اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَه، وَأرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَه
“Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan karuniakan kepada kami kemampuan untuk mengikutinya. Ya Allah perlihatkan kepada kami bahwa yang batil itu batil, dan karuniakan kepada kami kemampuan untuk meninggalkannya.”
Do’a tersebut diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Syarh Muntahal Iradat. Ibn Katsir juga menyebutkan doa’ tersebut ketika menafsirkan Surat al-Baqarah ayat 213. Do’a ini meskipun singkat tetapi mencakup makna yang luas. Maknanya adalah seorang Muslim memohon kepada Allah Ta’ala agar diberi taufiq mengenali kebenaran dan diberi kemampuan mengikuti kebenaran tersebut.
Dalam do’a tersebut kita diajari untuk meminta ditunjukan kebenaran dan diberi kemampuan untuk mengamalkannya. Sebab, menjadi pengikut kebenaran, kesulitannya bukan pada mendalaminya secara ilmu atau pengetahuan. Karena itu bisa dipelajari. Kita bisa belajar tentang kebenaran, sedikit demi sedikit. Kita bisa mendalami kebenaran yang diajarkan agama kita atau yang kita rasakan secara jujur melalui fitrah. Tapi yang lebih sulit dalam mengikuti kebenaran bukan pada ketersediaan ilmu yang menjelaskan kebenaran itu, tapi pada kemauan, tekad, dan jiwa kita sendiri. Semua itu harus diawali dari keyakinan untuk mau bersama kebenaran.
Pilihan untuk bersama kebenaran itulah yang sekarang ini tengah asing dan menjadi sesuatu yang langka dalam kehidupan bermasyarakat. Kita bisa menengok, dalam tataran politik, di panggung kekuasaan, dalam interaksi sehari-hari, terlalu banyak orang yang mencampakkan kebenaran. Dalam etika moral, dalam berdagang dan mencari nafkah, terlalu banyak orang-orang yang memilih jalan kebatilan. Terlalu banyak orang yang memilih jalan keburukan dan meninggalkan jalan kebenaran.
Simpul-simpul Kebenaran
Mengikuti kebenaran adalah keniscayaan. Sebab, ia merupakan kunci keselamatan dan kemenangan manusia di dunia dan di akhirat. Akan tetapi kehidupan dunia seringkali mengaburkan kebenaran dan makna kebenaran. Sehingga tidak jarang orang salah memilih dan menilai sesuatu. Lalu bagaimana kita menemukannya? Dari sudut pandang Islam, kita sebenarnya telah dibekali banyak potensi dan sumber pengetahuan yang akan mengantarkan kita kepada kebenaran.
1. Sejalan dengan keinginan Allah dan Rasul-Nya
Boleh jadi setiap orang memiliki standar yang berbeda dalam menilai kebenaran. Tergantung sistem nilai yang dianut dan diyakini setiap mereka. Tetapi bagi kita sebagai Muslim, standar kebenaran sudah jelas yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Sebab, keduanya merupakan himpunan dan kumpulan kebenaran yang datang dari dzat yang Maha Benar, Allah Ta’ala. Tidak boleh ada keraguan terhadapnya. Sehingga apapun yang menurut kita merupakan kebenaran tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan rasul-Nya, maka ia bukanlah kebenaran, melainkan lawan dari kebenaran itu. Fama ba’dalhaqqi illadhalal (Tiada selain kebenaran-dari Allah- melainkan pasti batil).
Allah adalah kebenaran itu sendiri. Maka semua yang datang dari-Nya pasti benar dan tak boleh dibantah.
“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Demikianlah, karena Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah Itulah yang batil; dan Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (Terjemah QS. Luqman: 29-30)
Standar kebenaran harus melandasi semua pikiran, pandangan dan pendapat kita dalam menilai segala sesuatu. Sehingga orang tidak mudah memperdaya kita dengan berbagai macam propaganda dan tipu dayanya. Para Ulama dan Muslihun telah membuktikan bahwa mereka dapat menaklukkan lawan-lawan mereka para pelopor kebathilan dengan argumen yang lebih kuat. Seperti kisah Imam Ahmad ketika menghadapi kelompok sesat yang menyebarkan paham khalqul Qur’an, suatu paham yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukam kalam Allah.
2. Sejalan dengan Fitrah dan suara hati manusia
Terkadang untuk menilai dan mengetahui sesuatu itu benar atau tidak perlu pembuktian dengan dalil. Tetapi cukup dikembalikan kepada suara hati kita. Sebab sebagai manusia kita telah dibekali oleh Allah potensi berupa fitrah yang suci yang tak pernah mengingkari kebenaran. Maka cukuplah ia mengikuti kecenderungan kata hatinya atau fitrahnya.
Contoh sederhana; Seorang awam yang tak tahu hukumnya mencuri, ia tentu pasti tidak tenang ketika mengambil harta orang lain tanpa izin. Ketidaktenangan itu adalah reaksi fitrah dan hati nurani.
Inilah maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang sahabat bertanya tentang kebaikan dan keburukan. Dari Nawwas bin Sam’an al anshari beliau berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan keburukan”, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kebajikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal dalam jiwamu dan engkau tidak suka bila hal itu terlihat oleh manusia (orang lain)” (HR Muslim).
3. Sejalan Dengan Kemaslahatan Manusia
Kebenaran itu adalah maslahat. Ini standar lain yang mengantarkan kita mengenali kebenaran. Secara umum segala seuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia maka ia adalah kebenaran. Dan di dalam Islam maslahat selalu merujuk kepada kebutuhan manusia yang sangat vital yaitu penjagaan kepada lima hal : Agama, Nyawa/jiwa, harta, akal, dan keturunan.
Imam Al Ghazali rahimahullah pernah berkata: “Sesungguhnya mengambil manfaat dan menolak mudharat merupakan tujuan penciptaan makhluk dan kemaslahatan makhluk dalam memperoleh tujuan mereka. Yang kami maksud dengan maslahat yaitu menjaga apa yang dikehendaki oleh syariat. Dan yang dikehendaki oleh syariat untuk dijaga ada lima; Menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka setiap yang dapat menjamin penjagaan dan pemeliharaan lima perkara pokok ini, disebut maslahat. Dan setiap yang meniadakan atau melanggar kelima hal ini berarti kerusakan atau mafsadat, dan menolak mafsadat itu berarti maslahat.”
4. Kebenaran Bukan Berdasarkan Hawa nafsu dan Orang Banyak
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (Terjemah Qs. al-Mukminun: 71)
Fitrah manusia tidak sekadar mengakui sebuah kebenaran, tetapi ia juga menjadi pendorong dalam diri untuk mengikuti kebenaran itu apa adanya tanpa ada maksud dan kepentingan tertentu yang akan menodai hati fitrah, mengkhianati hati nurani dan mengotori kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak akan pernah berpadu dengan hawa nafsu, selamanya tidak akan sejalan.
Demikian pula dengan banyaknya orang yang menjalani sesuatu, bukan jaminan bahwa ia adalah kebenaran. Banyak orang, dalam kehidupan nyata kerap mempertontonkan diri sebagai pelaku, pengikut dan pelopor kebenaran, menyeru sebanyak-banyaknya orang untuk ikut bersamanya. Padahal nurani yang tak dapat dibohonginya, selalu resah karena tahu bahwa apa yang ia lakukan sekadar untuk meraih kehormatan, jabatan,dan juga harta. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan dengan firman-Nya (yang artinya):
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta [terhadap Allah]. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS: Al-An’am :116-117).
Maka janganlah kita tertipu dan disilaukan oleh kekuatan seseorang dan banyaknya jumlah pengikut mereka, sehingga kita pun merasa perlu berbondong-bondong dan berkumpul di sekitar mereka. Jangan sampai kita menjadi seperti sekumpulan laron yang terperangkap oleh silaunya cahaya lampu, lalu kemudian binasa satu persatu oleh cahaya itu. Tetapi hendaknya kita menjadi kelompok yang senantiasa berpegang teguh kepada kebenaran yang suci yang terbebas dari tujuan dan kepentingan tertentu dil luar kepentingan menegakkan agama Allah dan mencari ridha-Nya.
5. Kebenaran tetap selalu Kokoh, Meski terus dimusuhi
Ciri lain dari kebenaran adalah, bahwa para pengikut dan pengusungnya tetap kokoh meski terus dimusuhi. Mereka senantiasa konsisten menjalaninya meski mendapatkan penolakan dari manusia. Berbagai tantangan yang menghadang tak pernah menyurutkan langkah pejuang kebenaran untuk terus berjuang. Sebab mereka yakin bahwa kesabaran dan keteguhan mereka akan menjadi sebab datangnya pertolongan dan peneguhan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan senantiasa ada suatu kelompok dari ummatku yang eksis di atas kebenaran. Mereka tidak dimudharatkan oleh pihak-pihak yang memusuhi mereka. Mereka tetap eksis hingga datang hari kiamat”. (HR Muslim).
Tegar di atas kebenaran telah ditunjukan oleh para nabi dan rasul utusan Allah. Tidak ada satu nabipun yang tidak mendapatkan penolakan permusuhan dari manusia. Bahkan, terkadang permusuhan tersebut berasal dari orang-orang dekat. Sikap yang sama juga dapat kita lihat dari keteguhan para pelanjut risalah Nabi dan Rasul. Waratsatul Anbiya, para pewaris Nabi dari kalangan ulama yang terus berupaya melanjutkan perjuangan Nabi. Mereka pun ditolak dan dimusuhi seperti para Nabi dan Rasul dimusuhi. Namun permusuhan itu tidak menggoyahkan semangat mereka dalam menyebarkan kebenaran. Hal ini menjadi indikasi bahwa apa yang mereka sampaikan adalah kebenaran sejati. Apa yang mereka usung adalah kebenaran yang bersumber dari Dzat yang Maha Benar, Allah Ta’ala.
Allaahumma arinal haqqa haqqan, warzuqnattibaa’ah. Wa arinal bathila bathilan, warzuqnajtinaabah.[] (Syams)
Sumber: http://wahdahmakassar.org/tegar-bersama-kebenaran/#ixzz2JJVHZI6L