Oleh: Dr. Adian Husaini*
Prof. Dr. Hamka pernah menulis sebuah artikel menarik berjudul “Islam dan Majapahit”, yang dimuat dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982). Bagi pengkaji sejarah Islam di Indonesia, artikel Hamka ini teramat sayang untuk dilewatkan. Hamka memulai artikelnya dengan ungkapan pembuka:
“Meskipun telah hidup di zaman baru dan penyelidik sejarah sudah lebih luas dari pada dahulu, masih banyak orang yang mencoba memutar balikkan sejarah. Satu di antara pemutarbalikkan itu ialah dakwah setengah orang yang lebih tebal rasa Hindunya daripada Islamnya, berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam. Padahal bukanlah begitu kejadiannya. Malahan sebaliknya.”
Hamka menjelaskan, bahwa Kerajaan Majapahit pada zaman kebesarannya, terutama semasa dalam kendali Patih Gajah Mada, memang adalah sebuah kerajaan Hindu yang besar di Indonesia, dan pernah mengadakan ekspansi, serangan dan tekanan atas pulau-pulau Indonesia yang lain. Dalam kitab “Negarakertagama” disebutkan daftar negeri taklukkan Majapahit. Berbagai Kerajaan, baik Hindu, Budha, maupun Kerajaan Islam ditaklukkan.
Kerajaan Islam Pasai dan Terengganu pun dihancurkan oleh Majapahit. Pasai tidak pernah bangkit lagi sebagai sebuah kerajaan. Tapi, Pasai kaya dengan para ulama. Di dalam sejarah Melayu, Tun Sri Lanang menulis, bahwa setelah Kerajaan Malaka naik dan maju, senantiasa juga ahli-ahli agama di Malaka menanyakan hukum-hukum Islam yang sulit ke Pasai. Dan jika ada orang-orang besar Pasai datang ziarah ke Malaka, mereka disambut juga oleh Sultan-sultan di Malaka dengan serba kebesaran.
Menurut Hamka, jika Pasai ditaklukkan dengan senjata, maka para ulama Pasai kemudian datang ke Tanah Jawa dengan dakwah, dengan keteguhan cita-cita dan ideologi. Para ulama datang ke Gresik sambil berniaga dan berdakwah. Terdapatlah nama-nama Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ibrahim Asmoro, atau Jumadil Kubro, ayah dari Maulana Ishak yang berputera Sunan Giri (Raden Paku) dan Sunan Ngampel (Makhdum Ibrahim).
“Dengan sabar dan mempunyai rancangan yang teratur, guru-guru Islam berdarah Arab-Persia-Aceh, itu menyebarkan agamanya di Jawa Timur, sampai Giri menjadi pusat penyiaran Islam, bukan saja untuk tanah Jawa, bahkan sampai ke Maluku. Sampai akhirnya Sunan Bonang (Raden Rahmat) dapat mengambil Raden Patah, putra Raja Majapahit yang terakhir (Brawijaya) dikawinkan dengan cucunya, dan akhirnya dijadikan Raja Islam yang pertama di Demak,” tulis Hamka.
Tindakan para wali dalam penyebaran Islam di Jawa itu tidak dapat dicela oleh raja-raja Majapahit. Bahkan, kekuasaan dan kewibawaan mereka di tengah masyarakat semakin meluas. Ada wali yang diangkat sebagai adipati Kerajaan Majapahit. Hamka menolak keras pandangan yang menyatakan, bahwa Majapahit runtuh karena diserang Islam. Itu adalah pemutarbalikan sejarah yang sengaja disebarkan oleh orientalis seperti Snouck Hourgronje. Upaya ini dilakukan untuk menjauhkan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan Islam sebagai basis semangat kebangsaan. “Maksud ini berhasil,” papar Hamka.
Akibatnya, dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga. Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit.
Simaklah paparan Hamka selanjutnya berikut ini:
“Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohkan kesatuan bangsa Indonesia, di bawah lambaian Merah Putih!
Kalau tuan membusungkan dada menyebut Gajah Mada, maka orang di Sriwijaya akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur itu ialah seorang Raja Budha dari Sumatra yang pernah menduduki pulau Jawa.
Kalau tuan membanggakan Majapahit, maka orang Melayu akan membuka Sitambo lamanyab pula, menyatakan bahwa Hang Tuah pernah mengamuk dalam kraton sang Prabu Majapahit dan tidak ada kstaria Jawa yang berani menangkapnya.
Memang, di zaman jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.
Tahukan tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Diponegoro, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan disana beliau berkubur buat selama-lamanya?
Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana.”
Peringatan Hamka, ulama terkenal, ini kiranya sangat patut dicamkan! Upaya sebagian kalangan, baik LSM dalam dan luar negeri maupun sebagian unsur pemerintah untuk menjauhkan Islam dari masyarakat – dengan cara membangkitkan kembali tradisi-tradisi pra-Islam atau menanamkan paham sekularisme – sejatinya akan membawa Indonesia ke jurang bencana.
Fenomana ini menunjukkan, bahwa tantangan dakwah Islam di Tanah Jawa sejatinya masih belum berubah. Jika Wali Songo dan para pendakwah Islam lainnya di Tanah Jawa telah memulai langkah-langkah yang spektakuler, mengubah agama penduduk mayoritas negeri ini menjadi Muslim, maka kaum Muslim selanjutnya berkewajiban melanjutkannya. Dalam buku terkenalnya, Fiqhud Da’wah, M. Natsir menegaskan, bahwa dakwah adalah kewajiban setiap muslim. “Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah menghindarkan diri dari padanya.”
*****
Semangat dakwah yang membara dari generasi awal Islam dan generasi-generasi sesudahnya itulah yang kemudian – dengan izin Allah – mampu menghantarkan Islam menjadi agama yang dipeluk di berbagai pesolok bumi. Sejumlah catatan menunjukkan, bahwa sejak abad ke-7 Masehi, sejumlah pendakwah Islam sudah mulai menginjakkan kakinya di bumi Nusantara. Dakwah berupa pengislaman suatu masyarakat kadangkala memerlukan proses yang sangat panjang, bisa sampai ratusan tahun, yang berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Jurnal Islamia-Republika edisi 18 November 2010 mengangkat tema tentang dakwah Islam dan tantangan Kristenisasi serta Nativisasi di sekitar Lereng Merapi. Sejumlah artikel yang ditulis para alumni Program Kaderisasi Ulama Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Program Magister Pemikiran Islam –Universitas Muhammadiyah Surakarta menguraikan sejarah panjang perjalanan dakwah di lereng salah satu gunung berapi teraktif di dunia tersebut.
Menarik misalnya menyimak kisah “Mbah Petruk”, yang namanya sempat popular di Indonesia menyusul bencana Merapi di tahun 2010 ini. Mbah Petruk makin populer setelah seorang warga memotret asap solvatara Gunung Merapi yang menyerupai kepala Petruk. Karena hidung Petruk mengarah ke Yogya, maka ada paranormal yang menyatakan, bahwa bencana akan mengarah ke Yogya. Selama ini di sebagian kalangan, mitos Mbah Petruk sering dikaitkan dengan pemuka jin dan tanda-tanda bencana Merapi.
Hasil penelitian Susiyanto, peneliti INSISTS bidang sejarah Islam dan Jawa, terhadap tradisi lisan di salah satu kawasan lereng Merapi, menunjukkan, bahwa nama asli Mbah Petruk sebenarnya adalah Kyai Handoko Kusumo. Nama ini dikenal sebagai penyebar Islam di kawasan lereng Merapi pada era 1700-an. Kyai Handoko Kusumo adalah seorang keturunan Arab, berhidung mancung. Karena soal hidung mancung itulah, sosoknya dikaitkan dengan tokoh punakawan dalam pewayangan bernama Petruk yang mempunyai ciri khas hidung panjang. Di duga, Mbah Petruk yang ini adalah murid generasi kedua dari Sunan Kalijaga. Pada masa tuanya, Mbah Petruk diperkirakan meninggal di Gunung Bibi dan jasadnya tidak pernah diketahui. Hal inilah yang memunculkan anggapan spekulatif bahwa dirinya telah moksa.
Sejumlah penelitian menunjukkan, sampai tahun 1700-an, penduduk daerah di sekitar Merapi masih menganut Agama Hindu dan berbagai bentuk kepercayaan kuno. Pada era Perang Diponegoro (1825-1830), Kyai Mojo, ulama dan penasihat spiritual Pangeran Diponegoro telah memobilisasi pasukan yang berasal dari lereng Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi di kawasan ini telah berjalan beberapa tahun sebelumnya.
Dakwah di masa itu menghadapi tantangan yang sangat berat. Berbagai ritual kuno yang dijalankan sebagian penduduk sangat jauh dari nilai-nilai Islam dan kemanusiaan. Misalnya, adanya ritual pengorbanan manusia, dengan menyembelih atau melemparkannya ke kawah Merapi, sebagai persembahan kepada “dewa” agar bencana tidak terjadi. Hasil penelitian Muhammad Isa Anshory, alumnus Program Magister Pemikiran Islam UMS tentang ritual-ritual kuno di sekitar Lereng Merapi mencontohkan ritual aliran Bhairawa Tantra.
Aliran ini punya percaya bahwa cara menghentikan godaan hawa nafsu adalah dengan cara memperturutkan hawa nafsu itu sendiri. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. Bhairawa Tantra muncul kurang lebih pada abad ke-6 M di Benggala sebelah Timur. Dari sini, lalu tersebar ke Utara melalui Tibet, Mongolia, masuk ke Cina dan Jepang. Sementara itu cabang yang lain tersebar ke arah Timur memasuki daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain di Jawa, sekte ini juga menyebar di Sumatra serta berangsur-angsur bersatu dengan tenung dan kepercayaan pada kanibalisme. Seorang raja terkenal dari kerajaan Melayu kuno, diceritakan menerima pelantikannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, dan menghadap korban manusia yang menebarkan bau busuk. Akan tetapi, semua ini bagi Adityawarman sangat semerbak baunya.
Bentuk ritual Bhairawa Tantra meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari matsiya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga “kerasukan”), dan maithuna (seks bebas). Dalam bentuk yang paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. Ada juga ritual seks bebas dan minum minuman keras yang dilakukan ditempat peribadatan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan untuk mendapatkan cakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme. Pada era selanjutnya dapat dijumpai sisa-sisanya dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten.
Praktik mistik yang lain yang masih eksis di lereng Merapi adalah ritual telanjang yang dilakukan di Candi Lumbung pada setiap awal bulan Suro. Ritus ini dilakukan tengah malam selepas pukul 00.00 WIB dengan bertelanjang bulat mengelilingi Candi Lumbung sambil membaca mantra-mantra khusus di bawah panduan seorang pemimpin upacara. (Majalah Liberty, 11-20/1/2008).
Ritual ini juga masih memiliki kemiripan sebagai sisa ritual Bhairawa Tantra. Di daerah sekitar Merapi, bekas-bekas setra (tempat pengorbanan manusia dan area persetubuhan masal dalam ritus Bhairawa) yang lain juga dapat ditemukan. Sampai sekitar tahun 2006, tempat pemujaan berupa Setra masih dapat ditemui di Bon Bimo. Namun di tempat petilasan itu saat ini telah didirikan sebuah masjid oleh masyarakat setempat. Konon, berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, saat tempat itu hendak didirikan masjid, batu yang menjadi “altar” penyembelihan gadis perawan di Bon Bimo itu mengeluarkan suara tangisan di malam hari. Banyak penduduk sekitar bisa mendengarnya. Namun masyarakat setempat kini telah memilih Islam dan sebuah masjid berdiri atas kehendak warga desa di tempat itu.
Tradisi ritual semacam ini tentu saja sudah ditinggalkan masyarakat sekitar lereng Merapi. Sebagian besar mereka kini memeluk agama Islam. Bahkan, tradisi-tradisi sesudahnya, seperti penanaman kepala kerbau juga berangsur ditinggalkan. Islam telah mengubah persepsi mereka tentang makna ibadah dan “kurban”. Inilah salah satu bukti bahwa dakwah Islam terus berjalan, perlahan-lahan mengubah tradisi masyarakat sekitar Lereng Merapi.
Tentu saja, dakwah harus tetap wajib dijalankan dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya. Apalagi, kini tantangan dakwah di sekitar lereng Merapi menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu gerakan Kristenisasi dan Nativisasi. Jika kita berkeliling di sejumlah daerah Lereng Merapi, akan dengan mudah mendapati berbagai pusat gerakan Kristenisasi.
Gerakan nativisasi kini dilakukan juga dengan massif melalui berbagai cara. Tradisi-tradisi ritual kuno yang bertentangan dengan ajaran Islam, sengaja dimunculkan kembali bahkan dipromosikan yang kadangkala bermotifkan promosi wisata. Hal-hal yang jelas merupakan perbuatan syirik dikatakan oleh sebagian orang sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang harus dilestarikan. Jika tradisi menanam atau melarung kepala kerbau dikatakan sebagai bentuk kearifan lokal, mestinya praktik persembahan manusia ke kawah Merapi atau praktik ritual telanjang juga bisa dimasukkan dalam daftar kearifan lokal.
Tentu kita berharap para ulama, tokoh masyarakat, dan pejabat yang Muslim lebih mengedepankan cara pandang Islami, dalam menentukan mana tradisi yang perlu dilestarikan dan mana yang tidak. Sebab, akhirnya hanya kepada Allah juga kita akan bertanggung jawab atas amal-amal kita. [Depok, 19 November 2010/hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
http://www.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/14244?task=view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar