“Ruang Gerak Rokok Kian Terbatas” (Jawa Pos, 10/01/2013). Intinya, telah terbit Peraturan Pemerintah yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dengan cara semakin tegas menekan ’agresivitas’ rokok. Mencemati itu, Prijo Sidipratomo -Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau- berkata, “Walaupun tertatih-tatih, akhirnya kita masuk menjadi negara yang mulai beradab karena sudah punya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengendalian rokok.”
Pertanyaannya, sebegitu sulitkah mengendalikan peredaran rokok? Benarkah ada atau tiadanya rokok terkait dengan peradaban sebuah bangsa?
Rokok dan Tuhan
Bagi pelakunya, aktivitas merokok adalah sesuatu yang tak bisa dihentikan oleh sebuah larangan. Alih-alih sekadar larangan yang hanya berdasarkan norma kemasyarakatan saja, bahkan larangan yang beralaskan agama-pun mereka tak peduli.
Khusus bagi umat Islam, misalnya, keharaman merokok telah ditetapkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Lewat keputusan bernomor 18/MF-DD/IV/1427/2006, DDII menetapkan fatwa bahwa “Merokok hukumnya haram” dan “Kepada para perokok agar berhenti merokok”. Di antara dasar fatwa itu adalah QS An-Nisaa’ 29: “Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” dan HR Ibnu Majah: “(Kita) tidak boleh menimbulkan bahaya dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain)”.
Tapi, lihatlah! Di masjid mereka merokok, sekalipun jamaah lainnya terganggu kekhusyukan shalatnya atau kesyahduan dzikirnya. Di ruang resepsi -setelah jamuan makan- mereka merokok tanpa memedulikan ekspresi tak suka dari hadirin lainnya. Di angkutan umum, mereka merokok tanpa merasa bersalah jika penumpang lainnya batuk-batuk karenanya. Contoh-contoh semisal itu bisa sangat panjang.
Para perokok telah menuhankan rokok. Benarkah? Dr. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim di buku ‘Kuliah Tauhid’ mendefinisikan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga seseorang rela didominasi olehnya.
Hemat saya, mereka yang merokok di masjid, di ruang resepsi, di angkutan umum pada contoh di atas adalah sebuah sikap yang bisa dibaca bahwa mereka telah didominasi oleh rokok. Bagi mereka rokok adalah sesuatu yang penting dan dipentingkan, sehingga tak masalah jika orang-orang di sekitarnya terganggu karenanya. Padahal, yang ada di sekitarnya itu bisa istrinya, anaknya, orang-tuanya, sahabatnya, atau pihak lainnya.
Tentang betapa sulitnya menghentikan kebiasaan buruk itu karena mereka telah menuhankan rokok, lihatlah kasus Surabaya. Mulai 22/10/09, Perda Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) diberlakukan. Para pelanggar (yaitu anggota masyarakat atau instansi) akan dikenakan sanksi sesuai yang diatur Peraturan Walikota Surabaya No. 25 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Perda KTR dan KTM.
KTR ada lima kawasan: sarana kesehatan, tempat proses belajar-mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. KTM adalah tempat umum (seperti rumah makan, terminal, stasiun, pelabuhan, pasar, supermarket, bioskop, tempat wisata, dan tempat umum lainnya) dan tempat kerja (meliputi tempat kerja pada Instansi Pemerintah -Pemerintah Provinsi Jawa Timur/Pemerintah Kota Surabaya- dan tempat kerja swasta). Dengan Perda itu diharapkan ‘ruang gerak’ para perokok di Surabaya lebih menyempit, tak leluasa mengganggu orang lain.
Hasilnya bagaimana? Bisa dibilang nol besar. Di KTR dan KTM masih sangat mudah ditemui orang merokok dengan leluasa. Para perokok masih tega mengganggu warga masyarakat lainnya yang tak biasa merokok. Para perokok masih menuhankan rokoknya.
Regulasi serupa di Jakarta bernasib sama dengan yang di Surabaya. Dengan demikian, bisa dibayangkan, betapa lebih leluasanya para perokok di daerah lain yang tak memiliki Perda larangan merokok (di kawasan tertentu).
Sungguh, tampaknya di negeri ini rokok telah menjadi Tuhan bagi sebagian orang. Atas fenomena ini, menulis-lah Taufiq Ismail sebuah sajak panjang berjudul “Tuhan Sembilan Senti”. Kata Taufiq, “Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok. Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok. Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.” Pendek kata, “Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,” simpul Taufiq Ismail.
Rokok dan Adab
Negeri ini memberi perhatian yang sangat besar bagi terjaminnya semua warganya untuk mendapatkan pendidikan. Apa pendidikan itu? Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan bertujuan utama membentuk manusia yang beradab. Adab, kata Al-Attas, adalah disiplin ruhani, jasmani, dan akli yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya.
Maka, berpendidikankah para perokok itu yang seenaknya merokok di sembarang tempat? Beradabkah para perokok itu jika yang dikerjakannya menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakadilan di tengah masyarakat? Misalnya, para perokok itu sering berkata bangga bahwa mereka adalah penyumbang cukai yang sangat besar. Tetapi, tampaknya, mereka pura-pura tak melihat bahwa biaya kesehatan yang ditanggung oleh Pemerintah dan masyarakat -menurut data di berbagai negara dan juga Indonesia- tiga kali lipat dari cukai yang didapatkan.
Berpendidikankah mereka, jika atas tulisan yang sangat jelas di setiap bungkus rokok tentang bahaya merokok tak mereka gubris sama sekali? Kita tahu, di masing-masing kemasan rokok selalu ada peringatan keras: "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin".
Jadi, beradabkah para perokok itu? [] (M. Anwar Djaelani/http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1202:rokok-tuhan-dan-manusia-beradab&catid=70:opini&Itemid=104)
Pertanyaannya, sebegitu sulitkah mengendalikan peredaran rokok? Benarkah ada atau tiadanya rokok terkait dengan peradaban sebuah bangsa?
Rokok dan Tuhan
Bagi pelakunya, aktivitas merokok adalah sesuatu yang tak bisa dihentikan oleh sebuah larangan. Alih-alih sekadar larangan yang hanya berdasarkan norma kemasyarakatan saja, bahkan larangan yang beralaskan agama-pun mereka tak peduli.
Khusus bagi umat Islam, misalnya, keharaman merokok telah ditetapkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Lewat keputusan bernomor 18/MF-DD/IV/1427/2006, DDII menetapkan fatwa bahwa “Merokok hukumnya haram” dan “Kepada para perokok agar berhenti merokok”. Di antara dasar fatwa itu adalah QS An-Nisaa’ 29: “Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” dan HR Ibnu Majah: “(Kita) tidak boleh menimbulkan bahaya dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain)”.
Tapi, lihatlah! Di masjid mereka merokok, sekalipun jamaah lainnya terganggu kekhusyukan shalatnya atau kesyahduan dzikirnya. Di ruang resepsi -setelah jamuan makan- mereka merokok tanpa memedulikan ekspresi tak suka dari hadirin lainnya. Di angkutan umum, mereka merokok tanpa merasa bersalah jika penumpang lainnya batuk-batuk karenanya. Contoh-contoh semisal itu bisa sangat panjang.
Para perokok telah menuhankan rokok. Benarkah? Dr. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim di buku ‘Kuliah Tauhid’ mendefinisikan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga seseorang rela didominasi olehnya.
Hemat saya, mereka yang merokok di masjid, di ruang resepsi, di angkutan umum pada contoh di atas adalah sebuah sikap yang bisa dibaca bahwa mereka telah didominasi oleh rokok. Bagi mereka rokok adalah sesuatu yang penting dan dipentingkan, sehingga tak masalah jika orang-orang di sekitarnya terganggu karenanya. Padahal, yang ada di sekitarnya itu bisa istrinya, anaknya, orang-tuanya, sahabatnya, atau pihak lainnya.
Tentang betapa sulitnya menghentikan kebiasaan buruk itu karena mereka telah menuhankan rokok, lihatlah kasus Surabaya. Mulai 22/10/09, Perda Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) diberlakukan. Para pelanggar (yaitu anggota masyarakat atau instansi) akan dikenakan sanksi sesuai yang diatur Peraturan Walikota Surabaya No. 25 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Perda KTR dan KTM.
KTR ada lima kawasan: sarana kesehatan, tempat proses belajar-mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. KTM adalah tempat umum (seperti rumah makan, terminal, stasiun, pelabuhan, pasar, supermarket, bioskop, tempat wisata, dan tempat umum lainnya) dan tempat kerja (meliputi tempat kerja pada Instansi Pemerintah -Pemerintah Provinsi Jawa Timur/Pemerintah Kota Surabaya- dan tempat kerja swasta). Dengan Perda itu diharapkan ‘ruang gerak’ para perokok di Surabaya lebih menyempit, tak leluasa mengganggu orang lain.
Hasilnya bagaimana? Bisa dibilang nol besar. Di KTR dan KTM masih sangat mudah ditemui orang merokok dengan leluasa. Para perokok masih tega mengganggu warga masyarakat lainnya yang tak biasa merokok. Para perokok masih menuhankan rokoknya.
Regulasi serupa di Jakarta bernasib sama dengan yang di Surabaya. Dengan demikian, bisa dibayangkan, betapa lebih leluasanya para perokok di daerah lain yang tak memiliki Perda larangan merokok (di kawasan tertentu).
Sungguh, tampaknya di negeri ini rokok telah menjadi Tuhan bagi sebagian orang. Atas fenomena ini, menulis-lah Taufiq Ismail sebuah sajak panjang berjudul “Tuhan Sembilan Senti”. Kata Taufiq, “Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok. Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok. Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.” Pendek kata, “Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,” simpul Taufiq Ismail.
Rokok dan Adab
Negeri ini memberi perhatian yang sangat besar bagi terjaminnya semua warganya untuk mendapatkan pendidikan. Apa pendidikan itu? Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan bertujuan utama membentuk manusia yang beradab. Adab, kata Al-Attas, adalah disiplin ruhani, jasmani, dan akli yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya.
Maka, berpendidikankah para perokok itu yang seenaknya merokok di sembarang tempat? Beradabkah para perokok itu jika yang dikerjakannya menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakadilan di tengah masyarakat? Misalnya, para perokok itu sering berkata bangga bahwa mereka adalah penyumbang cukai yang sangat besar. Tetapi, tampaknya, mereka pura-pura tak melihat bahwa biaya kesehatan yang ditanggung oleh Pemerintah dan masyarakat -menurut data di berbagai negara dan juga Indonesia- tiga kali lipat dari cukai yang didapatkan.
Berpendidikankah mereka, jika atas tulisan yang sangat jelas di setiap bungkus rokok tentang bahaya merokok tak mereka gubris sama sekali? Kita tahu, di masing-masing kemasan rokok selalu ada peringatan keras: "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin".
Jadi, beradabkah para perokok itu? [] (M. Anwar Djaelani/http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1202:rokok-tuhan-dan-manusia-beradab&catid=70:opini&Itemid=104)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar