By: Ahmed Ibn Abdull-Rahman AlSowyan
(http://albayan.co.uk/id)
(http://albayan.co.uk/id)
Sa'ad ibn Abi Waqqash radhhiyallahu ‘anhu termasuk di antara sepuluh sahabat yang dijamin Nabi akan masuk sorga.[i] Dia juga terhitung sahabat senior, dia adalah orang ketiga yang masuk Islam.[ii] Sa’ad adalah sahabat yang tegar membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat Rasulullah tersudut dalam perang Uhud. Dia juga melalui masa-masa kesulitan dan kelaparan.[iii]
Sa’ad ikut memikul panji jihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dialah sahabat yang pertama kali melepas anak panah dalam jihad Islam [iv]. Dia ikut serta dalam perang Badar sebelum menginjak usia dewasa.[v] Dia juga ikut dalam perang Uhud. Dalam perang tersebut, dia berjuang dengan gigih bersama Rasulullah saat sebagian pasukan lalai.[vi] Atas prestasinya itu, Rasulullah mau menebus panah Sa’ad dengan ayah dan ibunya (ungkapan lazim Arab, pent.).[vii] Selanjutnya, Sa’ad senantiasa ikut perang bersama Nabi dan tidak pernah sekalipun absen.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu bangga pada Sa’ad, sebagaimana dalam ungkapannya:"Ini adalah pamanku, maka siapa yang mau mempertaruhkan pamannya ?[viii] Tentunya, Rasulullah tidak akan membanggakan Sa’ad kecuali karena dia termasuk pahlawan pilih tanding yang memang berhak untuk itu.
Tatkala Umar ibn Khattab radhhiyallahu ‘anhu ingin menaklukkan Iraq dan harus berhadapan dengan kerajaan Persia, ia mengecek sahabat-sahabat sekaligus meminta pendapat mereka. Akhirnya, ia tidak mendapatkan orang yang lebih kapabel daripada Sa'ad, yang diibaratkan "singa dengan kukunya yang tajam"[ix]. Hanya orang yang berpengalaman yang dapat menanggung resiko dan memikul beban maha berat.
Sa’ad tak mengecewakan harapan Umar. Ia berhasil memenuhi harapan Umar, dan mengukir keteladanan yang sangat indah dalam pengorbanan, kekuatan dan kepahlawanan.
Perikehidupan Sa’ad memuat banyak pelajaran penting. Namun di sini cukup tiga yang akan diangkat.
Pertama: Semangat Tempur
Semua bangsa di dunia membahas tentang semangat tempur sebagai sebuah doktrin militer. Doktrin ini diharapkan menjadi spirit pengorbanan dan bela negara. Setiap negara berusaha untuk menghidupkan sejarah masa lalu dan masa kini, sebagai upaya membangkitkan semangat tempur pasukannya.
Nah, tahukah anda apa semangat tempur Sa’ad bin Abi Waqqash radhhiyallahu ‘anhu, tatkala ingin menaklukkan Persia yang merupakan imperium terbesar di zamannya?
Sa’ad ibn Abi Waqqash mengajak pasukannya menyeberang sungai Tigris. Mereka akan menyerang Persia dan menyerbu kota Mada’in, tempat istana raja Kisra. Atas perintah tersebut, sebagian pasukan maju sedang yang lainnya ragu.
Menghadapi situasi tersebut, Sa’ad berkata lantang: "Apakah kalian takut pada air sungai ini?" Kemudian ia membaca firman Allah:
{ وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا} ( آل عمران: 145)
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya."
Untuk menguatkan moral pasukannya, Sa’ad memimpin di depan dan menyeberang. Dia menunggang kudanya masuk ke dalam sungai diikuti oleh pasukannya. Sambil menyeberang, dia berkata: “Hasbunallahu wa ni’mal wakil, Demi Allah, pasti Allah akan menolong wali-Nya, menegakkan agama-Nya dan membinasakan musuh-Nya.”
Keyakinan Sa’ad yang kokoh terhadap pertolongan dan bantuan Allah kepada wali-Nya ini tidak mutlak, tetapi dengan persyaratan yang dia ungkapkan sendiri: "Selama dalam pasukan tidak ada orang yang melampau batas atau perbuatan dosa yang melampaui kebaikan".[x]
Semangat tempur ini memiliki beberapa rambu, yang urgen di antaranya adalah:
Satu, Kekuatan dan keberanian, serta tidak ragu dalam menghadapi segala tantangan. Lantaran itu, Sa'ad menggelari batalyon pertama yang menerobos sungai Tigris dengan “katibah al-ahwal” (ahwal: tantangan berat, pent.).
Benar, langkah Sa’ad merupakan suatu keputusan yang sangat beresiko, karena menyeberangi sungai sebesar sungai Tigris membutuhkan tekat dan keberanian. Dalam konteks ini, sangat tepat ungkapan penyair:
"Jika anda memiliki ide, anda juga harus memiliki tekat.
Karena yang justru merusak suatu ide adalah keragu-raguan".
Generasi awal umat ini sungguh telah menunjukkan kekuatan dan keberanian luar biasa. Tidak berlebihan bila raja Mesir dalam menggambarkan para penakluk berujar: "Andai mereka harus menghadapi gunung, niscaya mereka akan mampu menggulingkannya".[xi]
Serupa dengan itu, deskripsi seorang tokoh Kristen tentang keberanian tentara Islam yang menaklukkan Spanyol: "Sungguh telah masuk ke negeri kami bangsa yang kami tak tahu, apakah dari langit mereka turun, atau dari perut bumi mereka keluar?"[xii]
Dua, keteladanan merupakan kunci antusiasme. Jika seorang pimpinan pasukan berada pada barisan terdepan, niscaya para prajurit tidak akan ragu untuk ikut dan menempuh jalannya. Kepribadian seorang komandan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam memompa semangat dan membangkitkan spirit patriotisme. Para pemimpin sejati hanya akan tampak keunggulan dan jati dirinya justru pada waktu-waktu yang sulit dan genting.
Tiga, yakin terhadap pertolongan dan bantuan Allah. Yakin dengan janji Allah kepada wali-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
{ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ} (الحج:40)
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa".
Juga dalam firman-Nya:
{ وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ} ( العنكبوت: 69)
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik".
Empat, dosa dan maksiat termasuk di antara sebab utama tertundanya pertolongan Allah berikut datangnya kekalahan dan kerugian. Dalam konteks ini, orang-orang beriman sesungguhnya tidak bertempur dangan senjata saja, tetapi juga dengan ketaatannya kepada Allah.
Abu Darda radhhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada sebagian murid-muridnya: "Beramalshalihlah kalian sebelum berperang, karena sesungguhnya kalian bertempur dengan amal-amal kalian".[xiii]
Menyadari bahaya maksiat terhadap keberhasilan dakwah merupakan salah satu sarana utama agar dapat bertobat dan meninggalkannya. Sebaliknya, sikap lalai dan menganggap enteng perbuatan maksiat hanya akan melahirkan barisan dakwah yang rapuh, yang tidak akan mampu memikul tanggung jawab dakwah sebagaimana mestinya.
Anehnya, dalam banyak kesempatan, kita justru lebih sering bertanya, mengapa pertolongan Allah tidak kunjung datang? Mengapa serangan musuh dakwah tak pernah berhenti? Mengapa sebagian program dakwah kita tidak membuahkan hasil yang diharapkan?
Lebih aneh lagi, kita sering kali menjawab pertanyaan seperti itu sebagai sebuah sunnatullah. Tentu itu merupakan salah satu jawabannya. Tetapi selain itu, ada juga faktor-faktor lain yang harus senantiasa diingat. Antara lain adalah faktor dosa dan kemaksiatan kita, yang mengakibatkan kekalahan dan mengaburkan jalan kemenangan. Tepatlah firman Allah:
{ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ } ( البقرة: 124)
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".
Kedua: Berlapang Dada Terhadap Orang Lain
Setelah berhasil menaklukkan Persia dan Irak, Sa'ad bekerja membangun kota Kufah. Ia menetap di sana bersama para sahabatnya. Di tengah itu semua, suatu peristiwa ganjil terjadi. Sekelompok penduduk Kufah mengadukan Sa’ad kepada Amirul Mu'minin Umar ibn Khattab radhhiyallahu ‘anhuma terkait kasus yang amat ganjil. Mereka menuduh Sa’ad sebagai "tidak tahu tata cara shalat yang benar."[xiv]
Subhanallah, salah seorang di antara sepuluh sahabat yang telah dijamin sorga tidak tahu tata cara shalat yang benar? Alangkah keji tuduhan mereka!
Umar ibn Khattab, dengan segala kecerdasan dan kepiawaian, serta pengetahuannya tentang sosok Sa'ad; tahu benar bahwa hal itu adalah dusta belaka. Tetapi karena posisinya sebagai Amirul Mu'minin, maka ia tetap berkewajiban untuk mengkonfirmasi tuduhan tersebut.
Umar kemudian mengirim surat kepada Sa'ad, bertanya dengan lemah lembut: “Wahai Abu Ishaq (kunyah Sa’ad, pent), sekelompok penduduk Kufah menganggap engkau tidak menguasai tata cara shalat dengan baik.”
Sa’ad membalas surat itu: “Demi Allah, sungguh aku memimpin shalat mereka sebagaimana tata cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku tidak menyimpang daripadanya. Aku shalat Isya dengan memanjangkan dua raka'at pertama, lalu memendekkan dua raka'at terakhir.”
Umar balik membalas: "Begitulah yang kami sangkakan kepadamu, wahai Abu Ishaq".[xv]
Akan tetapi, untuk lebih jelasnya, Umar mengutus seseorang untuk bertanya langsung kepada penduduk Kufah tentang Sa'ad. Tidak satu mesjid pun kecuali ia masuki dan bertanya. Hasilnya, mereka semua memuji Sa’ad, sampai orang itu memasuki masjid Bani ‘Abs. Seseorang di antara mereka yang bernama Usamah ibn Qatadah seraya berdiri, berkata: "Kalau engkau bertanya kepada kami tentang Sa’ad, maka sesungguhnya dia itu tidak mau memimpin pasukan kompi, tidak membagi jatah secara merata, dan tidak adil dalam memutuskan suatu perkara”.
Subhanallah, mungkinkah hal seperti itu bisa terjadi pada pribadi yang pernah ditebus oleh Rasululullah dengan kedua orang tuanya, dan menggembirakannya dengan sorga? Alangkah keji kezaliman dan aniaya yang mereka lakukan.
Mendengarkan tuduhan seperti itu, Sa'ad hanya berkata: "Demi Allah, saya akan berdoa kepada Allah atas orang itu tiga hal. Ya Allah, jika hambamu tersebut dusta, ia berdiri karena pamer dan mencari popularitas, maka panjangkanlah umurnya, jadikan dia papa dalam masa yang lama, dan jerumuskan dia dalam berbagai fitnah."
Allah mengabulkan doa Sa’ad. Demikianlah sehingga kelak, setiap kali orang tersebut ditanya atas derita dan kehidupannya yang malang, ia hanya bisa menjawab: "Aku adalah orang tua yang terjerumus dalam banyak fitnah. Aku ditimpa akibat doa Sa'ad".[xvi]
Selanjutnya, dengan kebijaksanaannya, Umar ibn Khattab menurunkan Sa'ad dari jabatannya. Sebagai langkah preventif mencegah terjadinya fitnah di tengah masyarakat, di samping untuk menghapus perdebatan dan gosip terhadapnya.
Namun Umar tetap menghormati kedudukan Sa’ad. Makanya, saat Umar dirawat akibat ditombak (oleh Abu Lu’luah, pent.), ia memasukkannya sebagai salah seorang dari enam anggota dewan syura (untuk memilih khalifah, pent.).
Kepada dewan syura itu, Umar berpesan: "Kalau kepemimpinan jatuh ke pundak Sa'ad, maka ia adalah orang yang sangat kapabel untuk itu. Kalau tidak, maka siapa pun di antara kalian yang kelak terpilih menjadi pemimpin, maka hendaknya ia memanfaatkan Sa’ad. Sesungguhnya aku pernah mencopot jabatannya, bukan karena dia tidak kapabel, dan juga bukan karena ia pernah khianat".[xvii]
Sungguh mengherankan sikap kelompok tertentu yang gemar mencoreng kehormatan para sahabat Nabi, dan dengan cara yang keji. Mereka mendiskreditkan sahabat dengan berbagai kedustaan. Perhatikan, bagaimana mereka pura-pura lupa terhadap keutamaan dan sejarah para sahabat Nabi. Keutamaan yang sesungguhnya luar biasa serta sejarah yang penuh dengan kisah kepahlawanan, jihad dan pembelaan terhadap agama ini.
Dari peristiwa ini ada pelajaran berharga lain. Yaitu jika pelecehan dan tindakan aniaya bisa terjadi terhadap pribadi seperti Sa'ad dan shahabat lain, maka tentu terhadap orang selain dan setelah mereka, seperti ulama, dai dan orang yang berjasa lainnya lebih memungkinkan.
Sebagian manusia yang lemah agama dan rasa takutnya kepada Allah sangat mudah mengeluarkan perkataan untuk mendiskreditkan dan menjatuhkan kehormatan ulama dan dai. Manusia seperti ini sengaja mencari-cari kekurangan para ulama dan dai, bahkan tak segan-segan berdusta atas nama mereka.
Untuk manusia seperti itu, tepat firman Allah:
{ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا } ( الأحزاب: 58)
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata".
Sangat tegas pengingkaran Rasulullah terhadap manusia seperti ini, dalam sabdanya: "Wahai manusia yang mengaku muslim dengan ucapannya, sementara keimanan belum masuk ke dalam hatinya; janganlan kamu menyakiti orang-orang Islam. Jangan mencela dan mencari-cari kekurangan mereka. Barang siapa suka mencari-cari kekurangan saudaranya, niscaya Allah akan mencari-cari kekurangannya. Dan barang siapa dicari-cari kekurangannya oleh Allah, niscaya Allah akan buka kekurangannya, meskipun ia berada di tengah rumahnya".[xviii]
Sudut pandang ini, di sisi lain, bisa meringankan beban orang-orang shaleh dari para ulama dan dai kita yang terlanjur dicemarkan namanya, dengan berbagai tuduhan dusta. Manusia yang telah direkomendasi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun, yang kebesaran dan kedudukannya disepakati oleh umat, dicela dan tidak bebas dari tuduhan. Bagaimana pula manusia yang di bawah mereka, dari segi ilmu dan agama.
Kepada mereka yang suka melontarkan tuduhan, tidakkah mereka takut terhadap akibat doa, sebagaimana doa Sa'ad radhhiyallahu ‘anhu? Di antara pesan yang indah, Hasan ibn Sufyan, salah seorang ulama hadits terkemuka, pernah berpesan kepada seorang muridnya yang telah membuat repot gurunya: "Takutlah pada Allah, karena durhaka kepada guru. Boleh jadi ada doa-doa mereka atas kamu yang terkabulkan".[xix]
Ketiga: Mengisolir fitnah
Ketika perselisihan terjadi di antara sahabat, banyak tokoh dari kalangan sahabat yang mengisolir diri dari dua kelompok yang bertikai. Yang menonjol di antara mereka adalah: Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdullah ibn Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.
Sebuah kehidupan yang penuh dengan jihad dan pengorbanan. Sa’ad adalah sosok yang sejak kecil ikut dalam barisan utama para mujahidin, ia termasuk panglima mujahidin, ia habiskan masa mudanya hingga usia tuanya dalam berjaga, maju dan berkorban di jalan Allah. Akan tetapi, ketika ia melihat pertikaian di antara sahabat, ia menggantung pedangnya dan mengisolir diri, sehingga ia tidak terlibat dalam perang Jamal, perang Shiffin dan proses arbitrase.[xx]
Tentu dapat diprediksi bahwa akan banyak orang yang datang kepadanya bertanya tentang sikapnya. Mengingat bahwa medan perang adalah medan dan keahliannya. "Aku telah berjihad”, jawab Sa’ad dengan tegas, “sedang aku tahu tentang jihad. Aku tidak akan menyiksa diriku, walau yang datang kepadaku adalah orang yang lebih baik dariku. Aku tidak akan berperang sampai mereka memberiku pedang yang memiliki dua mata dan mulut, sehingga dapat berbicara dan mengatakan: ini mu’min, dan ini kafir”.[xxi]
Sebagai bentuk sikap wara’nya, ia menyibukkan diri mengurus ternak demi menghindari fitnah. Putranya, Amir ibn Sa’ad, bercerita bahwa suatu waktu Sa’ad berada di tengah-tengah ternak ontanya. Saat itu datanglah putranya yang lain: Umar bin Sa’ad. Tatkala Sa’ad melihatnya, ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan pengendara ini”.
Setelah Umar turun dari kendaraannya, ia berkata kepada ayahnya: ”Apakah engkau sibuk mengurus onta dan dombamu, sedang kebanyakan orang sibuk membagi kekuasan di antara mereka?”
Maka Sa’ad memukul dada Umar seraya berkata: Diam! Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Seseungguhnya Allah mencintai hambanya yang bertaqwa, kaya dan menyembunyikan diri”.[xxii]
Dalam riwayat lain, ia mengatakan kepada putranya: "Wahai anakku, apakah dalam urusan fitnah engkau menyuruh aku menjadi pimpinan? Demi Allah, tidak sama sekali; sampai aku diberi pedang yang jika aku pakai untuk memenggal orang beriman maka ia terpental, dan jika aku pakai untuk memenggal orang kafir maka ia membunuhnya. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertaqwa, kaya dan menyembunyikan diri".[xxiii]
Meskipun ia mengisolir diri dari dua kelompok yang bertikai, ia tetap melarang mencela para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ibn Musayyab bercerita bahwa ada seseorang yang mencela Ali, Thalhah dan Zubair. Maka Sa'ad melarangnya dengan mengatakan: “Jangan kamu mencela saudara-saudaraku!”
Tetapi orang itu tidak mau menghentikannya. Maka Sa'ad shalat dua raka'at lalu berdoa kepada Allah atas orang tersebut. Sekonyong-konyong datanglah seekor onta dan menerobos ke tengah orang banyak. Onta itu lalu membanting orang tadi dan menginjak persis pada dadanya ke lantai. “Aku menyaksikan banyak orang mengikuti Sa'ad sambil mengatakan, ‘Berbahagialah wahai Abu Ishaq, doamu telah dikabulkan". Demikian cerita Ibn Musayyab.[xxiv]
Sikap yang benar terhadap fitnah sebagaimana di atas merupakan manhaj praktis bagi setiap muslim sepanjang masa, yang rambu-rambunya adalah:
1. Ketika Sa'ad meminta pedang yang memiliki mulut, yang dapat menyampaikan kepadanya bahwa ini seorang muslim agar dapat dia hindari, dan bahwa ini seorang kafir agar ia dapat membunuhnya. Hal ini menunjukkan rasa takutnya yang sangat tinggi untuk menumpahkan darah muslim.[xxv] Sebab saat fitnah dan kekacauan terjadi, serta bendera kebenaran menjadi kabur, maka sikap yang tepat adalah menjauhkan diri darinya.
Rasulullah bersabda: "Muslim sejati adalah muslim yang semua kaum muslimin lainnya merasa selamat dari (perbuatan) lisan dan tangannya".[xxvi]
Sikap menghindar saat fitnah terjadi sama sekali bukan sikap lemah dan pengecut. Bahkan ia merupakan sikap bijak yang akan menyelamatkan seseorang dari jurang musytabihat. Hal ini tidak hanya berlaku dalam situasi pertarungan politik, atau saat terjadi peperangan; tetapi juga merupakan manhaj orang-orang shaleh dalam setiap perbedaan yang samar-samar yang terjadi di antara para ulama, atau para dai, bahkan di antara kelompok-kelompok Islam.
Di antara catatan yang penting di sini, bahwa sebagian orang yang tak berilmu dan yang di dalam hatinya terdapat penyakit, mereka tidak pernah tampil dalam amal-amal yang nyata dan disepakati. Mereka hanya muncul saat terjadi fitnah wal ‘iyazubillah. Sikap seperti ini merupakan bukti seseorang jauh dari rahmat dan taufiq dari Allah.
Ali pernah menasehati salah seorang provokator fitnah. “Tatkala kesatuan kaum Muslim masih utuh,” kata Ali, “engkau tidak memberi sumbangsih kebaikan sama sekali. Namun tatkala fitnah terjadi, engkau muncul sebagai bintang seperti munculnya tanduk seekor kambing".[xxvii]
2. Sa'ad mampu membedakan antara dua bendera besar: bendera jihad, yang dia kenal dan ikut berjuang di jalan Allah demi tegaknya bendera tersebut; dan bendera fitnah. Bendera jihad adalah bendera suci yang tampak jelas barisan di dalamnya, jelas bentuk kebenarannya, dan merupakan sarana bagi orang-orang shaleh untuk bertaqarrub demi menggapai ridha Allah. Sedang bendera fitnah adalah bendera yang tidak jelas tujuannya, yang di dalamnya bercampur hawa nafsu dan dibumbuhi dengan kesesatan.
3. Sa'ad tidak memburu kekuasaan, tidak ambisi terhadap jabatan dan kehormatan dunia. Ia justru banyak mengasingkan diri dan menuntut akhirat. Jati diri seorang pahlawan biasanya tidak muncul saat kesenangan melimpah, tapi akan tampak pada waktu-waktu sulit dan genting.
Sa'ad bin Abi Waqqash di sini memberi suatu contoh yang dapat diteladani dalam pembinaan nilai-nilai tarbawiyah dan akhlak yang suci. Bahwa para pejuang yang rabbani tidak mengharap sesuatu selain ridha Allah dan kebahagiaan hari akhirat. Dalam hal ini, mereka mengikuti petunjuk para nabi shallahu 'alaihim wasallam. Allah berfirman:
{ وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِين) (الشعراء : 109)
"Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam".
Allah juga berfirman:
{ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ) (الأنعام :90)
"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: ‘Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).’ Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat".
Rasulullah bersabda: "Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepas di tengah gembala kambing, lebih berbahaya daripada ambisi seseorang terhadap harta benda dan jabatan dengan mempertaruhkan agamanya".[xxviii]
4. Di antara kepandaian Sa'ad, ia selalu komitmen dengan nash syariat, sehingga sikapnya tidak berdasar pada logika semata. Tetapi merupakan hasil ijtihad yang dibangun di atas dasar petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berbahagialah orang yang senantiasa komitmen dengan Sunnah dan tidak melampau batasannya.[xxix]
Terakhir,
Pemaparan biografi para sahabat bukan hanya sekadar pelajaran sejarah atau sumber kebanggaan atas para leluhur. Namun seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk menjadikan mereka sebagai panutan dalam berbagai sisi kehidupan. Dengan meneladani petunjuk akhlak dan etika mereka, serta mentransformasikan nilai-nilai tarbawiyah mereka dalam kehidupan kontemporer. Pemaparan biografi tersebut sekaligus menjadi sanggahan terhadap ahlul ahwa yang sering kali sengaja menjatuhkan nama baik dan mendiskreditkan mereka.
{ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ}
"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha
[i] Diriwayatkan oleh Ahmad, III/209, no. 1675; dan Tirmidzi dalam Kitab al-Manaqib, no.3747. Arnauth dalam edit al-Musnad menulis: “Sanadnya kuat, sesuai dengan kriteria Muslim.”
[ii] Diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Sa'ad pernah berkata: "Sungguh saya melihat diriku sebagai sepertiga (pemeluk) Islam." Juga perkataan Sa’ad: "Sungguh saya pernah tinggal selama sepekan, sedang saya sepertiga (pemeluk) Islam." (Shahih al-Bukhari, Kitab Fadha’il al-Shahabah, VIII/439, no. 3726 dan 3727.
[iii] Kata Sa'ad: "Kami pernah berperang bersama Rasulullah, sedang kami tidak memiliki makanan selain daun-daun pohon, sampai-sampai seseorang di antara kami makan sebagaimana onta atau kambing, makan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya." Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Fadha’il al-Shahabah, VIII/439, no. 3728. Lihat juga: al-Maghazi wa al-Siyar, h. 194; al-Rawdh al-Unuf, II/127-128.
[iv] Kata Sa'ad: "Sungguh akulah orang Arab pertama yang melemparkan panah fii sabilillah." Atsar diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Shahabah, VIII/439, no. 3728.
[v] Siyar A'lam al-Nubala', I/97. Lihat juga: Ibn Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, III/142.
[vi] Ibn Sa’ad, “al-Thabaqat,” III/142.
[vii] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa al-Siyar, VIII/181, no. 2905.
[viii] Diriwayatkan oleh Tirmizi dalam Kitab al-Manaqib, no. 3752; dan dinilai shahih oleh Albani dalam Shahih al-Tirmidzi, no. 3752.
[ix] Demikian ungkapan Abdurrahman ibn ‘Auf ketika diminta pendapatnya oleh Umar ibn Khattab tentang pemimpin pasukan kaum Muslim ke Iraq. Lihat: al-Bidayah wa al-Nihayah, IX/614, ed. Dr. Abdullah al-Turki.
[x] Al-Bidayah wa al-Nihayah, X/10-12.
[xi] Al-Maqrizi, al-Mawa’izh wa al-I’tibar, I/265.
[xii] Al-Bayan al-Mugrib fii Akhbar al-Andalus wa al-Maghrib, II/8. Di antara yang menyedihkan, seorang pemimpin Kristen yang lain mendeskripsikan penduduk Spanyol setelah jatuhnya ke tangan mereka bahwa: “Mereka tidak beragama, pengecut dan tidak berakal.” Ibid., III/90. Dengan membandingkan dua kondisi tersebut, tampak jelas bagaimana proses suatu bangsa berjaya dan runtuh.
[xiii] Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Mubarak dalam Kitab al-Jihad, h. 61; dan Imam Bukhari dalam satu bab tersendiri dalam Kitab al-Jihad: Bab Amal Shaleh Sebelum Berperang, dan Perkataan Abu Darda’: “Kalian hanya berperang dangan amal-amal kalian.”
[xiv] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-Adzan, II/651, no. 755.
[xv] Ibid.
[xvi] Ibid.
[xvii] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Fada’il al-Shahabah, VIII/404, no. 3700.
[xviii] Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Kitab al-Birr wa al-Shilah, no. 2032, dan dinilai hasan oleh Albani dalam Ghayatul Maram, h. 240.
[xix] Siyar A’lam al-Nubala’, XIV/159; dan Tadzkirah al-Huffazh, III/705.
[xx] Siyar A’lam al-Nubala’, I/122.
[xxi] Ibn Sa’ad, Al-Thabaqah al-Kubra’, III/143; dan Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, I/94; dan oleh al-Haitsami, Majma’ al-Zawa’id, VII/299, hadits ini dirujuk kepada: al-Thabrani, al-Kabir. Selanjutnya ia mengatakan: “Rijal sanadnya shahih.” Tepatlah apa yang ia katakan, hanya saja sanadnya putus; tetapi ada syawahid yang membuat derajatnya terangkat.
[xxii] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Zuhdu wa al-Raqa’iq, IV/2277, no. 2965; Tirmizi mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘al-ghaniy/kaya’ adalah kaya jiwa, inilah kekayaan yang dicintai, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘ Tetapi kekayaan yang sesungguhnya adalah kaya jiwa,’ sedang al-Qadhi mengisyaratkan bahwa kekayaan yang dimaksud adalah kekayaan harta.” Lihat: Syarh Shahih Muslim, XVIII/100.
[xxiii] Diriwayatkan oleh Ahmad, III/112, no. 1529; dan dinilai shahih oleh Arnauth.
[xxiv] Dinisbatkan oleh al-Haitsami sebagaimana dalam Majma’ al-Zawaid, IX/154, kepada al-Thabrani; dan ia mengatakan bahwa rijal sanadnya adalah rijal kitab al-Shahih. Diriwayatkan juga oleh al-Dzahabi, dengan sanadnya, dalam Siyar A’lam al-Nubala’, I/166; dan ia mengatakan: ”Kisah ini memiliki banyak jalur sanad, dan diriwayatkan oleh Ibn Abi al-Dun-ya dalam Mujabi al-Da’wah.”
[xxv] Abdullah ibn Umar berkata: “Di antara perkara yang membinasakan, yang tak ada jalan keluar bagi orang menjerumuskan diri masuk ke dalamnya, adalah menumpahkan darah yang haram, tanpa ada alasan yang menghalalkannya.” Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-Diyat, no. 6863.
[xxvi] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-Iman, no. 10; dan Muslim dalam Muqaddimah-nya, no.41.
[xxvii] Siyar A’lam al-Nubala’, I/120.
[xxviii] Diriwayatkan oleh Tirmizi dalam Kitab al-Zuhd, no. 2376; dan ia mengatakan: ”Hasan shahih;” dan dinilai shahih oleh Albani dalam Shahih al-Tirmidzi, no. 2376.
[xxix] Dikutip dari perkataan Said ibn Jubair rahimahullah: “Orang yang berhenti pada apa yang ia dengar sungguh telah bersikap yang benar.” Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Iman, no. 220.