Tak ada gading yang tak retak. Yah, itulah kira-kira permisalan yang tepat bagi kitab Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam al-Ghzali rahimahullah. Disamping kemasyhuran dan faidah yang terkandung pada kitab ini bagi kaum muslimin, sayang di dalamnya terdapat banyak hadits lemah, sangat lemah bahkan palsu.
Harus diakui, Imam al-Ghazali adalah seorang ulama pemuka umat yang dihormati. Jasa dan sumbangsihnya dalam berbagai cabang ilmu agama tidak dapat dipungkiri. Beliau adalah ahli fikir dan ushul yang tersohor. Kendati dalam bidang hadits, beliau bukanlah ahli di dalamnya, sebagaimana dinyatakan para pakar hadits. Makanya, mengkritik hadits-hadits lemah dan palsu dalam kitab beliau, tidak berarti merendahkan kedudukan al-Ghazali, karena kebenaran dan keselamatan agama berada di atas segalanya.
Simaklah pernyataan al-Hafidz al-Dzahabi kala menjelaskan kekeliruan yang ada dalam kitab al-Ihya’: “Aku katakan: Al-Ghazali adalah imam yang besar, namun bukanlah menjadi syarat seorang alim itu tidak melakukan kekeliruan’’. (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar Alam al-Nubala 19/339, al-Maktabah al-Syamilah).
Bahkan Imam besar dalam Mazhab Syafi’i yang selalu membela al-Ghazali, Imam Tajuddin al-Subki pun mengakui hal ini dalam “Thabaqat”-nya: “Adapun apa yang dianggap cela pada kitab al-Ihya' berupa kelemahan sebagian hadits-hadistnya, maka itu kerana al-Ghazali dikenal bukanlah seorang pakar dalam bidang hadits’’. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’yyah al-Kubra, 6/249, al-Maktabah al-Syamilah).
Nah, inilah beberapa komentar ulama mu’tabar tentang kitab Ihya’ Ulumuddin:
Pertama: Imam al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan: “Ketika berada di Damsyik dan Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang kitabnya Ihya' Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang luar biasa, mengandung banyak ilmu yang berkaitan dengan syari’at, dan bercampur dengan kehalusan tasawuf serta amalan hati. Namun sayang, di dalamnya banyak hadits yang gharib, mungkar dan bahkan palsu’’. (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/214, al-Maktabah al-Syamilah).
Kedua: Imam Ibnul Jauzi berkata: “Kemudian datang Abu Hamid al-Ghazali menulis untuk mereka (golongan sufi) kitab al-Ihya' berdasarkan pegangan mereka. Dia memenuhi bukunya itu dengan hadits-hadits batil yang dia tidak ketahui kebatilannya’’. (Lihat: Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hlm 149, al-Maktabah al-Syamilah).
Ketiga: Imam al-Hafidz al-Dzahabi mengomentari: “Adapun kitab al-Ihya’ di dalamnya terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil. Padanya terkandung kebaikan yang melimpah, andai saja tidak ada padanya adab, cara dan zuhud yang diambil daripada ahli falsafah dan golongan sufi yang menyeleweng. Kami memohon daripada Allah ilmu yang bermanfaat". (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar ‘Alam al-Nubala’, 19/339, Beirut: Dar al-Risalah, al-Maktabah al-Syamilah).
Keempat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Abu Hamid (Al-Ghazali) tidak memiliki pengalaman (kepasitas) dalam atsar-atsar Nabi serta riwayat-riwayat salaf sebagaimana dimiliki oleh ahli-ahli yang mengetahui perkara itu yang sanggup membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih. Olehnya, al-Ghazali menyebut dalam kitab-kitabnya hadis dan athar yang palsu dan dusta, dimana kalau ia mengetahuinya tentu dia tidak akan menyebutnya” (Lihat: Ibn Taimiyyah, Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql, 3/370, al-Maktabah al-Syamilah).
Itulah Imam al-Ghazali dan kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Tapi kebesaran dan kesohoran beliau di dunia Islam, tidak menjadikan beliau tutup mata terhadap kekurangannya dalam bidang ilmu hadits tersebut. Beliau mengakuinya, hingga di akhir-akhir hayatnya, sebagaimana diceritakan oleh muridnya, Abul Hasan Abdul Ghafir al-Farisy, bahwa beliau mulai melakukan kajian-kajian terhadap hadits-hadits Nabi saw, duduk mendengar pelajaran dari ahli ilmu, serta mendalami kitab Shahih Bukhari dan Shohih Muslim. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, 4/111, dan al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala, 19/325-326). Terbukti, saat ditemukan, beliau wafat sambil memeluk “Shahih al-Bukhari”. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh al-Aql wa al-Naql, 1/162).
Sebagai penutup, semoga Allah merahmati al-Hafidz Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi atas kerja keras dan upaya beliau melakukan pendalaman dan takhrij (penjelasan) bagi hadits-hadits dalam kitab al-Ihya’, kemudian beliau namakan takhrijnya tersebut “Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar”, yang dicetak bersamaan dengan kitab Ihya’ Ulumuddin tersebut. Rahimahumullah Jami'an. Wallahu A'lam. (Sumber: Notes Ustad Rapung Samudin, Lc, MA di fb beliau pada hari Kamis 28/02/2013 /https://www.facebook.com/rappung.samuddin/posts/579214295424324)
Harus diakui, Imam al-Ghazali adalah seorang ulama pemuka umat yang dihormati. Jasa dan sumbangsihnya dalam berbagai cabang ilmu agama tidak dapat dipungkiri. Beliau adalah ahli fikir dan ushul yang tersohor. Kendati dalam bidang hadits, beliau bukanlah ahli di dalamnya, sebagaimana dinyatakan para pakar hadits. Makanya, mengkritik hadits-hadits lemah dan palsu dalam kitab beliau, tidak berarti merendahkan kedudukan al-Ghazali, karena kebenaran dan keselamatan agama berada di atas segalanya.
Simaklah pernyataan al-Hafidz al-Dzahabi kala menjelaskan kekeliruan yang ada dalam kitab al-Ihya’: “Aku katakan: Al-Ghazali adalah imam yang besar, namun bukanlah menjadi syarat seorang alim itu tidak melakukan kekeliruan’’. (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar Alam al-Nubala 19/339, al-Maktabah al-Syamilah).
Bahkan Imam besar dalam Mazhab Syafi’i yang selalu membela al-Ghazali, Imam Tajuddin al-Subki pun mengakui hal ini dalam “Thabaqat”-nya: “Adapun apa yang dianggap cela pada kitab al-Ihya' berupa kelemahan sebagian hadits-hadistnya, maka itu kerana al-Ghazali dikenal bukanlah seorang pakar dalam bidang hadits’’. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’yyah al-Kubra, 6/249, al-Maktabah al-Syamilah).
Nah, inilah beberapa komentar ulama mu’tabar tentang kitab Ihya’ Ulumuddin:
Pertama: Imam al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan: “Ketika berada di Damsyik dan Baitul Maqdis, al-Ghazali mengarang kitabnya Ihya' Ulumuddin. Ia sebuah kitab yang luar biasa, mengandung banyak ilmu yang berkaitan dengan syari’at, dan bercampur dengan kehalusan tasawuf serta amalan hati. Namun sayang, di dalamnya banyak hadits yang gharib, mungkar dan bahkan palsu’’. (Lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/214, al-Maktabah al-Syamilah).
Kedua: Imam Ibnul Jauzi berkata: “Kemudian datang Abu Hamid al-Ghazali menulis untuk mereka (golongan sufi) kitab al-Ihya' berdasarkan pegangan mereka. Dia memenuhi bukunya itu dengan hadits-hadits batil yang dia tidak ketahui kebatilannya’’. (Lihat: Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hlm 149, al-Maktabah al-Syamilah).
Ketiga: Imam al-Hafidz al-Dzahabi mengomentari: “Adapun kitab al-Ihya’ di dalamnya terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil. Padanya terkandung kebaikan yang melimpah, andai saja tidak ada padanya adab, cara dan zuhud yang diambil daripada ahli falsafah dan golongan sufi yang menyeleweng. Kami memohon daripada Allah ilmu yang bermanfaat". (Lihat: Al-Dzahabi, Siyar ‘Alam al-Nubala’, 19/339, Beirut: Dar al-Risalah, al-Maktabah al-Syamilah).
Keempat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Abu Hamid (Al-Ghazali) tidak memiliki pengalaman (kepasitas) dalam atsar-atsar Nabi serta riwayat-riwayat salaf sebagaimana dimiliki oleh ahli-ahli yang mengetahui perkara itu yang sanggup membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih. Olehnya, al-Ghazali menyebut dalam kitab-kitabnya hadis dan athar yang palsu dan dusta, dimana kalau ia mengetahuinya tentu dia tidak akan menyebutnya” (Lihat: Ibn Taimiyyah, Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql, 3/370, al-Maktabah al-Syamilah).
Itulah Imam al-Ghazali dan kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Tapi kebesaran dan kesohoran beliau di dunia Islam, tidak menjadikan beliau tutup mata terhadap kekurangannya dalam bidang ilmu hadits tersebut. Beliau mengakuinya, hingga di akhir-akhir hayatnya, sebagaimana diceritakan oleh muridnya, Abul Hasan Abdul Ghafir al-Farisy, bahwa beliau mulai melakukan kajian-kajian terhadap hadits-hadits Nabi saw, duduk mendengar pelajaran dari ahli ilmu, serta mendalami kitab Shahih Bukhari dan Shohih Muslim. (Lihat: Tajuddin al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, 4/111, dan al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala, 19/325-326). Terbukti, saat ditemukan, beliau wafat sambil memeluk “Shahih al-Bukhari”. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh al-Aql wa al-Naql, 1/162).
Sebagai penutup, semoga Allah merahmati al-Hafidz Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi atas kerja keras dan upaya beliau melakukan pendalaman dan takhrij (penjelasan) bagi hadits-hadits dalam kitab al-Ihya’, kemudian beliau namakan takhrijnya tersebut “Al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar”, yang dicetak bersamaan dengan kitab Ihya’ Ulumuddin tersebut. Rahimahumullah Jami'an. Wallahu A'lam. (Sumber: Notes Ustad Rapung Samudin, Lc, MA di fb beliau pada hari Kamis 28/02/2013 /https://www.facebook.com/rappung.samuddin/posts/579214295424324)