Di manapun kita beraktivitas atau bekerja, seharusnya memberikan ruang agar seluruh potensi yang Allah berikan kepada kita bisa aktif dan berkembang. Ini sebagai wujud syukur kepada Dzat yang telah menganugerahkan segala nikmat. Sekaligus menjadi penentu seberapa sukses seseorang menjalani hidup. Karena kesuksesan seseorang tergantung seberapa besar potensi yang diaktifkan sesuai dengan fungsinya. Dan begitulah semestinya fitrah berjalan sesuai dengan relnya. Tak ada satu potensipun yang tidak berfaedah, dan tak ada satu anugerah dari Allah yang boleh disia-siakan.
Menelatarkan sebagian fungsi, atau menjadikannya fasif dan menganggur, adalah kekufuran terhadap nikmat yang Allah berikan. Dan segala hal yang berjalan tidak sesuai dengan fitrahnya, pasti akan rusak, dan bahkan merusak potensi yang lain.
Mengaktifkan Akal Pikiran
Allah telah memberikan potensi akal kepada manusia, anugerah yang menjadi pembeda utama antara manusia dan hewan. Semakin banyak akal ‘menganggur’, maka makin mendekatkan manusia pada karakter hewani, nas’alullahal ‘aafiyah. Karenanya, Umar bin Khatab berkata, “ashlur rajuli ‘aqluhu, wa sabuhu diinuhu, wamuruu’atuhu khuluquhu”, inti sesorang disebut manusia itu adalah karena akalnya, kehormatannya terletak pada agamanya, sedangkan kewibawaannya tergantung pada akhlaknya.
Maka selayaknya kita menjalankan fungsi akal sebagaimana mestinya. Terus mengisinya dengan ilmu yang bermanfaat, baik dunia maupun di akhirat. Nutrisi akal yang dengannya ia bisa berkembang adalah dengan menghayati ayat-ayat Allah berupa qur’aniyah dan kauniyah, firman Allah,
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perinta-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal”. (QS an-Nahl 12)
Sisi istimewa dari akal adalah, makin sering dipergunakan, maka kemampuannya semakin bertambah, berbeda dengan barang-barang elektrik yang jika sering dipergunakan makin cepat mengalami penyusutan dan penurunan fungsi. Sebaliknya, akal yang dibiarkan menganggur akan cepat jumud, tumpul dan pikun. Secara fungsi akan mengalami penyusutan secara drastis.
Maka, bertambahnya kesibukan maupun usia, tak boleh menjadi halangan untuk tetap belajar, membaca, menghafal, memahami maupun menganalisa hal-hal yang bermanfaat. Bahkan, kerja akal tidak layak berhenti, meski aktivitas jasad istirahat karena lelah. Saat kaki tak lagi kuat menyangga tubuh, saat mata terasa berat unruk membaca dan melihat. Seperti yang menjadi tekad Ibnu’Uqail Al-Hambali, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, sehingga apabila lisan dan mataku telah lelah membaca dan berdiskusi,maka aku menggunakan pikiranku dalam keadaan berbaring diatas tempat tidur. Aku tidak berdiri, kecuali terlintas dibenakku apa yang akan ku tulis.”
Mengaktifkan Hati Dan Jiwa
Hati dan nafsu, juga merupakan potensi yang harus diaktifkan secara benar. Pengangguran itu tak hanya berlaku bagi orang ysng tak memiliki pekerjaan secara fisik. Layak pula disebut pengangguran bagi orang yang tidak mengaktifkan hati dan jiwanya untuk mencari dan merasai nikmat iman. Karena tanpanya, hati tidaklah berguna. Abdullah bin Mas’ud memberikan jawaban, kemana hati harus aktif bekerja dan mencari nutrisi yang bermanfaat. Beliau berkata, “carilah hatimu di tiga keadaan, saat mendengarkan al-Qur’an, saat berada dimajelis ilmu dan saat menyendiri bermunajad kepada Allah. Jika kamu tidak mendapatkan hatimu disana maka mohonlah kepada Allah untuk memberikan hati untukmu karena kamu tidak memiliki hati.”
Eksistensi hati itu dikatakan ada tatkala ia bisa menikmati lezatnya nutrisi-nutrisi imani. Ia merespon bacaan dan arahan al-Quran, merasa haus akan ilmu yang menunjukkan cara mendekatkan diri kepada sang pencipta. Ia juga merasakan hadirnya ketentraman dan kesyahduan saat bermunajad kepada Allah. Jika tanda-tanda itu sama sekali tidak ada, maka hati tidak menunjukkan tanda-anda kehidupannya. Seakan pemiliknya telah kehilangan olehnya, dan hidup tanpa memiliki hati. Wajar jika Ibnu Mas’ud menyarankan kepadanya, agar ia memohon kepada Allah untuk memberikan hati yang baru kepadanya. Seharusnya, kita senantiasa membawa hati kepada hal-hal yang bisa membuat hati hidup dengan sehat.
Begitupun nafsu, hendaknya secara sengaja dan aktif dikendalikan menuju perkara-perkara yang diridhai oleh Allah. Bukan dibiarkan bergentayangan sesuai dengan kehendaknya. Karena nafsu itu, seperti yang dikatakan sahabat Salman al-Farisi, “sesungguhnya nafsu itu, jika kamu tidak menyibukkan ia dalam ketaatan, niscaya ia menyibukkan dirimu dengan kemaksiatan.”
Ketika akal, hati dan jiwa telah aktif dijalan yang seharusnya, maka jasadpun akan bergerak. Anggota badan itu lah yang akan merampungkan capaian tujuan secara fisik. Kaki dengan gagah akan melangkah, tangan dengan cekatan akan berkarya, mata akan sibuk membaca, menelaah dan mencari hal-hal yang berfaedah, dan telinga akan aktif mendengarkan hal-hal yang bermanfaat. Jika semua potensi berjalan, maka kesuksesan paripurna akan berhasil diraih. Wallahu a’lam. (Sumber:Abu Umar Abdillah/Majalah Ar risalah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar