Mencermati kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, seorang muslim akan menemukan pelajaran yang teramat berharga. Di dalamnya terdapat nasihat dan dalil-dalil yang nyata.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang yang bertanya.” (QS. Yusuf: 7).
Dan di akhir Surat Yusuf, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf : 111).
Namun apakah ayat dan ibrah yang di maksudkan di sini? Sekadar menikmati sebuah kisah syahdu yang telah berlalu, ataukah hikayat dan cerita seseorang? Demi Allah, sungguh tidaklah demikian, bahkan di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran yang berharga.
Surat Yusuf tergolong surat-surat Makkiyah. Surat ini turun di masa-masa sulit pada kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Pada saat-saat tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah kehilangan dua orang yang dicintainya yang keduanya selalu menguatkan semangat beliau dalam mengemban tugas dakwah yang mulia tersebut.
Tatkala itu paman beliau, Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan musyrik setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mencurahkan segala usahanya agar ia menerima Islam. Namun pada akhirnya ia mati di atas agama Abdul Mutholib. Tatkala itu pula, istri beliau yang tercinta dan yang pertama, Khodijah radhiyallahu ‘anha dipanggil oleh Allah Ta’ala. Seorang pendamping hidup, pelipur duka dan lara, yang senantiasa membawa ketenangan tatkala beliau ketakutan dalam menerima wahyu Allah Ta’ala. Seorang yang banyak mengasah semangat di kala beliau mendapat gangguan dari orang-orang musyrik Makkah. Seorang yang banyak mengorbankan hartanya di saat-saat beliau membutuhkannya sebagai penopang kebutuhan hidup tatkala beliau berdakwah.
Dalam masa-masa sedih tersebut, gangguan dari orang-orang musyrik Makkah semakin bertambah, sehingga hal itu menambah kesedihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana tidak, beliau melihat sendiri bagaimana para sahabatnya disiksa dengan berbagai model siksaan namun beliau tidak dapat menolongnya. Telah berlalu kejadian yang menimpa keluarga Yasir radhiyallahu ‘anhu, mereka disiksa dengan siksaan yang memilukan hati, namun tidak ada yang bisa beliau perbuat kecuali hanya berpesan, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janji untuk kalian adalah surga”. (lihat Fiqhus Sirah :1/103).
Demikan pula siksaan yang diterima oleh sahabat-sahabat yang lain, sehingga datanglah Khabbab bin al-Arat radhiyallahu ‘anhu, sedang beliau tengah bersandar dengan burdahnya di sisi ka’bah. Khabbab radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Tidakkah engkau memintakan pertolongan untuk kami, tidakkah engkau berdoa untuk kami wahai Rasulullah?” Rasulullah hanya mengatakan, “Sungguh orang-orang sebelum kalian diringkus oleh seseorang lalu dibuatkan galian di tanah, lalu ditanam di galian tersebut, kemudian didatangkan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya lalu dibelah menjadi dua bagian. Dan ada yang disisir dengan sisir besi hingga terkelupas kulit dan tampak daging-dagingnya, namun tidaklah hal itu melunturkannya dari agamanya. Demi Allah, akan sempurna perkara ini hingga seseorang berjalan dari Shan’a ke Hadramaut tidak ada yang ia takuti kecuali Allah, tidak pula serigala kepada kambingnya, akan tetap sungguh kalian terburu-buru.”(Lihat Shahih Bukhari: 21/269).
Dalam keadaan sulit seperti itu, Allah Ta’ala menurunkan kepada Nabi-Nya yang mulia, ayat yang mengisahkan tentang saudaranya yang mulia, yaitu Nabi Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihissalam.
Nabiyullah Yusuf p pun menerima berbagai ujian dan cobaan, di antaranya makar saudara-saudaranya, ujian diceburkan ke dalam sumur dan dirundung ketakutan, ujian dipisah dari keluarga dan negerinya, ujian perbudakan, ujian makar dari istri al-‘Aziz dan para wanita kota, yang sebelumnya adalah ujian syahwat dan fitnah yang disusul setelah ujian dijebloskan ke penjara.
Setelah itu beliau masih diuji dengan ujian kekuasaan, di tangannya urusan penyediaan bahan makanan manusia, di tangannyalah seseorang mendapatkan roti untuk dimakan. Lalu beliau diuji dengan kemasyhuran hingga dapat bertemu kembali dengan saudara-saudaranya yang telah membuangnya ke dalam sumur.
Berawal ujian sebab yang dhohir (tampak) hingga beliau terus menuai ujian dan cobaan. Namun demikian Nabi Yusuf ‘alaihissalam tetap bersabar menjalani segala ujian tersebut dan tak henti-hentinya mendakwahkan tauhid hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya kemenangan dan kedudukan.
Karena surat Yusuf tersebut turun kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum pada masa sulit, maka ayat-ayat ini menjadi tashliyah (pelipur lara), penenang dan penguat keteguhan hati mereka.
Dan hal itu juga sebagai pertanda bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kelak akan keluar dari negerinya seperti dikeluarkannya nabi Yusuf p dari negerinya menuju negeri yang beliau akan memberinya kemenangan dan kedudukan.
Sekalipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari Makkah dalam keadaan terusir sebagaimana Nabi Yusuf p dibuang oleh saudara-saudaranya untuk menghadapi berbagai ujian dan bala’, namun hal itu berakhir dengan kemenangan dan kebahagiaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan demikian pulalah kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf diimuka bumi (Mesir), dan agar kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21).
Pada ayat tersebut juga terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa demikianlah sunnatullah di alam dunia ini, orang-orang shaleh pasti akan mendapatkan cobaan dan ujian. Bila mereka bersabar, mereka akan mendapatkan balasan. Sebagaimana akhir dari firman Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?”. (QS. Yusuf: 109).
Seorang yang memahami hikmah Allah Ta’ala niscaya ia akan mengetahui bahwa apabila Allah Ta’ala mengutus seorang utusan, maka Allah Ta’ala memberinya ayat dan mukjizat dari jenis yang sedang masyhur dan diperhitungkan oleh kaummnya.
Dalam kisah Yusuf ‘alaihissalam nampak kecenderungan manusia pada ta’bir (takwil) mimpi, yang mana hal itu menjadi ajang pembicaraan manusia, mimpi dua orang penghuni penjara, mimpi raja yang pada akhirnya mimpi-mimpi tersebut dapat disingkap oleh Yusuf ‘alaihis salam. Karena itu, merupakan ayat dan mukjizat yang Allah berikan kepada Yusuf ‘alaihissalam, Allah ajarkan kepadanya berupa takwil mimpi yang dengan sebabnya Yusuf mendapatkan kemuliaan.
Allah lberfirman, “Dan demikian Rabb-mu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta’bir mimpi-mimpi.”(QS. Yusuf: 6).
Dalam ayat tersebut juga terdapat sebuah sisi penting yang banyak dilalaikan manusia, yaitu sisi akidah. Maknanya adalah bahwa akidah merupakan perkara-perkara yang sangat mendasar yang harus senantiasa dipelajari dan didakwahkan.
Lihatlah Nabiyullah Yusuf ‘alaihis salam sekalipun berada dalam penjara beliau tetap mendakwahkan agamanya. Tatkala datang dua orang penghuni penjara menanyakan ta’bir mimpi, maka Nabi Yusuf menggunakan kesempatan tersebut berdakwah kepada keduanya, sedang keduanya tengah tenang bersiap-siap mendengar ta’bir mimipi dari Yusuf ‘alaihis salam.
Nabiyullah Yusuf menyebutkan bahwa ilmu tersebut adalah karunia dan apa yang telah diajarkan Allah kepadanya, sebab ia telah meninggalkan dan menjauhi akidah-akidah kufur kepada Allah dan hari akhir.
Dalam berakidah, Yusuf mengikuti agama bapak-bapaknya yang semuanya adalah para nabi, yaitu bapaknya Ya’qub ‘alaihis salam, kakeknya Ishaq ‘alaihis salam, serta kakek bapaknya Ibrahim ‘alaihis salam. Mereka semua adalah para Nabi yang disebutkan dalam al-Qur’an, akidah mereka adalah Islam, yaitu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun sebagaimana hal itu merupakan wasiat sebagian mereka kepada sebagian yang lain. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firmannya, “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan iu kepada anak-anaknya, demikan pula Ya’kub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama islam.” (QS. al-Baqarah: 132).
Demikianlah semangat dakwah mereka kepada anak keturunannya, mereka mencurahkan kemampuannya dalam mendidik akidah yang benar dengan mengharap taufiq dari Allah, beliau menggabungkan pokok-pokok aqidah yang benar mencakup keimanan kepada Allah dan hari akhir, menanamkan tauhid kepada Allah dan menjauhkan kesyirikan, mengenalkan Allah dengan sifat-sifatnya, yaitu Rabb yang Mahaesa dan Mahaperkasa, serta menegaskan bahwa tidak ada hukum dan kekuasaan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bagi Allah semua keputusan, syariat dan hukum, maka tidak boleh seorang mengambil hukum dan syariat selain dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita semua di atas jalan yang diridhai-Nya. Amiinn .
Dikutip dari berbagai sumber (Alif Jumai Rajab Buletin Al Fikrah No. 21 Tahun XIV, 07 Rajab 1434 H/17 Mei 2013 M)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang yang bertanya.” (QS. Yusuf: 7).
Dan di akhir Surat Yusuf, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf : 111).
Namun apakah ayat dan ibrah yang di maksudkan di sini? Sekadar menikmati sebuah kisah syahdu yang telah berlalu, ataukah hikayat dan cerita seseorang? Demi Allah, sungguh tidaklah demikian, bahkan di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran yang berharga.
Surat Yusuf tergolong surat-surat Makkiyah. Surat ini turun di masa-masa sulit pada kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Pada saat-saat tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah kehilangan dua orang yang dicintainya yang keduanya selalu menguatkan semangat beliau dalam mengemban tugas dakwah yang mulia tersebut.
Tatkala itu paman beliau, Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan musyrik setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mencurahkan segala usahanya agar ia menerima Islam. Namun pada akhirnya ia mati di atas agama Abdul Mutholib. Tatkala itu pula, istri beliau yang tercinta dan yang pertama, Khodijah radhiyallahu ‘anha dipanggil oleh Allah Ta’ala. Seorang pendamping hidup, pelipur duka dan lara, yang senantiasa membawa ketenangan tatkala beliau ketakutan dalam menerima wahyu Allah Ta’ala. Seorang yang banyak mengasah semangat di kala beliau mendapat gangguan dari orang-orang musyrik Makkah. Seorang yang banyak mengorbankan hartanya di saat-saat beliau membutuhkannya sebagai penopang kebutuhan hidup tatkala beliau berdakwah.
Dalam masa-masa sedih tersebut, gangguan dari orang-orang musyrik Makkah semakin bertambah, sehingga hal itu menambah kesedihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana tidak, beliau melihat sendiri bagaimana para sahabatnya disiksa dengan berbagai model siksaan namun beliau tidak dapat menolongnya. Telah berlalu kejadian yang menimpa keluarga Yasir radhiyallahu ‘anhu, mereka disiksa dengan siksaan yang memilukan hati, namun tidak ada yang bisa beliau perbuat kecuali hanya berpesan, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janji untuk kalian adalah surga”. (lihat Fiqhus Sirah :1/103).
Demikan pula siksaan yang diterima oleh sahabat-sahabat yang lain, sehingga datanglah Khabbab bin al-Arat radhiyallahu ‘anhu, sedang beliau tengah bersandar dengan burdahnya di sisi ka’bah. Khabbab radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Tidakkah engkau memintakan pertolongan untuk kami, tidakkah engkau berdoa untuk kami wahai Rasulullah?” Rasulullah hanya mengatakan, “Sungguh orang-orang sebelum kalian diringkus oleh seseorang lalu dibuatkan galian di tanah, lalu ditanam di galian tersebut, kemudian didatangkan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya lalu dibelah menjadi dua bagian. Dan ada yang disisir dengan sisir besi hingga terkelupas kulit dan tampak daging-dagingnya, namun tidaklah hal itu melunturkannya dari agamanya. Demi Allah, akan sempurna perkara ini hingga seseorang berjalan dari Shan’a ke Hadramaut tidak ada yang ia takuti kecuali Allah, tidak pula serigala kepada kambingnya, akan tetap sungguh kalian terburu-buru.”(Lihat Shahih Bukhari: 21/269).
Dalam keadaan sulit seperti itu, Allah Ta’ala menurunkan kepada Nabi-Nya yang mulia, ayat yang mengisahkan tentang saudaranya yang mulia, yaitu Nabi Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihissalam.
Nabiyullah Yusuf p pun menerima berbagai ujian dan cobaan, di antaranya makar saudara-saudaranya, ujian diceburkan ke dalam sumur dan dirundung ketakutan, ujian dipisah dari keluarga dan negerinya, ujian perbudakan, ujian makar dari istri al-‘Aziz dan para wanita kota, yang sebelumnya adalah ujian syahwat dan fitnah yang disusul setelah ujian dijebloskan ke penjara.
Setelah itu beliau masih diuji dengan ujian kekuasaan, di tangannya urusan penyediaan bahan makanan manusia, di tangannyalah seseorang mendapatkan roti untuk dimakan. Lalu beliau diuji dengan kemasyhuran hingga dapat bertemu kembali dengan saudara-saudaranya yang telah membuangnya ke dalam sumur.
Berawal ujian sebab yang dhohir (tampak) hingga beliau terus menuai ujian dan cobaan. Namun demikian Nabi Yusuf ‘alaihissalam tetap bersabar menjalani segala ujian tersebut dan tak henti-hentinya mendakwahkan tauhid hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya kemenangan dan kedudukan.
Karena surat Yusuf tersebut turun kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum pada masa sulit, maka ayat-ayat ini menjadi tashliyah (pelipur lara), penenang dan penguat keteguhan hati mereka.
Dan hal itu juga sebagai pertanda bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kelak akan keluar dari negerinya seperti dikeluarkannya nabi Yusuf p dari negerinya menuju negeri yang beliau akan memberinya kemenangan dan kedudukan.
Sekalipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari Makkah dalam keadaan terusir sebagaimana Nabi Yusuf p dibuang oleh saudara-saudaranya untuk menghadapi berbagai ujian dan bala’, namun hal itu berakhir dengan kemenangan dan kebahagiaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan demikian pulalah kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf diimuka bumi (Mesir), dan agar kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21).
Pada ayat tersebut juga terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa demikianlah sunnatullah di alam dunia ini, orang-orang shaleh pasti akan mendapatkan cobaan dan ujian. Bila mereka bersabar, mereka akan mendapatkan balasan. Sebagaimana akhir dari firman Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?”. (QS. Yusuf: 109).
Seorang yang memahami hikmah Allah Ta’ala niscaya ia akan mengetahui bahwa apabila Allah Ta’ala mengutus seorang utusan, maka Allah Ta’ala memberinya ayat dan mukjizat dari jenis yang sedang masyhur dan diperhitungkan oleh kaummnya.
Dalam kisah Yusuf ‘alaihissalam nampak kecenderungan manusia pada ta’bir (takwil) mimpi, yang mana hal itu menjadi ajang pembicaraan manusia, mimpi dua orang penghuni penjara, mimpi raja yang pada akhirnya mimpi-mimpi tersebut dapat disingkap oleh Yusuf ‘alaihis salam. Karena itu, merupakan ayat dan mukjizat yang Allah berikan kepada Yusuf ‘alaihissalam, Allah ajarkan kepadanya berupa takwil mimpi yang dengan sebabnya Yusuf mendapatkan kemuliaan.
Allah lberfirman, “Dan demikian Rabb-mu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta’bir mimpi-mimpi.”(QS. Yusuf: 6).
Dalam ayat tersebut juga terdapat sebuah sisi penting yang banyak dilalaikan manusia, yaitu sisi akidah. Maknanya adalah bahwa akidah merupakan perkara-perkara yang sangat mendasar yang harus senantiasa dipelajari dan didakwahkan.
Lihatlah Nabiyullah Yusuf ‘alaihis salam sekalipun berada dalam penjara beliau tetap mendakwahkan agamanya. Tatkala datang dua orang penghuni penjara menanyakan ta’bir mimpi, maka Nabi Yusuf menggunakan kesempatan tersebut berdakwah kepada keduanya, sedang keduanya tengah tenang bersiap-siap mendengar ta’bir mimipi dari Yusuf ‘alaihis salam.
Nabiyullah Yusuf menyebutkan bahwa ilmu tersebut adalah karunia dan apa yang telah diajarkan Allah kepadanya, sebab ia telah meninggalkan dan menjauhi akidah-akidah kufur kepada Allah dan hari akhir.
Dalam berakidah, Yusuf mengikuti agama bapak-bapaknya yang semuanya adalah para nabi, yaitu bapaknya Ya’qub ‘alaihis salam, kakeknya Ishaq ‘alaihis salam, serta kakek bapaknya Ibrahim ‘alaihis salam. Mereka semua adalah para Nabi yang disebutkan dalam al-Qur’an, akidah mereka adalah Islam, yaitu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun sebagaimana hal itu merupakan wasiat sebagian mereka kepada sebagian yang lain. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firmannya, “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan iu kepada anak-anaknya, demikan pula Ya’kub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama islam.” (QS. al-Baqarah: 132).
Demikianlah semangat dakwah mereka kepada anak keturunannya, mereka mencurahkan kemampuannya dalam mendidik akidah yang benar dengan mengharap taufiq dari Allah, beliau menggabungkan pokok-pokok aqidah yang benar mencakup keimanan kepada Allah dan hari akhir, menanamkan tauhid kepada Allah dan menjauhkan kesyirikan, mengenalkan Allah dengan sifat-sifatnya, yaitu Rabb yang Mahaesa dan Mahaperkasa, serta menegaskan bahwa tidak ada hukum dan kekuasaan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bagi Allah semua keputusan, syariat dan hukum, maka tidak boleh seorang mengambil hukum dan syariat selain dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita semua di atas jalan yang diridhai-Nya. Amiinn .
Dikutip dari berbagai sumber (Alif Jumai Rajab Buletin Al Fikrah No. 21 Tahun XIV, 07 Rajab 1434 H/17 Mei 2013 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar