya.[8]
Pandangan ulama-ulama di atas jelas sekali bagaimana kehati-hatian mereka dalam menghukumi kafir pada kelompok lain. Itu karena mereka menyadari hukum yang akan mengenai seseorang ketika ia murtad/kafir. Padahal kelompok-kelompok yang disebutkan oleh para ulama di atas, sebagian besar adalah kelompok-kelompok yang sudah dianggap sesat oleh para ulama. Lalu apa dalilnya, sehingga kita berani menganggap kafir kepada kelompok lain yang berbeda dengan kita, padahal jumhur ulama pun tidak menganggap kelompok itu sebagai kelompok sesat apalagi kelompok kafir? Wallahu a’lamu bish-shawab.
Daftar Pustaka
Al-‘Utsaimin, Syarh Lum’atul I’tiqad, Riyadl: Maktabah Thabariyyah, 1992.
Al-Ghazali, Iqtishod fi al-I’tiqod, cet. 1, Beirut: Dar Al-Minhaj, 2008.
Al-Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal jam’ah: menurut pemahaman ulama salaf, penerjemah: Abu Fahmi, dkk, cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, t.t.
Al-Qahthani, Sa’id bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, terjemahan oleh Munirul Abidin, cetakan kelima, Jakarta: Darul Falah, 2007.
Al-Qaradlawi, Yusuf, Fiqih Peradaban: Sunnah sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, Terjemahan oleh Faizah Firdaus, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
An-Nawawi, Shahih Muslim Syarh Nawawi, juz 1, Kairo: Dar al-Manar, 2003.
Marzuki (ed), Nasihat Salaf untuk Salafi, Klaten: Wafa Press, 2009.
(Sumber: Abdul Hakim, S.Si, Apt(Peneliti InPAS dan Dosen UIN Maliki Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar