Sabtu, 28 April 2012

Menyikapi Kebrutalan Zionis Israel

Muslimin Indonesia harus menyusun langkah melawan hegemoni Yahudi.  Syaratnya ukhuwah Islamyah tak hanya di lisan. Apalagi masih bangga kelompoknya sendiri.

Hari-hari ini, kaum Muslim seluruh dunia menyaksikan kebrutalan yang membabi buta kaum Zionis  terhadap kaum Muslim di Palestina dan Lebanon. Setiap hari, jet-jet tempur beserta tank-tank Israel membunuhi warga Muslim. Dunia mengutuk serangan Israel itu. Tetapi, semuanya tidak berdaya, tidak mampu mencegah kebrutalan Israel. Padahal, dari segi hukum internasional, aksi sepihak Israel yang menyerbu Lebanon jelas-jelas tidak dibenarkan.

Tetapi, kaum Zionis Israel tidak mempedulikan hal itu. Mereka merasa lebih kuat, dan menganggap remeh protes dunia Islam terhadap kebrutalan mereka. Pada akhir Juli 2006,  Israel bahkan menyerang tempat pengungsian penduduk sipil di Desa Qana, sehingga membunuh lebih dari 60 warga  Lebanon –37  diantaranya adalah anak-anak. Seketika itu kemudian dunia mengecam Israel. Tetapi, tetap saja, hal itu tidak mampu menghentikan kebiadaban kaum Zionis Israel.

Umat Islam dan dunia Islam, sejauh ini, hanya mampu melakukan protes, menangis, mengeluarkan resolusi dan kutukan demi kutukan. Tetapi, tidak ada yang digubris oleh Israel. Sepertinya, Israel sudah hafal langgamkaum Muslim. Jika dibantai atau dipecundani, kaum Muslim akan marah dan melakukan aksi demontrasi. Setelah itu, lama-lama lupa pada masalahnya, lalu diam. Megapa umat Islam begitu mudah untuk diperdaya dan dipecundangi ? Tidak adakah kemuliaan bagi kaum Muslimin? Padahal, dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjamin :

“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran: 139).

Jadi, umat Islam harusnya menjadi umat yang mulia, umat yang disegani, umat yang terbaik yang menjadi saksi atas umat manusia lainnya. Tetapi, semua itu tidak akan terjadi, jika umat Islam meninggalkan syarat-syarat untuk dapat menjadi umat yang mulia.

"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (kamu) menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemunkaran, serta beriman kepada Allah." (QS Ali Imran:110). Jika kaum Muslim meninggalkan syarat untuk menjadi mulia, maka mereka akan menjadi umat yang hina.

Kondisi umat Islam yang tidak berdaya menghadapi kebiadaban kaum Zionis Israel seperti mencerminkan apa yang telah digambarkan oleh Rasulullah saw:

“Hampir tiba suatu zaman dimana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.” Maka salah seorang sahabat  bertanya: “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?”  Nabi  menjawab: “Bahkan, pada hari itu jumlah kamu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu banjir, dan Allah akan mencabut rasa  gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit al wahnu.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?”  Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam  menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud)

Tanpa perlu melakukan riset yang rumit, dengan mudah dapat dilihat, bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat mirip dengan apa yang digambarkan Rasulullah  tersebut. Di berbagai belahan dunia, umat menghadapi ujian dan cobaan yang berat. Umat Islam diperlakukan dengan sangat hina. Tidak disegani dan ditindas dimana-mana. Di Palestina, Moro, Xin Jiang, India, Kashmir,

Thailand Selatan, dan di berbagai belahan dunia lainnya, umat Islam menghadapi penindasan dalam berbagai bidang kehidupan. Umat Islam, yang jumlahnya sekarang sekitar 1,3 milyar jiwa, bernasib seperti buih, kehilangan kepercayaan diri,  diombang-ambingkan situasi dan kondisi. Untuk menyelesaikan masalah Palestina saja masih belum  mampu. Bandingkan dengan kaum Yahudi yang jumlahnya hanya sekitar 15 juta jiwa, yang berani menolak  puluhan resolusi PBB, dan tidak gentar sedikit pun menghadapi protes dari seluruh penjuru dunia.

Sebagai Muslim kita tidak boleh berdiam diri terhadap perkembangan di Palestina dan Lebanon saat ini. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bangun pagi dan tidak peduli dengan masalah umat Islam, maka dia tidak termasuk bagian dari umat Islam.”

Secara umum, ada dua tanggung jawab muslim terhadap dunia Islam, yaitu (1) tanggung jawab risalah, dan  (2) tanggung jawab ukhuwah.  Tanggung jawab risalah wajib dilaksanakan oleh umat muslim berdasarkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang terdapat dalam sejumlah ayat Al Quran:

"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada  yang makruf dan mencegah kemunkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran:104).
Ayat-ayat Al Quran tersebut memberikan penjelasan yang tegas tentang kewajiban umat Islam untuk  melaksanakan dakwah, dalam arti melanjutkan risalah Rasulullah saw.

Ad-Dinul Islam diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala  melalui Rasul-Nya, Muhammad Shallallaahu 'alaihi Wasallam ., kepada seluruh manusia (QS 34:28).  Islam diturunkan bukan hanya untuk umat Islam semata. Islam diturunkan untuk menyelamatkan umat manusia, untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam (QS 21:107). Penegasan agar ajaran Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam juga tampak dari seruan Rasulullah  dalam Khutbatul Wada’, dimana Rasul  saw senantiasa menggunakan seruan “Ya ayyuhan naas…”. Ketika itu beliau berpesan, agar orang-orang yang hadir di Arafah, menyampaikan pesan-pesan kepada yang tidak hadir.

Karena mengemban misi yang sangat mulia -- yaitu untuk menyebarkan rahmat kepada seluruh alam, yang  dapat juga diartikan sebagai tugas untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran  -- maka umat Islam  diberi julukan dengan berbagai predikat yang agung, seperti “khairu ummah”, “ummatan wasatha”, dan  sebagainya.

Pada sisi lain, sebutan-sebutan indah itu juga mengindikasikan adanya perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar umat Islam menjadi umat yang mulia, umat yang disegani, umat yang kuat, dan umat yang agung; bukan umat yang hina dan lemah. Hal itu dapat dilihat, misalnya, pada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar umat Islam menghimpun segala macam kekuatan, agar mereka menjadi umat yang kuat.

Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu), kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengatahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya.”
(QS al-Anfal:60).

Mudah dipahami, dengan kondisi sebagai “umat yang mulia”, “umat yang kuat”, dan sebagainya, maka umat Islam akan dapat menjalankan fungsi dakwah dan amanah risalah kepada seluruh manusia, dengan lancar. Jika kondisi umat Islam sebaliknya, yakni umat yang lemah dan hina, maka umat Islam bukanlah menjadi  “subjek”, tetapi akan menjadi “objek”. Bukan menjadi da’i, tetapi malah menjadi “mad’u”, bukan menjadi  “penentu arah” perjalanan dunia, tetapi malah menjadi “yang diarahkan”.

Tanggung jawab yang kedua, yakni tanggung jawab ukhuwah, juga jelas-jelas merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS 9:71).

Umat muslim diibaratkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam  sebagai satu tubuh (kal jasadil wahid) atau satu bangunan  yang saling menguatkan (kal bunyan yasyuddu ba’dhuhum ba’dha). Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam juga mengibaratkan kaum Muslimin seperti penumpang yang bersama-sama berlayar ke tengah lautan. Di dalam kapal itu, ada satu penumpang yang bermaksud melobangi kapalnya untuk mengambil air. Jika seluruh penumpang membiarkan orang itu melobangi perahunya, maka binasalah dia dan juga seluruh penumpang.

Hanya di antara orang-orang beriman dapat menjalin ukhuwah Islamiyah, sebab ukhuwan Islamiyah adalahmanivestasi dari iman. Ukhuwah Islamiyah membutuhkan pengorbanan, lebih mementingkan kepentingan saudaranya sesama mukmin, ketimbang kepentingan dirinya.  Ditegaskan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam : “Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhihi maa yuhibbu linafsihi.” (Tidak/belum sempurna iman salah seorang kamu, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintai oleh dirinya sendiri.).

Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan tertinggi antar sesama muslim. Nilai persaudaraan ini lebih tinggi daripada persaudaraan yang dibangun di atas landasan  kesukuan, kebangsaan, atau hubungan darah sekali pun.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan dan Hari Akhir berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu orang tua sendiri, anak,  saudara kandung atau keluarga. Mereka itulah yang Allah telah tuliskan keimanan di hatinya dan  menguatkannya dengan pertolongan dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap (limpahan rahmat) Allah. Mereka itulah "hizbullah". Ketahuilah, bahwa sesunggguhnya "hizbullah" itulah yang pasti menang." (QS Al Mujadalah:22).

Ironinya, justru sekarang, persaudaraan muslim itu sudah ditinggalkan oleh umat Muslim, yang kiniterkoyak-koyak dan terpecah belah dalam berbagai paham nasionalisme sempit, bahkan terkadang sudah bersikap fanatis buta terhadap kelompoknya sendiri. Dalam situasi dimana saudara-saudara kita kaum  Muslim Palestina dan Lebanon menjadi mangsa keganasan dan kebiadaban Yahudi Israel saat ini  seyogyanya kaum Muslimin kini mampu menyatukan hati dan pikiran untuk melakukan gerakan perlawanan yang efektif dan serius.

Kaum Muslim di Indonesia, sudah harus mulai berpikir serius dalam merumuskan srategi perjuangan  melawan Yahudi. Sebelum melakukan perlawanan, umat Islam harus tahu persis, di mana posisi-posisi Yahudi di Indonesia. Perusahaan mana saja yang dibiayai Yahudi. iapa saja pendukung-pendukungnya di  Indonesia. Bagaimana cara mereka menguasai umat Islam. Semua itu harus dipelajari dan dikaji dengan serius oleh umat Islam, agar tidak salah dalam melangkah dan menyusun program perjuangan; agar tidak  sporadis dalam melawan kekuatan Yahudi yang sudah menggurita di berbagai sektor kehidupan: informasi, studi dan pemikiran Islam, keuangan, sampai barang-barang konsumsi rumah tangga.

Perjuangan melawan hegemoni Yahudi dan para kroninya adalah perjuangan yang panjang dan  membutuhkan keseriusan,  ilmu dan kesabaran. Maka, sudah saatnya umat Islam berusaha keras  pembangun posisi kemandiriannya, terutama dalam pemikiran, budaya, dan ekonomi. Sangatlah sulit dibayangkan, bagaimana kaum Muslim mau melawan Yahudi, sedangkan untuk air minum saja, umat Islam masih merasa nyaman mereguk air kemasan produk Yahudi.

Dan sangatlah mustahil untuk mengalahkan Yahudi dan kroninya, jika untuk pemikiran Islam saja, kampus-kampus berlabel  Islam bangga menjiplak pemikiran Yahudi, dan bahkan sejumlah kampus sudah memasukkan metode penafsiran Bibel Yahudi untuk menafsirkan Al-Quran sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir-Hadits. Wallahu a’lam.(Ust.DR. Adian Husaini/http://adianhusaini.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar