Selasa, 01 April 2014

PENJELASAN DEWAN SYARI’AH WAHDAH ISLAMIYAH TENTANG PEMILIHAN UMUM


Dewan Syariah Wahdah Islamiyah dengan berpedoman pada:
1.    Firman Allah Ta’ala pada Qs. Ali Imran (03): 110

{ كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ }
 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah

2.    Firman Allah Ta’ala pada Qs. Hud (11): 117
{ وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ }
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan

3.    Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى سعيد الخدري  قال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ »
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda:
“Siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran hendaknya ia cegah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan mulutnya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.” HR. Muslim (no. 186)

4.    Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنْ « لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ »
Dari Ubadah ibn as-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan: Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. HR. Ibnu Majah (no. 2430) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 250.

5.    Kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:
مَا لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ كُلُّهُ
Segala yang tidak dapat diwujudkan seluruhnya maka juga tidak ditinggalkan seluruhnya

Disebut di antaranya oleh Imam al-Mulla Ali al-Qari dalam kitabnya Mirqatul Mafatih Syarhu Misykatul Mashabih dalam banyak bab seperti al-Qashdu dan at-Tanzhif.

Keterangan: Idealisme pada sesuatu jika belum dapat terwujud seluruhnya maka tidak semestinya meninggalkan hal tersebut secara keseluruhan pula. Demikian halnya pada perubahan kondisi umat Islam di Indonesia saat ini, jika belum dapat diwujudkan dengan sistem yang sesuai harapan maka juga tidak berarti meninggalkannya secara keseluruhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَالرُّسُلُ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ بُعِثُوْا بِتَحْصِيْلِ الْمَصَالِحِ وَ تَكْمِيْلِهَا وَ تَعْطِيْلِ الْمَفَاسِدِ وَ تَقْلِيْلِهَا بِحَسَبِ اْلإِمْكَانِ
Dan para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mewujudkan segala maslahat atau menyempurnakannya dan menolak segala mafsadat atau menguranginya sesuai kemampuan”. Majmu’ al-Fatawa VIII/93-94.

6.    Kaidah Fiqh yang berbunyi:
يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِ
“Mencegah kemudharatan yang bersifat umum dengan menanggung kemudharatan yang bersifat khusus (adalah boleh)

7.    Kaidah Fiqh yang berbunyi:
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفّهِمَا
“Jika dua mafsadat saling berlawanan maka yang terbesar hendaknya dicegah dengan melakukan yang terkecil”.

Kedua kaidah ini disebut oleh Syaikh Ahmad ibn Muhamad az-Zarqa’ dalam kitabnya Syarhul Qawaid al-Fiqhiyah no. 26 dan 28.

Maka Dewan Syariah Wahdah Islamiyah menyampaikan dengan menyebut segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan Islam dengan mengutus Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. yang membawa manhaj dan jalan hidup yang haq, sehingga tidak ada lagi pilihan bagi kaum beriman selain mengikuti manhaj beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh aspek kehidupan; dalam beribadah, bermu’amalah, berakhlaq, berda’wah dan berpolitik.

Menegakkan agama Allah di atas muka bumi ini tidak akan mungkin ditempuh dan dicapai kecuali dengan manhaj yang digariskan dan dijalani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya. Begitu juga dengan upaya melakukan perubahan menuju kehidupan yang diridhai Allah, ia tidak dapat diwujudkan kecuali dengan menempuh manhaj perubahan yang ditempuh Sang Rasul penutup itu bersama dengan para sahabatnya. Dan manhaj penegakan Islam dan perubahan menuju kehidupan yang diridhai Allah itu tersimpul pada dua kata; da’wah dan tarbiyah yang dibangun atas dasar ajaran Islam yang shahih dan murni. Inilah jalan pilihan bagi siapapun yang ingin melihat tegaknya Islam di muka bumi ini dan ingin menyaksikan terjadinya perubahan menuju kehidupan yang diridhai Allah Azza wa Jalla.

Oleh karena itu, kami meyakini bahwa seluruh perhatian, usaha dan upaya keras seharusnya ditujukan untuk membangun gerakan yang berkonsentrasi pada jalan da’wah dan tarbiyah tersebut. Itu pula sebabnya, kami meyakini bahwa sudah seharusnya kaum muslimin tidak berpaling dan mencari jalan atau metode lain yang dianggap dapat menegakkan agama Allah di atas muka bumi. Sebab pastilah jalan atau metode itu tidak akan berhasil mengantarkan kita kepada tujuan yang dicita-citakan; menegakkan hukum Allah Ta’ala di muka bumi.

Akan tetapi, dalam perjalanan menempuh jalan da’wah dan tarbiyah itu, kita terkadang diperhadapkan pada sebuah pilihan yang sesungguhnya tidak sejalan dengan prinsip dan keyakinan yang haq. Namun kita terpaksa memilih demi mencegah atau mengurangi kemafsadatan yang lebih besar. Dalam istilah para ulama langkah ini dikenal dengan kaidah irtikab al-mafsadah as-shughra li daf’i al-mafsadah al-kubra -menempuh kemafsadatan yang kecil demi mencegah terjadinya kemafsadatan yang lebih besar- (semakna dengan kaidah no. 6 di atas).

Mengikuti pemilu adalah salah satu contohnya. Kami berkeyakinan bahwa mengikuti pemilu dan masuk ke dalam parlemen bukanlah jalan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya serta generasi as-Salaf as-Shaleh dalam menegakkan dien ini dan melakukan perubahan menuju kehidupan yang diridhai Allah Ta’ala. Akan tetapi, saat ini khususnya kita di Indonesia tengah diperhadapkan pada sebuah realitas bahwa sebuah kekuatan besar secara terbuka maupun tersembunyi tengah merencanakan upaya besar untuk  menghalangi da’wah Islam dan mendatangkan kerugian bagi kaum muslimin. Dan salah satu celah yang mereka tempuh adalah melalui berbagai kebijakan dan keputusan yang bersifat politis. Dengan kata lain, perlu ada dari kaum muslimin yang dapat menghalangi berbagai upaya tersebut, yang tentu saja salah satunya -secara terpaksa- dengan menempuh jalur politis.

Masalah pemilihan umum dengan mekanisme yang dikenal pada hari ini memang adalah masalah kontemporer yang belum dikenal di masa as-Salaf as-Shaleh. Itulah sebabnya, kita akan sulit menemukan nash yang sharih menjelaskan tentang hukum masalah ini. Oleh karena itu, para ulama Ahlussunnah yang menjelaskan masalah inipun mempunyai pandangan yang berbeda. Sebagian mengharamkan untuk ikut serta secara mutlak. Dan sebagian yang lain membolehkan dengan berbagai syarat dan batasan.

Siapapun yang mencermati dengan baik dan hati jernih tanpa didasari oleh sikap fanatik buta kepada ulama tertentu akan dapat menyimpulkan bahwa perbedaan para ulama Ahlussunnah dalam menyingkapi masalah ini sepenuhnya disebabkan perbedaan mereka dalam menimbang mashalahat dan mafsadat -suatu hal yang sering terjadi dalam masalah yang tidak didukung oleh nash yang sharih- yang ada dalam kasus ini. Walaupun beberapa ulama besar Ahlussunnah kontemporer (lih. Fatwa-fatwa terlampir) memandang bahwa ikut pemilu -bahkan menjadi anggota parlemen- dibolehkan demi mencegah kemafsadatan yang lebih besar. Dengan kata lain, kita terpaksa menempuh sebuah kemafsadatan yang lebih kecil (pemilu dan segala yang menjadi konsekwensinya) demi mencegah atau mengurangi kemafsadatan yang lebih besar.

Penjelasan ini juga menunjukkan bahwa pemilu oleh para ulama digolongkan sebagai sebuah kemafsadatan yang terpaksa ditempuh. Karenanya ia tidak dapat diklaim sebagai metode pilihan untuk menegakkan dien ini, apalagi jika dianggap sebagai tujuan. Oleh karena itu, seyogyanya kaum muslimin tetap mengkonsentrasikan diri untuk melanjutkan gerakan da’wah dan tarbiyah yang berkesinambungan.

Demikianlah penjelasan ini, semoga kita semua senantiasa mendapatkan inayah dan taufiq dari Allah Azza wa Jalla. Amin.

Makassar,  20 Dzulhijjah 1424 H/11 Februari 2004 M
A.n Ketua Dewan Syari’ah Wahdah Islamiyah

Bahrun Nida Muhammad Amin, Lc
Wakil Ketua

Diperbaharui dengan tambahan dalil pada:
Makassar, 18 Rabiul Awal 1430 H/15 Maret 2009 M
Dewan Syariah Wahdah Islamiyah

M. Said Abdul Shamad, Lc                                         Rahmat A. Rahman, Lc.
           K e t u a                                                                      Sekretaris     



==
Sumber: Wahdah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar