Masalah klasik yang acap kali mencuat setiap menjelang Ramadhan dan akhir Ramadhan, yaitu berkaitan dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Sampai sekarang, masalah ini masih terus dibicarakan oleh para ulama.
Perbedaan pendapat seperti ini sudah dikenal luas di kalangan ulama bahkan masyarakat pada umumnya. Syariat telah menjadikan tanda-tanda alam, seperti hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai batas waktu penetapan ibadah dan hukum muamalah. Sebagai contohnya adalah ibadah puasa di bulan Ramadhan, Allah سبحانه وتعلى mengaitkannya dengan hilal. Allah سبحانه وتعلى berfirman yang artinya, “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).
Hanya saja, kemudian timbul pertanyaan, bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempatnya sendiri? Cukupkah dengan melihat hilal di satu negeri saja, atau tiap-tiap negeri harus melihat hilal di tempatnya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Karena itulah para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, diantaranya adalah;
PENDAPAT PERTAMA:
Jika hilal telah terlihat di suatu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim di negeri lain untuk berpuasa.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan pendapat Imam Ahmad.
Dalil pendapat pertama:
Firman Allah سبحانه وتعلى, “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).
Ayat ini berlaku bagi setiap orang yang melihat bulan (hilal) tanpa memandang adanya perbedaan mathla’ (tempat terbitnya bulan) atau pun teritorial negara.
Sabda Rasulullah صل اللة عليه وسلم
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullahصل اللة عليه وسلم,
فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّون
“Hari berpuasa adalah hari kuam Muslimin berpuasa. Hari Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
PENDAPAT KEDUA:
Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah.
PENDAPAT KETIGA:
Apabila suatu negara mathla’nya berbeda dengan negara lainnya, maka masing-masing negara memiliki rukyat hilal (penentuan awal dan akhir bulan) sendiri. Dan apabila mathla’nya tidak berbeda, maka bagi siapa saja yang belum melihat hilal wajib mengikuti ketetapan rukyat hilal tempat yang lain. Dengan kata lain, pendapat ini hampir sama dengan pendapat kedua, hanya saja tidak dibatasi oleh teritorial negara. Sehingga setiap negara yang berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, dan ini tidak berlaku untuk negara yang saling berdekatan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328).
Namun demikian, ulama yang berpendapat demikian berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Ada pula yang mengatakan apabila berita terlihatnya hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga.
Dalil Pendapat Ketiga:
Firman Allah سبحانه وتعلى
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).
Pada dasarnya ayat ini tidak dimaksudkan rukyatnya atas setiap orang, namun yang dimaksud adalah orang-orang yang berada pada tempat di mana hilal dapat dilihat, dan setiap wilayah yang mathla’nya sama. Adapun bagi siapa saja yang mathla’ hilalnya berbeda, maka dalil ini tidak bisa dijadikan patokan baik hakekatnya atau pun secara hukum.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama, “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksudnya, perintah berpuasa di sini adalah bagi setiap orang yang berada di suatu daerah yang mathla’ hilalnya sama dengan orang yang melihat hilal, maka pada saat itu hukum berbuka dan berpuasa berlaku baginya. Dan bukan ditujukan bagi mereka yang mathla’ hilalnya berbeda.
Mereka mengatakan bahwa penentuan waktu yang didasarkan pada terbitnya bulan sama dengan penentuan waktu hari yang didasarkan pada terbitnya matahari, maka setiap daerah tentu berbeda dalam berpuasa dan berbuka dalam setiap bulannya. Pada dasarnya kaum Muslimin sepakat bahwa dengan perbedaan waktu akan membawa dampak lain. Maka dengan demikian, barangsiapa yang tinggal di bagian timur, maka dia berpuasa sebelum mereka yang berada di daerah barat dan berbuka sebelum mereka juga.
Maka dalam kondisi yang demikian, jika kita menghukumi penentuan waktu itu berbeda, maka dalam penentuan awal dan akhir bulan pun harus demikian.
Dalam masalah ini, sebagai contoh, ayat yang mengatakan (artinya), “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 187). Demikian pula hadits Nabi yang mengatakan, “...Apabila matahari telah terbenam, maka seorang yang berpuasa berbuka.” (HR. Bukhari no. 1954 dan Muslim no. 1100) tidak mungkin seseorang mengatakan berlaku umum untuk semua kaum Muslimin di belahan bumi mana saja dia berada, karena waktu terbenamnya matahari tidak sama di setiap daerah. (Lihat Fatawa Ulama al Baladul Haram, hal 285-286, dengan perubahan dari redaksi).
Mereka juga berdalil dengan hadits dari Kuraib, yang diutus oleh Ummu Fadhl binti al Harits untuk menemui Muawiyah. Dia berkata, “Aku tiba di Syam dan aku laksanakan peritah Al Fadhl, bertepatan dengan munculnya hilal bulan Ramadhan. Ketika aku berada di Syam, aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya, “Kapan kalian melihat hilal?” Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jumat.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku, “Ya, orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Muawiyah turut berpuasa.” Abdullah bin Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau jika kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata, “Tidak cukupkah kita mengikuti rukyat hilal Muawiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak! Begitulah Rasulullah صل اللة عليه وسلم
memerintahkan kami.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin dan Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, “Dan pendapat inilah yang lebih kuat, baik ditinjau dari sisi zhahir lafazh dalil-dalil yang ada, nazhar (ijtihad yang shahih), dan qiyas yang shahih juga, yaitu qiyas waktu yang didasarkan pada bulan terhadap waktu yang didasarkan pada matahari.”
PENDAPAT KEEMPAT:
Perkara yang demikian dikembalikan kepada waliyul amr (pemerintah), maka kapan pemerintah menentukan wajibnya puasa dan berbuka (lebaran) yang didasarkan atas ketentuan syara’ (yaitu dengan rukyat hilal dan bukan berdasarkan hisab semata), maka pada saat itu juga wajib bagi kaum Muslimin mengikutinya.
Dalil Pendapat Keempat
Sabda Rasulullah صل اللة عليه وسلم
“Hari berpuasa adalah hari kuam Muslimin berpuasa. Hari Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata dalam Syarhul Mumti’ (VI/322) sebagai berikut, “Inilah—yaitu berpuasa bersama negara masing-masing—yang dipraktikkan oleh kaum Muslimin sekarang ini. Yaitu apabila telah ditetapkan oleh waliyul amri (pemerintah), maka wajib bagi kaum Muslimin yang berada di bawah kekuasaannya untuk berpuasa atau berhari raya. Kalau dilihat dari efek sosiologisnya, pendapat ini sangat kuat, meskipun kita memilih pendapat perbedaan mathla’ (pendapat ketiga—red.) wajib.”
Demikian pula Lajnah Dâimah dan Majelis Tinggi Ulama dan Lembaga Fatwa dan Riset Saudi Arabia, telah mengeluarkan fatwa yang senada dengan fatwa yang ke empat ini.
Ini pulalah kesimpulan yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab Tamâmul Minnah (hal. 398) meskipun beliau lebih cenderung memilih pendapat ittihadul mathali’ (pendapat pertama)
Wallohu A’lam Bishshowab (Buletin AlFikrah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar