Jika seseorang mengunjungi suatu tempat atau bertemu seseorang yang spesial dan merasa bahwa ia takkan bertemu lagi dengan orang itu atau tidak akan kembali ke tempat itu, tentu saja ia akan bersemangat memanfaatkan keberadaannya di tempat itu. Ia akan memaksimalkan pertemuan tersebut ,tidak menyia-nyiakan momen yang belum tentu akan terulang kembali.
Oleh sebab itu pula, ketika para sahabat mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyampaikan nasihat yang menyentuh, yang menggetarkan hati dan membuat mata-mata mereka menangis, mereka merasa seakan-akan itu adalah nasihat terakhir. Oleh karenanya, mereka meminta wasiat kepada Rasulullah. “Nampaknya ini adalah nasihat perpisahan, berwasiatlah kepada kami, pinta salah seorang dari mereka. Saat itu mereka benar-benar merasakan suasana perpisahan yang momennya tidak akan terulang.
Semakna dengan ini, ketika Nabi menunaikan haji wada’ (perpisahan) dan beliau merasa bahwa beliau tidak akan berjumpa lagi dengan umatnya dalam forum yang sama di dunia ini. Maka beliau merangkum wejangan beliau dalam beberapa kalimat yang merupakan intisari dari rangkuman semua isi da’wah beliau. Bahkan beliau dengan terus terang mengatakan, “Boleh jadi saya tidak akan bertemu dengan kalian setelah hari ini.” Hal ini menunjukkan bahwa perasaan akan berpisah melahirkan spirit dan semangat yang luar biasa yang kadang tidak terasa pada kesempatan yang biasa.
Dari sinilah kita, memahami rahasia ucapan Nabi kepada seseorang, “Jika engkau berdiri shalat ,shalatlah seperti seorang yang akan berpisah”. Bayangkan jika ada seorang yang ikhlash, shalat beberapa raka’at sedang ia tahu bahwa ia akan segera meninggalkan dunia ini. Bagaimana ia akan shalat? Sudah pasti ia akan berusaha mempersembahkan shalat dengan penuh kekhusyukan dan keikhlasan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kepada kita bagaimana melepaskan diri dari bahaya perubahan status ibadah menjadi kebiasaan. Lalu mengapa kita kita tidak menghadirkan ruh dan semangat perpisahan dalam seluruh ibadah kita? Apatah lagi kita pasti meninggalkan segala hal.
Ramadhan datang kepada kita sebagai tamu yang menjamu, dia akan memuliakan kita jika kita terlebih dahulu memuliakannya. Dia datang membawa berbagai berkah, dia mempersembahkan kepada kita beragam keutamaan. Iya, dia adalah tamu, tetapi justru dia menjamu kita dengan 1001 macam jamuan spesial. Tetapi boleh jadi ini adalah jamuan yang terakhir darinya. Lalu mengapa kita tidak memuliakannya?
Namun demikian, bukan berarti kita tidak bergembira dengan kedatangannya. Bahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mentabsyir (memberi berita gembira) para sahabat dengan kedatangan ramadhan. Beliau memberi busyro yang menumbuhkan kerinduan untuk mengecap berkahnya. busyro yang memancarkan semangat untuk merindui rahmat yang menyertai setiap detaknya. Beliau mengabarkan, “Kalian telah didatangi oleh Ramadhan. Bulan berkah. (Pada bulan ini) Allah mewajibkan kepada kalian berpuasa, pintu-pintu jannah dibuka, pintu neraka ditutup, para setan dibelenggu, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang dihalangi dari kebaikkan malam tersebut, maka ia telah terhalangi dari kebaikkan…..” (HR Imam Ahmad dan An Nasai dishahihkan oleh Syaikh Al Baniy).
Saudaraku ,
Mari kita hadirkan kembali rasa akan berpisah dalam semangat ramadhan kita. Mari kita khususkan bulan suci ini dengan meningkatkan perhatian kita terhadap berbagai amaliyah ramadhan. Hadirkan rasa akan berpisah dengan puasa yang kita jalani.
Setiap tahun kita berpuasa ramadhan, tetapi obsesi sebagian kita sebatas menggugurkan kewajiban. Maka pada ramadhan tahun ini, hendaknya yang menjadi obsesi kita adalah merealisasikan makna puasa yang Imanan wahtisaban agar kita mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lalu.
Setiap tahun kita mengkhatamkan al Qur’an berkali-kali. Maka Hendaknya pada salah satu pengkhataman kita tahun ini disertai tadabbur, perenungan terhadap makna-maknanya serta komitmen untuk mengikuti petunjuknya, menjalankan perintahNya dan meninggalkan laranganNya.
Pada awal-awal bulan kita begitu antusias untuk mendapatkan shalat berjamaah bersama Imam. Maka sedapat mungkin tahun ini sepanjang bulan kita kita ketinggalan takbiratul ihram bersama Imam.
Kita menghususkan bulan ramadhan untuk memberikan keluasan kepada keluarga dan anak-anak kita dengan berbagai kebaikan duniawi yang sementara. Maka sebisa mungkin pada ramadhan kali ini kita mempersembahkan kepada mereka keluasan berupa gizi ruhiyah dan nutrisi hati, berupa buku bacaan atau kaset ceramah, atau kata-kata nasihat yang bermanfaat kepada mereka.
Setiap tahun kita bersedekah, tetapi dengan maksud menolong orang-orang susah yang membutuhkan. Maka pada tahun ini, mari niatkan sedekah kita untuk membantu diri sendiri. Kita butuh keselamatan dari neraka dengan sedekah tersebut. Kita memerlukan penghapusan dosa dengan sedekah-sedekah tersebut.
Setiap tahun kita berbuat kebaikan begini, setiap tahun kita berbuat kebaikan begitu, setiap tahun kita… , setiap tahun kita….
Maka, mari pada tahun ini kita melakukan lompatan yang lebih tinggi untuk mengatrol kwalitas dan kwantitas ibadah kita. Boleh jadi, ini marupakan ramadhan terakhir kita.
Allaahumma Barik lanaa fiy Ramadhan, wa waffiqna ‘alaa ghtinaamihi bith Thaa ‘aat. Wa a’innaa ‘alaa shiyaamihi wa qiyaamihi waj’alnaa min ‘ibaadikal Muttaqiyn .Aamiyn…..
Selamat berbulan ramadhan.
(Diadaptasi secara bebas dari “Ruhushiyaam wa Ma’aaniyhi “ karya Syaikh DR ‘Abdul Azizi Musthafa Kamil)
(Tamalanrea Makassar 01/09/1432:04,45)
Al Faqiyr Ilaa ‘Afwi Rabbihi
Syamsuddin Al Munawiy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar