Secara bahasa Thaharah bermakna bersih dari kotoran baik kotoran fisik (hissiyah) maupun non fisik (ma’nawiyah). Secara istilah (terminology) bermakna: Menghilangkan hadats dan najis dengan air dan tanah yang suci dan mubah.
Penulis Bulughul Maram memulai dengan Kitab Thaharah karena hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berbicara tentang syariat Islam dimulai dengan Shalat, zakat, puasa, haji. Sementara syarat sahnya shalat adalah thaharah berdasarkan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya:
(مفتاح الصلاة الطهور . . .. . . (رواه الترمذي وان ماجه وصححه الألباني
Artinya: “Pembuka (syarat sahnya ) shalat adalah thahur(suci) . . . “ (HR Tirmidziy,Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Al Baniy).
Dan hadits yang lain:
(لا يقبل الله صلاة بغير طهور . . . . (متّفق عليه
Artinya: ” Allah tidak akan menerima shalat tanpa thaharah . . . “ (Muttafaq ‘alaihi).
Penulis juga mendahulukan Bab Air dalam Kitab Thaharah karena pada asalnya thaharah dilakukan dengan air berdasarkan firman Allah.
Artinya: “Dan Kami turunkan dari langit air yang Amat suci”. (QS Al-Furqan:48).
Hadits 1
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم في البحر : ((هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته)).أخرحه الأربعة وابن أبي شيبة وللفظ له وصحّحه ابن خزيمة والترمذي .
Artinya: “Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata:Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam bersabda tentang laut:Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. (Dikeluarkan oleh empat dan Ibnu abi Syaibah ,dan hadits ini adalah lafadz ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Ibnu khuzaimah dan Tirmidziy).
Biografi Singkat Sahabat Perawi Hadits:
Beliau bernama ‘Abdullah atau ‘AbdurRahman bin Shakr Ad-Dausiy, salah seorang pemuka shahabat dan paling banyak meriwayatkan hadits, yang meriwayatkan hadits darinya sekitar 800 orang. Beliau masuk Islam pada saat perang khaibar lalu kemudian bermulazamah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Menjadi mufti di zaman pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Khathab radhiyallaahu ‘anhu, pernah menjadi gubernur madinah sebelum Marwan, Beliau wafat di madinah pada tahun 59 H dalam usia 78 tahun dan dimakamkan di Baqiy ‘.
Kosa kata Hadits:
البحر : Laut; lawan dari darat, air yang banyak atau air asin
الطّهور: Sesuatu yang dipakai bersuci (suci dan mensucikan)
الحلّ : Halal; lawan dari kata haram
ميتته : Bangkai; Hewan yang tidak disembelih secara syari’, dan yang dimaksudkan di sini adalah bangkai hewan laut (hewan yang habitatnya di laut, bukan hewan darat yang melompat atau dibuang ke laut lalu mati di laut).
Penjelasan Umum (Sababul Wurud)
Pada asalnya hadits ini merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam [sebagaimana dalam Al-Muwatha] bahwa Abu Hurairah berkata: “Seorang pria dari Bani madlij (1) bernama ‘Abdullah (2) datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah kami menyeberangi lautan dan kami hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengan air tersebut maka kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab:
هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.
Beliau mengajarkan bahwa air laut itu ‘thahuur’ suci dan mensucikan, serta bangkai hewan laut itu halal, sehingga hewan-hewan yang hidup di lautan tidak perlu disembelih.
Beberapa Pelajaran Dari Hadits:
* Hadits ini menunjukkan bahwa air laut itu suci dan mensucikan.
* Bahwasaannya air laut dapat mengangkat (menghilangkan) najis besar dan kecil serta dapat menghilangkan najis yang menodai tempat yang suci berupa badan,pakayan,dan atau yang lainnya.
* Air jika berubah rasa,warna dan baunya dengan sesuatu yang suci maka ia tetap suci,selama air tersebut tetap pada hakikatnya,kendatipun ia sangat asin,panas,dingin .
* Hadits ini menunjukkan bahwa tidak wajib membawa persediaan air yangcukip untuk bersuci meskipun mampu untuk melakukan hal tersebut,karena penanya dalam hadits ini mengabarkan bahwa mereka hanya membawa sedikit air .
* Bangkai hewan laut halal, dan yang dimaksud dengan hewan laut adalah hewan yang hanya hidup di laut (habitatnya di laut), bukan hewan darat yang mati di laut.
* Air yang dipakai untuk menghilangkan hadats dan najis harus (wajib) air yang suci dan mensucikan.
* Keutamaan berfatwa dengan memberikan jawaban tambahan dari yang ditanyakan, hal tersebut dapat dilakukan jika seorang mufti menduga dan memperkirakan bahwa penanya akan akan mengalaminya dan ia tidak mengetahui hukumnya. Dalam hadits ini Nabi hanya ditanya tentang hukum berwudhu dengan air laut, tetapi Beliau memberikan jawaban tambahan (tentang kehalalan bangkai hewan Laut) karena beliau telah memperkirakan bahwa mereka akan berhadapan dengan masalah tersebut. Berkata Ibnul ‘Arabiy: “Hal ini termasuk bentuk kebaikkan dalam berfatwa –mahaasinil fatwa-. Seorang mufti memberikan jawaban lebih banyak dari yang ditanyakan, guna menyempurnakan faidah serta memberikan faidah berupa ilmu yang tidak ditanyakan, hal ini semakin jelas ketika nampak kebutuhan terhadap (pengetahuan tentang) hokum tertentu-sebagai man dalam hadits ini-.
* Pentingnya kembali dan bertanya kepada ‘Ulama ketika berhadapan dengan permasalahan yang tidak diketahui hukumnya. Sebagaimana hal ini telah dicontohkan oleh ‘Abdullah al-Madlaji dalam hadits ini. Beliau mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air (minum) jika ia berwudhu dengan air tersebut maka ia dan kawan-kawannya akan kehausan, tetapi mereka belum mengetahui hukumnya berwudhu dengan air laut, sehingga beliau datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan hal tersebut.
Khilaf (Perbedaan Pendapat) Para ‘Ulama Tentang Hukum Memakan Hewan Laut.
Meskipun hadits di atas telah menjelaskan halalnya bangkai hewan laut, namun hal ini tetap menyisakan perbedaan pendapat di kalangan ‘Ulama madzhab, berikut perinciannya:
* Al-imam Abu Hanifah berpendapat: Semua jenis ikan hukumnya halal dan selain ikan hukumnya haram, seperti anjing laut, babi laut, ular dan semua jenis hewan yang bentuknya sama dengan hewan darat.
* Imam Ahmad berpendapat: Semua hewan laut boleh, kecuali kodok, ular, dan buaya. Adapun (alasan pengharaman) kodok dan ular karena keduanya termasuk hewan yang menjijikkan (al-mustakhbatsaat), sedangkan buaya (karena) ia bertaring dan buas.
* Imam Malik dan Syafi’i berpendapat; Semua hewan laut boleh tanpa kecuali. Mereka berdalil dengan firman Allah (Dihalalkan atas kalian hewan buruan laut (shaidul bahri) dan ma’na ash-shaid adalah hewan yang diburu. Dan juga sabda nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Dihalalkan untuk kami dua bangkai; belalang dan al-hut (ikan). (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Dalil yang lain; hadits yang dibahas di sini; “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.
Pendapat yang paling rajih: Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i (semua bangkai hewan laut halal tanpa kecuali) ,wallaahu a’ lam bish shawab.
Footnote:
(1). Sebagaiman dalam Musnad Imam Ahmad.
(2). Sebagaiman dalam riwayat at-Thabraniy.
dicopas dari :http://wimakassar.org/wp/syarah-kitab-bulughul-maram-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar