Senin, 20 Desember 2010

NATALAN BERSAMA Kerukunan Atau Kemunafikkan Ummat Beragama?

Mungkin anda pernah menyaksikan dan masih ingat acara Perayaan Natal Bersama melalui salah satu stasiun TV pada tanggal 27 Desember 2009 setahun lalu. Acara itu seperti sudah dianggap sebagai ritual tahunan kenegaraan. Biasanya pejabat tinggi banyak yang diundang. Malam itu, ada beberapa pejabat Muslim yang datang.. Menyimak rangkaian acaranya, Perayaan Natal Bersama itu jelas sebagai suatu bentuk Proklamasi agama Kristen dan realisasi konsep Misi Kristen di Indonesia.
Pesan utama yang ingin disampaikan melalui acara tersebut sangat jelas bahwa Jesus, Putra Tuhan, sang Juru Selamat sudah tiba untuk menebus dosa manusia. Berbagai lagu dan sendratari yang ditampilkan membawa pesan tersebut. Disamping lagu dan tari, ada pesan Natal dan juga Doa Syafaat dibawakan oleh pejabat KWI (Katolik) dan PGI (Protestan).
Menarik jika kita amati wajah para pejabat muslim yang hadir acara itu. Kita juga mencoba menebak-nebak, apa kira-kira perasaan para pejabat Muslim itu, ketika mendengar lagu-lagu dan seruan tentang kedatangan Jesus sebagai anak Allah dan Juru Selamat. Kita berprasangka baik, dan menduga-duga, hati para pejabat yang Muslim itu pasti berkata: “Ini tidakbenar! Sebab, saya Muslim. Saya yakin benar, bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib. Saya yakin, Nabi Isa adalah utusan Allah, rasul Allah; bukan Tuhan atau anak Tuhan.”
Para pejabat Muslim yang sebagian dari mereka memiliki Majelis Zikir tentu sudah pernah mendengar ayat Al-Quran: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (Terjemah QS as-Shaff: 6).
Ada juga ayat Al-Quran yang menyatakan: “Dan mereka mengatakan, (Allah) Yang Maha Pemurah itu punya anak. Sungguh (kalian yang menyatakan bahwa Allah punya anak), telah melakukan tindakan yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah gara-gara ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah punya anak.” (Terjemah QS Maryam: 88-91).
Sebagai Muslim, mereka tentu paham benar ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dalam Perayaan Natal Bersama itu, orang-orang Muslim “dipaksa” mendengar cerita-cerita tentang Jesus yang bertentangan dengan keimanan mereka. Kata beberapa orang, praktik-praktik pencampuran Perayaan Hari Raya Agama seperti itu perlu dilakukan demi tujuan mulia, yaitu untuk membina Kerukunan Umat Beragama. Malah, ada yang berpendapat, agar MUI mencabut fatwa tentang Haram-nya seorang Muslim merayakan Natal Bersama. Sebagai Muslim, dan juga sebagai Pejabat Negara ketika itu “harus” duduk mendengarkan semua cerita tentang Jesus, yang sudah pasti tidak mereka yakini. Pada kondisi seperti itulah, mereka juga terpaksa tidak menyatakan secara terbuka, bahwa mereka mempunyai kepercayaan dan keimanan yang berbeda dengan kaum Nasrani.
Sebenarnya, jika kita berpikir jernih, praktik-praktik semacam ini seharusnya dihentikan. Membangun kerukunan umat beragama tidak perlu dilakukan dengan cara-cara yang dapat menyuburkan kemunafikan seperti itu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, dan para ulama Islam – yang sejati – tidak pernah mengajarkan tindakan seperti itu. Untuk membangun kerukunan umat beragama, banyak cara lain yang bisa dilakukan. Sebenarnya, jika kaum Nasrani merayakan hari raya mereka, di kalangan mereka sendiri, itu juga tidak ada masalah dan tidak perlu mengundang kontroversi.
Berita tentang ke-Tuhanan Jesus tentu tidak mudah ditelan begitu saja oleh kaum Muslim. Sebab, Islam memiliki kitab suci Al-Quran yang dengan sangat gamblang menjelaskan kesalahan kepercayaan kaum Kristen tersebut. Al-Quran menyatakan, bahwa berita tentang penyaliban Jesus (Nabi Isa) adalah bohong belaka. Penyaliban Jesus, dalam pandangan Islam, tidak memiliki dasar yang kuat. “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Terjemah QS al-Kahfi: 4-5).
Ayat-ayat dalam kitab suci yang secara tegas membantah klaim-klaim kaum Kristen tentang ketuhanan Jesus seperti ini hanya dijumpai dalam Al-Quran. Ayat semacam itu tidak kita dijumpai pada Kitab Veda (Hindu), Tripitaka (Budha), atau Su Si (Konghucu). Karena itu, wajar, selama seorang mengaku dan meyakini keimanan Islam-nya, hatinya akan dengan tegas menolak semua pernyataan yang tidak benar tentang Nabi Isa. Kaum Ahlul Kitab yang hatinya ikhlas dalam menerima kebenaran pasti akan mengakui kenabian Muhammad saw dan kebenaran Al-Quran (QS 3:199).
Keyakinan kaum Muslim tentang Nabi Isa seperti itu seharusnya dihormati oleh kaum Kristen. Sehingga, tidaklah etis jika “memaksa” seorang Muslim yang berpegang kepada iman Islam-nya untuk duduk mendengar cerita tentang Yesus dalam versi Kristen yang sama sekali berbeda versinya dengan cerita tentang Nabi Isa dalam versi Islam. Inilah sebenarnya hakekat saling hormat-menghormati antar pemeluk agama. Mereka bisa bekerjasama satu sama lain, dalam berbagai hal. Tetapi, bukan membiasakan diri bersikap “pura-pura” dalam soal keimanan. Sikap saling menghormati bisa ditumbuhkan dengan tetap berpegang kepada keimanan masing-masing.
Islam juga menghormati sikap pemimpin Katolik Paus Yohanes Paulus II, ketika menyatakan, bahwa Islam, bahwa Islam bukanlah agama penyelamatan: “Islam is not a religion of redemption.” Paus juga menyatakan, dalam Islam tidak ada ruang bagi Salib dan Kebangkitah Yesus. Yesus memang disebutkan, tetapi, kata Paus, dia hanya sekedar seorang Nabi, yang menyiapkan kedatangan Nabi terakhir, yaitu Muhammad. Karena itulah, Paus berkesimpulan: “For this reason, not only the theology but also the anthropology of Islam is very distant from Christianity.” Jadi,menurut Paus, secara teologis dan antropologis, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dan Kristen. (Lihat, John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy, (London: Penguin Books Ltd., 2005).
Ada lagi yang sering tidak dipahami oleh pemeluk agama selain Islam atau bahkan kalangan Muslim sendiri. Yaitu, bahwasanya Islam adalah agama wahyu yang memiliki uswah hasanah (contoh teladan). Sebagai agama wahyu (agama langit), Islam mendasarkan keyakinan dan semua praktik ritualnya berdasarkan wahyu dan contoh dari Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, hanya orang Muslim yang kini memiliki bentuk ibadah yang satu. Orang Muslim membaca al-Fatihah yang sama dalam shalat; ruku’ dengan cara yang sana; sujud dengan cara yang sama, dan salam dengan cara yang sama pula. Semua itu ada contoh dari Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Bahkan, kaum Muslim berdebat tentang hal-hal yang “kecil” dalam ibadah shalat, seperti apakah dalam tahiyat, jari telunjuk digerakkan atau tidak. Sebab, memang ada riwayat yang berbeda dari Rasulullah saw tentang hal itu. Yang jelas, semua Muslim ingin mencontoh Sang Nabi sampai hal-hal yang “kecil” seperti itu diperdebatkan. Tapi, semua orang Muslim, saat melaksanakan tahiyat dalam shalat, pasti mengeluarkan jari telunjuk, bukan jari jempol atau jari kelingking.
Karena kuatnya berpegang pada keteladanan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam ibadah itulah, maka –misalnya -- orang Islam tidak mudah untuk diajak mengganti salam Islam dengan salam lainnya. Karena salam resmi orang Islam, sesuai ajaran Nabi saw adalah: Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.” Ucapan salam seperti ini berdasarkan contoh dari Nabi Muhammad, bukan berasal dari budaya atau hasil Kongres umat Islam pada saat tertentu. Di mana pun, kapan pun, umat Islam akan mengucapkan salam seperti itu. Apa pun suku dan bangsanya. Upaya untuk “pribumisasi” salam Islam dan menggantinya dengan “Selamat pagi” dan sejenisnya, telah gagal dilakukan. Dulu, akhir 70 an- 80 an pernah seorang menteri yang menolak mengucapkan salam Islam, dengan alasan, ia bukan hanya menterinya orang Islam.
Sekarang, cara berpikir Pak Menteri itu sudah out of date, sudah ketinggalan zaman. Kini, Sebagian pejabat sangat fasih dalam mengucapkan salam. Bahkan, biasanya mereka dahului dengan ucapan basmalah. Sekarang sudah banyak tokoh non-Muslim yang dengan lancar mengucapkan salam Islam. Ust DR Adian Husaini MA pernah bertanya kepada seorang tokoh non-Muslim, apakah dia boleh mengucapkan salam Islam, seperti yang baru saja dia ucapkan. Dia menjawab: Boleh!
Kondisi seperti itu berbeda dengan umat Islam. Untuk urusan salam saja, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan contoh dan panduan yang sangat rinci. Bagaimana seharusnya seorang Muslim memberikan salam kepada sesama Muslim, bagaimana menjawab salam dari non-Muslim, dan sebagainya. Umat Islam secara ikhlas berusaha mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw tersebut. Sifat dan posisi ajaran Islam seperti ini seyogyanya dipahami. Termasuk dalam soal perayaan Hari Besar Agama. Panduan dalam soal ini juga sangat jelas. Karena itu, jika umat Islam menolak untuk mengikuti Perayaan Hari Besar agama lain, itu pun harusnya dipahami dan tidak dicap sebagai bentuk rasa permusuhan terhadap agama lain. Pemahaman akan sifat dan karakter masing-masing agama itu perlu dipahami oleh masing-masing tokoh agama, agar tidak memaksakan pemahamannya kepada orang lain.
Dalih toleransi dan kerukunan Ummat beragama tetap tidak layak dijadikan alasan ‘Perayaan Natal Bersama’.Sebab ,Hari Raya merupakan masalah agama dan aqidah ,bukan masalah keduniaan.Toleransi dan kerukunan dapat dibangun dengan tetap hidup bersama ,bekerja sama dalam urusan-urusan dunia tanpa mencampuradukkan ritual agama melalui perayaan hari besar secara bersama. Wallaahulhaadiy Ilaa aqwamirRasyaad.(Sym)

Dicuplik dari CAP Adian Husaini ke-275 (www.hidayatullah.com ) dengan sedikit modifikasi,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar