Jumat, 11 Mei 2012

Silaturahmi Agar Tak Lupa Diri


Seringkali, dengan alasan agama, seseorang menutup diri dari dunia luar sehingga terkesan eksklusif. Selain terjangkiti virus merasa paling benar, pemahaman seperti ini juga menghasilkan kecurigaan tanpa alasan kepada pihak lain. Hasilnya? Banyak di antara para aktivis dakwah yang menarik diri dari lingkungan yang mereka anggap jahiliyah. Bahkan, meski kepada keluarga sendiri, banyak di antara kita yang tidak lagi menjalin silaturahmi.

Padahal, silaturahmi merupakan ibadah yang sangat agung, mudah dan membawa berkah. Sudah selayaknya jika kita tidak mengabaikan dan melupakannya. Bukan saja karena moda transportasi dan komunikasi yang sekarang jauh lebih mudah dan terjangkau, juga karena bersilaturahmi merupakan kebutuhan yang dituntut fitrah manusia. Ia merupakan dalil dan tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.

Rahim bisa bermakna rahmah yaitu lembut dan kasih sayang, atau bermakna kerabat. Manapun itu, keduanya memiliki nilai yang sangat tinggi di dalam Islam. Sehingga bersilaturahmi berarti mengunjungi orang dengan harapan bisa melembutkan hati dan menambah kasih sayang, baik dia memiliki hubungan nasab dengan kita, atau tidak. Dari sini, berbagai macam manfaat bisa kita dapatkan dari silaturahmi. Mulai dari kelapangan rizki, barakah umur, bertambahnya rahmat dan kasih sayang, hingga wasilah menuju jannah.

Dalam hal ini, tentu saja bersilaturahmi lebih utama kepada mereka yang memiliki hubungan nasab, karena Islam sangat memerhatikan masalah ikatan keluarga setelah ikatan aqidah sebagai landasan hubungan. Ia adalah tanda keimanan seorang hamba. Bahkan, Allah mewajibkan kita untuk menyambung hubungan kerabat, dan menetapkan pemutusannya sebagai dosa besar.

Sayangnya, banyak keluhan yang terlontar dari istri para aktivis dakwah tentang minimnya silaturahmi yang dilakukan sejak pernikahan mereka. Bahkan, meski silaturahmi kepada orangtua mereka. Selain karena kesibukan dan minimnya dana, para suami banyak juga yang berlaku jumawa karena merasa dia lebih besar haknya kepada istri jika dibandingkan hak orangtua mereka.

Padahal, istri kita tidak langsung besar dan menjadi seperti sekarang dengan sendirinya. Mereka datang ke dunia dengan orangtua sebagai wasilah. Pun tumbuh kembang dan pendidikan yang mereka terima sampai sejauh ini. Sehingga sangat tidak layak jika kita para suami bersikap seolah ingin memisahkan para istri dari keluarga mereka. Pahahal kita bisa bercerai dengan mereka sehingga menjadi mantan suami, namun tidak ada mantan orangtua bagi anak-anaknya.

Kita akan merasa malu jika melihat kehidupan para salaf yang masih sempat bersilaturahmi di tengah kesibukan mereka yang menggunung. Bahkan selevel shahabat Abu Bakar dan Umar yang menjadi khalifah, yang tentu saja sangat sibuk, kisah-kisah tentang kunjungan mereka sangat mudah kita temui. Padahal, alat transportasi dan telekomunikasi bisa dikatakan sangat minim saat itu.

Tampaknya, yang menjadi sebab utama jarangnya kita bersilaturahim adalah buruknya manajemen waktu dan lemahnya ilmu tentang manfaat silaturahmi dan besarnya dosa memutus silaturahmi. Kemudian kesibukan dunia yang berlebihan, hingga kita merasa tidak punya waktu untuk memenuhi hak-hak keluarga, anak-anak, kedua orang tua dan kerabat. Dan ternyata, kesempatan luang yang kita tunggu, seringkali tidak kunjung datang kecuali kita mengatur manajemen waktu lebih baik.

Selain kita terkadang memerlukan bantuan, yang mana kerabat lebih layak untuk dimintai bantuannya, juga andaipun kita berkelebihan harta, maka berinfak kepada kaum kerabat kita yang miskin jelas lebih diutamakan daripada kepada orang lain. Sedang doa-doa mereka untuk keberkahan usaha kita, insyaallah lebih mudah dikabulkan Allah.

Apabila kita memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan. Maka ikatan sosial masyarakat akan hancur berantakan, kerusakan menyebar di setiap tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, serta egoisme muncul ke permukaan. Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tidak mengetahui hak orang lain, hingga orang-orang yang kekurangan merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli.

Mengingat kebaikan dan hubungan nasab sanak kerabat layak untuk kita lakukan. Mereka menyumbang kebaikan yang tidak sedikit kepada kita baik lansung maupun tidak lansung. Paling tidak, mereka yang membantu acara pernikahan kita dulu dengan ikhlas hingga kita bisa menikah dengan istri yang sekarang. Hal ini, insyaallah, akan mencegah kita dari suu zhan, prasangka negatif dan berbagai bentuk kezhaliman kepada mereka.

Sekarang, masukkan jadwal kunjungan, minimal bentuk sapaan yang baik kepada kerabat, di tengah kesibukan kita yang bertumpuk-tumpuk tanpa jeda. Kita bisa memaksimalkan perangkat komunikasi yang ada, atau transportasi yang terjangkau untuk bisa memudahkan rencana kita. Tidak perlu terlalu sering, tapi juga bukan berarti tidak pernah sama sekali. Bahkan meski mereka bukan aktivis dakwah, selama tidak mengajak kita kepada maksiat dan dosa, kenapa kita harus menghindari?

Semoga Allah memberi kemudahan. Amiin![sumber:http://www.arrisalah.net/kajian/2012/03/silaturahmi-agar-tak-lupa-diri.html]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar