Senin, 06 Desember 2010

CERDAS BERIBADAH


Cerdas. Sebuah kata yang begitu lazim di telinga kita. Ketika mendengarnya,membacanya, maka mungkin kesan yang akan muncul di benak kita adalah dunia pendidikan. Demikanlah. Karena memang, kecerdasan -terkadang- identik dengan prestasi.

Tetapi, yang akan kami bahas di sini, bukanlah makna ”cerdas” dalam aspek di atas. Melainkan, makna ”cerdas” dalam perspektif yang lebih besar. Ya, bahkan dalam perkara yang teramat penting. Perkara yang dengannya kita diciptakan olehNya. Kecerdasan dalam beribadah.

Marilah kita simak. Semoga kami, Anda dan siapa pun yang membacanya memperoleh faidah.

Bahwa kita diciptakan untuk beribadah, itu tentu sudah pasti. Namun apakah setiap orang yang rajin beribadah akan serta merta dikatakan telah cerdas beribadah?. Rasanya tidak ada jawaban yang tepat untuk menjawabnya kecuali : Tidak! Kerajinan beribadah tentu saja tidak identik dengan kecerdasan beribadah. Seab banyak orang meletihkan dan melelahkan dirinya untuk “sekedar” –seperti sangkaan mereka– menumpuk berbagai ibadah. Seperti pengembara yang menempuh perjalanan dengan memanggul sebuah kantong yang isinya tak lebih dari bermilyar-milyar pasir. Tak berguna.

Betapa seringnya kita dibuat kagum ketika membaca betapa tidak letih - letihnya orang – orang shaleh (salaf) terdahulu menunjukkan penghambaan mereka. Kisah mereka bagai dongeng saja. Lalu kita pun secara serta merta selalu ingin meniru mereka. Persis. Tanpa melakukan perhitungan yang cerdas. Bila mendengarkan bahwa Imam Ahmad –misalnya- mengerjakan shalat sunnat 200 raka’at dalam satu hari, maka kita pikir kita pun seharusnya melakukan hal yang sama. Bila membaca bahwa seorang ’Atha Bin Abi Rabah radhiallahu ’anhu -misalnya- tidur di masjid selama 20 tahun lamanya, kita pun menganggap bahwa untuk menjadi shaleh kita harus pula demikian.

Begitulah seterusnya. Kita berputar dalam lingkaran kekaguman yang membuat kita tidak melihat dan menyimpulkan secara tepat. Kita tidak coba untuk merenungkan bagaimana mereka mengalami proses perjuangan meundukkan nafsu hingga dapat melakukan itu semua. Kita idak pikirkan tentang keistiqamahan dan konsistensi mereka menjalankan itu semua. Kita tidak pikirkan bahwa untuk ke puncak itu, mereka harus melewati sebuah niat yang lurus, tulus dan kuat. Bahwa kita butuh melihat konsistensi kita. Kita lupa bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam mengatakan : ”Sebaik-baik amalan adalah yang sedikit namun berkelanjutan”.

Maka di penghujung jalan, kita pun mengalami kemunduran, kejemuan dan keletihan. Setelah mengerjakan 200 raka’at di hari pertama, mungkin di hari-hari esoknya tak satu raka’at pun yang tertegakkan. Sebab jiwa kita trauma, ia letih. Syukur-syukur jika ia tidak membenci shalat sunnat itu.

Namun demikianlah, kita harus cerdas dan pandai mengukur diri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak pernah membebani jiwa manapun bila tidak sesuai kemampuannya.
Ada banyak cahaya kecerdasan beribadah yang terwariskan kepada kita. Salah satunya adalah kisah yang dialami oleh sahabat nabi yang mulia, namanya Tamim Ad-Dary radhiallahu ’anhu.
Seorang pria pada suatu ketika mengunjunginya. Tujuannya hanya satu. Ingin mengetahui bagaimana Tamim Ad-Dary menyelesaikan ayat demi ayat dalam al-Qur’an.
”Barapa banyakkah wirid dan ayat Anda baca setiap harinya?” tanya pria itu membuka percakapan mereka.

”Hmmm, barangkali engkau ini termasuk orang yang membaca al-Qur’an di malam hari, lalu di pagi harinya ia kemudian mengatakan kepada orang lain : ’Malam ini aku telah membaca al-Qur’an”. Sungguh demi Allah, wahai saudaraku, bila aku mengerjakan shalat tiga raka’at saja di malam itu jauh lebih aku senangi daripada menyelesaikan al-Qur’an dalam satu malam namun di pagi harinya aku kemudian menceritakanya kepada orang lain”, jawab Tamim Ad-Dary.

Nampaknya pria itu kemudian sedikit agak emosi mendengar jawaban Tamim Ad-Dary. Ia hanya terkejut saja menyimak jawaban itu. Maka ia berujar, ”Ah, kalian para sahabat nabi, seharusnya yang masih hidup dari kalian ini diam saja dan tidak usah berbicara. Kalian justru tidak mau mengerjakan ilmu kalian, malah kalian justru menyalahkan orang yang bertanya pada kalian!”.

”Jangan salah paham, saudaraku. Sekarang apakah engkau mau kujelaskan suatu hal yang mungkin tidak engkau pahami?”, tanya Tamim Ad-Dary dengan sedikit lembut.
”Cobalah engkau renugnkan”, lanjut Tamim. ”Jika saja aku ini seorang mu’min yang kuat dan engkau adalah seorang mu’min yang lemah, lalu engkau berusaha membawa bebanku dengan segala kelemahanmu, hingga akhirnya engkau kemudian tidak sanggup memikulnya. Menurutmu, apakah yang akan terjadi? Engkau hanya akan mengalami sebuah kejemuan dalam beribadah. Demikan pula sebaliknya. Engkau seorang mu’min yang kuat dan aku yang lemah ini mencoba memikul bebanmu. Tentu aku akan mengalami sebuah kejemuan pada akhirnya.

Maka, saudaraku, berikanlah sesuatu yang sesuai batas dirimu untuk dien ini, dan ambillah dari dien ini apa yang engkau mampu untuk melaksanakannya secara perlahan. Hingga akhirnya kelak engkau dapat istiqamah dan konsisten mengerjakan ibadah yang mampu engkau tegakkan”.

Sebuah nasehat yang bijak. Sederhananya adalah kita bercita-cita menggapai surga tertinggi, Firdaus, dan dalam meniti jalan ke sana kita melaluinya dengan kesederhanaan yang berkualitas. Kesederhanaan yang dapat membuat kita istiqamah dan langgeng dalam penghambaan kepadaNya. Mengerjakan yang kecil. Dan mulai sejak sekarang. Bukankah rasul kita yang mulia, -sekali lagi- Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam berkata : ”Sebaik-baik amalan adalah yang berkelanjutan meskipun sedikit?. Inilah inti ibadah yang cerdas. Maka pahamilah, saudaraku !!.


Sumber :Perindu-Perindu Malam, karya Abul Miqdad Al Madany. Mujahid Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar