Oleh: Ust Ilham Jaya AbdurRauf Lc MHI
Syekh Muhammad Abduh, satu dari segelintir tokoh pemikiran keislaman yang gagasan-gagasannya masih sering menjadi bahan diskusi hangat hingga saat ini. Gagasan-gagasannya dibahas dari warung kopi hingga ruang-ruang kuliah berfasilitas mewah.Di belantara pemikiran keislaman kontemporer, Abduh memang menjadi tokoh yang kontroversial. Bagi sebagian orang bahkan komunitas, dia adalah panutan. Dia dikagumi dan pemikiran-pemikirannya menjadi sumber inspirasi serta poros pergerakan. Sementara bagi sebagian yang lain, gagasan-gagasan serta sepak terjangnya menuai kritik tajam. Tak jarang, kehidupan pribadinya juga menjadi sorotan bagi sebagian orang.
Tulisan ini akan mengurai kembali siapa sebenarnya Abduh. Tidak kepada kehidupan pribadinya, karena dia telah menghadap kepada Rabbnya. Dia telah mendapatkan apa yang dia usahakan di dunia ini. Kita tak punya kepentingan apa pun terhadap hal itu.
“Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (Terj. QS. al-Baqarah/2: 134)
Tapi pemikiran-pemikiran Abduh, itulah yang penting untuk dicermati secara obyektif (inshaf) di sini. Karena justru pemikiran-pemikiran itulah yang banyak mempengaruhi atau setidaknya mewarnai banyak orang hingga saat ini.
Tak adil bila pemikiran Abduh diketengahkan begitu saja; tanpa mendudukkannya dalam konteks situasi sosial dan politik yang berkembang di masa Abduh hadir. Betapapun, pemikiran Abduh tak muncul di ruang hampa. Selain mengacu kepada perenungan normatif, dia tentu juga melihat kondisi dan tantangan yang berkembang dewasa itu. Pemikiran Abduh sedikit banyaknya merupakan respons terhadap situasi dan kondisi di dunia muslim saat itu.
Kondisi Sosial dan Politik Dunia Muslim Abad Ke-18 M
Abad ke-18 M bisa disebut sebagai masa paling kritis bagi dunia muslim. Pada masa itu, Eropa telah mencapai kemajuannya sebagai dampak dari renaissance yang terjadi di sana. Sementara itu, dunia muslim tertinggal jauh di belakang. Kekuatan politik, militer, ekonomi, dan ilmu pengetahuan umat Islam mundur.
Kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan tersebut akan jelas kelihatan, bukan saja bila dibandingkan dengan kemajuan Eropa saat itu. Namun juga ketika dibandingkan dengan periode sejarah umat Islam secara keseluruhan. Secara politik, Khilafah Utsmaniyah mengalami kemerosotan drastis.
Keadaan ini terus berlangsung hingga akhirnya khilafah tersebut runtuh. Puncaknya adalah dengan penghapusan Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 M oleh Kemal Ataturk. Tokoh yang disebut terakhir ini bertanggung jawab sebagai pionir sekularisme di dunia muslim.
Dengan demikian, eksistensi yang mewadahi sekaligus mewakili umat Islam secara otomatis terhapus dari peta politik dunia. Sebuah tragedi yang belum pernah dialami oleh Umat Islam sebelumnya. Sepanjang sejarahnya, belum pernah Umat Islam secara politik diwakili oleh sistem pemerintahan yang sekuler.
Dengan tidak bermaksud mengecilkan peran imperialisme dan kolonialisme Eropa, kemerosotan di segala bidang yang terjadi di dunia muslim itu sebenarnya merupakan dampak akumulatif dari kondisi internal umat secara keseluruhan. Kondisi yang bila dianalisa secara obyektif merupakan faktor yang lebih dominan pengaruhnya terhadap kemerosotan dunia muslim daripada faktor-faktor eksternal.
Dalam konteks ini, sangat tepat mengingat kembali firman Allah pada surah al-Ra’d/13: 11, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Lahirnya aliran-aliran sempalan, persaingan politik yang tidak sehat, fanatisme buta, khurafat dan takhayul merupakan fenomena umum yang mewarnai atmosfir kehidupan dunia muslim saat itu.
Penyakit yang menimpa umat pada saat itu, sebagian besar terkait dengan masalah aqidah dan cara pandang dunia (worldview) yang keliru. Dua unsur dalam kehidupan yang memiliki kedudukan yang sangat vital.
Takhayul, bid’ah dan khurafat menjadikan umat hidup dalam fatamorgana. Sebab mereka tak lagi mampu membedakan antara yang nyata dengan yang bukan; yang dianjurkan agama dengan yang tidak; serta antara informasi yang benar dengan rumor kosong.
Perpecahan dan fanatisme buta yang merajalela menunjukkan kekerdilan jiwa. Kebenaran tidak lagi diukur dari dalil-dalil yang mu’tabar dan fakta-fakta yang benar; tapi dari figur-figur yang dikultuskan. Sehingga prinsip yang dianut adalah fulan seratus persen benar; atau seratus persen salah.
Tidak heran jika pada masa-masa awal periode kebangkitan Islam (shahwah islamiyah) selanjutnya, corak yang muncul adalah gerakan-gerakan purifikasi. Yaitu gerakan dan upaya yang berusaha membangkitkan umat dari keterpurukannya dengan pertama-tama membersihkan ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang menodai praktek ajaran Islam.
Gerakan yang populer saat itu antara lain adalah Gerakan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M), penulis kitab al-Tauhid, di Semenanjung Arabia, Sanusiah di Afrika Utara dan gerakan Syah Waliyullah al-Dahlawi (1703-1762 M), penulis kitab Hujjatullah al-Baligah, di India.
Tema umum gerakan purifikasi ini berporos pada ajakan untuk kembali kepada kemurnian Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, serta mengacu kepada praktek generasi awal muslim. Ajakan tersebut tidak terbatas pada aspek tertentu, walau aqidah yang benar yang menjadi titik tolaknya; tapi pada seluruh aspek kehidupan manusia.
Demikianlah kondisi makro dunia muslim sebelum dan ketika Abduh lahir. Kondisi mana sedikit banyak akan memberi pengaruh pada konstruksi pemikiran Abduh dan gagasan-gagasan modernisasinya kelak.
(Ust Ilham Jaya 'Abdurrauf Lc /http://tanaasuh.com/kontroversi-gagasan-gagasan-syekh-muhammad-abduh-1/
(InsyaALlah Bersambung…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar