Kamis, 26 Mei 2011

Kontroversi Gagasan-gagasan Syekh Muhammad Abduh (2)

 Oleh:Ust Iham Jaya 'AbdurRauf Lc MHI
Sekilas Biografi Muhammad Abduh
Abduh lahir dimasa pergolakan politik yang terjadi di Mesir. Tepatnya  di akhir era pemerintahan Muhammad Ali Pasya, tahun 1849. Ayahnya, Abduh Hasan Khairallah, adalah orang Turki yang telah lama mukim di Mesir. Sedangkan ibunya keturunan Arab yang garis nasabnya dikaitkan dengan suku Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, khalifah ketiga setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lahir dari keluarga muslim yang taat, Abduh kecil segera diarahkan untuk belajar dasar-dasar agama. Setelah menamatkan hapalan Al-Qur’annya pada 1862, atau usia 13 tahun, ia dikirim orang tuanya ke Thantha. Di sana, ia berguru pada seorang alim bernama Syekh Ahmad.

Model pengajaran yang didapatkan Abduh di Thantha adalah model pengajaran yang dipraktikkan di Mesir, bahkan dunia Muslim pada umumnya, pada saat itu. Dimana aspek  hapalan sangat ditonjolkan; yang di sisi lain mengabaikan sisi pemahaman terhadap materi pelajaran itu sendiri.

Sikap kritis Abduh telah mulai tampak pada usia yang masih sangat dini ini. Ia melakukan protes dan tidak setuju dengan model pengajaran yang berlaku. Karena frustrasi dengan kondisi sekolahnya, Abduh akhirnya memutuskan untuk pulang ke desanya.

Tapi di desa Abduh tidak diterima, bahkan ia disuruh kembali belajar. Putus asa terhadap keadaannya, bukannya ke Thantha, Abduh bersembunyi di rumah salah satu pamannya. Di sinilah ia bertemu dengan Syekh Darwisy Khadr, seorang penganut tasawwuf  yang pernah belajar di Libya dan Tripoli.

Syekh Darwisy adalah pendidik yang lembut. Dengan kelembutan dan kesantunannya, ia menanamkan kembali semangat untuk menuntut ilmu ke dalam diri Abduh. Dari Syekh Darwisy ini, Abduh belajar untuk lebih mencintai dan menaruh perhatian kepada Al-Qur’an. Kelak di kemudian hari, tarbiyah ini membekas dalam diri Abduh dan mewarnai seluruh kehidupannya.

Kelak setelah dewasa dan berkiprah di tengah masyarakat, Abduh menekankan peran sentral Al-Qur’an dalam aktivitas dan gerakannya. Itu dia buktikan dengan banyaknya karya yang dia tulis tentang Al-Qur’an. Pakar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Dr. Muhammad Husain al-Dzhahabi, dalam karya monumentalnya al-Tafsir wa al-Mufassirun, menyebut enam karya tulis Abduh yang terkait dengan Al-Qur’an.

Dengan berbekal semangat baru dari gurunya itu, Abduh melanjutkan pelajarannya ke Syekh Ahmad dan, setelah itu, melanjutkannya di universitas terkemuka di dunia muslim: al-Azhar, Cairo.

Semasa kuliah di al-Azhar inilah Abduh bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M). Tokoh yang bagi banyak kalangan juga menuai kontroversi ini sedang singgah di Mesir. Sebab dia sementara dalam perjalanannya menuju India. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1869.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1871, Afghani kembali ke Mesir. Kali ini, dia memutuskan untuk menetap. Mulai saat itu, kontak antara Abduh dan Afghani semakin intens, layaknya hubungan belajar antara murid dengan guru.

Dalam diri Afghani, Abduh menemukan gelora yang tidak ia temukan di tempat lain. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan Afghani demikian mempesona Abduh. Ia seakan mendapatkan pencerahan yang menggiringnya untuk dapat membebaskan diri dari banyak belenggu tradisi yang saat itu mengekang dirinya dan masyarakat. Sebab Afghani mengajarinya kritis terhadap kondisi keterpurukan umat Islam saat itu. Jadilah Afghani sebagai “universitas” kedua bagi Abduh setelah al-Azhar.

Perlahan namun pasti, pengaruh duo Afghani dan Abduh mulai menyebar ke tengah masyarakat luas. Namun, akibat kekisruhan politik saat itu, keduanya diusir dari Cairo. Afghani ke Paris (!) dan Abduh keluar dari Cairo. Tetapi pada tahun berikutnya, Abduh diizinkan kembali bahkan dipercaya untuk memimpin surat kabar pemerintah al-Waqa’i al-Mishriyah (!).

Pada periode ini, Abduh terjun dalam dunia politik praktis. Karena dianggap oposan, akibatnya Abduh diusir untuk kedua kalinya. Namun kali ini ia pergi ke Syiria. Di sana, Abduh sempat memberikan kuliah-kuliah yang di kemudian hari dibukukan menjadi salah satu karyanya: Risalah al-Tauhid. Buku ini kelak diterjemahkan ke dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama oleh tokoh-tokoh pembaruan di Indonesia.

Dari sana, pada tahun 1884, ia menuju Paris dan bergabung dengan Afghani. Keduanya menerbitkan majalah al-Urwah al-Wutsqa. Karena ide-ide majalah ini dianggap merongrong eksistensi Prancis, majalah tersebut tidak berumur panjang. Pemerintah membreidel majalah tersebut dan menyuruh Afghani dan Abduh untuk angkat kaki dari Paris.

Majalah al-Urwah al-Wutsqa memang memperkenalkan warna baru dalam kerangka umum pemikiran keislaman pada masa itu. Al-‘Allamah Rasyid Ridha (1282-1354 H/1865-1935 M), yang kelak berguru kepada Abduh, merupakan tokoh yang sangat terpengaruh oleh warna yang dibawa oleh al-Urwah al-Wutsqa. Dan itu dia akui sendiri.

Satu waktu, Rasyid Ridha menulis:

“Kemudia aku menemukan dalam barang simpanan bapakku beberapa edisi dari majalah al-Urwah al-Wutsqa. Maka setiap edisi itu bagaikan kabel listrik, yang ketika menyentuhku dapat menimbulkan getaran dan gelora yang membawaku dari satu kondisi (fase pemikiran) kepada kondisi (fase pemikiran) yang lain. Dampak terbesar dari artikel-artikel (majalah) itu, adalah (tulisan yang berjudul) ‘Reformasi Islam,’ kemudian artikel-artikel politik ‘Persoalan (Bangsa) Mesir,’ yang diterbitkan dalam sejumlah edisinya.
“Yang aku, orang lain serta sejarah tahu, bahwa tak ada tulisan bangsa Arab di masa itu serta beberapa abad sebelum itu, yang mampu menyaingi tulisan-tulisan tersebut dari segi sentuhan hati, pencerahan akal, dan keindahan retorika.” (Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustadz al-Imam, I/996, 303)

Kesan yang digambarkan oleh Rasyid Ridha itu membuat kita bisa mengukur sejauh mana kondisi keterbelakangan sosial serta kemunduran ilmu pengetahuan di masa itu. Dalam kondisi seperti itulah, al-Urwah al-Wutsqa seakan tampil sebagai angin segar yang membawa kesadaran baru bagi kelompok intelektual umat Islam.

Bagi kita di Indonesia, gaung majalah al-Urwah al-Wutsqa juga sempat meberi dampak. Pendiri organisasi Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1932 M), disebut-sebut banyak terinspirasi oleh pemikiran Abdul dan Afghani lewat majalah ini.

Dari Paris, Abduh kembali ke Mesir. Keadaan politik di Mesir telah berubah dan relatif lebih kondusif bagi Abduh. Pada periode ini, Abduh pernah diserahi sejumlah jabatan penting, di antaranya sebagai qadhi (hakim), anggota al-Majlis al-A’la di universitas al-Azhar dan anggota legislatif negara.

Tahun 1899, Syekh Muhammad Abduh diangkat secara resmi sebagai mufti negara, jabatan yang akhirnya ia pegang hingga wafatnya tahun 1905.

Bersambung in sya ALlah…

(Ilham Jaya/www.tanaasuh.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar