Senin, 02 Mei 2011

Kelalaian dan Kesalahan Orang Tua dalam Mendidik Anak (4)

Pada edisi lalu (tulisan 1 - 3) telah kami sebutkan 12 bentuk kelalaian dalam mendidik anak. Berikut ini kembali kami sebutkan beberapa kelalaian yang lain, dan masih merupakan kelanjutan dari kelalaian sebelumnya. Diantara bentuk-bentuk kelalaian itu adalah:

13. Bersikap Pilih Kasih terhadap Anak

Ada sebagian orang tua yang bersukap pilih kasihkepada anak-anaknya, dan tidak berbuat adil kepada mereka, baik dalam hal materi maupun non materi.

Ada sebagian orang tua yang membedakan anak-anaknya dalam pemberian, hadiah atau hibah. Ada juga yang membedakan mereka dalam sikap lemah lembut dan senda gurau, dan sikap-sikap yang lainnya yang dapat menimbulkan perasaan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, memungkinkan munculnya kebencian diantara mereka, dan menjadikan mereka saling menjauh dan berseberangan.

Potret pembedaan dan pilih kasih kepada anak, seperti yang dijumpai pada beberapa orang tua, mereka mengkhususkan pemberian uang yang banyak kepada anak-anak yang sudah besar, atau membelikan sebidang tanah atau property tanpa mempertimbangkan kebutuhan anak tersebut, ketika ditanya: “Lalu apa bagian anak-anak yang masih kecil dan anak-anak perempuan ?” Dia menjawab, ”Kami akan memberikan kepadanya saat mereka sudah besar nanti. Sedangkan anak-anak perempuan akan menikah dan akan dicukupi oleh suami-suami yang kaya!”.

Bahkan, bisa jadi dia memberi kepada anaknya –tertentu- dan tidak kepada yang lainnya. Atau menikahkan sebagian mereka dengan membiarkan sebagian yang lain, padahal usia mereka berdekatan, dan kebutuhannya akan hal ini sama. Sikap orang tua seperti ini, membeda-bedakan antara anak-anaknya bisa jadi karena ada faktor tertentu dalam diri anaknya, atau karena anak ini berasal dari istrinya yang kaya-raya, dan anak yang ini berasal dari isteri yang tidak memberikan kesan baik di hatinya.

Tidak disangkal lagi bahwa sikap ini adalah perlakuan yang salah dan menafikan rasa keadilan antara anak-anak. Siapa yang memberi jaminan kepada orang ini bahwa dia dapat hidup hingga anak-anaknya menjadi besar nanti?

Sesungguhnya anak-anak perempuan memiliki hak meskipun telah menikah. Adalah bijak bagi seorang ayah apabila memberikan sesuatu kepada salah seorang anak, maka dia juga memberikan kepada anak-anak yang lainnya dengan cara menyimpannya untuk mereka nanti, atau menuliskan (pesan) kepada anak yang diberi bahwa dia mengambil ini dan ini. Mungkin pemberian itu sebagai hutang adanya, atau dikurangi (dikonversi) dari hak-haknya dari warisan sepeninggal ayahnya, dan seterusnya.

Termasuk hal yang tidak menafikan keadilan adalah apabila seorang ayah memberikan kepada anak-anaknya kebutuhan perawatan, uang pendidikan, atau membelikan mobil sekiranya dibutuhkan. Artinya, memberikan kepada anaknya yang membutuhkan nafkah (perawatan) dan sejenisnya.

Tidak menjadi keharusan bagi seorang ayah apabila dia memberikan sesuatu kepada salah seorang anaknya lalu dia harus memberikan kepada semua anaknya yang lain dalam waktu yang sama.

Adapun pemberian dan hibah yang didasarkan tidak pada kebutuhan (sang anak) dengan cara membedakan antara satu dengan yang lainnya, maka inilah sikap salah yang menafikan keadilan.

14. Benci Terhadap Anak Perempuan

Sebelum kita mengkaji masalah ini sebagai bentuk kesalahan dalam pendidikan anak, yang paling penting untuk digarisbawahi adalah bahwa sikap ini merupakan cerminan kesalahan dalam akidah dan keyakinan.

Sebagian orang ketika diberikan rezeki oleh Allah Ta’ala dengan lahirnya seorang anak perempuan maka ada rasa benci, dan dadanya terasa terhimpit dengan kehadirannya. Ini adalah perilaku dan budaya jahiliyah, sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.” (Q.S. An-Nahl: 58-59)

Alangkah miripnya kejadian masa lalu dengan hari ini. Sekiranya engkau berkunjung ke salah satu Rumah Sakit Bersalin di negara muslim, engkau tajamkan pandanganmu pada wajah-wajah orang-orang yang mendapatkan anak-anak perempuan, engkau perhatikan pembicaraan mereka, engkau amati perasaan mereka saat diberitahukan kepada mereka tentang persalinan istri mereka, maka engkau temukan kesesuaian yang mencengangkan, kecocokan yang mengherankan antara kondisi mereka ini dengan kondisi kaum jahiliyah yang telah Allah Ta’ala ceritakan kepada kita semua.

Perkembangan baru pada beberapa Rumah Sakit Bersalin adanya fasilitas instalasi USG (Ultrasonografi) untuk mendeteksi jenis kelamin janin yang masih dalam kandungan sang ibu sebelum dilahirkan. Jika ternyata jenis kelamin janin itu laki-laki mereka bergembira, dan jika ternyata perempuan, maka mereka kecewa bahkan mengumpat. Na’uudzu Billah.

Kebencian terhadap anak-anak perempuan merupakan permasalahan serius dan mengandung bahaya besar, diantaranya:

a) Merupakan sikap penentangan terhadap kekuasaan Allah Ta’ala.
b) Merupakan penolakan terhadap pemberian Allah Ta’ala yang sebenarnya wajib disyukuri. Ini berpotensi mengundang kemurkaan Allah Ta’ala.
c) Menyerupai perilaku kaum jahiliyah.
d) Sebagai bentuk dan sikap bodoh serta kerusakan pola pikir.
e) Merupakan pelimpahan beban kepada wanita di luar batas kemam-puannya. Sebagian suami marah-marah kepada istrinya karena memberikan anak perempuan, dan dia tidak menyadari bahwa dirinya sendiri adalah penyebab (faktor) proses kehamilan itu sendiri; padahal sekiranya mendapatkan anak laki-laki, maka akan lain ceritanya. Mengapa justru tidak membelenggu dirinya sendiri saat sang istri sedang melahirkan anak perempuannya.
f) Perilaku ini mengisyaratkan adanya bentuk penistaan terhadap kaum perempuan dan hujatan karena struktur fisiologi.

15. Memberi Nama yang Buruk kepada Anak

Ini merupakan kesalahan dalam pendidikan dan juga perbuatan kriminal terhadap anak. Syaikh Bakr Abu Zaid Hafizhahullah mengatakan, “Sesungguhnya kami merenungkan dosa dan kemaksiatan secara umum. Saya menyadari adanya dosa dan kemaksiatan ketika seorang hamba bertaubat, maka taubat itu dapat menghancurkannya, memutus akibat buruknya. Karena Islam menutup (kesalahan) sebelumnya, meskipun dosa terbesar itu adalah syirik. Namun, ketika seorang bertaubat, maka taubat itu dapat menutup kesslahan besar itu sepanjang terpenuhi syarat-syarat yang diakui secara syariat. Hal ini merupakan sesuatu yang sudah diketahui secara luas.

Akan tetapi, ada kemaksiatan yang menyambung berantai pada keturunan. Aib dari kesalahn itu menyatu sampai kepada anak cucu dari perbuatan kakek-kakek mereka. Menjadi janggal dan aneh pada pergaulan sesama laki-laki, sesama anak, maupun sesama perempuan.

Taubat dari kesalahan ini membutuhkan jalan yang teramat panjang, karena sudah terlanjur tercatat dalam berbagai sertifikat dan surat penting sejak awal kelahiran sang bayi menyambut kehidupan dunia ini sampai sejauh kehidupan yang dijalaninya di dunia ini, baik dalam akte kelahiran, kartu-kartu tanda pengenal, ijazah surat izin mengemudi (driving licence), dan sertifikat-sertifikat atau akta perjanjian lainnya.

Kesalahan itu adalah “pemberian nama yang buruk” terhadap anak yang merupakan kesalahan seorang ayah ketika tidak menemukan nama yang diakui oleh aturan syariah yang suci ini, dibenarkan oleh makna bahasa (arab) serta dibenarkan pula oleh fitrah manusia yang sehat.

Satu permasalahan ini merupakan buah pemikiran seorang ayah yang mengadopsi satu pola pikir, semuanya bergantung kepada pengaruh pengetahuan yang diserap oleh sang ayah. Celakanya, apabila yang masuk itu budaya dan peradaban Barat yang, mengidolakan sosok dan mendambakan nama-nama “kafir”, mencoba mencari-cari nama yang rapuh dari makna, dan berorientasi pada kemewahan upacara dan pesta kelahiran sehingga jauh dari pemberian nama-nama yang bernuansa syariah.

Bentuk kesalahan-kesalahan dalam pemberian nama itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Pemberian nama kepada anak dengan nama-nama yang dilarang sangat diharamkan; seperti nama-nama Allah yang khusus bagi-Nya. Misalnya: Ar-Rahman, Al-Khaliq. Masuk dalam kategori ini adalah pemberian nama “penghambaan kepada selain Allah Ta’ala” seperti nama Abdun-Nabi, Abdul-Husain, Abdu Ali, begitu juga dengan nama-nama asing yang menjadi identitas khusus bagi musuh-musuh kita; dari golongan Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya, seperti: George, Michael, David, Joseph, Diana, Jacklyn. Karena kesalahan ini akan mengarah kepada hal yang lebih jauh dari apa yang kita bayangkan, sejauh mana keterikatan dan kedekatan orang tua dengan mereka ini.

b. Nama yang sebaiknya dihindari, dan bisa jadi diharamkan dipakai,; seperti nama tokoh-tokoh diktator dan pemimpin kejam seperti Fir’aun, Haman, Qarun, serta orang-orang yang setipe dan sejenis seperti Marx, Lenin, Stalin, Freud. Sebab memberi nama dengan nama-nama mereka mengesankan kerelaan hati atas perbuatan-perbuatan mereka serta kekaguman kepada prinsip hidup mereka.
c. Pemberian nama anak dengan nama yang disangkakan sebagai nama Allah Ta’ala. Nama seperti ini dibenci dalam agama seperti nama: Abdul-Maqsud, Abdus-Sattar, Abdul-Maujud.

d. Nama yang dimakruhkan secara etika dan rasa; secara leksikal mengandung arti pesemistis dan negative atau nama-nama secara psikologis tidak membanggakan; seperti nama Harb (perang), Himar (keledai), Kalb (anjing), Murrah (pohon berbuah pahit).
e. Nama yang lucu dan mengejek; seperti Fulful (cabe), Syahaat (debu yang berterbangan), Khaisyah (kain murahan), Baghl (kuda kecil), Jahsy (anak keledai), Fajl (keras, kaku).
f. Nama yang mengesankan kerapuhan hidup; seperti Huyam (gila karena cinta), begitu juga dengan nama Wishal (puasa tanpa berbuka), Fatin (penyebar fitnah), Fitnah (fitnah), Syadiyah (binasa).
g. Nama malaikat; khususnya untuk wanita, karena dikhawatirkan menyerupai perilaku orang-orang musyrik.
h. Nama anak yang mengandung makna pribadi suci; Barrah (bijak). Bersambung insya Allah
Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar